Data Artikel

Delapan Ruang Seni Baru Yang Wajib Dikunjungi di Brooklyn

Dari ruang bawah tanah Williamsburg hingga ruang tamu Bed-Stuy dan ruang proyek di Gowanus, tidak ditemukan kekurangan seni di wilayah tersebut.

Foto oleh Valentina Di Liscia, Billy Anania and Elaine Velie

Installation view of Kiah Celeste’s 2022 exhibition The Right Side Down at Swivel Gallery (photo courtesy the gallery)

Ini tahun baru dan saya tidak tahu tentang Anda, tetapi saya mencoba memanfaatkan perasaan segar ini diawal kalender ini selama mungkin. Dan cara apa yang lebih baik untuk menikmati kanvas kosong tahun 2023 selain menghabiskan waktu di ruang seni baru  Brooklyn. Dalam ulasan kami di bawah ini kami menyoroti galeri, organisasi, dan ruang proyek di wilayah tersebut. Banyak dari mereka telah membuka pintunya untuk umum dalam satu atau dua tahun terakhir; yang lain telah ada lebih lama tetapi baru saja pindah ke pinggiran kota atau memulai debutnya di tempat lain. Mereka masing-masing memiliki sesuatu yang berbeda untuk ditawarkan dan merupakan bukti nyata komunitas seni Brooklyn yang terus berkembang dan berubah. Selamat menjelajahi galeri! -Valentina di Liscia

 

Swivel Gallery

Apa yang langsung mencolok dari Swivel Gallery di Bed-Stuy adalah desainnya, dengan dinding berliku-liku dan bergelombang seperti awan penuh kasih yang memeluk karya seni yang dipamerkan. Pendiri Swivel, Graham Wilson, menyebutnya sebagai “inkubator” bagi seniman baru dan pendatang baru, dan sejak pembukaannya pada Januari 2021, pameran karya Kajin Kim, Kiah Celeste, Aris Azarmsa, dan banyak lagi telah ditampilkan kemungkinan tak terbatas dari ruang yang tidak konvensional. Untuk pameran solo Celeste tahun lalu, yang berjudul The Right Side Down, artis yang berbasis di Louisville, Kentucky ini menampilkan bahan daur ulang dan pahatan benda-benda temuannya dalam susunan kocar-kacir yang tampaknya menentang gravitasi. Pembukaan 26 Januari adalah Potheads, pameran grup yang menampilkan karya Derek Weisberg, Anousha Payne, Charles Snowden, Debra Broz, Wade Tullier, dan banyak lagi. Menurut Wilson, Swivel Gallery menyumbangkan 10% dari hasil penjualan ke organisasi nirlaba lokal dan telah berjanji untuk terus melakukannya tanpa batas waktu. — VD

Swivel Gallery (swivelgallery.com)

329 Nostrand Avenue, Bed-Stuy, Brooklyn

 

Works by Elena Redmond (left) and Rachael Tarravechia (right) at Tchotchke Gallery 

Tchotchke Gallery

Terselip di ruang bawah tanah Williamsburg – yang secara ajaib bermandikan cahaya alami – Danielle Dewar dan Marlee Katz membuka lokasi permanen pertama Tchotchke Gallery setelah dua tahun mempertahankan kehadiran online dan pop-up karena pandemi. Pameran Kepulangan, yang ditampilkan hingga 11 Februari, adalah pameran ke-20 mereka tetapi hanya pertunjukan fisik mereka, dan menampilkan lukisan karya empat seniman Tchotchke – Josiah Ellner, Debora Koo, Elena Redmond, dan Rachael Tarravechia. Sementara karya mereka menggambarkan subjek yang sangat berbeda, Homecoming adalah ode yang kohesif untuk warna dan ingatan pribadi. Karya berskala besar Ellner yang penuh semangat mempertimbangkan hubungan manusia dengan alam, dan lukisan Koo yang detail menggambarkan momen-momen tertentu dalam hidupnya (semuanya berpusat pada makan makanan penutup) dengan perhatian yang cermat terhadap cahaya dan waktu. Sosok Redmond memadukan fantasi dan kenyataan, dan kehidupan Tarravechia yang cerah mengilustrasikan ruang interiornya sendiri. Pendiri Dewar dan Katz keduanya tinggal di dekat ruang baru mereka, dan sebagian besar seniman yang bekerja dengan mereka juga tinggal di sekitar Williamsburg. “Kami senang menjadi bagian dari lingkungan tempat tinggal kami,” kata Dewar. “Kami benar-benar ingin fokus untuk menyediakan komunitas dan ruang bagi seniman kami, bukan hanya kolektor kami.” —Elaine Velie

Galeri Tchotchke (tchotchkegallery.com)

311 Graham Avenue, Williamsburg, Brooklyn

 

Works by Keiko Narahashi on view at Tappeto Volante in 2022 (courtesy the gallery)

Tappeto Volante

Kurator Italia Paola Gallio membuka Tappeto Volante Projects pada Mei 2022 setelah pindah dari Lower East Side, tempat dia ikut mengelola Ruang Pertemuan galeri feminis. Sebuah produk dari era pandemi, ruang proyek baru Gallio di 13th Street memadukan pameran dan studio, menampung seniman lokal bergilir, banyak di antaranya berkontribusi pada survei tahunan mereka, La Banda. “Tappeto volante” berarti “karpet terbang” dalam bahasa Italia, dan galeri bersandar pada fantasi dan konseptual dalam eksplorasi identitas kolektifnya, termasuk metafisika perendaman dan mimpi kreatif. Karena itu, Gallio mendengarkan kecenderungan luhur dan sering berpindah-pindah dari banyak komunitas seni New York. On view now adalah presentasi solo karya seniman multidisiplin Sig Olson, yang dikuratori oleh Ksenia M. Soboleva hingga 22 Januari. — Billy Anania

Tappeto Volante (tvprojectspaceship.com)

126 13th Street, Gowanus, Brooklyn

 

 

View of works by Debbi Kenote, Christopher Daharsh, Abelardo Cruz Santiago, and Matt Logsdon at Field of Play in 2022 (photo by Masaki Hori; courtesy Field of Play)

Field of Play Gallery

Artis Park Slope, Matthew Logsdon, mengubah ruang depan ruang Gowanus Creative Studios miliknya pada Oktober 2022 untuk membuat galeri barunya, Field of Play. Dengan Astroturf melapisi lantai, “bidang” ini – atau “kubus hijau”, jika Anda mau – bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara seni dan olahraga, yang mencerminkan latar belakang profesional Logsdon sebagai pelatih pribadi. Dalam ruang kecil, Logsdon dan seniman yang dia tunjukkan membahas masalah yang lebih besar seputar makna maskulinitas dan kekuasaan, sering kali menghubungkan karya yang dipamerkan dengan latihan tertentu. Sambil menyambut anggota komunitas pada resepsi pembukaan, Field of Play juga menyelenggarakan semua pamerannya secara online untuk meningkatkan aksesibilitas. — BA

Field of Play Gallery (instagram.com/fieldofplaygallery)

56 2nd Avenue, Gowanus, Brooklyn

 

 

Installation view of All Mine, You Have to Be at Tutu Gallery in 2020, with works by Rhea In and Kelsey Tynik (photo by April Yueyi Zhu; courtesy Tutu Gallery)

Tutu Gallery

Di ruang tamu apartemen Bed-Stuy miliknya, April Zhu telah menciptakan ruang galeri intim bernama Tutu (yang juga merupakan nama kucingnya), menutupi hampir setiap inci dinding dan ruang langit-langit dengan karya seni. Dia memberi tahu Hyperallergic bahwa saat kuliah di Pennsylvania, dia melakukan improvisasi pameran di ruang bawah tanah dan bangunan tempat tinggal. “Begitulah cara saya merasa paling nyaman dengan seni,” kata Zhu. Setelah dia pindah ke New York City, Zhu ingin menciptakan kembali komunitas informal dan erat yang dia alami selama masa kuliahnya, jadi dia memutuskan untuk mengolahnya langsung di ruang tamunya. Saat ini, dia berfokus pada seniman internasional dan menggunakan Tutu untuk membantu mereka masuk ke kancah seni New York. — EV

Tutu Gallery (tutugallery.art)

Willoughby dan Stuyvesant Avenue, Bed-Stuy, Brooklyn

 

 

Josephine Sundari Devanbu’s works at Kaje

Kaje

Sebuah kereta bermotor berjalan di sepanjang jalan berkelok-kelok di tengah ruang Kaje, di samping etalase yang menampilkan benda-benda replika yang terbuat dari batang sabun Dial tua – digambarkan oleh seniman kontributor Josephine Sundari Devanbu sebagai “the everyman’s marble.” Intervensi kamp tinggi ini saat ini dapat dilihat di ruang Gowanus dari organisasi nirlaba, yang akan meresmikan pos dua lantai barunya pada November 2021. Pameran berjudul Just About in the Round, dikuratori oleh Elizaveta Shneyderman dan juga akan menampilkan karya-karya oleh Nikolaus. Cueva, Gregory Kalliche, Ignas Krunglevicius dan Huidi Xiang, dalam tampilan hingga 12 Februari. Memburamkan batas antara ekspresi kreatif, iklan, dan konsumsi, Kaje menghadirkan seni dan efemera ke setiap sudut, mulai dari layar video kecil yang dipasang di dinding hingga balok beton acak yang menonjol keluar dari tanah. Mereka dengan cerdik menutupi di mana seni dimulai dan diakhiri dengan huruf kapital A. – BA

Galeri Kaje (kaje.dunia)

74 15th Street, Gowanus, Brooklyn

 

 

“B” Dry Goods

The Masks We Wear at “B” Dry Goods Gallery

Pada bulan Desember, Gabe Boyers membuka galeri “B” Dry Goods miliknya di blok Crown Heights yang sama tempat keluarganya menjalankan bisnis dari tahun 1920-1969. Latar belakang Boyer dan “Back of the House Business” -nya adalah buku dan manuskrip langka, tetapi dipameran saat  ini, The Masks Wear, menampilkan media dari lukisan hingga patung. Pameran yang berlangsung hingga 23 Februari ini memiliki nuansa pameran museum yang dikurasi dengan ahli. Beberapa karya dibuat oleh seniman yang masih hidup, beberapa berusia ratusan tahun, tetapi semuanya menampilkan orang yang memakai pelindung wajah. Boyers mengatakan idenya dimulai dengan topeng pandemi COVID-19. “Ini adalah fitur dari keberadaan kami bahwa kami saling memandang dan tidak melihat gambaran besarnya,” kata Boyers. “Dan bagaimana itu mengubah cara Anda melihat orang dan cara Anda memandang dunia dan mengetahui bahwa itulah cara orang melihat Anda.” – EV

“B” Dry Goods (bdrygoods.com)

679 Franklin Avenue, Crown Heights, Brooklyn

 

 

Footnote Project Space in Gowanus showing works by Karen Mainenti and JoAnne McFarland

Footnote Project Space

Terletak di lantai pertama sebuah gedung milik seniman di Union Street — yang, menurut pendirinya Sasha Chavchavadze, telah membantu membuka pintunya sejak Oktober 2021 — Footnote Project Space mendasarkan programnya dalam ingatan, narasi yang terlupakan, dan karya wanita -identifikasi seniman. Lukisan dan instalasi dari sesama penyewa gedung, seniman yang dipenjara, dan kolektif feminis lokal mengatasi stereotip mode, budaya industri Gowanus, dan ikon diaspora Afrika Brooklyn yang kurang dikenal, di antara banyak subjek lainnya. Disajikan sebagai rangkaian pameran dan instalasi yang berkelanjutan, organisasi ini mengangkat hal-hal yang terlalu sering diturunkan ke “catatan kaki” sejarah. Footnote juga berkolaborasi dengan Artpoetica, ruang proyek lain, dijalankan oleh seniman dan kurator JoAnne McFarland di gedung yang sama. — BA

Ruang Proyek Catatan Kaki (footnoteproject.org)

543 Union Street, #1F, Gowanus, Brooklyn

6 Fakta Unik Lukisan Mona Lisa yang Terkenal, Siapa Dia Sebenarnya?

 

Nama aslinya bukan Mona Lisa, lho

 

lukisan Mona Lisa (pixabay.com/WikiImages)

 

Jika ada yang bertanya lukisan mana yang paling populer di dunia, Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci mungkin jawabannya. Bahkan, Mona Lisa yang dipajang di Louvre di Paris sejak 1797 berhasil menarik jutaan wisatawan ke Paris dari seluruh dunia. Beberapa dari mereka hanya datang karena penasaran.

Namun percaya atau tidak, banyak juga turis yang datang berkali-kali dan mengaku jatuh cinta dengan tokoh dalam lukisan tersebut , di sini enam fakta di balik lukisan Mona Lisa yang terkenal, siapa dia?

  1. Nama aslinya bukan Mona Lisa

Selama bertahun-tahun, banyak ahli memperdebatkan siapa sebenarnya karakter di balik lukisan Mona Lisa. Sedikit yang tidak percaya bahwa tokoh Mona Lisa dalam lukisan itu adalah Leonardo Da Vinci sendiri. Padahal, tokoh dalam lukisan tersebut bukanlah Leonardo Da Vinci, melainkan seorang wanita bernama Lisa Gherardini.

Lisa Gherardini adalah istri mantan orang kaya Italia Francesco del Giocondo. Pada 1503 Francesco bertemu Leonardo Da Vinci dan meminta seniman terkenal itu untuk melukis istrinya, yang sangat dia cintai. Kenapa harus namanya Mona Lisa? Itu karena Mona Lisa berarti “My Lady Lisa” dalam bahasa Italia.

  1. Leonardo Da Vinci tidak benar-benar menyelesaikan lukisan ini

Mona Lisa memang merupakan salah satu karya terbaik Da Vinci, namun siapa sangka Da Vinci sendiri tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Sejak ditugaskan pada 1503, Da Vinci membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

Pada tahun 1517  Raja François I memintanya untuk pindah ke Prancis. Akibatnya, lukisan Mona Lisa dan proyek lainnya pun harus dipindahkan. Pada akhirnya, Da Vinci tidak pernah menyelesaikan lukisannya.

Karena dua tahun setelah pindah ke Prancis, Leonardo Da Vinci menderita stroke dan meninggal dunia. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Kapel Saint Hubert di Prancis.

  1. Mona Lisa tinggal di kamar tidur Napoleon Bonaparte selama bertahun-tahun

Setelah Da Vinci pergi, Raja François I memamerkan Mona Lisa dan beberapa lukisan lainnya di Kastil Fontainebleau. Seratus tahun kemudian, Louis XIV memindahkan mereka ke Grand Palace of Versailles. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa pada abad ke-18, lukisan ini dipindahkan ke Istana Tuileries, di mana lukisan itu disimpan di kamar tidur Napoleon selama empat tahun.

Namun, kehadiran Mona Lisa di kamar kaisar menjadi awal ketertarikan Napoleon pada seorang wanita cantik asal Italia bernama Teresa Guadagni, yang ternyata merupakan keturunan dari Lisa Gherardini.

  1. Pencuri membuat Mona Lisa terkenal

Pada 21 Agustus 1911, Mona Lisa dicuri dari kopernya di Louvre. Hebatnya, begitu berita pencurian itu tersiar, ribuan orang Prancis berbondong-bondong meratapi ruang kosong yang ditinggalkan oleh Mona Lisa. Untungnya, kasus pencurian ini berhasil diungkap dua tahun kemudian.

Seorang Italia bernama Vincenzo Peruggia, yang juga mantan karyawan Louvre, ditangkap di Florence setelah tertangkap mencoba menjual lukisan Mona Lisa ke salah satu galeri seni lokal. Meski mencoba menjualnya, alasan utama Peruggia mencurinya bukan karena butuh uang, tapi karena percaya bahwa Mona Lisa adalah aset milik rakyatnya.

  1. Dua pria bunuh diri karena jatuh cinta padanya

Napoleon bukan satu-satunya pria yang jatuh cinta pada pesona Mona Lisa. Sejak dipamerkan di Louvre pada 1797, ribuan orang datang ke lukisan itu, meninggalkan puisi dan bunga. Lebih gila lagi, beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena perasaannya.

Korban pertama adalah seniman abad ke-19 bernama Luc Maspero. Suatu hari di tahun 1852, Luc memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar hotel lantai empatnya.

Luc berkata dalam sebuah catatan yang dia tinggalkan: “Selama bertahun-tahun saya berjuang dengan senyumnya. Saya lebih baik mati.” Enam puluh tahun kemudian, seorang pria memutuskan untuk menembak kepalanya sendiri karena alasan yang sama.

  1. Mona Lisa tidak akan pernah dijual

Lukisan Gioconda, yang dibuat pada tahun 1503 oleh seniman sekelas Leonardo Da Vinci, tidak diragukan lagi sangat berharga. Betapa tidak, saat lukisan ini dipinjamkan ke beberapa museum pada tahun 1960, Louvre mengamankan lukisan tersebut hingga USD 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun.

Setelah sepuluh tahun, harga lukisan ini meningkat secara signifikan. Toh setelah hebohnya turis untuk bertemu dengan Mona Lisa, jelas pihak museum tidak akan pernah merilis lukisan ini dengan biaya berapa pun.

 

Terlepas dari beberapa fakta unik tentang lukisan Mona Lisa, lukisan ini tetap merupakan karya yang luar biasa. Bukan hanya karena harga atau artis yang membuatnya, tetapi karena sejarahnya yang lebih dari 500 tahun, yang membuat Mona Lisa begitu tak ternilai harganya.

 

 

Philip Taaffe Digs Deeper Into the Rabbit Hole

Tampaknya Taaffe melihat masa kini sebagai peristiwa kepunahan, dan salah satu tujuan melukis adalah untuk mewariskan beberapa catatan sejarah dan waktu ke masa depan.

oleh John Yau 20 Desember 2022

Philip Taaffe, “Prior Pedro” (2022), mixed media on panel, 14 1/8 inches x 26 1/8 inches

Philip Taaffe, “Prior Pedro” (2022), media campuran pada panel, 14 1/8 inci x 26 1/8 inci (semua gambar © Philip Taaffe; foto oleh Farzad Owrang, milik seniman dan Luhring Augustine, New York)

Saya sebelumnya menyamakan Philip Taaffe dengan seorang sarjana-alkemis, seorang juru tulis, seorang pelihat, dan penginduksi keadaan trans di era digital. Seorang master teknis yang telah menggunakan teknik yang berbeda seperti marbling, decalcomania, silkscreen, linocuts, kolase, stensil, dan stempel karet dalam karyanya, Taaffe menggambarkan karya seninya kepada pembuat film visioner hebat Stan Brakhage sebagai “semacam sinema yang mengkristal”. Permukaan kristal mencerminkan simetri internalnya, sedangkan film adalah membran yang dilalui cahaya. Seperti yang saya lihat, Taaffe ingin mensintesis simetri dan lapisan untuk mencapai keadaan antara, seperti dalam proses perubahan. Di dunia itu, pola hias dan fosil menjadi bentuk yang signifikan, sedangkan seni grafis dan kolase mengambil karakter lukisan. Sejak awal, ada sesuatu yang segar dan menantang tentang Taaffe, yang tidak mengandalkan gestur dan geometri, penjaga sekolah New York, untuk membuat karya besar dan ambisius.

 

Dalam pamerannya kali ini, Philip Taaffe di Luhring Augustine Tribeca (12 November–22 Desember 2022), saya menemukan bahwa seniman tersebut telah mengembangkan teknik grafis baru dalam karyanya selama pandemi. Menurut siaran pers galeri:

 

Saat dunia menarik diri ke dalam isolasi pada tahun 2020, Taaffe memulai penyelidikan lebih dalam terhadap eksperimen grafis tertentu yang telah dia jelajahi terus-menerus, tetapi sekarang dengan fokus yang lebih intensif. Selama dua tahun terakhir, Taaffe telah terlibat dengan proses monotipe menggunakan tinta litograf pada pelat kaca, yang disebutnya sebagai “pengikisan lito”. Taaffe’s “litho-scraping” terhubung kembali ke serangkaian karya tahun 2010 di atas kertas di mana dia menggunakan teknik transfer decalcomania. Ketertarikannya pada teknik transfer menggemakan apa yang terjadi dengan fosil yang diawetkan, jejak apa yang ditinggalkan. Ini membantu menjelaskan minatnya pada arsip dan lemari barang antik.

Philip Taaffe, “Nimphe Fiorentine” (2022), mixed media on panel, 14 inches x 13 inches

Philip Taaffe, “Nimphe Fiorentine” (2022), media campuran pada panel, 14 inci x 13 inci

Saya selalu menganggap Taaffe sebagai seorang seniman yang turun ke lubang kelinci, menggali lebih dalam dan lebih dalam ke subjek dan melanjutkan untuk membuat koneksi yang tidak biasa dan imajinatif. Pamerannya saat ini menegaskan perasaan saya. Dia kebanyakan menghindari karya berskala besar yang cukup nyaman baginya, alih-alih menampilkan sekitar 50 panel dan karya di atas kertas, semuanya bertanggal 2021 atau ’22. Beberapa di antaranya berbentuk kolom, berukuran tinggi sekitar enam kaki tetapi lebarnya kurang dari enam inci. Lainnya adalah karya di atas kertas yang berukuran tidak lebih dari sembilan kali sembilan inci. Setiap pengelompokan tampaknya muncul dari salah satu eksplorasi berkelanjutan Taaffe ke dalam hubungan antara citra dan proses, figur dan dasar. Secara komposisi, dia tertarik pada simetri, atau pencerminan, dan meruntuhkan hubungan figur-ground sedemikian rupa sehingga menjadi sulit untuk membedakan satu dari yang lain, minat yang tidak murni formal.

Philip Taaffe, “Painting with Diatoms and Shells I” (2022), mixed media on canvas, 24 1/2 x 39 inches

 

Seorang seniman yang pengaturan gambarnya telah mendorong perbandingan yang berguna dengan fotografer botani Jerman Karl Blossfeldt dan lemari keingintahuan, menurut saya perubahan baru-baru ini dalam seninya berkaitan dengan meningkatnya kerentanan dunia terhadap pandemi dan kepunahan. Berbeda dengan karya sebelumnya, di mana elemen dan dasar kolase terintegrasi tetapi berbeda, hubungan dalam karya seperti “Prior Pedro” dan rangkaian tiga lukisan bernomor, “Lukisan dengan Diatom dan Kerang,” mengingatkan “mengkristal bioskop” serta fosil yang tersembunyi di bebatuan yang tidak terpoles.

 

Saya harus melihat “Nimphe-Fiorentine” (2022) untuk waktu yang lama sebelum bentuk kehidupan mulai muncul dari tanah yang dicat dan tergores. Semakin saya duduk dengan karya-karya dalam pameran ini, skala dan tingkat keterbacaan (atau ketidakterbacaan) yang berbeda, semakin saya memikirkan penguncian seluruh kota. Tidak ada hubungan literal antara karya-karya ini dan isolasi yang dialami banyak orang dalam beberapa tahun terakhir. Taaffe tidak pernah topikal. Namun begitu saya membuat hubungan ini, saya tidak dapat melepaskannya, dan saya harus memikirkan kembali pemahaman saya tentang seniman tersebut, terutama karena dia telah menggunakan gambar fosil, kadal, kupu-kupu, dan burung dalam karya sebelumnya. Mengapa tenor emosional dari karya-karya ini terasa berbeda dari karya sebelumnya?

 

Philip Taaffe, “Columnar Figure IV (Chthonic)” (2022), mixed media on panel, 72 x 6 inches

Philip Taaffe, “Melukis dengan Diatom dan Kerang I” (2022), media campuran di atas kanvas, 24 1/2 x 39 inci

Beberapa seniman mencoba membuat karya seni yang ada di luar waktu sejarah; mereka mengklaim bahwa peristiwa terkini tidak berdampak pada output mereka. Yang lain membuat sebagai tanggapan atas berita hari ini. Saya rasa kasusnya tidak jelas dalam hal Taaffe. Selama tahun 1980-an, ketika dunia seni sedang mengapropriasi dan menipu

Maya Ruiz-Picasso, the Eldest Daughter of Picasso and Keeper of His Legacy, Has Died at Age 87

Hubungan Ruiz-Picasso dengan ayahnya menjadi subjek pameran terkini di Museum Picasso di Paris.

Richard Whiddington, 22 Desember 2022

 

Maya Ruiz Picasso

Maya Picasso di depan potretnya di Paris, Prancis pada 15 Oktober 1996. Foto: Alain Benainous / Gamma-Rapho via Getty Images.

 

Maya Ruiz-Picasso, putri sulung Pablo Picasso yang menjadi kepala pelindung warisan ayahnya, telah meninggal dunia di Paris. Dia berusia 87 tahun.

Jika pertanyaan yang begitu sering dihadapi oleh keturunan seniman monumental adalah bagaimana mendefinisikan diri di bawah bayang-bayang selebriti, Ruiz-Picasso menjawab terlebih dahulu dengan menciptakan sedikit jarak, baik secara profesional maupun geografis, sebelum, pada waktunya, membenamkan dirinya dalam oeuvre Picasso. dan menjadi sumber masuk bagi pedagang seni, rumah lelang, dan kolektor.

 

Setiap keengganan awal tidak ada hubungannya dengan antipati. Itu adalah hubungan ayah-anak dengan pengabdian dan kelembutan yang luar biasa. Bagaimanapun, dia adalah putri satu-satunya dan menamai Maria setelah kematian saudara perempuannya yang berusia 14 tahun menghantui sang seniman. Sebagai seorang anak, Picasso menyayangi Maya, mengubah benda-benda yang diselamatkan menjadi mainan di tengah tahun-tahun penghematan Perang Dunia Kedua, membawanya ke kafe jazz dalam perjalanan mingguannya ke bank, dan, tentu saja, mengabadikannya di atas kanvas, terutama dalam lukisan tahun 1938 Maya dengan Boneka.

 

lukisan picasso

Pablo Picasso, Maya à la poupée [Maya dengan Boneka], Paris, 16 Januari 1938. Musée National Picasso-Paris © RMN-Grand Palais (Musée National Picasso-Paris) / Adrien Didierjean.

 

Lahir di pinggiran barat Paris dari pasangan Marie-Thérèse Walter pada tahun 1935, Maya tumbuh di antara ibu kota dan Royan, sebuah kota pesisir di Prancis barat daya. Setelah belajar di Madrid dan bekerja di rumah sakit Barcelona, dia kembali ke Paris pada akhir 1950-an, bekerja di penerbitan dan aktivisme—dia sempat menjadi asisten Josephine Baker.

 

Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1973, Maya mengambil peran untuk melestarikan dan menjaga warisannya. Dia ingat saat di tahun 1940-an ketika Picasso bersinar, dengan beberapa orang menyebutnya penipu dan penipu. Dan dia memastikan ini tidak pernah terjadi lagi, katanya, ini adalah “misinya”. Itu melibatkan perakitan dan pengorganisasian arsip besar oeuvre-nya dan menjadi autentikator utama karyanya, tugas yang dia lakukan ribuan kali hingga penglihatannya hilang pada pertengahan 2010-an.

 

picasso dan Maya

Pablo Picasso dan Maya Widmaier-Picasso di pantai. Golfe-Juan 1954.

 

Putrinya Diana Widmaier-Picasso telah menjalankan bisnis keluarga, terakhir dengan mengadakan dua pameran yang terhubung di Museum Picasso di Paris, yang didirikan setelah kematian sang seniman. Yang pertama menampilkan karya pilihan yang diberikan kepada negara Prancis alih-alih pajak warisan. Yang kedua, “Maya Ruiz-Picasso: Daughter of Picasso,” secara langsung mengeksplorasi hubungan ayah-anak melalui potret, puisi, sketsa, dan pernak-pernik artis Spanyol tahun 1930-an.

 

Maya senang dengan keputusan putrinya untuk melanjutkan pekerjaannya. “Yang terpenting, saya ingin melindungi pekerjaan ayah saya dan memastikannya dihormati,” katanya dalam wawancara di awal tahun 2022. “Saya yakin apa yang dilakukan Diana adalah buah dari apa yang dimulai dengan ayah saya dan Marie-Thérèse. Saya pikir pameran ini adalah upaya yang berhasil untuk mewakili semangat suci yang mengikat kita semua.”

 

Dia meninggalkan suaminya Pierre Widmaier, seorang raja perkapalan, putranya Olivier Widmaier-Picasso, seorang aktor, dan Diana Widmaier-Picasso, seorang kurator dan sejarawan seni.

 

di terjemahkan dari Artnet News

Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman (1)

Oleh WAHYUDIN

 

Tiga puluh dua tahun lalu—pada kapan yang tak diterangkannya—Sanento Yuliman bertandang ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta, untuk menilik Pameran Peringatan Trisno Sumardjo (1916-1969), kritikus seni rupa, sastrawan, dan ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).

Apa yang disaksikan doktor seni rupa dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis, itu di sana membikinnya terpinga-pinga.

“Di halaman depan Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki saya tertegun,” tulis Sanento Yuliman. “Betulkah di situ ada pameran? Tidak ada poster besar, tidak ada kain rentang. Untung, saya tertolong oleh secarik poster kecil tertempel sederhana pada panel di serambi yang lengang itu.”

Namun demikian, kenyataan itu tak menyurutkan langkahnya, sekalipun mau tak mau menghadapkannya pada ketertegunan yang lain lagi sebagai berikut:

“Di pintu, saya memperoleh katalog: secarik kertas 21 x 24 sentimeter dilipat dua. Dalam kata pengantarnya—sekitar 30 baris—tidak sepatah kata tentang orang bernama Trisno Sumardjo, kapan, serta bagaimana ujung-pangkal dan malang-melintangnya dalam seni lukis kita.”

Ketergemapan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu terus berlanjut setelah ia membaca katalog. “Pengantar katalog dibekali sebuah kutipan pernyataan Trisno Sumardjo,” tulisnya. “Tapi dalam daftar lukisan tidak dicantumkan tarikh. Sekilas terpikir: barangkali Pameran Peringatan Trisno Sumardjo 10-17 April 1988 ini, tahap dalam proses melupakannya?”

Celakanya, selewat pertanyaan tersebut berkelebat, ia harus bersua kenyataan ini: “Pameran Peringatan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta itu memajangkan 34 lukisan cat minyak dan cat air, serta 32 coretan hitam putih. Kecuali dua lukisan koleksi DKJ dan sebuah koleksi Ajip Rosidi, karya-karya itu tidak diterangkan asal-asulnya.”

Apa boleh buat—setelah memeriksa pokok perupaan dan menyidik penggambaran karya-karya Trisno Sumardjo dalam pameran itu, yang tetap saja menyisakan sejumlah pertanyaan di benaknya—Sanento Yuliman sampai pada kesimpulan ini:

“Sebuah Pameran Peringatan tidaklah cukup hanya berbekal sebuah koleksi. Apalagi mengenai Trisno Sumardjo, pelukis yang kontroversial di kalangan pengulas dan penggemar lukisan.”

Sampai pada titik itu saya harus katakan bahwa semua keterheran-heranan Sanento Yuliman itu saya petik dari tulisannya “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” (Tempo, 23 April 1988).

Selain di majalah yang “enak dibaca dan perlu” itu—kita bisa membaca tulisan tersebut dalam Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Asikin Hasan, peny., Jakarta: Yayasan Kalam, Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation, dan Majalah Berita Mingguan TEMPO, April 2001, halaman 256-258, dan Sanento Yuliman, Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-1992, Danuh Tyas Pradipta, Hendro Wiyanto, dan Puja Anindita, peny., Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan gang kabel, Januari 2020, halaman 697-700.

***

Tiga puluh satu tahun sesudah “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” terbit—setelah 27 tahun Sanento Yuliman berkalang tanah—Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto mengampu pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, 11 Desember 2019-15 Januari 2020.

Ketika mengetahuinya—lengkapnya tertulis: Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992)-Pameran Karya dan Arsip—untuk kali pertama lewat instagram Dewan Kesenian Jakarta dua hari sebelum pameran itu dibuka oleh penyair-pelukis Goenawan Mohamad pada Rabu malam, 11 Desember 2019—saya langsung terkenang “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”.

Saya kira Mengingat-ingat Sanento Yuliman bersanad kepada “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”—dan Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto tampaknya beroleh “petunjuk” dalam khidmatnya. Terbukti, Mengingat-ingat Sanento Yuliman tampil lebih tertata-kelola, rapi, bersih, dan benderang ketimbang “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo”. Semua keterpegunan Sanento Yuliman pada “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo” tak terjumpa dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman. Alih-alih, kita akan takzim kepadanya.

Betapa tak, selama lebih dari satu setengah abad, sejak zaman Raden Saleh sampai era Handiwirman Saputra, baru kali itu seorang kritikus seni rupa di Indonesia, yang telah pindah ke alam barzakh hampir tiga dasawarsa, dimuliakan dengan pameran yang mengesankan—bahwa seni rupa Indonesia pernah memiliki seorang pemikir, penulis, dan penilik seni rupa bernama Sanento Yuliman Hadiwardoyo yang gagasan, tulisan, dan ulasannya mencerminkan—pinjam istilah sang kritikus—“kecerdasan melihat” yang mengagumkan.

Yang lebih mengesankan, Dewan Kesenian Jakarta, penaja Mengingat-ingat Sanento Yuliman, mendirikan “monumen pemikiran” sang kritikus kelahiran Jatilawang, Cilacap, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, itu berupa buku berukuran 170 x 252 sentimeter, tebal xxxvi + 1024 halaman, berisi 177 tulisan bertitimangsa 1969-1992—yang memungkinkan pembaca beroleh kebijaksanaan bahwa kritikus, sebagaimana pernah diucapkannya kepada Hendro Wiyanto, tak hanya bisa dilahirkan, tapi juga bisa dibikin dengan “faal intelegensi” menatap karya seni rupa secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya.

Tapi pada yang mengesankan itu saya pun teringat kata-kata penyajak Goenawan Mohamad dari tahun 2001 ini: “Dalam mengenang tersirat lupa; di dalamnya senantiasa ada proses seleksi.” Apa yang terlupakan dari Mengingat-ingat Sanento Yuliman adalah sejumlah nama dan peristiwa di sekitar kekritikan Sanento Yuliman dan Dewan Kesenian Jakarta.

Tanpa bermaksud menyembunyikan nama-nama kritikus lainnya di lalu waktu—satu nama yang ingin saya sebut barang sebentar di sini adalah kritikus Sudarmadji. Sebagaimana Sanento Yuliman, Sudarmadji adalah orang Cilacap, lahir pada 2 Januari 1934. Seperti halnya Sanento Yuliman, mantan dosen Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” itu merupakan pembela waskita Gerakan Seni Rupa Baru. Pembelaannya yang legendaris berupa polemik dengan kritikus Kusnadi di Kedaulatan Rakyat, September-Oktober 1975.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta 1985-1990 (?) itu rajin menyiarkan ulasan-ulasan kritik di pelbagai media massa. Pun menulis sejumlah buku seni rupa. Salah satunya yang telah menjadi klasik tapi masih sering dikutip sampai kini adalah Dari Saleh sampai Aming, Seni Lukis Baru Indonesia dalam Sejarah dan Apresiasi (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, 1974).

Kecuali ada luka yang belum sembuh dalam hubungan Sudarmadji dan Dewan Kesenian Jakarta pada dulu kala—saya berharap kelak ada “monumen pemikiran” dan pameran karya dan arsip Mengingat-ingat Sudarmadji—atau apa pun judulnya—di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, kemudian entah di mana di Yogyakarta.

Sementara itu saya ingin mencatat “pertengkaran ringan”—yang luput terarsip (?) dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman—antara Agus Dermawan T. dengan Jim Supangkat dan Gendut Riyanto di Tempo beberapa pekan setelah kematian mendadak Sanento Yuliman.

***

Di dalam ambulans yang melarikannya ke Rumah Sakit Advent, Bandung, pada Kamis dini hari, 14 Mei 1992, Sanento Yuliman menghembuskan nafas terakhirnya dalam umur 51.

Penghayat seni rupa (di) Indonesia pun berduka—tak terkecuali teman-teman dekat sang kritikus. Tapi tak ada di antara mereka yang bersungkawa sedalam pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Jim Supangkat.

“Kepergiannya mungkin akan mempengaruhi perkembangan seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena berbagai kegiatan seni rupa kehilangan perannya yang menentukan. Kehilangan terbesar adalah kemungkinan penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia. Keahliannya dalam hal ini nyaris tidak tergantikan,” tulis Jim Supangkat dalam obituari “Duka untuk Seni Rupa” (Tempo, 23 Mei 1992).

Selain kehilangan kemungkinan-kemungkinan itu, Jim Supangkat mengkhawatirkan “seni rupa modern Indonesia kehilangan patokan kebenaran” dengan wafatnya Sanento Yuliman yang “selalu berpikir akademistis karena ia sangat menghormati kebenaran”—sampai-sampai “mencari pembenaran ilmiah menandakan sikapnya yang hati-hati dalam membuat kesimpulan.”

Obituari itu mendapat tanggapan dari penulis seni rupa Agus Dermawan T. dalam “Seni Rupa: Duka untuk Sanento” (Tempo, 6 Juni 1992) dengan kalimat pembuka yang menohok ini: “Barangkali tulisan Jim Supangkat itu bisa menarik dan menggetarkan perasaan pembaca bila tidak dibumbui opininya yang terlampau berlebihan dan mengada-ada.”

Setelah itu Agus Dermawan T. merespons pernyataan Jim Supangkat ihwal keahlian Sanento Yuliman dalam penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia yang “nyaris tidak tergantikan”—dan “kehilangan patokan kebenaran”—sebagai “ngawur, emosional, dan tak masuk akal.”

Pasalnya, tulis Agus Dermawan T., “sebelum Sanento hadir sebagai penulis, Kusnadi dan Sudarmaji sudah menulis sejarah seni rupa modern kita dengan tata historis yang betul. Juga Soedarso Sp. yang kitab-kitabnya bukannya jauh dari kebenaran. Jadi, sesungguhnya Sanento hanyalah sepenggalan belaka dari seluruh kegiatan penulisan sejarah seni rupa.”

Tak mau tinggal diam, Jim Supangkat membalas melalui “Sanento Yuliman: Tanggapan untuk Agus Dermawan” (Tempo, 13 Juni 1992), antara lain sebagai berikut:

“Ada yang aneh sebetulnya, tapi apa boleh buat. Komentar Agus Dermawan (Tempo, 6 Juni 1992) menganggap Almarhum Sanento Yuliman sebagai “cuma” salah seorang penulis seni rupa. Karena itu ia menilai uraian saya tentang peran penting Almarhum dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia (Tempo, 23 Mei 1992, Obituari) berlebihan dan mengada-ada. Ia keberatan. Lebih dari itu, ia ingin menegaskan bahwa opini saya adalah sebuah informasi menyesatkan. Dengan nada sangat yakin ia menyebutnya: ngawur dan sama sekali tidak betul. Saya tidak tahu terminologi apa yang dipegang Agus Dermawan dalam menyebutkan buku sejarah seni rupa Indonesia sudah diterbitkan. Kenyataannya, belum ada sebuah buku pun yang menggunakan judul ‘sejarah seni rupa Indonesia’.”

Agus Dermawan T. tak balik membalas tanggapan Jim Supangkat atas tanggapannya terhadap Jim Supangkat. Yang muncul adalah tulisan Gendut Riyanto berjudul “Sanento Yuliman: Pandangan Seorang Teman” (Tempo, 13 Juni 1992).

Eksponen Seni Rupa Kepribadian Apa itu memandang Sanento Yuliman sebagai kritikus andal “seperti puncak gunung es di samudra luas. Hanya tampak ujungnya tapi memendam kekuatan kukuh hingga di dasar lautan”—dan sebab itu ia mengejutkan.

“Satu lagi yang mengejutkan dari Sanento,” ungkap Gendut Riyanto, “sikapnya yang ‘tidak mengkritik’, dalam arti dan konteks kritik seperti terminologi kritik di masa Dan Suwaryono, Sudarmaji, Agus Dermawan T., Sujoyono, Rudi Isbandi, Putu Wijaya, dan Bambang Bujono. Kritik yang dilancarkannya lebih ditancapkan pada gejala empirik seraya mengkonstruksikan logikanya sehingga yang terjadi adalah analisa kritis, yang menurut sejumlah senirupawan dan kritisi ‘tidak tajam’ atau ‘intelektualistik’.”

***

“Pertengkaran ringan” itu saya rasa seperti pala Minahasa yang menghangatkan benak saya sebelum mencatat perkara-perkara besar di seputar “monumen pemikiran” Sanento Yuliman …***

 

 

lukisan soedjojono

Tengkar Tiga Kurator

Tengkar Tiga Kurator

Oleh WAHYUDIN

 

Kurator bertengkar di media massa adalah perkara biasa, sekalipun langka adanya dan kerap tak saksama, di dunia seni rupa Indonesia. Sebelum “tengkar tiga kurator” ini, saya ingat pertengkaran kurator Aminudin TH Siregar dengan kurator M Dwi Marianto tentang kehidupan seni rupa (di) Yogyakarta di Kompas pada akhir 2001—awal 2002.

Setelah itu terjadi pertengkaran antara kurator Enin Supriyanto dengan kurator Jim Supangkat ihwal kebebasan berekspresi di Kompas dan majalah Visual Arts (2006) lantaran kasus pemakzulan Pink Swing Park Agus Suwage dan Davy Linggar dari CP Biennale 2005.

Itu sebabnya, ketika membaca pertengkaran Jim Supangkat, Hendro Wiyanto, dan Agus Dermawan T. di Tempo dan Koran Tempo (2016)saya merasa menemukan permulaan penuh hikmat kebijaksanaan untuk memenuhi ikhtiar #oneweekonereading, #sepekansebacaan, #oneweekonebook, #satuminggusatubuku sica.asia guna #berbagibacaan dengan pembaca yang mulia.

—WD

 

Satu setengah bulan sebelum pameran The People in 70 Years (OHD Museum, 4 November 2015-30 April 2016), berakhir—kurator seni rupa Jakarta asal Tuban Hendro Wiyanto menulis “Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat” di majalah Tempo (14 Maret 2016).

Dalam tulisan tersebut, Hendro Wiyanto—yang terperangah dengan pernyataan Jim Supangkat, pengampu The People in 70 Years, di majalah Tempo (7-13 Maret 2016) bahwa sang kurator seni rupa Bandung asal Makassar itu “yakin tidak akan terjebak” dalam “masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan” dan “tidak mungkin memilih lukisan palsu”—mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran ‘The People’ itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang ‘tidak ada hubungan sama sekali’?”

Sementara menunggu jawabannya—Hendro Wiyanto menghimbau Jim Supangkat untuk  “membaca dulu ‘Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum’ (rubrik “Layar” Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran ‘The People’ yang dikuratori Jim Supangkat.”

(Salah satu “karyatama yang diduga bukan karya otentik” adalah lukisan Arakan Pengantin S. Sudjojono. Tapi sang kurator bergeming bahwa “itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya.”)

Atas himbauan itu Hendro Wiyanto berharap “mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah ‘terjebak’.”

Lebih kurang tiga minggu berselang Jim Supangkat pun menjawab pertanyaan Hendro Wiyanto lewat tulisannya, “Dua Drama ‘Arakan Pengantin’,” di majalah Tempo (4-10 April 2016). Pokok jawaban kurator mantan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru itu sebagai berikut:

“Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas (…) Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata (…)

Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap ‘tidak terlihat’ juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?”

Sikap tak peduli Jim Supangkat rupanya mendapat perhatian kritis dari kurator  seni rupa Jakarta asal Banyuwangi Agus Dermawan T. Dalam esainya, “AADC? (Ada Apa dengan ‘Curator’?)” di Koran Tempo (Rabu, 11 Mei 2016), Agus Dermawan T. menduga sikap “congkak” Jim Supangkat itu lantaran kritik seni rupa sudah mati di Indonesia. Lebih tepatnya kurator mantan eksponen Nusantara-Nusantara itu menulis sebagai berikut:

“Matinya kritik seni inilah yang menjadikan sejumlah kurator merasa berkuasa sepenuh-penuhnya, dan merasa menjadi agen kebenaran seni nomor satu. Bahkan terhadap lukisan palsu. Akibatnya, ada kurator yang berani bercongkak ria di media massa: ‘Mustahil kurator terjebak lukisan palsu.’ (Tempo, 13 Maret 2016). Mentalitas seperti inilah yang akhirnya dengan cepat digunakan oleh para penyamun seni rupa. Dan seni rupa (Indonesia) pun rusaklah.”

Gawat! Saya pikir Jim Supangkat perlu menjawab pernyataan Agus Dermawan T. itu. Tapi, di atas sikapnya kepada Hendro Wiyanto—Jim Supangkat  tampaknya lebih tak peduli lagi kepada Agus Dermawan T.—sehingga dia merasa tak perlu menjawabnya kapan pun dan di mana pun. Barangkali karena Jim Supangkat tahu bahwa persengketaan itu tak sedikit jua mencederai reputasi OHD. Bahkan sampai hari ini sang kolektor tetap berbangga dan berbahagia dengan apa yang dimilikinya: OHD Museum—sebagaimana musyafir lata (flaneur) yang bangga dan bahagia dalam keluyurannya.

poster publikasi

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Oleh Jajang R Kawentar

Kreativitas itu tidak dapat dibendung dan harus menemukan jalan keluarnya; maka memamerkan karya seniman disabilitas (berkebutuhan khusus) pada pameran virtual Peace in Chaos. Ada sepuluh seniman, Agus Yusuf (Madiun; Daksa), Anfield Wibowo (Jakarta; Rungu Wicara, Sindrom Asperger), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Yogyakarta; Rungu Wicara), Lala Nurlala (Bandung; Asperger), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Sleman; Rungu Wicara), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Lampung; Rungu Wicara), Rofita Rahayu (Gunung Kidul; Rungu Wicara), Wiji Astuti (Gunung Kidul; Amputi Tangan dan Kaki), Winda Karunadhita (Keramas Gianyar Bali; Muscular Distrophy), Yuni Darlena (Bengkulu; Daksa). Digagas oleh Budi Dharma (Butong) koordinator pameran.

Cara damai dalam situasi kacau ini, berbagai kreativitas harus difasilitasi sebagai produktifitas baru menghadapi situasi. Dalam rangka menghindari wabah Covid-19 menyiasati kegiatan kolektif, salah satu solusi adalah event virtual. Event ini melibatkan banyak seniman dan video maker  tanpa harus berhadapan langsung. Seniman tetap di rumah, tetap bisa menjaga jarak untuk menjaga kesehatannya. Tim event virtual exhibition berkerja di rumah mengolah data mempersiapkan penayangan secara online. Hanya mengandalkan media sosial dan handphone.

Seniman terus meningkatkan produktifitasnya sebagai upaya menghindari ketegangan berpikir yang diakibatkan dari kecurigaan karena setiap orang membawa bakal penularan virus. Situasi umum ini meneror terus menerus, sehingga keadaan pandemi terasa kian mencekam.

 

Ketika Melukis Menjadi Pilihan Hidup  

Seni tidak akan ada matinya. Kreatifitas seni terus memenuhi ruang dan waktu dalam kondisi dan situasi apapun. Ia hadir memberikan pencerahan, pandangan serta pemandangan segar, wawasan baru dan pengalaman baru bagi para pelaku dan penikmatnya. Berupa prosesnya atau karya yang dihasilkannya.

Ketika melukis menjadi pilihan hidup, dalam situasi dan kondisi apapun akan tetap melukis. Namun bagaimana ketika melukis itu menjadi pilihan hidup bagi para penyandang disabilitas? Kekuatan, kesungguhan dan keyakinan yang telah teruji terhadap pilihannya itu. Dengan berbagai kendala keterbatasannya adalah kelemahan yang justru menjadi kekuatan meyakinkan semua orang atas kemampuannya. Mereka mampu melewatinya dengan keseriusan menyuguhkan karyanya. Meskipun itu bukan jalan hidupnya, setidaknya melukis menjadi pilihan hidupnya yang bersahabat dan ramah padanya.

Dalam berkarya, mereka tidak memaksa orang lain mengerti disabilitas yang ditanggungnya. Mereka menyadari sungguh dirinya bukanlah objek, tapi subjek seperti juga warga masyarakat lainnya. Mereka tidak meminta dipahami, karena mereka tahu orang yang peduli tidak butuh penjelasan itu. Seperti halnya mereka turut mendonasikan sebagian dari penjualan karyanya disisihkan bagi saudara-saudaranya yang terdampak Covid-19. Semoga dari apa yang ia mampu beri menularkan virus kebaikan dan perdamaian. Menghadiahkan yang bermanfaat bagi semua orang.

 

Keindahan Menjemput Damai

Menikmati karya dari kepasrahan dan ketulusan penciptanya, ada rasa haru dan kagum tak terhingga. Meskipun melihat proses mereka berkarya melalui beberapa photo dan video yang mereka rekam, memahami keindahan maha pencipta dan apa yang diciptakannya. Baiklah kita mulai dengan Agus Yusuf, tanpa kedua tangannya melukis dengan mengunakan mulut untuk menggerakkan kuasnya. Berapa lama ia meyakinkan kalau dirinya mampu melukis dengan indah. Ia betul-betul mahir melukiskan bentuk benda atau objek. Kemauan dan kesabarannya seperti telah menghadirkan kedua tangannya yang tiada itu. Dia memamerkan dua karya lukisan yang mampu merangsang orang ingin memiliki atau ingin mencicipinya seperti lukisan buah apel yang mulai memerah di batangnya diberi judul ‘Menggugah’, dan lukisan Merpati merpati putih berpasangan bertengger di pohon sedang memadu kasih, damainya meraka itu terasa seperti judulnya ‘Damai’.

Anfield Wibowo, memiliki banyak gagasan yang mengalir yang mendorongnya mengungkapkan pada ruang kosong. Dia juga pencatat atau perekam yang baik setiap momentum keindahan yang sangat berarti baginya dan menyentuh hatinya. Sehingga ada beberapa variasi lukisan hasil eksplorasinya. Tiga karya ditampilkan pada pameran ini, ‘Menunggu Chinderella’ dilukiskan suasana malam yang bertabur bintang, di tengah malam itu Chinderella belum pulang usai pesta. ‘Musim Gugur’ dia merekam bagaimana moment ketika berkunjung ke luar negri ketika musim gugur. ‘Smiling Budha’ terkait keyakinan, spiritual dan religiusitas. Ia mengatakan pada kita tentang segala sesuatu yang telah dialami dan ditemuinyanya dengan segala apa yang ia rasakannya, atau itulah pendapatnya.

Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, tertata dengan teknik lukisnya yang mumpuni, bercerita sesuatu yang monumental, dan pesan moral terselip di dalamnya. Suasana yang dibangun adalah kegembiraan, kebahagiaan dan damai. Seperti ‘Bermain ke Negeri Dongeng’ bagaimana anak-anak bermain penuh suka cita dengan berbagai permainan, dan warna-warna cerah disaputkan pada objek-objeknya. ‘Malioboro’ menggambarkan Malioboro yang padat gedung pertokoaan seperti berlomba menembus langit. Serta ditandai pula oleh pesatnya pembanguan gedung baru. ‘Toleransi Antar Umat Beragama’, ia ingin menyampaikan keberagaman beragama dalam bermasyarakat. Pentingnya saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan agama, kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

karya pameran

akrilik di atas kanvas

Lala Nurlala, menampilkan figur imajinatif  yang ilustratif, dengan dipenuhi motif stilisasi tumbuhan. Dia lebih fokus pada garis dan karakter dari figurnya. Garis seperti sebuah strategi dalam membahasakan ketertarikannya pada sesuatu, meredam dan menyelesaikannya. Empat karya Seris Pandemic: Untitled #1-#4 diikutkan pada pameran kali ini. Figur tokoh pewayangan berkarakter pahlawan atau tokoh penyelamat yang diselimuti oleh motif berbentuk ukel membentuk asesoris, busana sampai pada backroundnya. Rumitnya motif yang mendominasi karya tersebut seperti rumitnya situasi Pandemi ini. Dalam satu tema itu ratusan karya bersamaan yang dia ciptakan.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita, ketertarikannya pada sesuatu yang sering dilihatnya, dekat dan dipahaminya mengarahkannya pada sebuah konsep seperti halnya pada titik dan garis. Titik-titiknya membentuk sesuatu yang dia bayangkannya. Bisa dilihat pada karya ‘Titik Terang’ dimana dia membuat titik-titik warna terang dengan backround warna hitam. Titik-titik itu membentuk sebuah motif dan dipisahkan dengan garis menjadi beberapa ruang. Begitupun pada karya ‘Kaktus’, dia mengutamakan titik-titik dan sedikit garis besar membentuk objeknya. Kesederhanaan antara titik dan garis ini seperti sebuah kesimpulan dari konsepnya melukis.

Mochammad Yusuf Ahda Tisar, dalam melukis memiliki kecenderungan pada arsitektur dan sesuatu yang alami dari kearifan lokal. Dia berusaha menjelaskan dengan teliti pemahamannya dari apa yang dia lihat dan dipikirkannya. Pengalamannya telah mengajarkan bagaimana prespektif cara berpikir dan cara meyakinkan kemampuannya, meskipun menggunakan alat dan media sederhana yang dimilikinya. Tiga karyanya, ‘Perlahan Tapi Pasti’, menunjukkan pandangan terhadap sikap atau cara menghadapi sesuatu dengan tenang begitu juga bekicot sedang merayap. ‘Islamic Center dan Bubu Penangkap Ikan’ melukiskan Bubu yang berukuran lebih besar dari gedung, dia seperti sedang merancang bangunan dari Bubu penangkap ikan, inspirasi bagi kita. ‘Rumah Panggung Lampung’, memotret bentuk bangunan asli daerah Lampung, rumah panggung yang kini tidak lagi dibangun di kampungnya.

Rofita Rahayu, dari keterbatasan dirinya, semangat hidupnya untuk selalu mengolah rasa. Pertemuannya dengan media lukis menjadi sebuah perjuangan dalam mencitrakan dirinya, mewujudkan mimpi yang terus dia coba menggapainya. Dua karyanya ‘Tentang Harapan dan Kesunyian’, lukisan ini dibuat detail menggambarkan seorang putri bersayap sedang memeluk dirinya sendiri di angkasa. Satu lagi ‘Habibie’, potret teknokrat yang menjadi presiden Republik Indonesia ketiga, BJ. Habibie dan pesawat origami dengan backround merah putih. Pada visual karyanya itulah dia menaruh harapan dan menggapainya.

Wiji Astuti, perancang busana dari Gunung Kidul Yogyakarta berkarya batik kain yang bisa digunakan untuk menghiasi dinding ruangan rumah, kantor atau hotel dengan dibingkai. Motifnya mengambil stilisasi tumbuhan dan binatang yang kerap ia lihat disekitar kampungnya. Seperti pada karyanya ‘Kimpul Wungu’ yaitu stilisasi dari tumbuhan sejenis talas berwarna ungu, pada jaman revolusi umbinya itu menjadi makanan pengganti nasi dan sekarang sudah hampir punah. ‘Pupus Lumbu’ ini juga stilisasi motif sejenis talas berwarna hijau dan ‘Gareng Pung’ serangga sejenis Tonggeret yang biasanya di goreng menjadi lauk makan. Saking banyaknya serangga itu jadi wabah penyakit bagi pertanian penduduk. Motif Batik yang diciptakannya ini kemudian bisa jadi ciri dari batik daerah Gunung Kidul.

Winda Karunadhita, memamerkan tiga karyanya yang sangat romantis, warna yang membangkitkan kebahagiaan dan rasa damai. Penguasaan mengolah warnanya membuat karyanya menjadi hidup dan komunikatif. Dia bercerita tentang kegundahan hatinya, seperti pada ‘Tujuh Bidadari’. Tujuh bidadari itu sedang mandi di sungai diintip pemuda desa, sebuah suasana yang ceria namun dramatik. Begitupun dengan ‘Beauty in The Dark’ bercerita tiga burung menclok di pohon yang rimbun bunga, dua burung menclok berdampingan dan satunya menclok di dahan bawahnya seperti mengajak dialog. Disitulah cerita burung itu dimulai. Satu lagi ‘Forget Me Not Flower’, kisah dua kupu-kupu di taman bunga-bunga. Untuk menghasilkan karya yang indah itu, ia harus menopang tangan yang digunakannya melukis oleh tangan satunya selama menyelesaikan lukisannya. Tangannya tidak memiliki kekuatan, itulah keterbatasannya. Kekuatannya bertumpu pada semangatnya, keteguhan, kesabaran dan keyakinan hatinyalah, ia  kerahkan dalam berkarya. Lalu berapa lama dan bagaimana ia belajar melukis selama ini?

karya seniman perempuan

oil on canvas

Yuni Darlena, sangat terkesan dengan suasana alam yang indah dan budaya di daerahnya. Mengisyaratkan betapa ia ingin bertamasya ke lokasi-lokasi alam itu, keliling nusantara dan mengabadikannya pada setiap goresannya di kanvas. Suasana alam yang sejuk, aman dan nyaman dalam kesederhanaan realitas kesehariannya, terlukis kerinduan serta damainya alam itu. Selama ini dia hanya dapat membayangkan di atas kursi rodanya. Tiga karya yang dipamerkan, ‘Riak-riak di Kampung Nelayan’ menggambarkan suasana atau keadaan rumah nelayan di tepi laut. ‘Sawahku’ suasana petani pedesaan sedang memanen padinya dan ‘Lentera Bengkulu Tempo Dulu “Kala” Badai’, lukisan heroiknya lentera di mercusuar bertahan dari deburan ombak karena badai, menjadi tanda arah bagi para nelayan atau perahu yang berlayar.

Demikianlah sedikit pandangan mengenai sepuluh seniman berkebutuhan khusus yang tangguh menghadapi situasi pandemik dan bersaing dengan para pelukis umumnya. Kelemahan, kekurangan, kelebihan dan keunggulan itu kuasa Tuhan, sejauhmana kita bersyukur dan berusaha lebih baik. Para seniman ini telah menunjukkan kesungguhannya lebih-lebih, karena dia harus berdamai terlebih dahulu dengan kekuarangan fisiknya. Kita pun bisa berdalih dan katakan ‘Peace in Chaos!

Yogyakarta, 10 Juni 2020

 

Pameran tunggal

Patung-Patung Geppetto van Jogja

Patung-Patung Geppetto van Jogja 

Oleh: WAHYUDIN

Abdi Setiawan, masyhur dengan panggilan Set, adalah Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Dari tangannya yang terampil, sekitar satu dasawarsa terakhir telah lahir “pinokio-pinokio” aneka rupa dan karakter. Ada yang elok, ada yang buruk, ada yang lucu, ada yang kaku, ada yang sok, ada yang lunak, ada yang galak, ada yang bijak. Tapi, semua sama-sama menarik bom imajinasi tak tepermanai. Semua adalah anak-anak kehidupan khayali yang lahir dari pergulatan insani Set.
Itulah yang memungkinkan pemirsa bertualang di dunia-dalam imajinasi kanak-kanak untuk masuk-menemu makna kehidupan atau permenungan hidup orang dewasa sebagai individu dan anggota masyarakat. Kemungkinan itu tersua dalam pameran tunggalnya berjudul The Future is Here di Redbase Contemporary Art, Jakarta, 30 Oktober-30 November 2014.
Dalam pameran tersebut alumnus Institut Seni Indonesia Jogjakarta itu kembali memanggungkan patung-patung sosok anak-anak dan orang dewasa yang pernah tampil dalam pelbagai pameran seni rupa di dalam dan luar negeri. Persisnya, ada tujuh patung sosok bocah laki-laki “bernama” Aktor (2009), Batman (2011), Burger Time (2009), Commodore (2010), Kapiten (2009), The Tiger (2011), dan Ultraman (2010). Kecuali Batman dan Tiger yang berbahan serat gelas atau kaca serat (fiberglass), lima lainnya berbahan kayu.

pameran

Display karya di Galeri Semarang

Dengan The Future is Here, praktik artistik Set boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung. Bukan cakap kecap, pematung kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971, itu sudah menginsafi keserupaan itu sejak 2004, ketika dirinya memanggungkan patung-patung figur manusia kawasan remang-remang pinggir kota dalam pameran tunggalnya yang berjudul Gairah Malam di Lembaga Indonesia Prancis, Jogjakarta.
Dalam kedua pameran itu, The Future is Here dan Gairah Malam, Set sahaja membuka kotak perkakas estetika aneka jenis yang memungkinkan pemirsa meresepsi karya seni patungnya sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan begitu mereka menjadi teremansipasi untuk mengada di antara “yang awam” dan “yang pakar” dalam aktivitas semiotis yang berambisi membuat makna dari tanda dan simbol pada karya seni rupa atau sekadar bersenang-senang memanfaatkan waktu senggang di galeri seni rupa.
Apa pun kepentingan mereka, perkara pemirsa tetap sama: bagaimana menjadi arif dalam suatu perjumpaan yang belum-sudah dengan karya seni rupa. Perkara itu adalah jarak, baik intelektual maupun emosional. Ternyata, dalam pameran The Future is Here, Set sudah mengisyaratkan secara lembut perkara itu dengan menghadirkan patung sosok gadis cilik “bersarira” jelaga dan “bernama” Girl a.k.a Kiss (2014).

pameran

karya patung Abdi Setiawan

Setelah lima tahun pameran The Future is Here berlalu, Kiss, Commodore, dan Tiger (ini kali berbahan kayu) akan tampil kembali dalam pameran Set and His People di Galeri Semarang, 16 November-15 Desember 2019. Begitu pula dengan Pinky, Tatto Man, Belaian Angin Malam, Salome, dan Melepas Lelah, yang pernah berlakon dalam The Flaneur di Nadi Gallery, Jakarta (2007); Asongan dalam A Sign of Absence di Edwin’s Gallery, Jakarta (2013), The Chef alias Mooi Indie dalam Jogja Joged di Artjog, Jogjakarta (2014); Shooter dalam New Sculptures di Metis Gallery, Amsterdam, Belanda (2010); Boogeyman dalam Melihat Indonesia di Ciputra Artprenuer Centre, Jakarta (2013); Awas Anjing Galak di Gajah Gallery, Singapura (tt); dan Si Pelukis Rakyat dalam Potret di Bentara Budaya Yogyakarta (13-22 Agustus 2019).
Dengan begitu, Set bukan hanya melakukan peremajaan atas sejumlah karya patungnya dari lalu waktu, melainkan juga memanggungkan ulang mereka guna pembaruan nilai artistik, ekonomi, dan diskursif yang berkaitan dengan 12 patung baru yang dibuat Set sepanjang sepuluh bulan terakhir di tahun 2019, yaitu To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.
Selain kedua belas patung baru itu, Set mengalih-wahana patung-patung protagonis Malacca’s Boys: Aktor, Hero, dan Sang Kapten, kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan. Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokoh kartun Jepang dan Barat. Keempat lukisan itu bertarikh 2019.
Sampai pada titik itu, saya harus katakan bahwa kebaruan 12 patung dan 4 lukisan tersebut tidak terletak pada perangkat formal dan materialnya. Sejak awal 2000-an Set telah memanfaatkan kayu sebagai perangkat material karya-karya patungnya sehingga memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, amalan artistik pematung Gregorius Sidharta (1932-2006) dan Amrus Natalsya (1933). Tidak juga pada isi yang terpahat, tergurat, atau terekspresikannya. Sebelumnya Set pernah membikin sejumlah patung dan lukisan serupa pada 2012 dan 2017), tapi pada konteks dan bentuk pemanggungannya.

Pameran

Pameran tunggal Abdi Setiawan

Dalam enam pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang memampukan Direktur Sicincin Indonesia Contemporary Art, Jogjakarta, ini menjadi semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia, sehingga membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal (1924-2000).
Ini kali, dalam pameran Set and His People, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara. Alih-alih, dia bertindak sebagai semacam juru-foto yang “menangkap” patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka. Dalam hal itu, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.
Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran “model penggambaran” patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia, dewasa dan kanak-kanak, dan sedikit binatang-boneka-binatang yang berbeda dan khas, kalau bukan baru, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini. (*)

Tabula Rasa

Tabula Rasa

Oleh WAHYUDIN

Dedy Sufriadi seorang pemeluk teguh seni lukis abstrak. Tidak main-main, keteguhan itu sudah mewujud dalam proses kreatifnya sekira dua dasawarsa terakhir. Itu sebabnya, selain terbilang konsisten dalam penghayatannya sebagai pelukis abstrak, alumnus ISI Yogyakarta ini terpandang penuh daya cipta di medan seni rupa kontemporer Yogyakarta.

Sejak 1996 hingga 2018, pelukis kelahiran Palembang 1976 ini telah mengikuti 195 pameran bersama, menggelar 14 pameran tunggal, dan memperoleh 11 penghargaan seni rupa. Itu semua terjadi di ruang gagas seni rupawan, galeri seni rupa, museum, dan bursa seni rupa tidak hanya di dalam negeri, utamanya Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Bandung, Surabaya, dan Bali, tapi juga di manca negara, antara lain Kuala Lumpur, Singapura, Manila, Taiwan, Shenzhen, Gunsan, Hong Kong, Brisbane, Melbourne, Selandia Baru, dan New York.

Atas kenyataan itu, sulit untuk menampik keberadaan Dedy Sufriadi sebagai salah satu penanda penting, kalau bukan salah seorang duta berharga, seni lukis abstrak di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Jadi, bisa dimengerti jika dia tampak unik di mata pemirsa dan pembutuh karya seni rupa kontemporer Indonesia.

Tapi, keunikan daya cipta pemegang gelar master dari Pascasarjana ISI Yogyakarta ini mungkin membingungkan mereka yang terbiasa dengan seni lukis representasional, terutama yang berakar dalam tradisi realisme. Berbeda dengan seni lukis realis yang begitu berambisi menyalin kenyataan sepersis mungkin, seni lukis abstrak “hanya” berikhtiar menggambarkan dunia dengan garis, warna, tekstur, bentuk, dan komposisi yang memungkinkan pemirsa bebas menikmati, merasakan, dan menghayatinya secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya sebagai pengalaman estetis, bukan mimesis, yang tak tepermanai.

Itu sebabnya, seturut sejarawan seni Peter Gay dalam Modernism: The Lure of Heresy from Baudelaire to Beckett and Beyond (2009), seni lukis abstrak menuntut pemirsa untuk “mengalami” apa yang tersua di sana tidak hanya dengan pikiran artistik terbuka, tapi juga penglihatan nan tajam. Sebab, di luar komposisi, warna, garis, tekstur dll. hanya ada kanvas kosong.

Kritikus seni rupa Ossian Ward benar ketika mengutarakan dalam Ways of Looking: How to Experience Contemporary Art (2014), untuk mengapresiasi seni lukis abstrak dibutuhkan kesaksamaan dalam melihat sebagai laku aktif, yang ingin tahu, seraya menyerap, meresap, dan merasukkan apa yang tertangkap mata ke dalam jiwa.

Itu penting karena lukisan abstrak “tidak akan merelakan rahasianya terbaca dengan mudah. Ia menjadi jelas semata setelah (pemirsa) melihatnya terus-menerus atau berulang-ulang, atau ia (mungkin akan) muncul dalam sekejap lantas menghilang secepatnya.”

Dalam kepentingan itu melihat menjelma amalan terbuka pemirsa bermata awas lagi terpelajar atas lukisan abstrak yang membangkitkan pengalaman tentang dunia secara tidak langsung melalui metafora atau alusi yang muncul dari kombinasi warna, garis, bentuk, tekstur dll. Alih-alih, warna, garis, bentuk, dan tekstur itu menandakan makna lain yang tak harfah

Saya kira, pemirsa kiwari yang peka akan menemukan salah dua kekuatan seni lukis abstrak, yaitu ketaksaan yang memuliakan refleksi-diri dan multitafsir, yang akan mendorong mereka untuk tak sekadar menikmati pokok perupaan di permukaan kanvas, tapi juga mengalami makna pengalaman melihat, perasaan artistik murni, dan penafsiran estetis yang bisa jadi berbeda dengan apa yang niatkan pelukis.

Itulah lebih kurangnya sabur-limbur pengetahuan yang saya peroleh setelah memirsai lima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya bertajuk Tabula Rasa di Bale Banjar Sangkring, pada Rabu malam, 7 November 2018. Ini pameran tunggal yang unik karena berlangsung berjamaah dengan pameran tunggal lima perupa lain dari Jogjakarta dan Bali di tempat yang sama sonder kurator, alih-alih “sekadar” penulis dan sebuah “payung besar” tematik bernama Peaceful Seeker #2.

Namun demikian, harus saya katakan bahwa tajuk pameran tunggal pemilik Ruang Seni Nalarroepa tersebut aneh, terutama sebagai “pintu masuk” untuk menikmati kelima lukisan abstrak berbahan akrilik, spidol, lonjor minyak, pensil, dan kanvas, yang bertitimangsa 2018 itu. Apalagi kelima lukisan itu pun berjudul sama, kalau bukan tunggal, yaitu Tabula Rasa (150 x 240 sentimeter), Tabula Rasa #3-6 (200 x 200 sentimeter).

Apa yang tampak aneh di sana adalah kenyataan bahwa kelima lukisan tersebut merupakan dunia-dalam-imajinasi Dedy Sufriadi yang berisi objek-objek non-represetasional atau non-figuratif yang terbentuk dari perpaduan warna, garis, sapuan, totolan, dan coretan yang tak mudah diidentifikasi dalam sekali tatap seperti membaca sambil lalu atau membiarkan beragam acara di televisi melintas begitu saja dengan memencat-mencet tombol jarak jauh (remote control) sekenanya.

Karena itulah saya lebih suka mengkhidmati kelima lukisan tersebut sebagai serangkaian lanskap rupa khayali yang tidak merujuk ke apa pun kecuali dirinya sendiri, sehingga membebaskan penatap untuk tak menganggapnya sebagai citra, apalagi objek intelektual, yang harus dipahami, dipikirkan, dan dianalisis.

Salah satu cara terbaik untuk menikmati, merasakan, atau menghayati kelima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya yang berlangsung hingga 27 November 2018 itu adalah meluangkan waktu menonton secukup-cukupnya, kalau bukan berkali-kali; membuka segala kemungkinan siratan dari pokok perupaannya; dan mengikhtiarkan pengkhidmatan, jika bukan pemahaman dan penilaian, yang akan menghela saya menuju kenikmatan mengapresiasi yang tak berujung. (*)

Nirkias ; Sebuah Pengantar

Nirkias ; Sebuah Pengantar

 

Penulis Grace Samboh

Kebanyakan dari Anda mengenal M. Irfan sebagai pelukis dengan kecenderungan gaya (foto) realistik. Waktra[1] dalam kekaryaan Irfan mulai dari potret, alat-alat dan infrastruktur transportasi (rel kereta api, jalanan, jembatan, pesawat, mobil, dst), penggalan patung-patung dari era Renaissance, sampai dengan alat-alat bantu dalam kerja perbengkelan. Bagi Irfan sendiri, lukisan-lukisan ini justru muncul dari keinginannya untuk menggambar. Hari ini, kita bisa dengan yakin menganggap kecenderungan ini sebagai praktik artistik perupa generasi kelahiran 1970-an. Pada 2001, S. Teddy D. (1970-2016) pernah merumuskannya, “Lukisan adalah gambar yang disederhanakan atau dirumitkan.” Gambar memang mempunyai posisi yang menarik pada generasi perupa ini.

Gambar-gambar yang serupa dengan apa yang bisa kita lihat secara kasatmata ini, menurut Irfan, menuntun pelihatnya untuk menciptakan kiasannya sendiri. Kereta api, ya, kereta api. Jembatan, ya, jembatan. Namun, bagaimana gambar-gambar bisa bermakna tergantung pada bekal pengetahuan si pelihat untuk menciptakan kiasannya sendiri, entah itu pertimbangan, perbandingan, persamaan, perlambangan, ataupun sindiran sekalipun. Seorang insinyur, misalnya, akan bisa mengenali dari tahun berapa alat-alat dan infrastruktur yang digambarkan Irfan berasal. Ia kemudian —mungkin— bisa membangun ceritanya seputar ketersediaan bahan serta teknologi yang digunakan untuk membuatnya dalam konteks poleksosbud di era pembangunan infrastruktur tsb. Seorang sejarahwan dari PUSSIS Unimed, Sumatra Utara, Dr. Ichwan Azhari, misalnya, punya pembacaan lain atas seri karya Irfan tsb. Baginya, Irfan menelusuri penjuru Sumatra dari sudut pandang kolonial. Segala penggambaran temuan Irfan dari sepanjang pengembaraannya adalah hal-hal yang ada di seputar jalanan beraspal —yang dibuat para kaum penjajah untuk mempermudah perpindahan komoditas yang mereka butuhkan.

 

M. Irfan, Hidup segan mati tak mau, Jackfuit wood, iron, LED neon lights, wheel, Variable dimension, 2019

 

Dalam kata-kata Irfan, “Fase menggambar itu justru cenderung mendorong pelihat pada ketunggalan makna. Dia [objek yang digambar] adalah sebuah akhir. Karena objeknya hadir [dan bisa kita kenali], kita akan menggunakan bekal pengetahuan kita untuk melihat dan membicarakannya. Jadi, lukisanku jadi semacam pintu keluar, gitu.” Irfan kemudian membandingkannya dengan fase berkaryanya, pada paruh akhir 1990-an sampai tengah 2000-an, di mana ia cenderung melukiskan esensi. Ya, melukis, bukan menggambar. Pada fase ini, yang tampak dalam lukisan-lukisan Irfan kerap dianggap bergaya abstrak atau minimalis.

Walau hasilnya sama-sama lukisan, proses untuk fase kekaryaan yang ini ia kenali sebagai proses melukis, bukan menggambar seperti yang tadi saya jelaskan. Garis-garis, tekstur, dan komposisi yang hadir dalam kanvas-kanvas Irfan diniatkannya untuk memancing perasaan-perasaan atas kata-kata tertentu, misalnya pada kata benda (spt. celah) atau kata kerja (spt. tumpah). Apa yang tumpah? Cairkah? Kentalkah? Padatkah? Kemana tumpahnya? Kenapa dia tumpah? Menumpahi apa dia? Karena perasaan yang dipancing, tak akan sama khayalan dan pengalaman yang timbul dari lukisan-lukisan Irfan dalam periode ini. Melukiskan esensi, menurut Irfan, adalah menghadirkan semacam pintu masuk pada sebuah pengalaman estetik, bukan pada kemungkinan makna. Pada fase ini, lukisan Irfan menjadi kiasan itu sendiri. Ia tidak mengiaskan —apalagi menawarkan makna— apapun.

 

Kali ini, yang hadir di hadapan Anda adalah fase baru dalam praktik artistik Irfan. Tak ada gambar, tak ada lukisan. Tak ada hasrat untuk menggambar, tak ada keperluan untuk melukis. “Aku justru sedang mencari yang konkret,” kata Irfan. Apa itu yang konkret? Dalam rentang waktu praktik seni di Indonesia, konkretisme hanya sempat berkedip pada paruh akhir 1970-an. Itupun lebih sering bisa kita temukan dalam ranah sastra dan musik. Pada 1975, misalnya, Danarto pernah menolak bersuara di atas panggung di mana seharusnya ia membacakan puisinya. Pembacaan puisi ala Danarto adalah sebuah pertunjukan dalam diam yang menghadirkan beberapa lukisannya serta kotak yang mengeluarkan bergulung-gulung kertas tisu toilet bertuliskan “kata” yang dihambur-hamburkan oleh sejumlah penari. Pada saat itu, Danarto sedang tak percaya dengan kemampuan lafal bahasa (secara) konvensional.

Ia ingin menghadirkan kata-kata sebagai dirinya sendiri, sebagai teks. Apa-adanya. Pada 1979, Siti Adiyati menghadirkan sebuah kolam kecil yang penuh sesak dengan eceng gondok dan diselingi bunga-bunga emas. Pada masa itu, pemerintah DKI Jakarta memang sedang memerangi eceng gondok yang dianggap sebagai benalu di sungai-sungai Jakarta. Adiyati berpendapat sebaliknya. Menurutnya, eceng gondok bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai hal, setidaknya kerajinan, sehingga bisa jadi penghasilan tambahan bagi masyarakat bantaran sungai. Dalam pameran yang sama dengan Adiyati, Bonyong Munni Ardhi menghadirkan pintu studionya sendiri sebagai karyanya. Ia menolak menjadi seperti generasi pendahulunya, S. Sudjojono dkk yang —menurutnya— “sekadar menghadirkan representasi kemiskinan dan perjuangan” dalam kekaryaannya. Bagi Bonyong, kesenian tidak bisa mewakili apapun, sehingga, barang temuan digunakannya sebagai barang itu sendiri. Sengkonkret-konkretnya.

 

Dari senarai pendek barusan, bisa kita kenali bahwa istilah “konkret” digunakan tidak serta-merta sejalan, apalagi sepaham, dengan konkretisme yang lahir dalam konteks Futurisme (di Italia, 1912) atau Dadaisme (Swiss, Amerika Serikat, Paris, sekitar 1915-1922). Konkret dalam perbendaharaan seni rupa di sekitar kita berada pada posisi “yang lebih nyata dari realisme” ketimbang sikap membela material (seperti musik konkret ala Pierre Schaeffer) atau membela eksistensi dan estetika huruf serta lafal (seperti puisi-puisi Tristan Tzara). Sementara, “realisme” adalah sebuah ajaran, paham, sekaligus aliran yang 1) bertolak dari kenyataan; 2) berusaha menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Dengan kata lain, realisme meniru atau mewakili suatu kenyataan tertentu. Pernyataan Irfan —mencari sesuatu yang konkret— patut dibaca dalam temurun praktik rupa yang ada di sekitar kita berikut dengan perjalanan kekaryaan Irfan sendiri.

Ia mengawali praktiknya dengan melukis (dengan kecenderungan gaya abstrak atau, bisa juga, kita sebut minimalis), lalu menggambar (dengan gaya realistik). Dalam kedua fase ini, ia bergumul dengan kiasan dan menghadirkannya dalam wujud wimba[2]. Ada jarak yang tak terelakkan di antara kanvas-kanvas Irfan, Anda selaku pelihat, dan Irfan selaku senimannya. Pertama, jarak antara Anda selaku pelihat dengan karya. Kedua, antara apa yang dikhayalkan Irfan sebelum mencipta dan apa yang hadir dalam karyanya. Ketiga, bekal pengetahuan Anda selaku pelihat dan makna yang Anda ciptakan dari wimba-wimba Irfan yang biasanya hadir dalam ruang datar. Karya-karya pepasang[3] dalam pameran ini mengajak tubuh Anda untuk bergerak, setidaknya mengitari atau mengelilinginya. Lebih dari itu, menurut Irfan, karya-karya ini baru benar-benar selesai ketika Anda menjadi bagian darinya. Ketika Anda berada bersama dan di antara karya-karya ini, entah sekadar menolehkan kepala, mendangak, menunduk, termenung, berpatut, atau, sesederhana, berada bersamanya.

 

Ribuan kilometer ditempuh Irfan dalam penelusurannya di Sumatra. Melalui jalur barat, dua bulan lamanya ia mengembara dari Lampung menuju Sabang, sebuah pulau kecil di atas Aceh. Setelah rehat dua minggu, ia menempuh perjalanan kembali via Medan melalui jalur tengah. Pengembaraan menuju titik berangkat ini memakan waktu dua bulan lagi. Baginya, pengembaraan ini bukan heroik, tetapi sekadar perlu. Perlu karena ia merasa bahkan peribahasa macam ‘gemah ripah loh jinawi’ sudah menjadi asing di telinga apalagi matanya. Paling-paling hanya sekelibat tampak karena ia terpampang di logo taksi resmi Bandara Adisucipto. Tapi, bagaimana wujud alam yang konon ijo royo-royo itu? Bagaimana pengalaman hidup manusia yang masih mengalami kehebatan nusantara itu? Bukan hanya asing, tak jarang peribahasa yang memerikan kecakapan hidup manusia nusantara ini juga telah berubah artinya, entah karena kelenaan daya selidik kita atau karena kesibukan kehidupan perkotaan dan kosmopolitan yang melenakan.

Alah bisa karena biasa, misalnya. Umumnya, orang beranggapan bahwa artinya adalah: 1) Perbuatan yang sukar, kalau sudah biasa dikerjakan, tidak akan terasa sukar lagi; 2) kalah kepandaian oleh latihan. Padahal, menurut penelusuran ahli bahasa Jus Badudu, kata “bisa” dalam peribahasa ini berarti “racun dari ular”. Maka, ketimbang berkonotasi positif sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskannya sekarang, peribahasa ini muasalnya justru berkonotasi negatif: Perbuatan buruk itu ibarat racun, yang, apabila sedikit-sedikit dimakan, lama-lama akan menjadi kebas, dan pelakunya tak lagi merasa bersalah. Berbulan-bulan lamanya ia menempuh pengembaraan yang tujuannya sesederhana pengembaraan itu sendiri. Alam nusantara perlu dialami secara ketubuhan, secara keruangan, dan, bagi Irfan, perjalanan ini adalah salah satu cara konkretnya. Demikian juga senarai pepasang yang menjadi pilihan bentuk Irfan kali ini. Karya-karya ini menuntut kehadiran kita untuk menggenapi kekonkretannya.

 

Jatiwangi, 11 Juli 2019,