dengar dari dalam

“DENGAR DARI DALAM”

MOMEN SUKA CITA RAYAKAN SEDEKADE HMN 2023 DI SUMBAR

 

KUMPULAN sejumlah komunitas Sumatera Barat peringati Hari Musik Nasional (HMN 2023) bertajuk “Dengar Dari Dalam“.

Perayaan yang dimulai sejak sore pukul 16.30 WIB pada Kamis (09/03) lalu itu, digelar di Kupi Batigo Creative Space, Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 19, Padang, Sumatera Barat.

Ajang kolaboratif ini ditaja dalam selingan tiga sesi rangkaian acara. Pada sesi Pementasan, diisi suguhan berbagai jenis ragam musik.

Diawali dengan sajian kreasi musik tradisi-modern oleh Satonggak Art sebagai penampil pembuka.

Disusul sesi Dialog Interaktif membicarakan seputar konsistensi pelaku musik menjalani bidang yang digelutinya, beiringan dengan melakukan improvement dalam mengarungi perkembangan musik di era sekarang.

Menghadirkan narasumber Ribut Anton Sujarwo (Pelaku Musik, founder grup Darak Badarak), Supardi (Ketua DPRD Sumbar), dan Agusli Taher (Musisi, Pengarang Lagu).

Sesi ini menjadi penutup dari rangkaian pertama berlangsungnya kegiatan kolektif ala arisan ini. Bertujuan sebagai upaya bersama dan momen suka cita bagi banyak orang dalam merayakan keberagaman di peringatan HMN 2023.

Gelaran “Dengar Dari Dalam” didukung oleh 3AM Studio, Gudang Seni Menata, Rumah Gagas, KBCS Program Initiated, HMD Sendratasik UNP, Diskresi, Ruang Sarga, Ota Lapau, dan Minang Lipp.

 

SENJA itu langit kota Padang cukup bersahaja. Antusias dari berbagai unsur pengunjung tampak dari air muka yang hadir.

Khalayak umum, mahasiswa, pemerintah, seniman, dan musisi beserta komponen penopang ekosistem musik Sumatera Barat umumnya, berdatangan memadati venue.

Setelah jeda yang panjang, acara rangkaian kedua dibuka kembali dengan dipandu Ara Ulfa selaku MC.

Penampilan awal dimulai dari grup Sending Rasa. Mengekspresikan musik dan lirik (teks) yang emosionil bercorak performatif.

Variasi bentuk improvisasi musik mereka berkelindan dengan laku teks dramatik bergaya deklarasi.

Tafsir lirik secara dramatisasi puisi ikut menunjang caranya melengkapi elemen musikal yang dibawakan.

Disambut dengan alunan lagu yang dimainkan Komunitas Seni Nan Tumpah sesudah itu. Kelompok musikalisasi puisi berkarakter melodius dengan lirik yang tenang ini, turut menebalkan suasana makin terasa pukau malam itu.

Khidmat pendengar seakan diajak berkelana menjelajahi ruang makna tak terduga, lewat lantunan diksi metaforik yang ditumpahkannya.

Dua penampilan telah usai, menandai masuknya sesi Diskusi Santai. Sebagai momen kilas pandang balik perihal musik Sumatera Barat hari ini, bersama narasumber yang sedia mengurai.

dengar dari dalam

 

DISKUSI ini mencita pemahaman utuh dan pandangan ke depan tentang apa dan bagaimana keberadaan serta sumbangsih musik Sumatera Barat hari ini, dalam simpul tema “Sebuah Retrospeksi: Sumatera Barat Kini Di Lanskap Musik Nasional“.

Disarikan dari pandangan Akbar Nicholas, “Forum ini adalah oto-kritik. Harus lebih supportif lagi, jangan ada egosentrik antar genre atau kelompok. Diskusi intens bisa dilakukan di banyak ruang-ruang komunal yang tidak hanya lempar-lemparan perspektif dari narasumber saja“, papar Aktivis dan Musisi Metal itu.

Poinnya adalah solusi bagaimana perspektif atau setiap permasalahan yang dibincangkan pada saat diskusi bisa diatasi. Sehingga tidak hanya sekedar ajang titik temu para penyangga ekosistem elemen musik yang nantinya akan membahas hal yang itu-itu saja“, sambung cofounder Gazp dan pendiri Ruang Sarga itu.

Kita harus jelas, melakukan sesuatu yang kontiniu. Sehingga harapannya Sumbar bisa melakukan improvement, supaya tidak stuck di satu titik saja“, pungkas gitaris dan founder band Raze ini.

Diskusi dipandu oleh Aditya Rahman sebagai moderator. Selain Akbar Nicholas, narasumber seperti Meiza Pratama, Dewi Ria (Kabid. Ekraf Dispar Sumbar), Uswatul Hakim, Susandra Jaya, Ahmad Hafiz, dan Jumaidil Firdaus, juga turut membagikan pandangannya.

Meiza Pratama mengemukakan perihal regenerasi all genre, “Harusnya musik di Sumbar hadirkan gaya dengan suasana baru, sehingga tidak ada batasan-batasan genre yang menjadi pembatas untuk memperluas jangkauan menuju kancah Nasional“, ungkap seorang Drummer dan Audiopreneur yang akrab disapa Cimay ini.

Tidak hanya itu, tetapi ruang kolaborasi yang hanya sesaat sehingga banyak ruang kreatif di Kota Padang tidak menonjol dengan baik, ditambah diskusi intens di jaman sekarang saja jarang terjadi, lalu solusi seperti apa yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata?“, tambah seorang Aktivator dan Pengelola Ruang 3AM Studio & Creative Space itu.

Sesi ini membentang waktu bincang dengan durasi tempuh yang panjang. Namun tidak membuat surut minat penonton hingga penantian sesi Pementasan lebih lanjut.

dengar dari dalam

 

TIBA di penghujung acara, pengunjung bersiap mengenyam penampilan-penampilan yang sudah menderet urut.

Dimulai dengan bunyi alunan denting nilon permainan solo gitar klasik Dio Yodio dalam garapan medley komposisi Vals Venezolano dari karya Amelia.

Jalannya alur acara semakin bergulir. Tak mungkin lagi untuk dilewatkan. Nuansa musik Jazz terdengar di malam yang larut, menyajikan pengalaman tersendiri bagi penikmatnya.

Orkestrasi musik Jazz yang diimbuhkan band Bluemoon, memainkan lagu-lagu dalam format gabungan instrumentasi Brass, Woodwind, String Quartet, Double Bass, dan Drum-set lewat performa grup yang ditampilkannya.

Tak buru-buru setelah itu, keriuhan malam pun mulai membawa langkah lebih jauh. Berangsur menuju set penampil berikutnya.

Penampilan kelompok musik yang menamakan dirinya grup Gamad ´ Melayu menyambangi panggung menggembirakan mereka dan banyak orang.

Menghentakan irama permainan musik khas Gamad berpadu Melayu yang tak elak menggerak-ayunkan badan dan anggukan kepala penonton yang menikmatinya.

Terakhir, limabelas menit jelang tengah malam. Penampilan sebuah kelompok musik orkes mengantarkan penonton berada di puncak acara.

Layaknya orkes bergaya musik yang khas dengan lirik parodikal, grup Talambek Orkes turut menyibak lantai pesta lewat single perdananya berjudul “Nasib Kanai Suruah” yang menyudahi akhir acara tepat pukul 24.00 WIB.

dengar dari dalam

 

PERSIS setelah usai keseluruhan rangkaian ajang kolaboratif yang berlangsung kurang dari sembilan jam ini, hujan gerimis turun dengan perlahan. Seakan mendukung keberlangsungan gelaran perayaan peringati sedekade HMN malam itu.

Kegiatan “Dengar Dari Dalam” membuka kesempatan dengan memberikan pengalaman yang lebih dari sekadar teknikal, melainkan tersaji peristiwa ‘mengalami’ secara langsung keberagaman yang dirayakan. [.]

 

 

Rijal Tanmenan

Etnomusikologi | Pemberdaya Seni | Penabuh Multi-set Perkusi | IG: @rijaltanmenan

Siobhan McBride Unsettles the Familiar

Apa yang membuat karya Siobhan McBride secara keseluruhan menarik adalah ketertarikannya pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari.

oleh John Yau 5 Januari 2023

 

Siobhan McBride, “Lantern Fly Graveyard” (2022), acrylic gouache, colored pencils, paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches (all images courtesy Long Story Short NYC, formerly Another Gallery NYC)

Keadaan visual di antara dan kontras gelap dan terang, serta keingintahuan saya tentang hubungan antara subjek lukisan dan biografi seniman, yang mendorong saya untuk mengunjungi pameran Siobhan McBride: Never Means Always Not, di Galeri Lain (16 Desember 2022–8 Januari 2023), dikuratori oleh Stavroula Coulianidis. Seolah-olah untuk memperkuat perasaan saya bahwa pekerjaan itu tentang perubahan dan perasaan tidak selaras dengan lingkungan seseorang, saya mengetahui bahwa pada tanggal 1 Januari 2023, galeri tersebut telah berganti nama menjadi Long Story Short NYC.

 

Meskipun saya menyimpulkan bahwa lukisan McBride didasarkan pada foto, lukisan tersebut bukanlah fotorealis. Nyatanya, secara spasial mereka tampil sangat berbeda dari kebanyakan lukisan realis berbasis foto, yang cenderung meratakan pemandangan. Penghalang dan ruang di luarnya, bersama dengan ruang yang hampir tertutup di setiap lukisannya, tampaknya menjadi inti dari pokok bahasannya. Meskipun saya pertama kali melihat karya di komputer saya, aspek lain yang menurut saya menarik adalah interaksi antara area datar warna dan ruang tiga dimensi, malam yang aneh atau cahaya buatan, dan minatnya pada permukaan padat dan transparan, pantulan dan bentuk, dan siluet tajam. Menurut siaran pers, “Siobhan McBride lahir di Seoul, Korea Selatan, dan diadopsi ke Queens, NY, saat masih bayi” dan beberapa pekerjaannya berkaitan dengan “pencarian identitas biologisnya di Korea”. Bersama dengan unsur formal, informasi yang berbeda ini membuat saya ingin mengetahui apakah 12 lukisan berukuran sedang dalam pameran itu semenarik yang saya bayangkan. Saya segera melihat itu.

 

McBride bekerja dengan guas akrilik, akrilik matte, spidol cat, dan pensil warna di atas kertas yang dipasang di atas pensil. Lukisan-lukisannya penuh dengan detail yang tidak biasa, yang dihasilkan dari penggunaan bentuk abstrak sederhana, kebanyakan persegi panjang, dengan cara yang tidak langsung dapat dibaca. Dia menggambarkan ruang sebagai sebagian tertutup dan diblokir, dan pada tingkat tertentu tidak dapat diketahui, yang dikombinasikan dengan siluet abstrak dengan tepi rumit yang terbaca sebagai pemandangan udara yang aneh dari dedaunan pohon di “Makam Terbang Lentera”, misalnya, atau sebagai garing, bayangan tak menyenangkan yang ditimbulkan oleh detail arsitektural dalam “Jonno-gu Night Walk” (keduanya tahun 2022). Pemandangannya misterius dan bahkan meresahkan.

Siobhan McBride, “Five Doors” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

McBride memberi tahu saya bahwa dia memotret interior apartemen tak berpenghuni, jalan-jalan kota yang sebagian besar kosong, dan permainan arcade yang dia gambarkan dalam karyanya. Sementara perhatian terhadap detail dan permukaan menarik perhatian pemirsa ini, apa yang membuat karya ini secara keseluruhan lebih menarik daripada fitur-fiturnya yang berbeda adalah minat McBride pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari: berbagai jenis cahaya yang hidup berdampingan di sebuah kota. jalan di sore atau malam hari, pemandangan melalui apartemen atau jendela mobil, dan pantulan di permukaannya.

 

Secara lebih luas, McBride tampaknya sedang mengeksplorasi cara membuat sesuatu yang segar dari yang biasa tanpa menggunakan trik yang biasa, seperti detail yang berlebihan, palet warna yang tidak realistis, atau penjajaran surealis. Dia menggabungkan detail berdasarkan pengamatan yang tidak dapat diuraikan secara instan, yang mengganggu kemampuan kita untuk memahami segala sesuatu dengan lancar. Perlawanan itulah yang saya sukai dari lukisan-lukisan itu.

 

Dalam “Canopy” (2021), kami melihat ke luar jendela di sebuah rumah yang cukup terang dengan pohon hitam besar yang tertutup salju di depannya. Bagian lukisan, seperti jendela bercahaya di lantai dua bangunan, menyertakan detail yang ada di sisi lain keterbacaan, sedangkan sisi atas dan bawah rumah datar dan berwarna solid. Siluet gelap dan rumit pada area putih dengan sedikit gradasi di bawah sisi kiri pohon dapat dilihat sebagai bayangan di atas salju, tetapi tidak ada bayangan yang muncul di sisi kanan pohon. Bagaimana kita memahami apa yang tampak sebagai perbedaan di sini? Atau di tempat lain, di mana sesuatu yang terlihat melalui jendela tampak berubah menjadi pantulan? Ambiguitas itu membuat saya terus mencari. Apa yang bisa dengan mudah menjadi pemandangan klise – sebuah rumah dengan pohon yang dipenuhi salju di depannya – menjadi sesuatu yang lain. Itu bukan prestasi kecil.

Siobhan McBride, “Jongno-gu Night Walk” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

“Five Doors” (2022) disusun seolah-olah seseorang sedang duduk di samping wastafel kamar mandi, melihat melalui pintu ke bagian lorong di mana dua pintu lagi, satu terbuka dan yang lainnya tertutup, terlihat. Kami melihat sebuah lorong, ruang yang mungkin tidak kami perhatikan. Handuk mandi oranye tergantung di sepanjang tepi kanan lukisan. Di belakang kabinet dan wastafel yang dipotong, memanjang ke dalam dengan sudut yang tajam, dan keranjang anyaman adalah lemari terbuka dengan rak. Apakah ini juga memiliki pintu, yang menjelaskan judul lukisan itu? Mengapa keset karet di lantai tepat di luar kamar mandi? Pemandangannya hambar, aneh, familiar — sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan dua kali, bahkan jika kita melihatnya setiap hari. Semakin lama saya melihat lukisan itu, semakin menimbulkan pertanyaan bagi saya, yang merupakan arah yang tidak biasa untuk diambil oleh seorang pelukis dalam kehidupan sehari-hari.

 

“Makgeolli Snack Run” (2022) menampilkan jalan lingkungan di Seoul pada malam hari. Seperti dalam “Lima Pintu”, pemirsa ditarik ke ruang yang terbuka dan tertutup, dapat diakses dan tidak dapat diakses. Namun, alih-alih memasangkan pintu yang tertutup dan terbuka, dia menggambarkan jalan sempit yang agak miring ke ruang gelap, dengan bangunan empat lantai yang gelap di ujungnya. Satu jendela menyala menerangi gedung apartemen berukuran sederhana ini dari dalam. Pita cahaya gradien dari sumber tak terlihat mengalir di bawah gedung. Jalan ini terasa jauh tetapi mungkin bisa menjadi tujuan. Dua kipas besar yang menjorok ke dalam dari tepi kanan bawah lukisan menunjukkan bahwa kami meninggalkan bangunan setinggi jalan.

 

McBride menggambarkan pemandangan yang kita lihat sambil lalu, melalui jendela mobil di hari hujan (“Deluge,” 2022), sambil melamun (“Lantern Fly Graveyard,” 2022), atau sambil fokus pada aktivitas lain (seperti game arcade di “ Gembok Cinta dan Kereta Gantung,” 2022). Itu adalah barang-barang dari kehidupan seseorang, sebuah kronik dari momen-momen yang biasa dan bermakna sekaligus. Masing-masing menampilkan perhatian khusus pada terang atau gelap, warna yang menentukan materi pelajaran. Segalanya tampak seolah-olah baru pertama kali dilihat. Dalam detail abstrak dan pergeseran tiba-tiba yang menolak terjemahan, seniman menyampaikan perasaan tergeser dan tidak nyaman sebagai bagian dari pemandangan seperti trotoar atau bangunan.

Siobhan McBride, “Canopy” (2021), acrylic gouache and paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches

Siobhan McBride: Never Means Always Not berlanjut di Long Story Short NYC (52 Henry Street, Two Bridges, Manhattan) hingga 8 Januari. Pameran ini dikuratori oleh Stavroula Coulianidis.

Delapan Ruang Seni Baru Yang Wajib Dikunjungi di Brooklyn

Dari ruang bawah tanah Williamsburg hingga ruang tamu Bed-Stuy dan ruang proyek di Gowanus, tidak ditemukan kekurangan seni di wilayah tersebut.

Foto oleh Valentina Di Liscia, Billy Anania and Elaine Velie

Installation view of Kiah Celeste’s 2022 exhibition The Right Side Down at Swivel Gallery (photo courtesy the gallery)

Ini tahun baru dan saya tidak tahu tentang Anda, tetapi saya mencoba memanfaatkan perasaan segar ini diawal kalender ini selama mungkin. Dan cara apa yang lebih baik untuk menikmati kanvas kosong tahun 2023 selain menghabiskan waktu di ruang seni baru  Brooklyn. Dalam ulasan kami di bawah ini kami menyoroti galeri, organisasi, dan ruang proyek di wilayah tersebut. Banyak dari mereka telah membuka pintunya untuk umum dalam satu atau dua tahun terakhir; yang lain telah ada lebih lama tetapi baru saja pindah ke pinggiran kota atau memulai debutnya di tempat lain. Mereka masing-masing memiliki sesuatu yang berbeda untuk ditawarkan dan merupakan bukti nyata komunitas seni Brooklyn yang terus berkembang dan berubah. Selamat menjelajahi galeri! -Valentina di Liscia

 

Swivel Gallery

Apa yang langsung mencolok dari Swivel Gallery di Bed-Stuy adalah desainnya, dengan dinding berliku-liku dan bergelombang seperti awan penuh kasih yang memeluk karya seni yang dipamerkan. Pendiri Swivel, Graham Wilson, menyebutnya sebagai “inkubator” bagi seniman baru dan pendatang baru, dan sejak pembukaannya pada Januari 2021, pameran karya Kajin Kim, Kiah Celeste, Aris Azarmsa, dan banyak lagi telah ditampilkan kemungkinan tak terbatas dari ruang yang tidak konvensional. Untuk pameran solo Celeste tahun lalu, yang berjudul The Right Side Down, artis yang berbasis di Louisville, Kentucky ini menampilkan bahan daur ulang dan pahatan benda-benda temuannya dalam susunan kocar-kacir yang tampaknya menentang gravitasi. Pembukaan 26 Januari adalah Potheads, pameran grup yang menampilkan karya Derek Weisberg, Anousha Payne, Charles Snowden, Debra Broz, Wade Tullier, dan banyak lagi. Menurut Wilson, Swivel Gallery menyumbangkan 10% dari hasil penjualan ke organisasi nirlaba lokal dan telah berjanji untuk terus melakukannya tanpa batas waktu. — VD

Swivel Gallery (swivelgallery.com)

329 Nostrand Avenue, Bed-Stuy, Brooklyn

 

Works by Elena Redmond (left) and Rachael Tarravechia (right) at Tchotchke Gallery 

Tchotchke Gallery

Terselip di ruang bawah tanah Williamsburg – yang secara ajaib bermandikan cahaya alami – Danielle Dewar dan Marlee Katz membuka lokasi permanen pertama Tchotchke Gallery setelah dua tahun mempertahankan kehadiran online dan pop-up karena pandemi. Pameran Kepulangan, yang ditampilkan hingga 11 Februari, adalah pameran ke-20 mereka tetapi hanya pertunjukan fisik mereka, dan menampilkan lukisan karya empat seniman Tchotchke – Josiah Ellner, Debora Koo, Elena Redmond, dan Rachael Tarravechia. Sementara karya mereka menggambarkan subjek yang sangat berbeda, Homecoming adalah ode yang kohesif untuk warna dan ingatan pribadi. Karya berskala besar Ellner yang penuh semangat mempertimbangkan hubungan manusia dengan alam, dan lukisan Koo yang detail menggambarkan momen-momen tertentu dalam hidupnya (semuanya berpusat pada makan makanan penutup) dengan perhatian yang cermat terhadap cahaya dan waktu. Sosok Redmond memadukan fantasi dan kenyataan, dan kehidupan Tarravechia yang cerah mengilustrasikan ruang interiornya sendiri. Pendiri Dewar dan Katz keduanya tinggal di dekat ruang baru mereka, dan sebagian besar seniman yang bekerja dengan mereka juga tinggal di sekitar Williamsburg. “Kami senang menjadi bagian dari lingkungan tempat tinggal kami,” kata Dewar. “Kami benar-benar ingin fokus untuk menyediakan komunitas dan ruang bagi seniman kami, bukan hanya kolektor kami.” —Elaine Velie

Galeri Tchotchke (tchotchkegallery.com)

311 Graham Avenue, Williamsburg, Brooklyn

 

Works by Keiko Narahashi on view at Tappeto Volante in 2022 (courtesy the gallery)

Tappeto Volante

Kurator Italia Paola Gallio membuka Tappeto Volante Projects pada Mei 2022 setelah pindah dari Lower East Side, tempat dia ikut mengelola Ruang Pertemuan galeri feminis. Sebuah produk dari era pandemi, ruang proyek baru Gallio di 13th Street memadukan pameran dan studio, menampung seniman lokal bergilir, banyak di antaranya berkontribusi pada survei tahunan mereka, La Banda. “Tappeto volante” berarti “karpet terbang” dalam bahasa Italia, dan galeri bersandar pada fantasi dan konseptual dalam eksplorasi identitas kolektifnya, termasuk metafisika perendaman dan mimpi kreatif. Karena itu, Gallio mendengarkan kecenderungan luhur dan sering berpindah-pindah dari banyak komunitas seni New York. On view now adalah presentasi solo karya seniman multidisiplin Sig Olson, yang dikuratori oleh Ksenia M. Soboleva hingga 22 Januari. — Billy Anania

Tappeto Volante (tvprojectspaceship.com)

126 13th Street, Gowanus, Brooklyn

 

 

View of works by Debbi Kenote, Christopher Daharsh, Abelardo Cruz Santiago, and Matt Logsdon at Field of Play in 2022 (photo by Masaki Hori; courtesy Field of Play)

Field of Play Gallery

Artis Park Slope, Matthew Logsdon, mengubah ruang depan ruang Gowanus Creative Studios miliknya pada Oktober 2022 untuk membuat galeri barunya, Field of Play. Dengan Astroturf melapisi lantai, “bidang” ini – atau “kubus hijau”, jika Anda mau – bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara seni dan olahraga, yang mencerminkan latar belakang profesional Logsdon sebagai pelatih pribadi. Dalam ruang kecil, Logsdon dan seniman yang dia tunjukkan membahas masalah yang lebih besar seputar makna maskulinitas dan kekuasaan, sering kali menghubungkan karya yang dipamerkan dengan latihan tertentu. Sambil menyambut anggota komunitas pada resepsi pembukaan, Field of Play juga menyelenggarakan semua pamerannya secara online untuk meningkatkan aksesibilitas. — BA

Field of Play Gallery (instagram.com/fieldofplaygallery)

56 2nd Avenue, Gowanus, Brooklyn

 

 

Installation view of All Mine, You Have to Be at Tutu Gallery in 2020, with works by Rhea In and Kelsey Tynik (photo by April Yueyi Zhu; courtesy Tutu Gallery)

Tutu Gallery

Di ruang tamu apartemen Bed-Stuy miliknya, April Zhu telah menciptakan ruang galeri intim bernama Tutu (yang juga merupakan nama kucingnya), menutupi hampir setiap inci dinding dan ruang langit-langit dengan karya seni. Dia memberi tahu Hyperallergic bahwa saat kuliah di Pennsylvania, dia melakukan improvisasi pameran di ruang bawah tanah dan bangunan tempat tinggal. “Begitulah cara saya merasa paling nyaman dengan seni,” kata Zhu. Setelah dia pindah ke New York City, Zhu ingin menciptakan kembali komunitas informal dan erat yang dia alami selama masa kuliahnya, jadi dia memutuskan untuk mengolahnya langsung di ruang tamunya. Saat ini, dia berfokus pada seniman internasional dan menggunakan Tutu untuk membantu mereka masuk ke kancah seni New York. — EV

Tutu Gallery (tutugallery.art)

Willoughby dan Stuyvesant Avenue, Bed-Stuy, Brooklyn

 

 

Josephine Sundari Devanbu’s works at Kaje

Kaje

Sebuah kereta bermotor berjalan di sepanjang jalan berkelok-kelok di tengah ruang Kaje, di samping etalase yang menampilkan benda-benda replika yang terbuat dari batang sabun Dial tua – digambarkan oleh seniman kontributor Josephine Sundari Devanbu sebagai “the everyman’s marble.” Intervensi kamp tinggi ini saat ini dapat dilihat di ruang Gowanus dari organisasi nirlaba, yang akan meresmikan pos dua lantai barunya pada November 2021. Pameran berjudul Just About in the Round, dikuratori oleh Elizaveta Shneyderman dan juga akan menampilkan karya-karya oleh Nikolaus. Cueva, Gregory Kalliche, Ignas Krunglevicius dan Huidi Xiang, dalam tampilan hingga 12 Februari. Memburamkan batas antara ekspresi kreatif, iklan, dan konsumsi, Kaje menghadirkan seni dan efemera ke setiap sudut, mulai dari layar video kecil yang dipasang di dinding hingga balok beton acak yang menonjol keluar dari tanah. Mereka dengan cerdik menutupi di mana seni dimulai dan diakhiri dengan huruf kapital A. – BA

Galeri Kaje (kaje.dunia)

74 15th Street, Gowanus, Brooklyn

 

 

“B” Dry Goods

The Masks We Wear at “B” Dry Goods Gallery

Pada bulan Desember, Gabe Boyers membuka galeri “B” Dry Goods miliknya di blok Crown Heights yang sama tempat keluarganya menjalankan bisnis dari tahun 1920-1969. Latar belakang Boyer dan “Back of the House Business” -nya adalah buku dan manuskrip langka, tetapi dipameran saat  ini, The Masks Wear, menampilkan media dari lukisan hingga patung. Pameran yang berlangsung hingga 23 Februari ini memiliki nuansa pameran museum yang dikurasi dengan ahli. Beberapa karya dibuat oleh seniman yang masih hidup, beberapa berusia ratusan tahun, tetapi semuanya menampilkan orang yang memakai pelindung wajah. Boyers mengatakan idenya dimulai dengan topeng pandemi COVID-19. “Ini adalah fitur dari keberadaan kami bahwa kami saling memandang dan tidak melihat gambaran besarnya,” kata Boyers. “Dan bagaimana itu mengubah cara Anda melihat orang dan cara Anda memandang dunia dan mengetahui bahwa itulah cara orang melihat Anda.” – EV

“B” Dry Goods (bdrygoods.com)

679 Franklin Avenue, Crown Heights, Brooklyn

 

 

Footnote Project Space in Gowanus showing works by Karen Mainenti and JoAnne McFarland

Footnote Project Space

Terletak di lantai pertama sebuah gedung milik seniman di Union Street — yang, menurut pendirinya Sasha Chavchavadze, telah membantu membuka pintunya sejak Oktober 2021 — Footnote Project Space mendasarkan programnya dalam ingatan, narasi yang terlupakan, dan karya wanita -identifikasi seniman. Lukisan dan instalasi dari sesama penyewa gedung, seniman yang dipenjara, dan kolektif feminis lokal mengatasi stereotip mode, budaya industri Gowanus, dan ikon diaspora Afrika Brooklyn yang kurang dikenal, di antara banyak subjek lainnya. Disajikan sebagai rangkaian pameran dan instalasi yang berkelanjutan, organisasi ini mengangkat hal-hal yang terlalu sering diturunkan ke “catatan kaki” sejarah. Footnote juga berkolaborasi dengan Artpoetica, ruang proyek lain, dijalankan oleh seniman dan kurator JoAnne McFarland di gedung yang sama. — BA

Ruang Proyek Catatan Kaki (footnoteproject.org)

543 Union Street, #1F, Gowanus, Brooklyn

It’s Pablomonium! A Bonanza of Major Picasso Shows Will Hit Dozens of Museums in 2023 to Mark 50 Years Since the Artist’s Passing

Institusi mulai dari Centre Pompidou hingga Mint Museum di North Carolina berpartisipasi.

Vittoria Benzine, 12 September 2022

Pablo Picasso di studionya di Paris. Foto: Bettmann / Kontributor, milik Getty Images.

 

 

8 April 2023, akan menandai peringatan 50 tahun kematian Pablo Picasso, dan untuk merayakan warisan seniman yang tak tertandingi, museum di seluruh dunia mengadakan pertunjukan besar-besaran.

Sebuah komisi yang diselenggarakan oleh pemerintah Prancis dan Spanyol telah mengoordinasikan 42 pameran di lembaga-lembaga top Eropa dan Amerika, dari Centre Pompidou hingga Museum Mint di Carolina Utara, semuanya di bawah bendera “Perayaan Picasso 1973-2023”.

Upaya tersebut “bertujuan untuk menyoroti karier seorang seniman Eropa yang pada dasarnya, dengan pengetahuan mendalam tentang warisan dan prinsip-prinsip tradisi, serta pemahaman tentang klasisisme sebagai nilai etis dan isu-isu modern dalam seni, telah diproyeksikan ke seluruh dunia. simbol universal dunia,” bunyi pernyataan dari komisi.

Menteri kebudayaan dari Prancis dan Spanyol keduanya muncul di depan lukisan Picasso Guernica di Museum Reina Sofía Madrid hari ini untuk konferensi pers untuk memulai perayaan (meskipun pameran pertama, di Kunstmuseum Basel, dibuka Juni lalu).

Fundación Mapfre akan membuka pertunjukan berikutnya, di Madrid, pada 23 September 2022. Secara total, perayaan tersebut akan mencakup 16 pameran di Spanyol, 12 di Prancis, tujuh di AS, dan tujuh lainnya antara Jerman, Swiss, Monako, Rumania, dan Belgia. Pesta akan diadakan di sisi Atlantik ini pada tanggal 20 Oktober 2022, saat Museum Seni Metropolitan membuka “Cubisme et la tradition du trompe-l’œil”.

 

The Met juga akan menjadi tuan rumah acara Picasso kedua berjudul “Les peintures pour Hamilton Easter Field”, dibuka satu tahun dari hari ini.

 

Guernica

The tapestry of Pablo Picasso’s Guernica rehung outside the United Nations Security Council Chamber. Courtesy of the United Nations.

 

Banyak pertunjukan akan menampilkan penyelaman mendalam ke aspek karir Picasso yang terlupakan, mulai dari teknik hingga narasi pribadi. Pertunjukan pertama The Met, misalnya, “akan menawarkan pandangan baru yang radikal tentang Kubisme dengan menunjukkan keterlibatannya dengan tradisi kuno lukisan trompe l’oeil.”

Guggenheim akan membuka “Young Picasso in Paris” pada 12 Mei 2023, berpusat di sekitar Le Moulin de la Galette karya Picasso. Ini akan mengeksplorasi transformasi yang dipicu oleh ziarah pertama Picasso di Paris sambil mendemonstrasikan “latihan cerdas dalam studi karakter”, kata sebuah pernyataan.

Orang lain akan membawa praktik Picasso ke zaman sekarang, bahkan menantang warisannya dalam konteks budaya saat ini. Pada bulan Juni 2023, Museum Brooklyn akan membuka pertunjukan yang dikuratori oleh komedian Australia Hannah Gadsby bersama Lisa Small dan Catherine Morris yang menampilkan “evaluasi ulang praktik dan penerimaan Picasso melalui lensa feminis”.

Setiap institusi yang berpartisipasi dalam “Picasso Celebration” akan mendistribusikan “kapsul” video untuk setiap pameran, yang disiarkan dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Inggris. Tahun depan juga akan melihat pembukaan Pusat Studi Picasso baru di Musée National Picasso-Paris, menggunakan arsip institusi untuk membuat pusat penelitian, portal digital, dan “ruang istimewa untuk pertukaran ilmiah dan karya peneliti dari seluruh dunia. Dunia.”

6 Fakta Unik Lukisan Mona Lisa yang Terkenal, Siapa Dia Sebenarnya?

 

Nama aslinya bukan Mona Lisa, lho

 

lukisan Mona Lisa (pixabay.com/WikiImages)

 

Jika ada yang bertanya lukisan mana yang paling populer di dunia, Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci mungkin jawabannya. Bahkan, Mona Lisa yang dipajang di Louvre di Paris sejak 1797 berhasil menarik jutaan wisatawan ke Paris dari seluruh dunia. Beberapa dari mereka hanya datang karena penasaran.

Namun percaya atau tidak, banyak juga turis yang datang berkali-kali dan mengaku jatuh cinta dengan tokoh dalam lukisan tersebut , di sini enam fakta di balik lukisan Mona Lisa yang terkenal, siapa dia?

  1. Nama aslinya bukan Mona Lisa

Selama bertahun-tahun, banyak ahli memperdebatkan siapa sebenarnya karakter di balik lukisan Mona Lisa. Sedikit yang tidak percaya bahwa tokoh Mona Lisa dalam lukisan itu adalah Leonardo Da Vinci sendiri. Padahal, tokoh dalam lukisan tersebut bukanlah Leonardo Da Vinci, melainkan seorang wanita bernama Lisa Gherardini.

Lisa Gherardini adalah istri mantan orang kaya Italia Francesco del Giocondo. Pada 1503 Francesco bertemu Leonardo Da Vinci dan meminta seniman terkenal itu untuk melukis istrinya, yang sangat dia cintai. Kenapa harus namanya Mona Lisa? Itu karena Mona Lisa berarti “My Lady Lisa” dalam bahasa Italia.

  1. Leonardo Da Vinci tidak benar-benar menyelesaikan lukisan ini

Mona Lisa memang merupakan salah satu karya terbaik Da Vinci, namun siapa sangka Da Vinci sendiri tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Sejak ditugaskan pada 1503, Da Vinci membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

Pada tahun 1517  Raja François I memintanya untuk pindah ke Prancis. Akibatnya, lukisan Mona Lisa dan proyek lainnya pun harus dipindahkan. Pada akhirnya, Da Vinci tidak pernah menyelesaikan lukisannya.

Karena dua tahun setelah pindah ke Prancis, Leonardo Da Vinci menderita stroke dan meninggal dunia. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Kapel Saint Hubert di Prancis.

  1. Mona Lisa tinggal di kamar tidur Napoleon Bonaparte selama bertahun-tahun

Setelah Da Vinci pergi, Raja François I memamerkan Mona Lisa dan beberapa lukisan lainnya di Kastil Fontainebleau. Seratus tahun kemudian, Louis XIV memindahkan mereka ke Grand Palace of Versailles. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa pada abad ke-18, lukisan ini dipindahkan ke Istana Tuileries, di mana lukisan itu disimpan di kamar tidur Napoleon selama empat tahun.

Namun, kehadiran Mona Lisa di kamar kaisar menjadi awal ketertarikan Napoleon pada seorang wanita cantik asal Italia bernama Teresa Guadagni, yang ternyata merupakan keturunan dari Lisa Gherardini.

  1. Pencuri membuat Mona Lisa terkenal

Pada 21 Agustus 1911, Mona Lisa dicuri dari kopernya di Louvre. Hebatnya, begitu berita pencurian itu tersiar, ribuan orang Prancis berbondong-bondong meratapi ruang kosong yang ditinggalkan oleh Mona Lisa. Untungnya, kasus pencurian ini berhasil diungkap dua tahun kemudian.

Seorang Italia bernama Vincenzo Peruggia, yang juga mantan karyawan Louvre, ditangkap di Florence setelah tertangkap mencoba menjual lukisan Mona Lisa ke salah satu galeri seni lokal. Meski mencoba menjualnya, alasan utama Peruggia mencurinya bukan karena butuh uang, tapi karena percaya bahwa Mona Lisa adalah aset milik rakyatnya.

  1. Dua pria bunuh diri karena jatuh cinta padanya

Napoleon bukan satu-satunya pria yang jatuh cinta pada pesona Mona Lisa. Sejak dipamerkan di Louvre pada 1797, ribuan orang datang ke lukisan itu, meninggalkan puisi dan bunga. Lebih gila lagi, beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena perasaannya.

Korban pertama adalah seniman abad ke-19 bernama Luc Maspero. Suatu hari di tahun 1852, Luc memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar hotel lantai empatnya.

Luc berkata dalam sebuah catatan yang dia tinggalkan: “Selama bertahun-tahun saya berjuang dengan senyumnya. Saya lebih baik mati.” Enam puluh tahun kemudian, seorang pria memutuskan untuk menembak kepalanya sendiri karena alasan yang sama.

  1. Mona Lisa tidak akan pernah dijual

Lukisan Gioconda, yang dibuat pada tahun 1503 oleh seniman sekelas Leonardo Da Vinci, tidak diragukan lagi sangat berharga. Betapa tidak, saat lukisan ini dipinjamkan ke beberapa museum pada tahun 1960, Louvre mengamankan lukisan tersebut hingga USD 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun.

Setelah sepuluh tahun, harga lukisan ini meningkat secara signifikan. Toh setelah hebohnya turis untuk bertemu dengan Mona Lisa, jelas pihak museum tidak akan pernah merilis lukisan ini dengan biaya berapa pun.

 

Terlepas dari beberapa fakta unik tentang lukisan Mona Lisa, lukisan ini tetap merupakan karya yang luar biasa. Bukan hanya karena harga atau artis yang membuatnya, tetapi karena sejarahnya yang lebih dari 500 tahun, yang membuat Mona Lisa begitu tak ternilai harganya.

 

 

Philip Taaffe Digs Deeper Into the Rabbit Hole

Tampaknya Taaffe melihat masa kini sebagai peristiwa kepunahan, dan salah satu tujuan melukis adalah untuk mewariskan beberapa catatan sejarah dan waktu ke masa depan.

oleh John Yau 20 Desember 2022

Philip Taaffe, “Prior Pedro” (2022), mixed media on panel, 14 1/8 inches x 26 1/8 inches

Philip Taaffe, “Prior Pedro” (2022), media campuran pada panel, 14 1/8 inci x 26 1/8 inci (semua gambar © Philip Taaffe; foto oleh Farzad Owrang, milik seniman dan Luhring Augustine, New York)

Saya sebelumnya menyamakan Philip Taaffe dengan seorang sarjana-alkemis, seorang juru tulis, seorang pelihat, dan penginduksi keadaan trans di era digital. Seorang master teknis yang telah menggunakan teknik yang berbeda seperti marbling, decalcomania, silkscreen, linocuts, kolase, stensil, dan stempel karet dalam karyanya, Taaffe menggambarkan karya seninya kepada pembuat film visioner hebat Stan Brakhage sebagai “semacam sinema yang mengkristal”. Permukaan kristal mencerminkan simetri internalnya, sedangkan film adalah membran yang dilalui cahaya. Seperti yang saya lihat, Taaffe ingin mensintesis simetri dan lapisan untuk mencapai keadaan antara, seperti dalam proses perubahan. Di dunia itu, pola hias dan fosil menjadi bentuk yang signifikan, sedangkan seni grafis dan kolase mengambil karakter lukisan. Sejak awal, ada sesuatu yang segar dan menantang tentang Taaffe, yang tidak mengandalkan gestur dan geometri, penjaga sekolah New York, untuk membuat karya besar dan ambisius.

 

Dalam pamerannya kali ini, Philip Taaffe di Luhring Augustine Tribeca (12 November–22 Desember 2022), saya menemukan bahwa seniman tersebut telah mengembangkan teknik grafis baru dalam karyanya selama pandemi. Menurut siaran pers galeri:

 

Saat dunia menarik diri ke dalam isolasi pada tahun 2020, Taaffe memulai penyelidikan lebih dalam terhadap eksperimen grafis tertentu yang telah dia jelajahi terus-menerus, tetapi sekarang dengan fokus yang lebih intensif. Selama dua tahun terakhir, Taaffe telah terlibat dengan proses monotipe menggunakan tinta litograf pada pelat kaca, yang disebutnya sebagai “pengikisan lito”. Taaffe’s “litho-scraping” terhubung kembali ke serangkaian karya tahun 2010 di atas kertas di mana dia menggunakan teknik transfer decalcomania. Ketertarikannya pada teknik transfer menggemakan apa yang terjadi dengan fosil yang diawetkan, jejak apa yang ditinggalkan. Ini membantu menjelaskan minatnya pada arsip dan lemari barang antik.

Philip Taaffe, “Nimphe Fiorentine” (2022), mixed media on panel, 14 inches x 13 inches

Philip Taaffe, “Nimphe Fiorentine” (2022), media campuran pada panel, 14 inci x 13 inci

Saya selalu menganggap Taaffe sebagai seorang seniman yang turun ke lubang kelinci, menggali lebih dalam dan lebih dalam ke subjek dan melanjutkan untuk membuat koneksi yang tidak biasa dan imajinatif. Pamerannya saat ini menegaskan perasaan saya. Dia kebanyakan menghindari karya berskala besar yang cukup nyaman baginya, alih-alih menampilkan sekitar 50 panel dan karya di atas kertas, semuanya bertanggal 2021 atau ’22. Beberapa di antaranya berbentuk kolom, berukuran tinggi sekitar enam kaki tetapi lebarnya kurang dari enam inci. Lainnya adalah karya di atas kertas yang berukuran tidak lebih dari sembilan kali sembilan inci. Setiap pengelompokan tampaknya muncul dari salah satu eksplorasi berkelanjutan Taaffe ke dalam hubungan antara citra dan proses, figur dan dasar. Secara komposisi, dia tertarik pada simetri, atau pencerminan, dan meruntuhkan hubungan figur-ground sedemikian rupa sehingga menjadi sulit untuk membedakan satu dari yang lain, minat yang tidak murni formal.

Philip Taaffe, “Painting with Diatoms and Shells I” (2022), mixed media on canvas, 24 1/2 x 39 inches

 

Seorang seniman yang pengaturan gambarnya telah mendorong perbandingan yang berguna dengan fotografer botani Jerman Karl Blossfeldt dan lemari keingintahuan, menurut saya perubahan baru-baru ini dalam seninya berkaitan dengan meningkatnya kerentanan dunia terhadap pandemi dan kepunahan. Berbeda dengan karya sebelumnya, di mana elemen dan dasar kolase terintegrasi tetapi berbeda, hubungan dalam karya seperti “Prior Pedro” dan rangkaian tiga lukisan bernomor, “Lukisan dengan Diatom dan Kerang,” mengingatkan “mengkristal bioskop” serta fosil yang tersembunyi di bebatuan yang tidak terpoles.

 

Saya harus melihat “Nimphe-Fiorentine” (2022) untuk waktu yang lama sebelum bentuk kehidupan mulai muncul dari tanah yang dicat dan tergores. Semakin saya duduk dengan karya-karya dalam pameran ini, skala dan tingkat keterbacaan (atau ketidakterbacaan) yang berbeda, semakin saya memikirkan penguncian seluruh kota. Tidak ada hubungan literal antara karya-karya ini dan isolasi yang dialami banyak orang dalam beberapa tahun terakhir. Taaffe tidak pernah topikal. Namun begitu saya membuat hubungan ini, saya tidak dapat melepaskannya, dan saya harus memikirkan kembali pemahaman saya tentang seniman tersebut, terutama karena dia telah menggunakan gambar fosil, kadal, kupu-kupu, dan burung dalam karya sebelumnya. Mengapa tenor emosional dari karya-karya ini terasa berbeda dari karya sebelumnya?

 

Philip Taaffe, “Columnar Figure IV (Chthonic)” (2022), mixed media on panel, 72 x 6 inches

Philip Taaffe, “Melukis dengan Diatom dan Kerang I” (2022), media campuran di atas kanvas, 24 1/2 x 39 inci

Beberapa seniman mencoba membuat karya seni yang ada di luar waktu sejarah; mereka mengklaim bahwa peristiwa terkini tidak berdampak pada output mereka. Yang lain membuat sebagai tanggapan atas berita hari ini. Saya rasa kasusnya tidak jelas dalam hal Taaffe. Selama tahun 1980-an, ketika dunia seni sedang mengapropriasi dan menipu

Maya Ruiz-Picasso, the Eldest Daughter of Picasso and Keeper of His Legacy, Has Died at Age 87

Hubungan Ruiz-Picasso dengan ayahnya menjadi subjek pameran terkini di Museum Picasso di Paris.

Richard Whiddington, 22 Desember 2022

 

Maya Ruiz Picasso

Maya Picasso di depan potretnya di Paris, Prancis pada 15 Oktober 1996. Foto: Alain Benainous / Gamma-Rapho via Getty Images.

 

Maya Ruiz-Picasso, putri sulung Pablo Picasso yang menjadi kepala pelindung warisan ayahnya, telah meninggal dunia di Paris. Dia berusia 87 tahun.

Jika pertanyaan yang begitu sering dihadapi oleh keturunan seniman monumental adalah bagaimana mendefinisikan diri di bawah bayang-bayang selebriti, Ruiz-Picasso menjawab terlebih dahulu dengan menciptakan sedikit jarak, baik secara profesional maupun geografis, sebelum, pada waktunya, membenamkan dirinya dalam oeuvre Picasso. dan menjadi sumber masuk bagi pedagang seni, rumah lelang, dan kolektor.

 

Setiap keengganan awal tidak ada hubungannya dengan antipati. Itu adalah hubungan ayah-anak dengan pengabdian dan kelembutan yang luar biasa. Bagaimanapun, dia adalah putri satu-satunya dan menamai Maria setelah kematian saudara perempuannya yang berusia 14 tahun menghantui sang seniman. Sebagai seorang anak, Picasso menyayangi Maya, mengubah benda-benda yang diselamatkan menjadi mainan di tengah tahun-tahun penghematan Perang Dunia Kedua, membawanya ke kafe jazz dalam perjalanan mingguannya ke bank, dan, tentu saja, mengabadikannya di atas kanvas, terutama dalam lukisan tahun 1938 Maya dengan Boneka.

 

lukisan picasso

Pablo Picasso, Maya à la poupée [Maya dengan Boneka], Paris, 16 Januari 1938. Musée National Picasso-Paris © RMN-Grand Palais (Musée National Picasso-Paris) / Adrien Didierjean.

 

Lahir di pinggiran barat Paris dari pasangan Marie-Thérèse Walter pada tahun 1935, Maya tumbuh di antara ibu kota dan Royan, sebuah kota pesisir di Prancis barat daya. Setelah belajar di Madrid dan bekerja di rumah sakit Barcelona, dia kembali ke Paris pada akhir 1950-an, bekerja di penerbitan dan aktivisme—dia sempat menjadi asisten Josephine Baker.

 

Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1973, Maya mengambil peran untuk melestarikan dan menjaga warisannya. Dia ingat saat di tahun 1940-an ketika Picasso bersinar, dengan beberapa orang menyebutnya penipu dan penipu. Dan dia memastikan ini tidak pernah terjadi lagi, katanya, ini adalah “misinya”. Itu melibatkan perakitan dan pengorganisasian arsip besar oeuvre-nya dan menjadi autentikator utama karyanya, tugas yang dia lakukan ribuan kali hingga penglihatannya hilang pada pertengahan 2010-an.

 

picasso dan Maya

Pablo Picasso dan Maya Widmaier-Picasso di pantai. Golfe-Juan 1954.

 

Putrinya Diana Widmaier-Picasso telah menjalankan bisnis keluarga, terakhir dengan mengadakan dua pameran yang terhubung di Museum Picasso di Paris, yang didirikan setelah kematian sang seniman. Yang pertama menampilkan karya pilihan yang diberikan kepada negara Prancis alih-alih pajak warisan. Yang kedua, “Maya Ruiz-Picasso: Daughter of Picasso,” secara langsung mengeksplorasi hubungan ayah-anak melalui potret, puisi, sketsa, dan pernak-pernik artis Spanyol tahun 1930-an.

 

Maya senang dengan keputusan putrinya untuk melanjutkan pekerjaannya. “Yang terpenting, saya ingin melindungi pekerjaan ayah saya dan memastikannya dihormati,” katanya dalam wawancara di awal tahun 2022. “Saya yakin apa yang dilakukan Diana adalah buah dari apa yang dimulai dengan ayah saya dan Marie-Thérèse. Saya pikir pameran ini adalah upaya yang berhasil untuk mewakili semangat suci yang mengikat kita semua.”

 

Dia meninggalkan suaminya Pierre Widmaier, seorang raja perkapalan, putranya Olivier Widmaier-Picasso, seorang aktor, dan Diana Widmaier-Picasso, seorang kurator dan sejarawan seni.

 

di terjemahkan dari Artnet News

Artefak Anomalien, Sebuah Arketipe

Artefak Anomalien, Sebuah Arketip

 

 

Topik yang paling sexy dalam studi ufologi adalah alien purba atau ancient aliens. Kunjungan makhluk dari dunia lain ke planet Bumi yang terjadi di masa lalu dan melakukan interaksi dengan peradaban manusia waktu itu. Jejak-jejak itu sebagian masih bisa kita amati saat ini melalui peninggalan artefak yang tersebar di berbagai penjuru bumi, terutama di pedalaman. Memang, dalam kurun waktu ribuan tahun, jika suatu tempat ditinggalkan oleh manusia, maka alam akan kembali menjadi penguasanya.

Anciet Giant

Anciet Giant

Ketika peneliti arkeologi dan antropologi modern melakukan risetnya, sering menjumpai hal-hal yang sulit untuk dijelaskan atau bersifat anomali. Tentu banyak upaya dilakukan untuk mencari penjelasan dari artefak anomali ini. Erich von Daniken, salah seorang pakar ancient astronaut, membangun sebuah teori tentang adanya kunjungan makhluk dari luar bumi di zaman nenek moyang kita. Teorinya memang kontroversial, namun tetap menimbulkan rasa penasaran dan ingin tahu lebih lanjut.

Pameran Tunggal

The Extinctions

Apa yang divisualkan oleh Faisal Amir dalam karya-karyanya yang ditampilkan di pameran Anomalien ini, bagi saya yang menekuni bidang UFO dan alien sejak tahun 70an, bukan sekedar fiksi atau fantasi. Artefak-artefak serupa memang telah ditemukan meski masih banyak perdebatan tentang hal itu. Menurut saya itu adalah hal biasa di kalangan akademisi.

Kalau kita pernah mengikut tayangan serial History Channel mengenai Ancient Aliens, apa yang disampaikan oleh mas Faisal, menunjukkan bahwa kesadaran kolektif kita, merupakan arketipe kita. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang asing. Mungkin kita telah melupakan karena terpendam di alam bawah sadar, namun sejatinya di masa lalu, sangat mungkin telah terjadi interaksi sosial antara nenek moyang dengan pengunjung dari dunia lain yang terekam dalam lukisan dinding di gua-gua atau diabadikan dalam bentuk patung-latung dengan media sesuai zamannya. Maka tak heran, jika kita menjumpai banyak artefak yang aneh, dianggap anomali, namun ketika melihatnya, sepertinya hal itu akrab dengan kesadaran kita.

Teori ancient aliens sendiri makin berkembang dengan makin banyak peneliti dan pemikir, seperti Zecharia Sitchin, Robert Bauval, Graham Hancock, Robert Temple, Giorgio Tsoukalos dan masih banyak lainnya. Ada yang mengkhususkan diri dalam bidang penyelidikan piramid kuno, peradaban masa lalu yang hilang, koneksi para tetua dan shaman dengan entitas dari dunia lain, hingga ekspedisi reruntuhan bangunan kuno di pedalaman.

Yang menarik di sini, peninggalan yang bisa kita temukan, sepertinya tak jauh berbeda dengan fenomena alien yang ada saat ini. Faktor budaya daerah masing-masing pasti berpengaruh sebab kita dibentuk secara konstruksi sosial. Namun satu hal yang kita sadari, banyak penemuan artefak purba yang sangat unik dan sulit untuk dijelaskan. Belum lagi ada juga temuan benda-benda yang tidak sesuai dengan jamannya, misalnya ditemukan sebuah pegas di dalam sedimen batuan yang umurnya jutaan tahun. Semua ini merupakan anomali, dan apa yang ditampilkan mas Faisal melalui karya seninya, semoga memberikan awareness dan menggugah atau membangunkan arketipe para penikmatnya.

 

Surabaya, 1 November 2022

Nur Agustinus

Co-Founder BETA-UFO Indonesia

Penulis dan Peneliti Ufologi

NOISE

Noise

Anton Rais Makoginta

Antah sapek antah mantilau
Ramo ramo di dalam gantang
Antah dapek antah kok silau
Kaba lah lamo tak baulang
Tambilang di rumpun lansek
Di baliak batang kayu patai
Dibilang sado nan dapek
Nan tingga untuak rang pandai
Tatkalo jarek ka dikambang
Jatuah badarai bungo lado
Tatkalo surek dikambang
Cucua badarai isi kapalo
Pilin-bapilin rotan sago
Kaik-bakaik aka baha
Sajak di langik tabarito
Tibo di bumi jadi kaba
Palupuah tadia nan dibantangkan
Puti batanun suto perak
Sungguahpun kaba nan disampaikan
Suri tuladan untuak rang banyak

Kata ‘noise’ sudah siang bagaikan hari, terang bersuluh bulan, bergelangang di mata orang ramai. Tidak perlu lagi kita sigi dedahkan asal usul, pengertian katanya, barangkali ceritera ini sangat cocok mengena di awal tulisan ini. Tengah malam dua karib sedang berbicara melalui telepon, tiba-tiba hujan deras mengguyuri tempat mereka masing-masing. Pembicaraan menjadi tidak jelas, bertumpuk dengan deraunya hujan, mereka mencari posisi agar kebisingan tersebut terminimalisir dan pembicaraan berlanjut kembali. Suasana tersebut merupakan gambaran dari noise, dalam hal ini hujan hadir sebagai pengabur pembicaraan, pengganggu topik utama pembicaraan mereka. Namun bagi orang lain hujan yang turun di saat itu memang hal yang ditunggu untuk membuat tidur lebih lelap, juga ada yang menunggu untuk pengairan sawahnya. Polah mereka yang mencari posisi untuk meminimalisir adalah sifat adaptif terhadap lingkungan sekitar, karena hujan bukan berada atas kehendak dan diciptakan oleh mereka sendiri.
Hakikat dari noise adalah mampu mengaburkan hal substantif atau hal yang utama, walaupun yang membuat kabur tersebut dengan beradapatasi akan sanggup pula menjadi hal utama nantinya sesuai dengan waktunya berproses. Memperhatikan perbincangan Jim Supangkat di kanal youtube galeri nasional belakangan ini dengan tegas beliau menyatakan, bahwa seni rupa indonesia hidup di atas mitos-mitos art barat (eropa barat-amerika). Hal tersebut berangkat dari pemikiran bahwa seni rupa tidak niscaya setua kebudayaan manusia, seni rupa juga tidak serta merta bisa dianggap gejala universal yang muncul pada semua bangsa di dunia di segala zaman, art adalah tradisinya orang barat.
Berabad-abad lamanya cikal bakal negara yang bernama Indonesia ini dikolonialisasi, dijerat, diikat, dimasuki seni rupa yang lebih moderen. Sehingga praktik-praktik seni rupa sebelumnya dinyatakan sebagai hal yang kuno, dijadikan kajian penelitian arkeologi dan antropologi. Setelah merdeka sampai sekarang penulisan-penulisan, baik tulisan kurator ataupun kritikus seni, pencapaian seniman selalu dibandingkan atau dirujuk pada perupa-perupa barat. Misalnya seniman Indonesia mengolah ready made, barang tentu tulisan itu akan dipenuhi tentang Marchel Duchamp. Contoh lainnya gerakan kolektif seni di Indonesia pada akhir-akhir ini, akan dicari bahwa di barat telah lama muncul kolektif yang mereka namai dengan guild di beberapa tempat, dan lagi-lagi kelompok Dada di Jerman sebelum diboyong ke Amerika dibicarakan. Walaupun tujuan tersebut salah satu usaha menempatkan atau mengakui capaian-capaian perupa dengan perkembangan seni rupa global, tetapi ia tetap menempel, mengekor, menganggu, bising, noise. Artinya seni rupa Indonesia itu sebenarnya adalah noise bagi perkembangan art.
Praktik demikian akan selalu membawa capaian-capaian perupa Indonesia akan selalu berbau-bau barat, kalau tidak tekniknya, wacananya pun beraroma barat. Apakah kita menyalahkan kondisi demikian? Tentu tidak! Ada sebuah analogi, jika kita pernah ke kota Padang, akan meilihat angkutan umum bebagai modifikasi, malahan sampai ekstrim tak nyaman dinaiki dan kita tidak bisa mengidentifikasi kendaraan tersebut aslinya bagaimana. Orang yang memikirkan untuk menciptakan kendaraan sebagai alat transportasi tentu saja bukan orang Padang, mereka memodifikasi yang telah diciptakan. Kata sederhananya, kita tidak pernah (belum) mampu menciptakan kendaraan, kalau menghias sanggup sekali. Begitulah industri bekerja, dikuasi negara-negara besar, pemilik modal besar, kapitalisme global. Itu juga gambaran bagi seni rupa indonesia, memodifikasi yang telah ada sebelumnya dengan berbagai teknik, bentuk dan wacana yang mengandung keindonesian melihat isu besar nan global.
Untungnya bagi yang terlambat bisa mengambil cotoh pada yang telah sudah dan mengambil tuah pada yang menang, tapi jangan ditelan mentah-mentah karena bisa akan muntah. Industri- industri seni rupa indonesia berkembang pula mengikuti perkembangan yang telah ada di barat, event-event seni rupa merujuk ke sana, mulai dari pameran di galeri komersil, art fair galeri, art fair perupa, projek seni rupa, pun pameran bakaba ini. Tinggal memoles dengan isu-isu lokal dengan level skala pada tingkat global, seperti isu sosial, gender, lingkungan, politik, spritual, identitas, sejarah, ketubuhan dan seterusnya.
Medan seni kita usahakan pula untuk ideal, muncullah para kurator, hadir beberapa galeri, bienal-bienal di beberapa kota, art fair tiap tahun, pertemuan-pertemuan kaum industri seni rupa, pesta antar seniman dengan kolektor dan pelaku lainnya. Itulah usaha adaptasi, dengan cara demikian kita dapat mengikuti arus yang telah diciptakan, arusnya terlalu besar untuk dihadang songsong berhadapan. Tentu saja yang melawan arus tersebut tetap ada, dengan mengucapkan kata maaf karena arus mereka merasa terganggu.
Sakato Art Community sekumpulan ratusan perupa di Yogyakarta dengan sadar memasuki indusrti seni rupa ini, menjaga hubungan dengan orang-orang yang terlibat dengan medan seni merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian. Menetapkan bahwa seni rupa pilihan hidup yang perlu benar diseriuskan, dan nyatanya kebanyakan perupanya bisa hidup pula dengan keseniannya. Uniknya sebagai kolektif, Sakato berusaha memerdekakan individu setiap warganya. Artinya tidak akan lahir satu karya bersama, melainkan karya-karya individu. Kata lainya, kolektif seni demi kepentingan perupa otonom. Keadaan tersebut mampu membuat komunitas ini bertahan sejak 1995 sampai sekarang, 27 tahun sebagai bukti kesanggupan sustainability. Hidup dengan usaha sendiri, walaupun ada dukungan dari pihak tertentu, namun tidak berusaha bertahan dengan memutar proposal pada lembaga-lembaga pendanaan yang memiliki kepentingannya sendiri jua.
Membicarakan capaian-capaian artistik, membentuk hubungan dengan pihak lain tergabung dalam “ota sakato”, semacam diskusi yang tidak ditentukan format, melainkan bercerita saling berbagi pengalaman secara santai, simutan bisa berlangsung di studio masing-masing, di mana pun. Untuk perputaran ekonomi komunitas dan warganya di sekretariat sakato dinamai dengan “merandai pajang”, segala bentuk cipta kreatif ada di sana, dari kerajinan, merchandise, karya seni dalam ukuran kecil bisa dipajang secara bergiliran terus-menerus.
Kenapa dinamai dengan warga sakato? Belakangan sistem sebuah komunitas yang berpatron pada ketua ataupun direktur, hidup bersama yang bersifat hierarkis dirasa tidak cocok dengan karakter anggotanya. Kebetulan kebanyakan anggotanya berlatar belakang budaya yang sama, minangkabau. Budaya yang sesungguhnya tidak mengenal kedudukan hierarkies tersebut, hal inilah yang diubah oleh Belanda pertama kali pada awal abad 19. Sistem berkampung tersebutlah yang diterapkan kembali beberpa tahun belakangan, benar ada yang mengurus tapi keputusan bukan ditangan mereka. Sehingga istilah pengurus dan anggota tidak berlaku bagi komunitas sakato, lebih tepatnya semuanya adalah warga sakato.
Pameran bakaba merupakan salah satu usaha membuat pertemuan antar seniman dengan berbagai kepentingan. Perjumpaan dengan pihak galeri, pertemuan dengan seniman lainnya, perjumpaan dengan kolektor, persuaan dengan berbagai apresian yang bermacam polahnya, tidak memungkinkan adanya kerjasama antar mereka setelah itu, satu hal yang mereka ingat tidak tercerabut sebagai warga sakato.
Dalam bakaba #8:Noise, hampir 100 warga sakato turut serta memerkan karyanya, baik yang baru berkarya sampai yang telah menjalin sebuah kerjasama dengan galeri di manapun, mereka berkumpul pada kesempatan ini, sebanyak itu dan di tempat pameran yang memiliki beberapa ruang, sangat memungkinkan mengklasifikasi pokok perupaan mereka. Misalnya, satu ruang pokok peruapaannya landsacpe, ruang yang lain terdapat karya yang memperlihatkan kemampuan teknik melukis realis, ruang yang lainnya pokok perupaan abstrak, ruang yang berisikan warna-warna gemerlap serta beberapa instalasi dan mural di dalam ruang ataupun di luar ruangan terkelompokkan dengan jelas. Sangat beragam yang akan kita jumpai, semuanya adalah capai-capaian penciptaan warga sakato saat ini, setelah sekitar 4 tahun pameran bakaba tidak digelar.
Karya yang terdapat dalam pameran ini bisa menjadi noise untuk bakaba sendiri. Juga karya yang lain melihat keadaan noise di luar lingkungannya, pada ranah sosio-politik, lingkungan, atau isu global yang begitu banyak dan hangat dibicarakan saat ini. Satu hal yang pasti para warga sakato kebanyakan adalah perupa yang berkarya dan hidup di studio dan sadar dengan industri seni rupa (profesi), itulah pilihan mereka, isu-isu di luar studio mereka serap memalui berbagai informasi, mereka tidak terlalu mengada-ada dengan melakukan sebuah penelitian yang sesungguhnya sangat berjarak dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Pada akhirnya, keadaan seni rupa indonesia berada pada posisi noise, tinggal waktu yang membuktikan bahwa sesuatu yang noise tersebut akan menjadi hal yang utama pula nantinya. Sakato sebagai kolektif seni juga noise bagi kolektif-kolektif yang mengubur kemerdekaan individu di dalamnya, 27 tahun sebagai bukti sakato tetap bertahan hidup di kaki sendiri, merdeka.
Balayia kapa dari Samarang
Banyak mambao suto-suto
Balabuah tantang Painan
Baitu kaba kato urang
Duto urang kami indak sato
Bohong urang kami tak di sinan

 

NOISE

BAKABA #8

NOISE

Menandai Spirit Zaman Dalam Kebisingan Dunia Digital.

Dalam definisi umum, noise diartikan sebagai kebisingan. Definisi ini dapat diperluas menyangkut banyak hal seperti permasalahan politik, sosial masyarakat, religius, hingga kesenian.

Memaknai kebisingan (noise) dalam fenomena seni rupa kekinian, salah satunya dapat kita amati dari mudahnya akses dalam mengapresiasi karya seni dengan bantuan teknologi internet melalui media sosial dan fasilitas digital lainnya seperti katalog digital hingga pameran seni berbasis digital.

Dampak baiknya, seni rupa dapat diapresiasi oleh berbagai kalangan masyarakat. Dalam pameran seni rupa konvensional, sosial media dimanfaatkan untuk mempublikasikan pameran seni, hal ini efektif karena sifat sosial media yang mampu menjangkau banyak orang.

Kita dapat mengamati fenomena pertumbuhan apresian dari golongan pengguna sosial media, kebanyakan apresian golongan ini merupakan anak-anak muda pengguna aktif sosial media yang mengapresiasi karya seni dengan cara mereka sendiri seperti Selfi atau membuat video pendek yang pada akhirnya juga bermuara menjadi konten internet di laman sosial media masing-masing apresian. Dalam konteks ini, sosial media berhasil menciptakan basis apresian dan cara mengapresiasi karya seni yang khas. Fenomena ini juga banyak di apresiasi oleh seniman dengan membuat karya yang bisa mengakomodir cara mengapresiasi seperti ini.

Pada tahun 2015, detik.com memuat berita dengan judul “Jumlah Pengunjung Galeri Nasional Meningkat Karena Tren Selfie”. Pemberitaan ini memaparkan tentang meningkatnya jumlah pengunjung Galeri Nasional karena peran sosial media. Zambrud Setya Negara yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pameran dan Kemitraan Galeri Nasional telah meneliti fenomena ini sejak tahun 2013.

“Pada 2013 lalu jumlah pengunjung sekitar 65.844 pengunjung per-tahunnya. Namun, angkanya melonjak menjadi 109 ribu pengunjung di tahun 2014. Sepanjang 2015 pihak Galeri Nasional Indonesia fokus dan konsisten menyebarkan informasi pameran melalui media sosial. Nominalnya pun naik menjadi 115.863 pengunjung[1].

Statistik pengunjung Galeri Nasional pada tahun 2015 memperlihatkan peningkatan pengunjung pameran yang signifikan. Hal ini pun terjadi di galeri, museum dan bahkan ruang-ruang seni alternatif di Indonesia, bahkan fenomena peningkatan pengunjung pameran ini pun terus berlangsung hingga tahun ini yang didukung dengan berkurangnya kasus covid-19 dan pelonggaran peraturan pemerintah tentang pandemik.

Selain dalam wilayah apresiasi, dampak dari sosial media juga memunculkan fenomena seni rupa dalam wilayah kekaryaan dan kesenimanan. Sosial media menghamparkan ribuan karya seni, memunculkan ribuan seniman-seniman baru, mempublikasikan ribuan pameran seni, yang berlangsung setiap hari, bahkan dalam setiap jam.

Selain hal-hal baik tentang Kemudahan dan kecepatan dalam memamerkan, mengapresiasi dan memproduksi karya seni terdapat konsekuensi yang diterima oleh kesenian itu sendiri seperti plagiarisme, kaburnya klasifikasi seniman, dan minimnya pembacaan karya dalam hal wacana, konsep dan gagasan seniman.

Namun, jika seni berfungsi sebagai penanda zaman, maka konsekuensi ini merupakan konsekuensi atas zaman itu sendiri. Kemudahan teknis yang diberikan oleh teknologi digital memungkinkan setiap orang kini terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan kreatif. Terjadi ledakan kreativitas, dan kreativitas bukan lagi milik kaum genius eksklusif.[2]

Maka tidak heran jika ledakan kreativitas ini dapat kita lihat dari banyaknya karya yang diproduksi dan diunggah di sosial media setiap harinya. Ledakan kreativitas ini memberikan euforia yang secara tidak langsung menenggelamkan fungsi, nilai, dan makna dari karya seni itu sendiri. Selain itu, ledakan kreativitas juga turut memudarkan klasifikasi seniman karena siapa pun pada akhirnya dapat menjadikan dirinya seniman tanpa lagi melewati proses-proses berkesenian secara konvensional.

Hal ini mungkin saja transisi dari perubahan zaman yang begitu pesat semenjak mudah dan murahnya dalam mengakses teknologi internet. Kemungkinan dampak lanjut dan mendasar dari ledakan kreativitas adalah yang bersifat “dekonstruktif”, yakni yang betul-betul mengubah secara radikal pola perilaku konvensional, sambil melahirkan “disrupsi”, dalam arti: pola-pola lama tak lagi bisa digunakan.[3]

Perubahan pola ini merupakan tantangan bagi seniman untuk menyelesaikan persoalan zamannya melalui karya seni.

Fenomena ini pun memantik pembicaraan seni rupa dalam wilayah esensial tentang karya seni, kesenimanan, nilai, serta fungsi dari karya seni itu sendiri. Jika fenomena-fenomena ini dianggap sebagai bentuk kebisingan (noise) yang terjadi di seni rupa, kita tentu dapat melihatnya dalam dua sudut pandang, baik positif maupun negatif.

Salah satu fungsi dari seni adalah sebagai penanda zaman. Seniman seharusnya mampu menangkap spirit zaman yang berkorelasi dengan kekaryaan dan gagasannya. Melalui pameran BAKABA #8 ini, kita mungkin dapat mengamati hal-hal apa saja yang ditandai seniman melalui karya-karyanya.

 

Riski Januar

Bantul, 2 Agustus 2022

[1] https://hot.detik.com/art/d-3098045/jumlah-pengunjung-galeri-nasional-meningkat-karena-tren-selfie diakses pada 2 Agustus 2022, 1.49 WIB

[2] Sugiharto Bambang, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi, Penerbit PT. Kanisius, Yogyakarta, 2019. Hal 111

[3] Ibid hal 113