Data Artikel

Siobhan McBride Unsettles the Familiar

Apa yang membuat karya Siobhan McBride secara keseluruhan menarik adalah ketertarikannya pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari.

oleh John Yau 5 Januari 2023

 

Siobhan McBride, “Lantern Fly Graveyard” (2022), acrylic gouache, colored pencils, paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches (all images courtesy Long Story Short NYC, formerly Another Gallery NYC)

Keadaan visual di antara dan kontras gelap dan terang, serta keingintahuan saya tentang hubungan antara subjek lukisan dan biografi seniman, yang mendorong saya untuk mengunjungi pameran Siobhan McBride: Never Means Always Not, di Galeri Lain (16 Desember 2022–8 Januari 2023), dikuratori oleh Stavroula Coulianidis. Seolah-olah untuk memperkuat perasaan saya bahwa pekerjaan itu tentang perubahan dan perasaan tidak selaras dengan lingkungan seseorang, saya mengetahui bahwa pada tanggal 1 Januari 2023, galeri tersebut telah berganti nama menjadi Long Story Short NYC.

 

Meskipun saya menyimpulkan bahwa lukisan McBride didasarkan pada foto, lukisan tersebut bukanlah fotorealis. Nyatanya, secara spasial mereka tampil sangat berbeda dari kebanyakan lukisan realis berbasis foto, yang cenderung meratakan pemandangan. Penghalang dan ruang di luarnya, bersama dengan ruang yang hampir tertutup di setiap lukisannya, tampaknya menjadi inti dari pokok bahasannya. Meskipun saya pertama kali melihat karya di komputer saya, aspek lain yang menurut saya menarik adalah interaksi antara area datar warna dan ruang tiga dimensi, malam yang aneh atau cahaya buatan, dan minatnya pada permukaan padat dan transparan, pantulan dan bentuk, dan siluet tajam. Menurut siaran pers, “Siobhan McBride lahir di Seoul, Korea Selatan, dan diadopsi ke Queens, NY, saat masih bayi” dan beberapa pekerjaannya berkaitan dengan “pencarian identitas biologisnya di Korea”. Bersama dengan unsur formal, informasi yang berbeda ini membuat saya ingin mengetahui apakah 12 lukisan berukuran sedang dalam pameran itu semenarik yang saya bayangkan. Saya segera melihat itu.

 

McBride bekerja dengan guas akrilik, akrilik matte, spidol cat, dan pensil warna di atas kertas yang dipasang di atas pensil. Lukisan-lukisannya penuh dengan detail yang tidak biasa, yang dihasilkan dari penggunaan bentuk abstrak sederhana, kebanyakan persegi panjang, dengan cara yang tidak langsung dapat dibaca. Dia menggambarkan ruang sebagai sebagian tertutup dan diblokir, dan pada tingkat tertentu tidak dapat diketahui, yang dikombinasikan dengan siluet abstrak dengan tepi rumit yang terbaca sebagai pemandangan udara yang aneh dari dedaunan pohon di “Makam Terbang Lentera”, misalnya, atau sebagai garing, bayangan tak menyenangkan yang ditimbulkan oleh detail arsitektural dalam “Jonno-gu Night Walk” (keduanya tahun 2022). Pemandangannya misterius dan bahkan meresahkan.

Siobhan McBride, “Five Doors” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

McBride memberi tahu saya bahwa dia memotret interior apartemen tak berpenghuni, jalan-jalan kota yang sebagian besar kosong, dan permainan arcade yang dia gambarkan dalam karyanya. Sementara perhatian terhadap detail dan permukaan menarik perhatian pemirsa ini, apa yang membuat karya ini secara keseluruhan lebih menarik daripada fitur-fiturnya yang berbeda adalah minat McBride pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari: berbagai jenis cahaya yang hidup berdampingan di sebuah kota. jalan di sore atau malam hari, pemandangan melalui apartemen atau jendela mobil, dan pantulan di permukaannya.

 

Secara lebih luas, McBride tampaknya sedang mengeksplorasi cara membuat sesuatu yang segar dari yang biasa tanpa menggunakan trik yang biasa, seperti detail yang berlebihan, palet warna yang tidak realistis, atau penjajaran surealis. Dia menggabungkan detail berdasarkan pengamatan yang tidak dapat diuraikan secara instan, yang mengganggu kemampuan kita untuk memahami segala sesuatu dengan lancar. Perlawanan itulah yang saya sukai dari lukisan-lukisan itu.

 

Dalam “Canopy” (2021), kami melihat ke luar jendela di sebuah rumah yang cukup terang dengan pohon hitam besar yang tertutup salju di depannya. Bagian lukisan, seperti jendela bercahaya di lantai dua bangunan, menyertakan detail yang ada di sisi lain keterbacaan, sedangkan sisi atas dan bawah rumah datar dan berwarna solid. Siluet gelap dan rumit pada area putih dengan sedikit gradasi di bawah sisi kiri pohon dapat dilihat sebagai bayangan di atas salju, tetapi tidak ada bayangan yang muncul di sisi kanan pohon. Bagaimana kita memahami apa yang tampak sebagai perbedaan di sini? Atau di tempat lain, di mana sesuatu yang terlihat melalui jendela tampak berubah menjadi pantulan? Ambiguitas itu membuat saya terus mencari. Apa yang bisa dengan mudah menjadi pemandangan klise – sebuah rumah dengan pohon yang dipenuhi salju di depannya – menjadi sesuatu yang lain. Itu bukan prestasi kecil.

Siobhan McBride, “Jongno-gu Night Walk” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

“Five Doors” (2022) disusun seolah-olah seseorang sedang duduk di samping wastafel kamar mandi, melihat melalui pintu ke bagian lorong di mana dua pintu lagi, satu terbuka dan yang lainnya tertutup, terlihat. Kami melihat sebuah lorong, ruang yang mungkin tidak kami perhatikan. Handuk mandi oranye tergantung di sepanjang tepi kanan lukisan. Di belakang kabinet dan wastafel yang dipotong, memanjang ke dalam dengan sudut yang tajam, dan keranjang anyaman adalah lemari terbuka dengan rak. Apakah ini juga memiliki pintu, yang menjelaskan judul lukisan itu? Mengapa keset karet di lantai tepat di luar kamar mandi? Pemandangannya hambar, aneh, familiar — sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan dua kali, bahkan jika kita melihatnya setiap hari. Semakin lama saya melihat lukisan itu, semakin menimbulkan pertanyaan bagi saya, yang merupakan arah yang tidak biasa untuk diambil oleh seorang pelukis dalam kehidupan sehari-hari.

 

“Makgeolli Snack Run” (2022) menampilkan jalan lingkungan di Seoul pada malam hari. Seperti dalam “Lima Pintu”, pemirsa ditarik ke ruang yang terbuka dan tertutup, dapat diakses dan tidak dapat diakses. Namun, alih-alih memasangkan pintu yang tertutup dan terbuka, dia menggambarkan jalan sempit yang agak miring ke ruang gelap, dengan bangunan empat lantai yang gelap di ujungnya. Satu jendela menyala menerangi gedung apartemen berukuran sederhana ini dari dalam. Pita cahaya gradien dari sumber tak terlihat mengalir di bawah gedung. Jalan ini terasa jauh tetapi mungkin bisa menjadi tujuan. Dua kipas besar yang menjorok ke dalam dari tepi kanan bawah lukisan menunjukkan bahwa kami meninggalkan bangunan setinggi jalan.

 

McBride menggambarkan pemandangan yang kita lihat sambil lalu, melalui jendela mobil di hari hujan (“Deluge,” 2022), sambil melamun (“Lantern Fly Graveyard,” 2022), atau sambil fokus pada aktivitas lain (seperti game arcade di “ Gembok Cinta dan Kereta Gantung,” 2022). Itu adalah barang-barang dari kehidupan seseorang, sebuah kronik dari momen-momen yang biasa dan bermakna sekaligus. Masing-masing menampilkan perhatian khusus pada terang atau gelap, warna yang menentukan materi pelajaran. Segalanya tampak seolah-olah baru pertama kali dilihat. Dalam detail abstrak dan pergeseran tiba-tiba yang menolak terjemahan, seniman menyampaikan perasaan tergeser dan tidak nyaman sebagai bagian dari pemandangan seperti trotoar atau bangunan.

Siobhan McBride, “Canopy” (2021), acrylic gouache and paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches

Siobhan McBride: Never Means Always Not berlanjut di Long Story Short NYC (52 Henry Street, Two Bridges, Manhattan) hingga 8 Januari. Pameran ini dikuratori oleh Stavroula Coulianidis.

Pameran kelompok nesos

Pameran kelompok Nesos

Prosaic Poetic 

Pameran kelompok Nesos yang terdiri dari Aam Artbrow, Aly Waffa, Mayek Prayitno,
Mahendra Pampam, Wira Datuk, Suwandi Waeng, Rifai Prasasti, Ulil Gama dan Wibi Asrob
diselenggarakan di NW Art Space dari tanggal 23 Juli – 12 Agustus 2022. Pameran itu diberi
judul “Prosaic – Poetic” yang bisa diartikan sebagai ‘persoalan kehidupan keseharian yang
kemudian ditarik inti-intinya’ untuk dijadikan solusi dalam bahasa jiwa.

Secara umum orang-orang merasa hidup dalam tatanan realitas; bagaimana upaya
mereka bertahan hidup, berjuang meraih cita-cita, bermasyarakat dan bernegara adalah
kenyataan yang membosankan yang tidak bisa dibantah. Kenyataan seperti ini yang kemudian
dikategorikan sebagai prosaic. Di balik kenyataan terdapat suatu ruang yang memiliki
realitasnya sendiri yang disebut imajinasi. Imajinasi biasanya dianggap sebagai sesuatu ruang
yang tidak nyata, pengkhayal, imajiner. Dunia imajinasi memiliki ruang yang tidak terbatas
dengan memungkinkan ketidaknyataan menjadi nyata (Mayek Prayitno, 9 Juni 2022). Ruang
seperti ini yang disebut poetic.

Metode analisis yang saya gunakan dalam membedah permasalahan yang terungkap
melalui karya-karya kelompok ‘Nesos’ adalah teori Imajinasi J. Engell dalam Journal
Cambridge. Dalam teori itu disebutkan bahwa imajinasi adalah kemampuan tertinggi manusia
yang memungkinkan nalar bekera dan perasaan menggeliat. Imajinasi adalah alat manusia
untuk membongkar segala yang mengungkungnya, untuk menjangkau yang tak terbatas, alat
untuk mengubah dan menggubah realitas, dalam arti mengadakan perubahan hidup sekaligus
menciptakan realitas baru. Shelley memodifikasi realitas sehari-hari menjadi being is
imaginary, kenyataan adalah apa yang kita imajinasikan. Shelley beranggapan bahwa
imajinasi manusia adalah bagian dari budi universal, sekaligus merupakan aspek ilahi dalam
kodrat manusia. Imajinasi menyebarkan sinar tak terlihat yang menghubungkan dan
menghidupkan segala hal. Bahkan jiwa manusia, katanya, dihidupi oleh inajinasi,sementara
akal adalah bagian tubuh (otak) semata (Engell, 1981/256-264).

Pengalaman macam itulah yang akhirnya mengubah sikap reaktif (menjawab) menjadi
kreatif (mencipta); kecenderungan reseptif (mencerap) menjadi formatif (membentuk).
Pengalaman indrawi menyentuh intuisi lalu membukakan imajinasi.
Karya-karya lukisan Aam Artbrow, Aly Waffa, Mayek Prayitno, Mahendra Pampam, Wira
Datuk, Suwandi Waeng, Rifai Prasasti, Ulil Gama dan Wibi Asrob bisa dikatakan menarik inti masalah dalam kehidupan keseharian menjadi metafor-metafor imajinasi yang bisa
dikomunikasikan kepada khalayak umum. Sebab seni murni pada dasarnya adalah
komunikasi. Komunikasi antar manusia melalui penafsiran atas sebuah karya. Bahasa yang
digunakan dalam komunikasi seni murni adalah bahasa imajinasi, yaitu imajinasi rupa yang
bentuknya diolah sedemikian rupa hingga menjadi metafor yang bermakna. Dalam bahasa
poetic ini memang tak ada gramatika baku seperti dalam bahasa prosaic. Bahkan setiap
seniman bebas untuk menciptakan sendiri ungkapan khas atau ideolect-nya secara pribadi.

Dalam komunikasi itu logika yang bekerja pun berbeda, yaitu cenderung didominasi
‘logika rasa’ imajinatif yang sangat mengandalkan imajinasi dan hati. Tentu saja saat
menafsirkan karya, ‘logika nalar’ konseptualpun ikut berperan, namun kekhasan komunikasi
lewat karya seni terletak bukan pertama-tama pada ‘makna’ logis konseptualnya, melainkan
pada ‘efek’ rasawi imajinasinya. Melalui efek rasawi itulah orang lantas lebih lanjut
menalarkan ‘makna’-nya. Pada titik ini seni memang merupakan kegiatan memproduksi efek
indrawi, efek imajinatif dan rasawi.

Maka tak heran apabila filsuf Aristoteles mengungkapkan, bahwa orang-orang jenius
yang sesungguhnya bukanlah mereka yang canggih menghitung atau menyimpulkan gagasan,
melainkan mereka yang mampu menciptakan metafora-metafora baru yang mengejutkan,
cara-cara baru yang segar untuk memahami kenyataan. Dari sisi ini karya-karya poetic tiada
lain adalah bermacam upaya untuk merekayasa kognisi, cognitive engineering (Scheling,
1989: 22). Semacam itulah yang dapat kita harapkan dari para seniman kelompok Nesos yang
berpameran kali ini di NW Art Space.
Selamat berpameran.

BSG Jambidan, 18 Juli 2022
Aa Nurjaman

  • Pustaka
    Engell, J. ”The Creative Imagination: Englightement to Romanticism”. Cambidge Mass.
    1981/256-264
    Irawati, Ferra. “Analisis Visual Lukisan Karya Aly Waffa Periode 2019-2022 di Gresik
    Jawa Timur”. Jurnal Seni Rupa, Vol. 10, No. 5, Tahun 2022/79-91.
    Mandoki, Katya. 2007. Everyday Aesthetics: prosaics, the play of culture, and social identities.
    Aldershot: Ashgate.
    Scheling. 1989. The Philosophy of Art. Transl: Douglas W. Stott. Minnesota: University of
    Minenesota Press.
    Deskripsi Mayek Prayitno, 9 Juni 2022

Pesan Baru Akhir Tahun

Pesan Baru Akhir Tahun

Ditulis oleh Jajang R Kawentar

Seni Preeet terbuka umum, memiliki agenda Pameran New Message Space (Ruang Pesan Baru) Pameran ini digelar Bangunjiwo ArtDome (Rumah Teletubbies) Cikalan, Rt. 02 DK. II, Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul Yogyakarta, Minggu, 27 Desember 2020 – 27 januari 2021. Pameran ini bersamaan dengan pameran penggalangan dana untuk seniman disabilitas disfungsi dua kaki, Edy Priyanto, korban tabrakan yang mengalami patah tulang bahu kanannya,  luka di kepala dan pan di kaki lepas.

Menampilkan 15 perupa dari latar belakang pendidikan dan budaya berbeda, Medan, Jawa Barat, Minang, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, Palembang, yang berproses di Yogyakarta. Diantaranya; Deden FG, Paul Agustian, Riki Antoni, Desmond Zendrato, Baraliar/Chacha Baninu, Dadang Imawan/Dewi a.k.a. DuaDe, Ratih Alsaira, Ipo Hadi, Ahmad Arief Affandi, Agapitus Ronaldo, N. Rinaldy, Dadah Subagja, dan Windi Delta.

Seni Preeet menyajikan Mural, Grafity, Colagge, Instalasi, performance art.  Karya seni yang tidak diseriusi tapi berpikir serius. Seperti bermain menciptakan aturan mainnya sendiri. Inti dari pesan Seni Preeet tetap konsisten saja. Pesannya bersifat mengingatkan yang ditujukan untuk diri sendiri. Meskipun sesungguhnya sebuah pesan itu juga berlaku umum. Seperti undang-undang Preeet berkata: “Kita tidak pikir apa yang orang pikir, kita berpikir apa yang kita masalahkan.”

Anggap saja Seni Preeet anak-anak yang selalu rindu mencintai sukacita, dan kasih sayang. Meskipun yang terlibat dalam pameran ini semua pemuda paruhbaya (dewasa), bukan anak-anak. Jangan sampai kita merasa paling baik dan paling benar sehingga merendahkan sesamanya, bahkan menghabisinya. Belajar hidup tidak menyimpan rasa dendam, tidak merugikan orang, marah biasa, bertengkar sebentar setelah itu akur lagi. Hidup sementara, seni itu umurnya panjang. Tidak perlu terlalu ngotot dalam berkesenian, cukup ngotot dalam berkarya.

Karya-karya yang terdisplay seperti harapan senimannya, memilih tempat dan mengaturnya sendiri, hingga karya itu menempatkan bunyi pesan pada ruang. Ruang pesan baru melekat pada karya, letak karya, pertunjukkan dramatikal senimannya, diungkapkan melalui tulisan dan secara verbal.

Andai hal ini bagian dari kebebasan, demokrasi, atau toleransi; dengan cara seniman diberikan hak penuh mengatur penempatan, memasang karya sendiri, kemudian meresponnya. Sehingga tidak lagi membutuhkan ahli display atau mengatur kelayakan menurut aturan standar display. Mungkin ini tragedy mengurangi karakter sistem kerja kurasi.

 

 

Ketika perupa berkhayal mewujud ke dalam karya seni, disitu ada ruang pesan baru, ada pesan baru ruang. Ada pesan baru dalam sebuah ruang, ada ruang apa dalam pesan baru? Ada jejak yang baru tertinggal atau sengaja ditinggal disebuah ruang. Meskipun kini pesan-pesan baru itu berhamburan dan berulang-ulang, bahkan berulang pesan yang sama, pesan seperti baru. Pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak ada, namun seperti nyata. Pesan baru itu dibuat seperti nyata, meskipun faktanya tidak ada. Adapun demikian faktanya nyata, pesan baru mengubahnya menjadi ilusi, disamarkan atau malah ditutupi dan dihilangkan.

Apa yang bisa ditangkap dari sebuah pesan baru, apa yang bisa diungkap dari pesan baru? Tentunya pesan baru itu seperti juga segala sesuatu yang dihadapi dialami dalam menjalani kehidupan. Berbagai macam persoalan saat ini, pengalaman dan pengetahuan baru, yang didedikasikan kepada bahasa seni.

 

Tembi, 22 Desember 2020

Kurapreeet

FREEDOME

Mendekati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 75 pertemuan tidak sengaja membicarakan masalah kemerdekaan, seni rupa dan project seni Preeet. Bagaimana rasa nasionalisme itu terbangun dan dibangun dari berkumpul tidak sengaja. Berbicara masalah perjuangan melawan penjajah, melawan kolonialisme, kapitalisme, dan masalah oligarki, sampai pada pasar seni rupa. Quo Vadis Seni Preeet?

Pada intinya bagaimana menggagas pameran seni yang sederhana namun syarat makna. Melibatkan generasi milenial, tanpa mengurangi partisipasi orang tua yang mengaku perupa tapi sudah tidak berkarya kecuali dapat order atau dapat tawaran pameran (seniman masif) dan melibatkan masyarakat sekitar. Tidak hanya sekedar tontonan tapi juga tuntunan dan yang paling penting menghasilan kritik, selebihnya menghasilkan duit.

Masing-masing berbicara dengan kemampuan dan pengetahuan alakadarnya. Tanpa embel-embel gelar Prof.Dr. atau referensi buku, semua mengalir berdasar pengalaman alakadarnya. Bicara ngalor ngidul tanpa sedikitpun membahas masalah tranding topik masyarakat dunia, Covid-19. Mungkin pertemuan tidak penting dan tidak sengaja itu juga karena alasan virus itu atau karena ingin membebaskan diri dari virus yang membelenggu pikiran.

Barangkali karena terbiasa dan teruji dengan penderitaan yang kadang menakutkan seperti raksasa yang hendak mengejar dan melahap. Mental yang metal yang mantul (Mantap Bantul); segala sesuatu adalah kebutuhan hidup yang mau tidak mau harus dihadapi dan dilewati.

Pertemuan tidak sengaja itu melahirkan semangat Pancasila, semangat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), guyub rukun, ingarso sung tulodho, bahagia walau menderita. Semua akan kembali kepada fitrahnya FREEDOME, yaitu sederhananya pameran seni rupa tidak sesederhana di Bangunjiwo Artdome.

Intinya menderita itu harus dirayakan rame-rame biar bahagia. Bahagia rame-rame itu harus disyukuri walau menderita. Intinya belajar tegar, belajar menghadapi kenyataan seperti seorang ibu. Intinya itulah kelebihan kita, yaitu ngeyel harus kreatif. Pepatah seni Preeet mengatakan; ‘Kita tidak pikir apa yang orang pikirkan, kita berpikir apa yang kita masalahkan.’

Bagaimana melihat orang bahagia, kita juga ikut bahagia. Bukan melihat orang pameran kita juga sibuk bikin pameran. Bukan juga sibuk ngomongin orang pameran jualan. Intinya kita semua orang butuh bahagia. Bisa pameran juga salah satu kebahagiaan, bisa juga itu penderitaan. Masih banyak seniman tidak bisa berpameran, dalam hatinya mungkin ingin sekali ikut pameran.

 

Edi Priyanto, Best Friend, Acrylic on Canvas, 30 x 30 cm, 2019

Edi Priyanto, Best Friend, Acrylic on Canvas, 30 x 30 cm, 2019

 

Mari ke Bangunjiwo Artdome ada pameran FREEDOME di Rumah Teletubies, Cikalan, Rt.02 DK II, Ngentak Bangunjiwo, Kasihan Bantul, Yogyakarta. Pameran seni rupa seniman kampung yang gawul. Bergaya NgeHip-Hop, NgePopSurealist, Ngabstrak, Ngekinetik, Ngegrafis, NgeBrut, Ngerealis contemporer, semua memiliki kelebihan kekuatan dan memiliki misi visinya masing-masing. Intinya Bahagia dan FREEDOME.

Pameran memperingati Kemerdekaan Indonesia ke 75 ini, menampilkan karya 17 seniman, diantara seniman yang pameran tersebut: Ahmad Arif Affandi, Dadah Subagja, Dadang Imawan, Deden FG, Desmond Zendrato, Edy Priyanto, Fikri MS, Juned Coret, Riki Antoni, Ipo Hadi, Nurify Basuki, Paul Agustian, Oktavianus Bakara, Sukri Budi Dharma aka Butong, Togi Mikkel, Wijexs, dan Windi Delta. Sekaligus meresmikan Bangunjiwo Artdome yang membebaskan oleh pemiliknya Deden FG dan Selectia Rizka Alissawarno.

Kita tidak menerima saran tapi kita menerima kritik. Semoga dengan adanya kritik kita semua sadar bahwa kita memiliki kelemahan dan kekurangan begitupun yang mengkritik. Kita akan selalu belajar sampai menemukan kesempurnaan.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 75 semoga semakin dewasa toto tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah. Intinya mah kita bahagia. FREEDOME Bangunjiwo Artdome, Merdeka!!!

Bangunjiwo, 16 Agustus 2020

Jajang R Kawentar

Kurapreeet

Pesan Berhentinya Perang di Bandung Connex Art Month 2018

Oleh Jajang R Kawentar

‘Studioku di Galerimu’ itulah tajuk Proyek Seni Iwan Ismael di Galeri Depan, Rumah Proses, jalan Mutumanikam 47. Buahbatu, Bandung yang dibuka pada hari Sabtu, 25 Agustus 2018 pukul 19.30 WIB dan berlangsung sampai tanggal 9 September 2018. Menawarkan kehidupan pigur masyarakat urban jaman sekarang di negeri ini, serta tokoh fenomenal dengan teknik stencil. Selain karya stencil, menghasirkan Tungku Bromvit serta perlengkapan memasak kopi yang selalu dibawa ketika bekerja di luar kota dan menandai dibeberapa titik dinding kota itu.

Proyek seni Iwan Ismael memberikan pesan bahwa perang telah berakhir. Pesan itu dititipkannya melalui karya yang mengambil pigur presiden Korea Utara dan Korea Selatan yang notabene berbeda pandangan politik dan ideologi sepakat berdamai, bersalaman mengakhiri perang. Karya setinggi 5 meter, lebar 3 meter diposisikan sebagai pintu gerbang. Mengisyaratkan kita memasuki wilayah perdamaian: tanda cinta kasih antar sesama bersemi, rasa kasih sayang dimuliakan.

Moment bersalaman pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Korea Selatan, Moon Jae-in pada pertemuan Konsprensi Tingkat Tinggi (KTT) setelah mereka bermusuhan 65 tahun, resmi menyatakan berakhirnya perang dan era baru perdamaian dimulai. Moment ini seolah meruntuhkan kekuasaan yang arogan, dan memberi pengertian bahwa menciptakan perdamaian untuk mencapai kesejahteraan, serta keutuhan bangsa tidak perlu dengan kekerasan apalagi senjata.

Sikap yang ditunjukkan oleh kedua pemimpin Korea itu, tentunya dapat menjadi tauladan bagi para pemimpin rumah tangga yang menjadi pemimpin pemerintahan, guru, pemimpin organisasi dan pemimpin masyarakat. Menciptakan perdamaian itu tidak mudah kalau tidak ada keinginan mewujudkannya.

Kita juga diajak melihat berbagai peran dan pigur dari bangsa sendiri dalam realitas hidup seperti diwakilkan pada puluhan pigur masyarakat urban yang dipertemuakan dalam satu ruang pamer. Ekspresi dan karakternya menampakan heroisme perjuangan mempertahankan dan mempertaruhkan hidup berbangsa bernegara, serta bermasyarakat. Begitupun kopi serta perlengkapan memasaknya sekaligus penyeduhnya yang turut dihadirkan, menjadi media penghantar mencairkan suasana merenggangkan ketegangan, dan siapapun menginginkan damai.

 

Proyek Seni Jaringan

Kejelian Rudi ST Darma pemilik Rumah Proses mengkoneksikan Iwan Ismael dengan Bandung Connex Art Mont Juli-Agustus 2018 sehingga beberapa kota dan orang-orang yang terlibat proyek seni ini seperti tombol listrik, ketika tombol dinyalakan maka semua jaringannya terhubung.

Lebih dari 50 stencil karya Iwan Ismael yang lengket di dinding-dinding dibeberapa kota Indonesia sebut saja Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Tegal, Bali, dipertemukan dalam sebuah ruang Galeri Depan, Rumah Proses dengan berbagai ukuran. Dirancang seperti ruang perdamaian dengan kopi pemantik dialog, itulah kondisi studio Iwan di galeri Rudi.

Dalam mempresentasikan karyanya, Iwan menyemprot ulang karya stencilnya di sekeliling dinding Galeri dengan mengunakan warna hitam dan abu-abu. Dia memperlakukan karyanya sama seperti ketika menandai dinding dibeberapa titik kota, menjadikan dinding galeri banyak bercerita mengenai kehadiran pigur masyarakat urban dan dinding itu menjadi sangat berharga. Sebagaian karya ditempatkan disepuluh neon box ukuran 40cm x 60cm x 5cm.

Karya-karya yang melekat di dinding galeri mengkoneksikan antar dinding-dinding kota yang ditandai karya stencilnya. Sehingga proyek seni Iwan tidak hanya berusaha mengkoneksikan kesenian, dan seniman yang ada di Bandung, namun dengan pameran ini Iwan berhasil mengkoneksikan beberapa kota di negeri ini melalui karya stencilnya dan orang-orang yang terlibat.

Tidak ada penempatan lighting secara khusus pada ruang pamer tersebut, cukup dengan sepuluh neon box yang sekaligus bagian dari karyanya. Penonton dapat merasakan suasana damai dari teriakan-teriakan keresahan pigur-pigur karya stencil yang berperan mewakili profesinya di masyarakat.

 

Figur Iwan ismael

Iwan ismael kelahiran Medan Juni 1966 kali pertama pameran tunggal karya stencil, dari ratusan karya yang telah dibuatnya. Dalam kurun waktu empat tahun secara intens mengerjakan stencilnya. Di sela-sela waktu kerja ia mengumpulkan ampas kopi dan mengkereasikan tungku yang berbahan bakar briket dari ampas kopi.
Sementara pigur-pigur yang menjadi objek stencil memiliki hubungan secara emosional, tidak serta merta objek yang dijadikan stencil menjadi karya yang bisa dipresentasikan. Pigur-pigur itu pernah bertemu dan berdialog. Mereka masyarakat biasa bukan orang-orang terkenal. Seperti tukang las, tukang sampah, anak-anak kampung, polisi, tukang parkir, seniman, dan ada beberapa pigur tokoh yang monumental serta pigur idola masyarakat. Namun yang tidak kalah menariknya adalah riwayat dari pigur-pigurnya dan proses pertemuannya hingga menjadi karya stencil, itu hanya milik senimannya.

Peristiwa yang dialami pigur-pigur dalam karya stencil dengan proses memasak kopi, dialog antar pengunjung pameran dan penyeduh kopi seperti sebuah drama yang selalu berubah topik pembicaraan, berbagai ekspresi, polemik dan klimaksnya. Namun semua berada dalam koridor perdamaian yang sejuk, demokratis dan menyenangkan. Seperti menikmati pahitnya kopi dan manisnya gula.

Melihat pigur Najwa Sihab stencilan yang disemprot warna abu-abu di dinding dipojok ruang seperti sedang mewawancarai semua pigur yang hadir dan mendengarkan pembicaraan para pengunjung pameran. ‘Studioku di Galerimu’ adalah ruang belajar bagaimana berbagai masalah sosial diselesaikan dengan azas kerukunan dan gotong royong mencapai mufakat, didialogkan dalam sebuah forum seperti cita-cita para pendiri negeri ini.
Semua patut bicara berbagai masalahnya, menghargainya, mencarikan solusinya, menghantarkan pada perdamaian dan kesejahteraan bersama. Begitulah yang selayaknya dibangun cita-cita luhur bersama dalam perdamaian abadi.
Tasikmalaya, 1 September 2018

Jajang R Kawentar penulis Art Critique Forum Yogyakarta

UNCH

“unch: The entire crotch area of a human being, with emphasis on the lower part of the genitalia. Meant to refer to the entire experience of the crotch and its contents”[1].

 

Coba saja ketik kata “unch” di mesin pencari seperti google maka yang ditemukan adalah tulisan dan berita yang membahas tentang kesadaran penggunaan kata ini dalam kaidah yang tidak tepat di Indonesia. Entah dari mana bahasa ini muncul, namun dalam urban dictionary kata ini adalah salah satu kata Slang (Bahasa Gaul) dalam bahasa inggris yang di adopsi dengan “lugu” di Indonesia.

Merujuk pada top definition dari urban dictionary di atas, unch adalah kata yang merujuk kepada bagian intim dari manusia, atau dalam lingkup yang lebih luas, unch adalah pengungkapan ekspresi jika bagian intim seseorang di sentuh. Namun di Indonesia, kata ini mengalami akulturasi makna yang cukup ekstrem, dimana “unch” di umbar dalam ranah publik seperti media sosial, aplikasi daring, dan bahkan dalam percakapan langsung sebagai kata yang menggambarkan sesuatu yang lucu, imut, menggemaskan, atau ungkapan kekaguman akan sesuatu. Amati kata “unch” dalam komunikasi di facebook , twitter dan Instagram maka kita akan menemukan penempatan kata ini dalam variasi yang janggal.

Perubahan janggal dalam akulturasi bahasa slang di Indonesia mungkin menganalogikan bagaimana pengaruh seni dari barat di bawa masuk ke Indonesia, yang dalam istilah barat saat sekarang disebut sebagai zaman kontemporer. Dalam dunia barat, sebuah paradigma menarik yang dijabarkan oleh sosiolog  Nathalie Heinich tentang seni modern dan seni kontemporer yang menurutnya saling tumpang tindih. Seni modern lebih mengarah ke konvensi dari representasi sedangkan seni kontemporer lebih ke arah gagasan tentang karya seni itu sendiri[2].  Pengamatan Nathalie ini secara terbuka mengarahkan seni kontemporer bukan tentang keindahan semata, melainkan seni sebagai cara berpikir dan upaya-upaya untuk mengungkapkan gagasan kepada apresian. Titik awal seni kontemporer di dunia dapat di tandai dengan karya Marcel Duchamp yang berjudul “Fountain” yang di buat pada tahun 1917[3].

Sementara di Indonesia, Generasi Seni Rupa Baru (GSRB) dianggap sebagai perintis seni rupa Kontemporer di Indonesia yang baru dimulai pada tahun 1975. Menurut FX Harsono , yang menunjukkan perbedaan GSRB dengan seni rupa sebelumnya adalah konsep kesenian dan cara berkarya yang berbeda dengan seni rupa sebelumnya. Cara berkarya yang bersifat multimedia, penolakan terhadap universalisme, dan berkeinginan untuk menentukan arah dan tata nilai perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia secara sendiri, tidak menjadi bagian dari seni rupa modern yang berkiblat pada Eropa dan Amerika, mengakibatkan perubahan nilai estetis[4].

Dalam konsep berkesenian yang diusung oleh GSRB ini, kita seolah dibawa kembali dalam semangat nasionalis PERSAGI dan SIM yang juga mengusung konsep kebaruan dalam kesenian serta pemisahan seni rupa Indonesia dan Barat. Secara dangkal, konsep yang ditawarkan seniman beda zaman ini tak lain adalah repetisi-repetisi pengaruh barat terhadap seni rupa Indonesia yang dipaksakan ke-orisinalitas-an nya. Aminudin TH Siregar bahkan mengatakan,  kebesaran kisah ini (GSRB) cenderung dikonstruksi oleh para pelakunya saja, alih-alih dihasilkan dari sebuah penelitian serius ataupun suatu analisis diskursif dari pihak lain. Belakangan, para eksponen GSRB bahkan cenderung menganalisis peristiwa 35 tahun yang lalu itu dengan “polesan” di sana-sini berupa analisis-analisis tambahan yang kesadarannya bertaut jauh dari peristiwanya[5].

Pengategorian zaman seperti modern dan kontemporer dalam seni rupa kita jelas disadur dari seni rupa barat yang lebih dulu menggunakan istilah ini dalam kesenian mereka. pemisahannya adalah hal yang aneh saat definisi zaman ini diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh kesenian “barat”. Lalu, kenapa seni rupa Indonesia tidak dikategorikan dalam zamannya sendiri secara khusus seperti ; seni rupa kolonial, post kolonial, reformasi dan post reformasi, misalnya. Rintisan wacana kontemporer semenjak tahun 1975 itu tetap saja dipengaruhi oleh seni rupa barat terhadap seni rupa di Indonesia, bahkan karya-karya yang dibuat oleh para “penggagas-nya” sekalipun; instalasi, performance art, happening art, seni lingkungan, benda temuan (found objects), dan sebagainya.

 

Gunhadi, Tone in live, 150X180 cm, Mixed media oncanvas, 2017

 

Marandai yang di pajang

 

Kata marandai berasal dari Minangkabau yang bermakna mempegilirkan, menukar. Dalam pameran ini sejenak kita menelaah bahwa mempegilirkan dan menukar tidak sebatas menganti sesuatu dengan sesuatu lainnya, lebih dari itu adalah sebuah upaya untuk meregenerasi, memperbaiki dan merubah sesuatu dari satu sisi ke sisi lainnya. Upaya seluruh seniman di Indonesia dalam marandai seni sampai se rumit ini tentu tidak hanya sekadar klaim dari sekelompok orang yang mengaku perintis itu, lebih-lebih pengaruh kolonial membuat masyarakat Indonesia menjadi java sentris sehingga apa yang terjadi di jawa, itu yang menjadi penanda.

Luput dari hal tersebut mungkin kita lupa terhadap gerakan seni di daerah lainnya yang juga membangun seni rupa Indonesia, salah satunya adalah SEMI (Seniman Muda Indonesia). SEMI adalah nama sebuah sanggar seni, khususnya seni rupa yang berdiri di Bukittinggi pada sekitar 1947 dan sempat diselingi kevakuman selama agresi Belanda pertama dan kedua, PDRI, dan PRRI, dan kemudian aktif kembali setelah kondisi aman. Komunitas ini didirikan bersamaan masanya dengan gerakan Seniman Muda Indonesia (SIM)[6]. Faktanya, pembacaan terhadap pergerakan seniman di daerah sulit muncul sebagai pembacaan seni secara nasional. Gerakan seni “perjuangan” pada waktu itu (mungkin) terjadi disetiap daerah, tapi tidak semua tercatat dalam sejarah seni rupa Indonesia.

Perkembangan seni rupa hari ini pelan-pelan tidak lagi didasari oleh perjuangan-perjuangan identitas seni yang diusung generasi sebelumnya. Hal ini tampak dari Komunitas Seni Sakato khusus nya para seniman muda yang sudah jarang melukis “rumah gadang” atau tanda kedaerahan lainnya. Seni rupa melebur menjadi sangat variatif, pembacaan terhadap seniman tidak bisa lagi dinilai sebatas kultur dan warisan alam tempat mereka lahir.

Hal ini mungkin tidak lepas dari penemuan teknologi informasi (internet) yang telah merubah bentuk masyarakat manusia, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global, sebuah dunia yang sangat transparan sehingga dunia juga dijuluki the big village. Masyarakat dunia global ini memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya bersama, produk industri bersama, pasar bersama, pertahanan militer bersama, mata uang bersama, dan peperangan global disemua lini[7], Namun Akulturasi yang terjadi dari dunia yang lebih transparan mungkin telah meruntuhkan cara pandang teritorial terhadap seni itu sendiri. Pengaruh seni tidak lagi datang dari dunia barat, melainkan dari dunia cyber.

Seperti kata “unch” yang dirangkai dalam kalimat berbahasa Indonesia, seni rupa hari ini pun sekiranya begitu, pun dengan pameran ini. saat seni rupa kontemporer disadur dari bahasa inggris, belum tentu penerapan dan penggunaannya sama dengan tempat asal kata itu diciptakan. Seperti seni kontemporer di barat yang dimaknai sebagai penyampai gagasan, di Indonesia seni kontemporer lebih condong ke arah tindakan dan pengaburan konvensi, jarang sekali seniman yang muncul berdasarkan gagasan pada karyanya, atau gagasan dari para seniman memang tidak didukung oleh struktur seni rupa yang (mungkin) kurang terbentuk. Keunikan seni rupa kita telah membawa arus kreatif tersendiri dari kekaryaan, pembacaan, hingga seniman.

Maka dari itu, memajang yang dirandai dalam pameran ini adalah pembacaan tentang bagaimana seni dibangun atas kesadaran global, bukan lagi nasionalis, teritori, ataupun identitas. Segelintir karya pada ruangan ini adalah bentuk evolusi seni rupa dari apa yang sekadar tampak kemudian menjadi apa yang dipikirkan, dari yang hadir melalui tindakan ataupun muncul sebagai gagasan.

 

***

 

 

Riski Januar

 

[1] https://www.urbandictionary.com/define.php?term=unch . di akses pada 27 April 2018 pukul 21.26 WIB

[2]  Heinich, Nathalie, Ed. Gallimard, Le paradigme de l’art contemporain : Structures d’une révolution artistique , 2014

[3]  Nathalie Heinich lecture “Contemporary art: an artistic revolution ? at ‘Agora des savoirs’ 21th edition, 6 May 2015.

[4] Fx Harsono, Catatan Seni Rupa Kontemporer 1992. Awal Kebangkitan Kembali Seni Rupa Kontemporer, Koran Kompas, 28 Desember 1992, p 12

[5] Aminudin TH Siregar, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia” Dirintis GSRB?, Arsip IVAA : archive.ivaa-online.org/khazanahs/detail/3879, 2010

[6] Sudarmoko, SEMI dan Gerakan Seni Rupa di Sumatera Barat, Hibah Penelitian Seni Rupa yang dilaksanakan oleh Indonesian Visual art Archive dengan nomor kontrak 04.07.010/IVAA/HIVOS-Hibah/VII/2015

[7] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Jakarta : Kencana, 2009, p. 163

BROMANCE : Hubungan Sesama Jenis

BROMANCE

oleh: Riski Januar

 

Menurut Urban Dictionary, bromance didefinisikan sebagai cinta dan afeksi atau sebuah perasaan yang rumit yang dirasakan oleh dua laki-laki hetero seksual. Lebih lanjut nya, istilah bromance ini digunakan sebagai kata yang menunjukkan persahabatan yang sangat erat antar sesama jenis dan tidak menyangkut kedalam hubungan seksual (homo seksual).

Apa pentingnya mempersoalkan hubungan romance sesama jenis yang kerap diasosiasikan negatif dan bahkan (mungkin) cikal bakal lahirnya hubungan-hubungan sesama jenis yang lebih intim lagi (homo seksual). Namun hubungan Warhol dan Basquiat, Lucian Freud dan Francis Bacon, Van gogh dan Gaugin, ataupun Affandi, Sudjojono hingga Nashar adalah hubungan penting yang membentuk karya-karya mereka dikenal hingga saat ini. fenomena hubungan bromance khususnya bagi seniman adalah hubungan penting untuk melahirkan karya serta rivalitas untuk membangun kesenian itu sendiri. di Indonesia, hubungan ini kerap muncul dari aktivitas berkelompok atau pembentukan kelompok yang di-insiasi oleh hubungan bromance tersebut. Hal ini (mungkin) disebabkan oleh pembentukan kebudayaan pasca kolonial dimana kelompok-kelompok sosial/seni kerap dirancang secara kekeluargaan, hubungan kekeluargaan dalam kelompok ini, kerap menumbuhkan bromance antar sesama anggotanya.

Perkembangan seni Indonesia dibangun oleh hadirnya kelompok dan komunitas seni yang sama-sama membangun kesenian ke arah yang lebih baik, seperti ; Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang berdiri pada tahun 1937 mempelopori gerakan seni rupa modern Indonesia melalui S. Sudjojono2, ataupun Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang kerap dianggap dan diperdebatkan sebagai kelompok perintis seni kontemporer di Indonesia. Munculnya wacana yang memberikan opsi kebaruan lahir dari eksisnya kelompok-kelompok seni yang selain berkegiatan “menggambar” juga “berpikir” tentang bagaimana seni yang lebih baik.

Namun fenomena seni hari ini, seni rupa seolah-olah mengalami fase krisis wacana. kelompok dan komunitas kritis dari seniman seolah dibungkam oleh munculnya art fair, dominasi gallery serta art market yang mulai menyetir karya-karya seniman ke arah yang seragam sesuai permintaan para “pelanggan” ruang-ruang tersebut. Hal ini menimbulkan banyaknya seniman yang tampil lalu hilang kembali, atau maraknya muncul alternative art space karbitan berkedok hotel, kafe, dan restoran yang tiba-tiba mengadakan pameran seni lalu hilang seketika. Kelompok dan komunitas seniman yang dulu dikenal kritis, liar dan pemberontak tiba-tiba tidak terdengar lagi, seolah-olah semua hanyut dalam seremonial hari raya seni rupa sekali setahun itu.

Agung Kurniawan, melalui artikelnya yang berjudul “Wacana Bangkrut Kurator Gendut” menuliskan bahwa pameran besar saat ini hanya mengkopi skala ruang, bukan ideologi nya. Kita banyak menemukan pameran dengan mimpi merangkum, mencatat dan menasbihkan. Tapi mimpi tinggallah mimpi, kenyataannya pameran itu semua bermuara tentang bagaimana menjual dan menjual, untuk itu segala cara dilakukan salah satunya adalah menggunakan judul gigantic dan megah “Pameran Besar Seni Rupa” atau “Manifesto”. Dengan judul hiperbolis itu pembeli diharapkan percaya bahwa seniman yang sedang berpameran adalah seniman terpilih dan berbakat besar tapi faktanya bisa sebaliknya. artikel yang ditulis pada tahun 2008 ini menunjukkan keadaan yang hampir sama dengan seni rupa hari ini, bahkan mungkin lebih ekstrem lagi dalam hal jual menjual.

Dalam hal kritik, kepenulisan, dan kurator seni rupa pun, kita tak ubahnya seolah melihat pengacara yang mati-matian membela klien nya dengan memberikan berbagai alasan untuk menyatakan bahwa karya si “A” bagus dan layak dikoleksi walaupun kadang hanya memindahkan tulisan dari satu pameran ke pameran yang lain melalui wacana mainstream tentang perupa yang mengumbar kehidupan pribadinya kedalam karyanya. Tahun 2008 menjadi awal kebangkrutan wacana seni rupa, ada ratusan pameran seni rupa tiap bulan tapi tak satu pun wacana baru yang dapat dielaborasi, hal ini sekiranya bertahan sampai sekarang.

Sementara majalah dan tabloid seni rupa di Indonesia jatuh dan tenggelam, susah untuk bangkit, adapun yang bertahan hari ini, pelan-pelan merubah konten isi dari yang dulu membahas lukisan indah lalu kini membahas kopi dan tempat liburan yang asyik.

Hal ini merajut ujung benang kusut tentang arah seni rupa kini yang krisis wacana. Apakah tidak ada lagi bromance yang lahir untuk memberikan sesuatu yang segar dari kelompok-kelompok seni rupa independen yang dulu menjadi fondasi eksisnya seni rupa di Indonesia melalui wacanawacana baru. Bromance : hubungan persahabatan sejenis, mungkin dalam pameran ini bisa kita sepakati bahwa “sejenis” yang di maksud adalah jenis kesenangan, profesi ataupun sekadar hobi untuk membuat karya seni.

Melalui pameran After Mooi Indie yang digagas oleh para perupa muda ini, mungkin kita dapat beristirahat sejenak dari kepentingan-kepentingan “aneh” terhadap seni rupa ke dalam karya seni yang tidak berlandaskan hal apapun selain kesenangan berkarya, upaya menyampaikan sesuatu dan keinginan untuk tampil. Pameran ini mungkin tidak menawarkan wacana yang baru, namun ketidakada-an wacana ini menjadi sebuah wacana tersendiri yang baru pula. Seperti hal nya memilih untuk tidak memilih, pameran ini tampil dengan lugu dan sederhana, diprakarsai dari hubunganhubungan bromance di dalam sebuah komunitas independen, tampil di antara hiruk pikuk hari raya
seni rupa yang mahal dan mewah.

 

Gedangan, Kamis 3 Mei 2018

Pengantar Kuratorial untuk Pameran  After Mooi Indie #2 yang diselenggarakan oleh FORMMISI ART PROJECT

What’s Else Could We Think About? Bon Apetite

Abdi Setiawan: What else could we think About? Bon Appetit

Oleh Jajang R Kawentar

What else could we think About? Boun Appetit’, Abdi Setiawan bercanda di Museum Oei Hong Djien (OHD) pada ulang tahun ke 20 Museum tersebut, Magelang, 20 Mei 2017. Seperti opera sabun yang menghadirkan dramatikal pada ruang makan. Saya gagal faham apakah karya patung yang terbuat dari kayu jati itu displaynya pada  ruang makan VIP terkini atau warung angkringan, tempat seniman nongkrong dengan property meja dan kursi klasik?

Apalagi yang kita pikirkan? Silahkan makan, begitu terjemaahan bebas dari judul karya perjamuan makan karya Abdi Setiawan. Sengaja atau kebetulan, adegan dan situasi ini merupakan drama satire. Semacam potret pertemuan tertutup para pengusaha, para pejabat, para penguasa, para pemimpin partai, para preman atau para konglomerat. Atau mereka yang tergabung semuanya itu. Pertemuan seperti ini sudah umum dalam pengambilan keputusan yang tidak umum.

Menurut saya kali ini Abdi Setiawan cukup signifikan pembaharuannya, dari humor yang kocak, selenge-an, urakan, seperti lonte, tante girang, masyarakat urban, kini menjurus humor yang formal dan menendang gunungan es. Mungkin dia telah menyelesaikan membaca buku Madilog (Matrialisme, Dialektika dan Logika) karya Tan Malaka moyangnya dia dari Minang, atau mendapat siraman rohani dan rohana mengenai strategi kekuasaan dan globalisasi ekonomi, sehingga ada sengatan berbeda dalam tema karyanya. Mungkin juga faktor usia yang semakin matang, dan condong perbaikan religiusitasnya.

Sepertinya karya ini mengungkapkan sebuah gagasan dimana peralihan objek yang akan digarap Abdi Setiawan ke depan. Dia mempersiapkan beberapa seri karyanya tentang Landscape. Dengan cara dia menghidangkan sajiannya berupa Landscape disebuah acara jamuan makan, seolah dia sedang menawarkan sebuah gagasan atau new taste yang layak dikonsumsi. Tentu ini bukan masakan Minang yang terkenal seperti rendang. Bisa jadi ini masakan sejenis rendang, yang selalu menjadi favorit dalam sebuah sajian makan. Apakah demikian yang dimaksudkan Abdi Setiawan?

Belum tentu, karena bisa saja karya ini menyampaikan gagasan kerakusan dan gawat daruratnya situasi dimana bumi ini dipijak. Bagaimana kekuasaan dan kekayaan alam hanya milik sebagian orang yang berada dalam lingkaran meja. Mereka seperti  sedang membagi wilayah kue dan menyantapnya dengan tamak. Tidak lagi layak seperti dipandang manusia, tetapi rakus dan jahatnya manusia melampaui binatang.

Abdi Setiawan mengibaratkannya manusia berwajah Gorila, di kepalanya tumbuh batang dan ranting menjulang ke langit. Penekanan terhadap kerakusan dan kejahatan itu tumbuh menjalar dan dapat menciptakan kehidupan lain dalam gagasannya. Wilayah kue dibuat landscape dengan peta rencana “pembangunan”, dibalik itu sesungguhnya akan terjadi eksploitasi dan eksplorasi pengrusakan keseimbangan alam.

 

Otokritik

Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan, demikian Oxfam melaporkan.

Laporan itu seperti Landscape yang dihidangkan di meja makan, menjelaskan kekuasan wilayah dibicarakan dan diatur oleh mereka yang dapat menduduki kursi di lingkaran meja tersebut.  Bagaimana nasib mereka yang justru berada dalam landscape?  itu bagian yang dimaksud dari rencana stategi mereka. Strategi mereka termasuk dalam rencana strategi sang kreator. Begitupun dengan karya patung yang dibuat dari kayu jati berumur ratusan tahun, bukankah bagian dari sebuah rencana eksplorasi dan eksploitasi alam?

Ini merupakan otokritik. Telunjuk mengarah ke sasaran satu, mengarah ke diri sendiri lebih dari satu, bisa dua tiga sekaligus.

Satu kursi yang sengaja kosong itu  seperti sedang menanti tuannya. Abdi Setiawan  membuat kursi bagian dari karyanya. Kursi kosong memunculkan pertanyaan, siapakah pemilik kursi itu?  Apakah pengunjung yang sengaja duduk, selfie atau Abdi Setiawan sendiri?

Begitulah seniman memiliki rasa humor, terkadang selengean, karakter yang melekat turunan kampus Gampingan. Sebuah tanda seniman masih tetap berfikir waras dan menjaga tetap waras: mana yang benar atau salah; mana yang baik atau keliru. Mengenal dirinya sendiri dan memahami prilaku yang aneh terjadi dalam dirinya,  dia berusaha menjaga jarak dengan prilaku yang keliru.

Penyadaran atau kesadaran dalam kekeliruan bila menyampaikannya dengan bahasa humor,  tidak terasa menyinggung perasaan pelaku prilaku keliru. Namun akan menganggap itu hanya lelucon biasa, siapapun dapat terjerat prilaku keliru. Manusia bukan malaikat yang selamanya baik dan benar. Manusia kadang sholeh, kadang bejad.*) –Art08 Keloran, Juni 2017

Jajang R Kawentar penulis Art Critique Forum Yogyakarta

 

 

 

MERAYAKAN HARI SENI MENGGAMBAR INDONESIA

Forum Drawing Indonesia (FDI) menggagas hari seni Drawing atau hari seni Menggambar pada 2 Mei 2018 di Kersan Art Foundation, di Jalan Samawaat no. 154, Desa Kersan Tirtonimolo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta, dengan menggelar Pameran Seni Drawing yang bertemakan KEYDRAW KEYWORD.

Koordinator kegiatan Edo Pop perupa kelahiran Palembang Sumatera Selatan ini mengatakan (Senin, 23/4) bahwa Pameran KEYDRAW KEYWORD sebagai pembuka pintu bagi perupa yang beraktifitas di seni drawing dan mereka yang memiliki ketertarikan pada drawing. Selain itu punya keinginan mengumpulkan seluruh pendrawing di Indonesia.

Menurutnya bahwa ada berbagai faham drawing yang akan mewarnai keberagaman drawing sebagai kekayaan Indonesia. Oleh karenanya tercetus rancangan membuat Forum Drawing Indonesia dan sebagai momentumnya menggelar pameran drawing pada Rabu, 2 Mei 2018 di Kersan Art Foundation Yogyakarta dan sekaligus mencanangkan sebagai hari seni Drawing bagi Indonesia. Selain itu esoknya Kamis, 3 Mei 2018 ada acara diskusi yang mengambil bahasan Membaca Drawing.

“Forum Drawing Indonesia sebuah wadah yang terbuka bagi siapapun ingin terlibat dalam percaturan Drawing Indonesia. Untuk itu kita mengajak untuk sama-sama merayakan seni Drawing Indonesia pada 2 Mei 2018. Sebagai langkah awal dari kebersamaan itu kita tujuh belas perupa dari beberapa daerah, Abdullah Ibnu Thalhah (Semarang), Anis Kurniasih (Solo), Eduard ‘Edo Pop’, Hayatuddin, Joko Gundul, Riki Antoni (Yogyakarta), Dhanoe, Jopram, Mufi Mubaroch (Surabaya), Kris Dologh (Lamongan), Wahyu Nugroho, Garis Edelweiss (Pasuruan), Desy Gitary, Lenny Ratnasari, Mellisa Jayatri (Jakarta), Nandanggawe, Iwan Ismail (Bandung), dan plus kurator Jajang R Kawentar (Tasikmalaya) bersepakat menandainya dengan memamerkan karya Drawing.” Ungkap Edo Pop

Sementara Kurator pameran KEYDRAW KEYWORD, Jajang R Kawentar yang mengaku bukan kurator tapi Kurapreeet menjelaskan bahwa pada pameran Drawing kali ini cukup menandai sejauhmana perkembangan dan pemahaman perupa drawing yang terdapat di beberapa wilayah Jawa, meskipun mereka berasal dari pulau Jawa dan Sumatera.

“Keydraw Keyword itu Keydraw dibahasa Indonesiakan artinya Gambar Kunci dan Keyword artinya Kata Kunci. Kata kuncinya itu berkumpulnya seniman gambar. Gambar kuncinya mengolah goresan. Tapi bisa saja pengertiannya menjadi sempit ‘kata kunci’ hanya kunci sebagai kata benda, begitupun dengan ‘gambar kunci’ yang menunjukkan bentuk benda berwujud kunci. Namun tidak demikian halnya harapan dari ‘kata kunci’ dan ‘gambar kunci’ itu terbuka bagi siapapun yang memaknainya. Seperti dilakukan setiap individu seniman memaknai aktifitasnya mengolah goresan menjadi Drawing,” jelasnya, (25/4) saat ditemui di Kersan Art Foundation.

 

Untuk menegaskan bagaimana perkembangan drawing menurut Jajang R Kawentar bahwa, “Forum Drawing Indonesia ini sudah cukup mewakili dari perupa Drawing. Ke tujuh belas perupa drawing yang terlibat ini cukup berdedikasi tinggi. Hasrat menggambar mereka atau menggambar hasratnya saling berpaut. Apapun yang terjadi pada karyanya itulah kenyataan terkini seni drawing. Terkini dari segala sesuatu yang melingkupi seniman, terikini dari pilihan karya-karya drawing yang ada, dan terkini yang dapat dijadikan cermin bagi para pecinta seni atau masyarakat. Kita sebatas apa yang sedang dihadapi dan di luar sana itu tidak jauh beda,” ungkapnya.

 

Dengan terbentuknya Forum Drawing Indonesia dan pencanangan hari seni Drawing atau hari seni Menggambar akan lebih menggali lagi perkembangan seni di Indonesia dan mewarnai khasanah seni rupa dunia. Bagaimanapun sesuatu yang baik dirayakan dan didukung bersama-sama. Pada setiap 2 Mei sebagai hari seni Menggambar*)

 

 

 

Meeting

“DRUNKEN BROOM”

“DRUNKEN BROOM”

Oleh : Andika Budi Raharja

 

Untuk mencapai harmoni yang merupakan bagian seni yang esensial, seorang seniman harus berpegang pada sensasinya bukan pada visinya.
~ (Paul Cezanne)

 

Kenyataan-nya sebuah lukisan mengandung suatu keseriusan, namun di lain pihak terkandung pula unsur main-main. Karena itulah, lahir ungkapan dari kelompok Fauvism; “Ketepatan bukan selalu merupa-kan kebenaran.” Orang-orang yang berkreasi seni tidak ingin sekedar untuk meniru alam apa adanya (mimesis), melainkan alam ini ingin diciptakan kembali. Seniman mengolah kembali realitas sesuai dengan seleranya. Seperti halnya seni patung yang mati-matian berusaha menggambarkan figur manusia yang selalu berubah-ubah dalam bentuk tiga dimensi, untuk mengatur ketidakteraturan gerak-gerik menjadi satu kesatuan gaya yang agung (harmoni). Seni patung tidak menolak “imitasi”, yang justru diperlukannya. Tetapi imitasi bukanlah pencarian utamanya. Yang dicari oleh seni ini, adalah suatu gerak-gerik, ekspresi atau penglihatan tipikal (sensasi). Tujuannya bukan untuk meniru melainkan “memberinya gaya.”

Di lain tempat, pelukis memisahkan objek lukisannya sebagai jalan untuk menyatu dengannya. Melukis berarti meng-isolasi dalam ruang dan waktu, sebuah gerakan yang dalam kehidupan nyata lebur dalam gerakan lainnya. “Di sini tidak ada waktu yang ada hanya peristiwa yang membeku.” Sepenggal kalimat dalam novel Einstein Dreams karya Alan Lightman yang membicarakan tentang berbagai hakikat waktu, seolah sesuai dengan penggambaran itu. Pelukis membekukan gerakan-gerakan di dunia nyata, dengan menangkap gejolak tubuh objek-seninya yang selintas atau keluwesan sikap-sikap, untuk diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna.

Ekspresi adalah istilah yang penting dalam dunia seni rupa. Hampir dalam semua madzab seni modern, bersumber dan selalu menggunakan label “ekspresionisme.” Perkataan tersebut secara fundamental menjadi penting, sama pentingnya dengan “idealisme” dan “realisme.” Apa yang terkandung di dalam “ekspresi” sebenarnya berupa lirisisme juga simbolisme. Lewat lirisisme atau “emosi yang mendalam,” dan juga simbolis, seni berambisi menata kembali semesta (cosmos). Seni ingin menciptakan sesuatu yang tak terhingga, namun bisa dipakai untuk mengembalikan pengalaman -yang tak terhingga yang pernah dialami tersebut dan ingin dialami kembali secara terus-menerus oleh manusia.

Seni ingin membuat sebuah karya yang bisa diukur dengan akal sehat, bisa dikomunikasikan, dan yang terpenting adalah memulihkan kembali the infinite atau yang sering dinamakan CHAOS.. Bukan semata-mata pengukuhan atas realitas atau kenyataan yang ada, melainkan tindakan atas dasar estetika melalui diri senimannya sendiri dalam menghadapi dunia waktu itu. Yakni, seniman mengolah kembali realitas sesuai dengan ekspresi atau ungkapan emosionil mendalam dan seturut seleranya. Keterlibatan individualisme ini yang menjadi karakteristik seni modern, kemudian memberi ciri dan gaya terhadap lukisan seseorang. Sebongkah kebebasan yang tak didapati pada madzab Seni Klasik. Gejala-gejala pemberontakan menuju kebebasan berekspresi, dahulu selalu dapat dipadamkan kembali oleh kepentingan kalangan borjuis dan bangsawan yang menjadi patron-patron seni masa itu.

Dalam segi teknis Eugene Delacroix sajalah yang tampaknya tersorot oleh publik seni, karena goresan kuasnya terkenal “lebih liar,” para pengamat bahkan menjulukinya sang “drunken broom“: sapuan kuas yang menggila atau sapuan kuas yang sengaja menunjukkan kekasaran juga ketegasan garis, karena tak didusel secara halus pada kanvas-nya. Idealisme klasik memang tak banyak mendukungnya kala itu, orang-orang lebih menyukai gambaran seni yang bersifat tenang. Delacroix maju sedikit ke depan dengan goresan ekspresif-nya dan unsur emosionil yang tak mudah untuk dimengerti seniman-seniman lain sezamannya. Sambutan hangat, datang justru dari generasi berikutnya yaitu Vincent Van Gogh, pelukis dari negeri “kincir angin” yang bahkan sampai merepro salah satu lukisan Delacroix yang berjudul “Pieta“. Di masa Van Gogh ekspresi individual juga “subjektifitas” dalam berkesenian telah lebih dikembangkan (terutama dalam kegiatan seni yang dilangsungkan di Salon-Salon), ruang di mana pergeseran estetika dalam kesenian baru serius dimulai.

Adapun pemaknaan aktual konsep Estetika sebenarnya berdekatan dengan individualitas. Estetika berasal dari kata Yunani “Aesthesis“, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut “taste” dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran manusia mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Sensasi-sensasi yang diperoleh dalam hubungan atau kontak langsung dengan objek-seni. Langkah pertama pelukis adalah membuat berbagai bagian dari lukisannya selaras satu sama lain. Menghilangkan sebagian dan memilih sebagian lainnya. Prinsip seni lukis juga berbentuk suatu pilihan. “Kejeniusan,” tulis Delacroix “kalau dilihat dari seni yang dihasilkannya, tidak lain adalah bakat dalam menggeneralisasi dan memilih-milih.”

Seni merupakan suatu hakekat dari realitas yang rumit. Alam dan objek (yang umum dan yang khusus), personal dan impersonal juga kebebasan dan order (keteraturan). Kesederhanaan dan kompleksitas, bahkan kontinuitas dan diskontinuitas. Di dalam suatu karya seni yang merupakan suatu kesatuan atau harmoni akan terdapat diskontinuitas (keterputusan) dalam kontinuitas-nya (keberlangsungan). Sering disebutkan: “karya seni yang baik, dalam kontinuitas-nya harus ada diskontinuitas pada suatu bagian,” bila tidak karya seni tersebut justru tidak baik. Ada kedalaman dan ada kedangkalan. Karya seni nampak baik dari segi permukaan, juga akan lebih baik jika mengandung suatu kedalaman di dalam isinya. Ketenangan dan energi (diam dan bergerak). Suatu karya akan memperhitungkan kesatuan antara yang stabil dan tidak, yang berat dan ringan, yang serius dan yang gembira. Kesatuan antara yang kuat saja, atau yang energik saja justru tidak menimbulkan keindahan, atau malah sebaliknya dan mungkin akan “membosankan.”

 

Untitled

Y. M. Fakri Syahrani, “Meeting” Intaglio on Paper, 55 x 65 cm, 2018, Karya nantinya akan dipamerkan pada acara pemeran kelompok Kandang Ayam Project #2 Drunken Broom di Bentara Budaya 11 April 2018

 

“SEMESTA YANG TERTUTUP”

The creation of something new is not accomplised by the intelect, but by the play instinct acting from inner necessity. The creative mind plays with the objects it loves.”
– Carl Jung

Ekspresi atau ungkapan estetika (sensitivitas perasaan) menjadi hidup, hanya apabila seseorang masuk dalam laku penghayatan terhadap realitas-objek dan mengalami langsung sensasi itu dengan batinnya. Karena, seni sebagai ekspresi merupakan hasil ungkapan batin ataupun emosi mendalam seorang seniman yang tergambar ke dalam karya seni lewat “medium” dan “alat” yang memang dipilihnya. Pada saat seseorang sedang mengekspresikan emosinya, pertama mereka sadar bahwa mereka mempunyai emosi, tetapi bisa jadi belum menyadari seperti apa sebenarnya rupa-emosi itu? Baru dalam keadaan tertentu, misalnya karena adanya gangguan perasaan pada Self atau diri kita (entah karena sedih atau malah bahagia), dalam kondisi tertekan kemudian seseorang berusaha melepaskan perasaan yang datang tersebut dengan melakukan sesuatu (aktualisasi tindakan). Kegiatan semacam inilah yang dimaksud dengan ungkapan. Dengan demikian ungkapan dapat disebut sebagai “berbahasa”. Komunikasi dapat terjadi pada setiap manusia dengan manusia lain, walaupun punya latar belakang yang berbeda. Seni memungkinkan peristiwa tersebut dapat terjadi, karena bahasanya yang universal. Proses komunikasi dalam kesenian tercermin lewat lambang-lambang atau simbol yang ter-babar.

Dikatakan oleh Paul Cezanne, bahwa yang paling sukar di dunia ini adalah mengutarakan “ekspresi langsung” atau konsepsi yang imajiner. Apabila tindakan tersebut tidak dicocokkan dengan model yang objektif, maka buah pikiran akan menjelajahi kanvas tidak menentu. Tak ada pelukis yang tak memiliki objeknya, baik objek-seni itu bersifat fisik atau memori-nya sekalipun tetaplah sebuah objek (model yang dijadikan contoh). Memori-kolektif dalam psikologi Jungian kemudian dikenal sebagai arketipe, yang sering muncul dalam mimpi-mimpi dan kondisi kesadaran yang berubah (trance, trans). Semua itu Ada: digambarkan, dibekukan dari gerakan sehari-hari yang tak terputus. Gaya seorang pelukis merupakan pemanjangan terhadap alam dan sejarah; sebuah “kehadiran” yang diletakkan pada benda-benda yang melintas lewat. Dengan mudahnya, seni mewujudkan penyatuan -yang khas dan -yang umum sebagaimana diimpikan Hegel. Barangkali inilah sebabnya kenapa zaman-zaman seperti yang sedang kita lalui, yang terkagum-kagum oleh ide tentang kesatuan atau harmoni, menoleh kepada seni-seni primitif dengan stilisasi paling intens dan kesatuan paling “merangsang.” Ini sekaligus menjelaskan kuatnya negasi dan transposisi yang telah merangsang lukisan modern, dalam gejolak kacau balau untuk menunjukkan kehadiran sekaligus kesatuan. Kecenderungan fenomena dalam kesenian inilah yang coba kami ungkapkan dan maknai kembali, lewat pameran “DRUNKEN BROOM” kali ini.

Dalam komposisi primitifnya di luar sejarah yang merupakan “keadaan” paling murni dari Seni, akan ditemukan semangat pemberontakan dan individualism dari sisi senimannya sendiri. Seni, seperti pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari. Tidak seorangpun seniman dapat menerima kenyataan, ” kata Nietzsche. Ini benar; tetapi juga tidak seorangpun seniman dapat hidup di luar kenyataan. Kreasi seni adalah kehendak kesatuan dengan, dan suatu penolakan (laku-kritik) terhadap dunia. Cara paling sederhana dan umum dalam menilai karya seni sebagai suatu ekspresi adalah dengan memandangnya sebagai suatu “pelarian.” Memang, kreasi seni menunjukkan adanya semacam penolakan terhadap kenyataan. Tetapi penolakan ini bukan pelarian begitu saja. Apakah kita lihat dalam kegiatan itu suatu gerakan pengunduran diri oleh seorang pengecut yang, menurut Hegel “dalam kekecewaannya menciptakan suatu dunia fiktif yang mengagungkan moralitas atau nilai-nilai?” Kenyataannya karya-karya yang menyajikan dunia moral sangat jauh dari karya seni besar. Bahkan menyedihkan dan sama sekali tidak menarik.

Inilah kontradiksinya: manusia menolak kenyataan dunia, tanpa berusaha lari dari dunia itu sepenuhnya. Kecuali pada saat tertentu, bagi mereka kenyataan yang ada ini adalah sesuatu yang “belum selesai.” Mereka berpindah-pindah dari tindakan yang satu ke tindakan yang lain, kemudian kembali lagi untuk menilai tindakan-tindakan tersebut dengan berbagai perlambang yang baru dan terus mengalir bagaikan air sungai Tantalus menuju muara yang tak dikenal. Mengetahui di mana garis sungai itu berakhir, menguasai arus warnanya, dan akhirnya menangkap kehidupan yang asing tersebut. Inilah kerinduan sejati manusia, di jantung tanah kelahirannya sendiri.

Tetapi bukan tidak mungkin terdapat suatu transendensi hidup, yang dijanjikan kepada kita oleh keindahan seni yang dapat membuat kita mencintai dunia kita ini. Dengan demikian seni membawa kita kembali kepada asal muasal pemberontakan ketika ia mencoba memberi bentuk kepada nilai yang bergerak bebas dalam proses menjadi (becoming) yang tanpa akhir; tetapi yang oleh seniman dirasakan dan dikehendaki untuk “dilepaskan” dari aliran sejarah. Kita dapat menggambarkan hal ini dengan lebih jelas dengan menelaah seni yang justru masuk ke dalam aliran sejarah dan memberinya gaya: novel. Esensi novel adalah koreksi terus menerus, selalu bergerak ke arah yang sama yang diberikan seniman kepada apa yang dialami. Koreksi ini pertama-tama bertujuan mencapai kesatuan (harmoni), dan dengan cara ini sebenarnya ia juga sedang menerjemahkan suatu kebutuhan metafisis.

Seni, seperti pemberontakan adalah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan “sekaligus mengingkari.” Kreasi seni menghendaki kesatuan dengan, dan juga suatu penolakan terhadap dunia. Ia menolak dunia karena hal-hal yang tidak ada padanya dan atas nama hal-hal yang kadang-kadang ada padanya. Dalam setiap pemberontakan terlihat tuntutan metafisik bagi adanya suatu kesatuan, ketidakmungkinan memperoleh kesatuan tersebut dan perlunya diciptakan sesuatu sebagai penggantinya. Ini sekaligus mendifinisan seni. Karena sebenarnya urgensi pemberontakan itu sebagian bersifat estetik.

Semua pemikiran yang diilhami oleh semangat pemberontakan selalu disinari oleh suatu retorika atau berada dalam sebuah “semesta yang tertutup.” Benteng retorika dalam Lucretius, kloster-kloster dan istana-istana terkunci dari Sade, pulau terpencil yang romantik, ketinggian-ketinggian yang menyendiri dari Nietzsche, lautan elemental dari Lautre’amont, istana-istana mengerikan yang dilahirkan kembali di antara kaum Surealis -semuanya ini dengan caranya sendiri-sendiri menunjukkan adanya kebutuhan yang sama akan koherensi dan kesatuan. Hanya dalam dunia-dunia yang tertutup inilah, akhirnya manusia dapat memiliki pengetahuan dan berkuasa. Gerakan tersebut tidak lain adalah seni itu sendiri. “Seniman mengolah kembali dunia sesuai dengan seleranya.”

Ekspresionisme berangkat dari realisme-dinamis, sebagai pelepasan diri dari ketidakpuasan faham realisme-formal. Vincent Van Gogh dianggap sebagai perintis gerakan ini di samping Cezanne, Renoir, dan Gauguin. Van Gogh memang banyak mengalami penderitaan dari masyarakat sewaktu hidupnya, namun yang tergores di dalam kanvasnya bukanlah semata-mata pengukuhan atas realitas yang ada, melainkan tindakan estetik atas dirinya dalam menghadapi dunia waktu itu. Lain lagi dengan tokoh ekspresionisme sejawatnya; Kandinsky malah memanfaatkan warna dan garis untuk menggambarkan kondisi spiritual. Apabila dilihat dari konsepnya, bahwa kalau suatu lukisan sudah tidak harus sesuai dengan bentuk dan warna alamnya, maka arahnya akan menuju sesuatu yang absolut atau dengan kata lain, menciptakan “sebuah dunia tersendiri.”