Data Artikel

Pameran tunggal

Patung-Patung Geppetto van Jogja

Patung-Patung Geppetto van Jogja 

Oleh: WAHYUDIN

Abdi Setiawan, masyhur dengan panggilan Set, adalah Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Dari tangannya yang terampil, sekitar satu dasawarsa terakhir telah lahir “pinokio-pinokio” aneka rupa dan karakter. Ada yang elok, ada yang buruk, ada yang lucu, ada yang kaku, ada yang sok, ada yang lunak, ada yang galak, ada yang bijak. Tapi, semua sama-sama menarik bom imajinasi tak tepermanai. Semua adalah anak-anak kehidupan khayali yang lahir dari pergulatan insani Set.
Itulah yang memungkinkan pemirsa bertualang di dunia-dalam imajinasi kanak-kanak untuk masuk-menemu makna kehidupan atau permenungan hidup orang dewasa sebagai individu dan anggota masyarakat. Kemungkinan itu tersua dalam pameran tunggalnya berjudul The Future is Here di Redbase Contemporary Art, Jakarta, 30 Oktober-30 November 2014.
Dalam pameran tersebut alumnus Institut Seni Indonesia Jogjakarta itu kembali memanggungkan patung-patung sosok anak-anak dan orang dewasa yang pernah tampil dalam pelbagai pameran seni rupa di dalam dan luar negeri. Persisnya, ada tujuh patung sosok bocah laki-laki “bernama” Aktor (2009), Batman (2011), Burger Time (2009), Commodore (2010), Kapiten (2009), The Tiger (2011), dan Ultraman (2010). Kecuali Batman dan Tiger yang berbahan serat gelas atau kaca serat (fiberglass), lima lainnya berbahan kayu.

pameran

Display karya di Galeri Semarang

Dengan The Future is Here, praktik artistik Set boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung. Bukan cakap kecap, pematung kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971, itu sudah menginsafi keserupaan itu sejak 2004, ketika dirinya memanggungkan patung-patung figur manusia kawasan remang-remang pinggir kota dalam pameran tunggalnya yang berjudul Gairah Malam di Lembaga Indonesia Prancis, Jogjakarta.
Dalam kedua pameran itu, The Future is Here dan Gairah Malam, Set sahaja membuka kotak perkakas estetika aneka jenis yang memungkinkan pemirsa meresepsi karya seni patungnya sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan begitu mereka menjadi teremansipasi untuk mengada di antara “yang awam” dan “yang pakar” dalam aktivitas semiotis yang berambisi membuat makna dari tanda dan simbol pada karya seni rupa atau sekadar bersenang-senang memanfaatkan waktu senggang di galeri seni rupa.
Apa pun kepentingan mereka, perkara pemirsa tetap sama: bagaimana menjadi arif dalam suatu perjumpaan yang belum-sudah dengan karya seni rupa. Perkara itu adalah jarak, baik intelektual maupun emosional. Ternyata, dalam pameran The Future is Here, Set sudah mengisyaratkan secara lembut perkara itu dengan menghadirkan patung sosok gadis cilik “bersarira” jelaga dan “bernama” Girl a.k.a Kiss (2014).

pameran

karya patung Abdi Setiawan

Setelah lima tahun pameran The Future is Here berlalu, Kiss, Commodore, dan Tiger (ini kali berbahan kayu) akan tampil kembali dalam pameran Set and His People di Galeri Semarang, 16 November-15 Desember 2019. Begitu pula dengan Pinky, Tatto Man, Belaian Angin Malam, Salome, dan Melepas Lelah, yang pernah berlakon dalam The Flaneur di Nadi Gallery, Jakarta (2007); Asongan dalam A Sign of Absence di Edwin’s Gallery, Jakarta (2013), The Chef alias Mooi Indie dalam Jogja Joged di Artjog, Jogjakarta (2014); Shooter dalam New Sculptures di Metis Gallery, Amsterdam, Belanda (2010); Boogeyman dalam Melihat Indonesia di Ciputra Artprenuer Centre, Jakarta (2013); Awas Anjing Galak di Gajah Gallery, Singapura (tt); dan Si Pelukis Rakyat dalam Potret di Bentara Budaya Yogyakarta (13-22 Agustus 2019).
Dengan begitu, Set bukan hanya melakukan peremajaan atas sejumlah karya patungnya dari lalu waktu, melainkan juga memanggungkan ulang mereka guna pembaruan nilai artistik, ekonomi, dan diskursif yang berkaitan dengan 12 patung baru yang dibuat Set sepanjang sepuluh bulan terakhir di tahun 2019, yaitu To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.
Selain kedua belas patung baru itu, Set mengalih-wahana patung-patung protagonis Malacca’s Boys: Aktor, Hero, dan Sang Kapten, kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan. Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokoh kartun Jepang dan Barat. Keempat lukisan itu bertarikh 2019.
Sampai pada titik itu, saya harus katakan bahwa kebaruan 12 patung dan 4 lukisan tersebut tidak terletak pada perangkat formal dan materialnya. Sejak awal 2000-an Set telah memanfaatkan kayu sebagai perangkat material karya-karya patungnya sehingga memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, amalan artistik pematung Gregorius Sidharta (1932-2006) dan Amrus Natalsya (1933). Tidak juga pada isi yang terpahat, tergurat, atau terekspresikannya. Sebelumnya Set pernah membikin sejumlah patung dan lukisan serupa pada 2012 dan 2017), tapi pada konteks dan bentuk pemanggungannya.

Pameran

Pameran tunggal Abdi Setiawan

Dalam enam pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang memampukan Direktur Sicincin Indonesia Contemporary Art, Jogjakarta, ini menjadi semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia, sehingga membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal (1924-2000).
Ini kali, dalam pameran Set and His People, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara. Alih-alih, dia bertindak sebagai semacam juru-foto yang “menangkap” patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka. Dalam hal itu, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.
Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran “model penggambaran” patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia, dewasa dan kanak-kanak, dan sedikit binatang-boneka-binatang yang berbeda dan khas, kalau bukan baru, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini. (*)