Tabula Rasa
Tabula Rasa
Oleh WAHYUDIN
Dedy Sufriadi seorang pemeluk teguh seni lukis abstrak. Tidak main-main, keteguhan itu sudah mewujud dalam proses kreatifnya sekira dua dasawarsa terakhir. Itu sebabnya, selain terbilang konsisten dalam penghayatannya sebagai pelukis abstrak, alumnus ISI Yogyakarta ini terpandang penuh daya cipta di medan seni rupa kontemporer Yogyakarta.
Sejak 1996 hingga 2018, pelukis kelahiran Palembang 1976 ini telah mengikuti 195 pameran bersama, menggelar 14 pameran tunggal, dan memperoleh 11 penghargaan seni rupa. Itu semua terjadi di ruang gagas seni rupawan, galeri seni rupa, museum, dan bursa seni rupa tidak hanya di dalam negeri, utamanya Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Bandung, Surabaya, dan Bali, tapi juga di manca negara, antara lain Kuala Lumpur, Singapura, Manila, Taiwan, Shenzhen, Gunsan, Hong Kong, Brisbane, Melbourne, Selandia Baru, dan New York.
Atas kenyataan itu, sulit untuk menampik keberadaan Dedy Sufriadi sebagai salah satu penanda penting, kalau bukan salah seorang duta berharga, seni lukis abstrak di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Jadi, bisa dimengerti jika dia tampak unik di mata pemirsa dan pembutuh karya seni rupa kontemporer Indonesia.
Tapi, keunikan daya cipta pemegang gelar master dari Pascasarjana ISI Yogyakarta ini mungkin membingungkan mereka yang terbiasa dengan seni lukis representasional, terutama yang berakar dalam tradisi realisme. Berbeda dengan seni lukis realis yang begitu berambisi menyalin kenyataan sepersis mungkin, seni lukis abstrak “hanya” berikhtiar menggambarkan dunia dengan garis, warna, tekstur, bentuk, dan komposisi yang memungkinkan pemirsa bebas menikmati, merasakan, dan menghayatinya secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya sebagai pengalaman estetis, bukan mimesis, yang tak tepermanai.
Itu sebabnya, seturut sejarawan seni Peter Gay dalam Modernism: The Lure of Heresy from Baudelaire to Beckett and Beyond (2009), seni lukis abstrak menuntut pemirsa untuk “mengalami” apa yang tersua di sana tidak hanya dengan pikiran artistik terbuka, tapi juga penglihatan nan tajam. Sebab, di luar komposisi, warna, garis, tekstur dll. hanya ada kanvas kosong.
Kritikus seni rupa Ossian Ward benar ketika mengutarakan dalam Ways of Looking: How to Experience Contemporary Art (2014), untuk mengapresiasi seni lukis abstrak dibutuhkan kesaksamaan dalam melihat sebagai laku aktif, yang ingin tahu, seraya menyerap, meresap, dan merasukkan apa yang tertangkap mata ke dalam jiwa.
Itu penting karena lukisan abstrak “tidak akan merelakan rahasianya terbaca dengan mudah. Ia menjadi jelas semata setelah (pemirsa) melihatnya terus-menerus atau berulang-ulang, atau ia (mungkin akan) muncul dalam sekejap lantas menghilang secepatnya.”
Dalam kepentingan itu melihat menjelma amalan terbuka pemirsa bermata awas lagi terpelajar atas lukisan abstrak yang membangkitkan pengalaman tentang dunia secara tidak langsung melalui metafora atau alusi yang muncul dari kombinasi warna, garis, bentuk, tekstur dll. Alih-alih, warna, garis, bentuk, dan tekstur itu menandakan makna lain yang tak harfah
Saya kira, pemirsa kiwari yang peka akan menemukan salah dua kekuatan seni lukis abstrak, yaitu ketaksaan yang memuliakan refleksi-diri dan multitafsir, yang akan mendorong mereka untuk tak sekadar menikmati pokok perupaan di permukaan kanvas, tapi juga mengalami makna pengalaman melihat, perasaan artistik murni, dan penafsiran estetis yang bisa jadi berbeda dengan apa yang niatkan pelukis.
Itulah lebih kurangnya sabur-limbur pengetahuan yang saya peroleh setelah memirsai lima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya bertajuk Tabula Rasa di Bale Banjar Sangkring, pada Rabu malam, 7 November 2018. Ini pameran tunggal yang unik karena berlangsung berjamaah dengan pameran tunggal lima perupa lain dari Jogjakarta dan Bali di tempat yang sama sonder kurator, alih-alih “sekadar” penulis dan sebuah “payung besar” tematik bernama Peaceful Seeker #2.
Namun demikian, harus saya katakan bahwa tajuk pameran tunggal pemilik Ruang Seni Nalarroepa tersebut aneh, terutama sebagai “pintu masuk” untuk menikmati kelima lukisan abstrak berbahan akrilik, spidol, lonjor minyak, pensil, dan kanvas, yang bertitimangsa 2018 itu. Apalagi kelima lukisan itu pun berjudul sama, kalau bukan tunggal, yaitu Tabula Rasa (150 x 240 sentimeter), Tabula Rasa #3-6 (200 x 200 sentimeter).
Apa yang tampak aneh di sana adalah kenyataan bahwa kelima lukisan tersebut merupakan dunia-dalam-imajinasi Dedy Sufriadi yang berisi objek-objek non-represetasional atau non-figuratif yang terbentuk dari perpaduan warna, garis, sapuan, totolan, dan coretan yang tak mudah diidentifikasi dalam sekali tatap seperti membaca sambil lalu atau membiarkan beragam acara di televisi melintas begitu saja dengan memencat-mencet tombol jarak jauh (remote control) sekenanya.
Karena itulah saya lebih suka mengkhidmati kelima lukisan tersebut sebagai serangkaian lanskap rupa khayali yang tidak merujuk ke apa pun kecuali dirinya sendiri, sehingga membebaskan penatap untuk tak menganggapnya sebagai citra, apalagi objek intelektual, yang harus dipahami, dipikirkan, dan dianalisis.
Salah satu cara terbaik untuk menikmati, merasakan, atau menghayati kelima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya yang berlangsung hingga 27 November 2018 itu adalah meluangkan waktu menonton secukup-cukupnya, kalau bukan berkali-kali; membuka segala kemungkinan siratan dari pokok perupaannya; dan mengikhtiarkan pengkhidmatan, jika bukan pemahaman dan penilaian, yang akan menghela saya menuju kenikmatan mengapresiasi yang tak berujung. (*)