Data Artikel

Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman (1)

Oleh WAHYUDIN

 

Tiga puluh dua tahun lalu—pada kapan yang tak diterangkannya—Sanento Yuliman bertandang ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta, untuk menilik Pameran Peringatan Trisno Sumardjo (1916-1969), kritikus seni rupa, sastrawan, dan ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).

Apa yang disaksikan doktor seni rupa dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis, itu di sana membikinnya terpinga-pinga.

“Di halaman depan Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki saya tertegun,” tulis Sanento Yuliman. “Betulkah di situ ada pameran? Tidak ada poster besar, tidak ada kain rentang. Untung, saya tertolong oleh secarik poster kecil tertempel sederhana pada panel di serambi yang lengang itu.”

Namun demikian, kenyataan itu tak menyurutkan langkahnya, sekalipun mau tak mau menghadapkannya pada ketertegunan yang lain lagi sebagai berikut:

“Di pintu, saya memperoleh katalog: secarik kertas 21 x 24 sentimeter dilipat dua. Dalam kata pengantarnya—sekitar 30 baris—tidak sepatah kata tentang orang bernama Trisno Sumardjo, kapan, serta bagaimana ujung-pangkal dan malang-melintangnya dalam seni lukis kita.”

Ketergemapan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu terus berlanjut setelah ia membaca katalog. “Pengantar katalog dibekali sebuah kutipan pernyataan Trisno Sumardjo,” tulisnya. “Tapi dalam daftar lukisan tidak dicantumkan tarikh. Sekilas terpikir: barangkali Pameran Peringatan Trisno Sumardjo 10-17 April 1988 ini, tahap dalam proses melupakannya?”

Celakanya, selewat pertanyaan tersebut berkelebat, ia harus bersua kenyataan ini: “Pameran Peringatan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta itu memajangkan 34 lukisan cat minyak dan cat air, serta 32 coretan hitam putih. Kecuali dua lukisan koleksi DKJ dan sebuah koleksi Ajip Rosidi, karya-karya itu tidak diterangkan asal-asulnya.”

Apa boleh buat—setelah memeriksa pokok perupaan dan menyidik penggambaran karya-karya Trisno Sumardjo dalam pameran itu, yang tetap saja menyisakan sejumlah pertanyaan di benaknya—Sanento Yuliman sampai pada kesimpulan ini:

“Sebuah Pameran Peringatan tidaklah cukup hanya berbekal sebuah koleksi. Apalagi mengenai Trisno Sumardjo, pelukis yang kontroversial di kalangan pengulas dan penggemar lukisan.”

Sampai pada titik itu saya harus katakan bahwa semua keterheran-heranan Sanento Yuliman itu saya petik dari tulisannya “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” (Tempo, 23 April 1988).

Selain di majalah yang “enak dibaca dan perlu” itu—kita bisa membaca tulisan tersebut dalam Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Asikin Hasan, peny., Jakarta: Yayasan Kalam, Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation, dan Majalah Berita Mingguan TEMPO, April 2001, halaman 256-258, dan Sanento Yuliman, Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-1992, Danuh Tyas Pradipta, Hendro Wiyanto, dan Puja Anindita, peny., Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan gang kabel, Januari 2020, halaman 697-700.

***

Tiga puluh satu tahun sesudah “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” terbit—setelah 27 tahun Sanento Yuliman berkalang tanah—Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto mengampu pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, 11 Desember 2019-15 Januari 2020.

Ketika mengetahuinya—lengkapnya tertulis: Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992)-Pameran Karya dan Arsip—untuk kali pertama lewat instagram Dewan Kesenian Jakarta dua hari sebelum pameran itu dibuka oleh penyair-pelukis Goenawan Mohamad pada Rabu malam, 11 Desember 2019—saya langsung terkenang “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”.

Saya kira Mengingat-ingat Sanento Yuliman bersanad kepada “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”—dan Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto tampaknya beroleh “petunjuk” dalam khidmatnya. Terbukti, Mengingat-ingat Sanento Yuliman tampil lebih tertata-kelola, rapi, bersih, dan benderang ketimbang “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo”. Semua keterpegunan Sanento Yuliman pada “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo” tak terjumpa dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman. Alih-alih, kita akan takzim kepadanya.

Betapa tak, selama lebih dari satu setengah abad, sejak zaman Raden Saleh sampai era Handiwirman Saputra, baru kali itu seorang kritikus seni rupa di Indonesia, yang telah pindah ke alam barzakh hampir tiga dasawarsa, dimuliakan dengan pameran yang mengesankan—bahwa seni rupa Indonesia pernah memiliki seorang pemikir, penulis, dan penilik seni rupa bernama Sanento Yuliman Hadiwardoyo yang gagasan, tulisan, dan ulasannya mencerminkan—pinjam istilah sang kritikus—“kecerdasan melihat” yang mengagumkan.

Yang lebih mengesankan, Dewan Kesenian Jakarta, penaja Mengingat-ingat Sanento Yuliman, mendirikan “monumen pemikiran” sang kritikus kelahiran Jatilawang, Cilacap, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, itu berupa buku berukuran 170 x 252 sentimeter, tebal xxxvi + 1024 halaman, berisi 177 tulisan bertitimangsa 1969-1992—yang memungkinkan pembaca beroleh kebijaksanaan bahwa kritikus, sebagaimana pernah diucapkannya kepada Hendro Wiyanto, tak hanya bisa dilahirkan, tapi juga bisa dibikin dengan “faal intelegensi” menatap karya seni rupa secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya.

Tapi pada yang mengesankan itu saya pun teringat kata-kata penyajak Goenawan Mohamad dari tahun 2001 ini: “Dalam mengenang tersirat lupa; di dalamnya senantiasa ada proses seleksi.” Apa yang terlupakan dari Mengingat-ingat Sanento Yuliman adalah sejumlah nama dan peristiwa di sekitar kekritikan Sanento Yuliman dan Dewan Kesenian Jakarta.

Tanpa bermaksud menyembunyikan nama-nama kritikus lainnya di lalu waktu—satu nama yang ingin saya sebut barang sebentar di sini adalah kritikus Sudarmadji. Sebagaimana Sanento Yuliman, Sudarmadji adalah orang Cilacap, lahir pada 2 Januari 1934. Seperti halnya Sanento Yuliman, mantan dosen Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” itu merupakan pembela waskita Gerakan Seni Rupa Baru. Pembelaannya yang legendaris berupa polemik dengan kritikus Kusnadi di Kedaulatan Rakyat, September-Oktober 1975.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta 1985-1990 (?) itu rajin menyiarkan ulasan-ulasan kritik di pelbagai media massa. Pun menulis sejumlah buku seni rupa. Salah satunya yang telah menjadi klasik tapi masih sering dikutip sampai kini adalah Dari Saleh sampai Aming, Seni Lukis Baru Indonesia dalam Sejarah dan Apresiasi (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, 1974).

Kecuali ada luka yang belum sembuh dalam hubungan Sudarmadji dan Dewan Kesenian Jakarta pada dulu kala—saya berharap kelak ada “monumen pemikiran” dan pameran karya dan arsip Mengingat-ingat Sudarmadji—atau apa pun judulnya—di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, kemudian entah di mana di Yogyakarta.

Sementara itu saya ingin mencatat “pertengkaran ringan”—yang luput terarsip (?) dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman—antara Agus Dermawan T. dengan Jim Supangkat dan Gendut Riyanto di Tempo beberapa pekan setelah kematian mendadak Sanento Yuliman.

***

Di dalam ambulans yang melarikannya ke Rumah Sakit Advent, Bandung, pada Kamis dini hari, 14 Mei 1992, Sanento Yuliman menghembuskan nafas terakhirnya dalam umur 51.

Penghayat seni rupa (di) Indonesia pun berduka—tak terkecuali teman-teman dekat sang kritikus. Tapi tak ada di antara mereka yang bersungkawa sedalam pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Jim Supangkat.

“Kepergiannya mungkin akan mempengaruhi perkembangan seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena berbagai kegiatan seni rupa kehilangan perannya yang menentukan. Kehilangan terbesar adalah kemungkinan penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia. Keahliannya dalam hal ini nyaris tidak tergantikan,” tulis Jim Supangkat dalam obituari “Duka untuk Seni Rupa” (Tempo, 23 Mei 1992).

Selain kehilangan kemungkinan-kemungkinan itu, Jim Supangkat mengkhawatirkan “seni rupa modern Indonesia kehilangan patokan kebenaran” dengan wafatnya Sanento Yuliman yang “selalu berpikir akademistis karena ia sangat menghormati kebenaran”—sampai-sampai “mencari pembenaran ilmiah menandakan sikapnya yang hati-hati dalam membuat kesimpulan.”

Obituari itu mendapat tanggapan dari penulis seni rupa Agus Dermawan T. dalam “Seni Rupa: Duka untuk Sanento” (Tempo, 6 Juni 1992) dengan kalimat pembuka yang menohok ini: “Barangkali tulisan Jim Supangkat itu bisa menarik dan menggetarkan perasaan pembaca bila tidak dibumbui opininya yang terlampau berlebihan dan mengada-ada.”

Setelah itu Agus Dermawan T. merespons pernyataan Jim Supangkat ihwal keahlian Sanento Yuliman dalam penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia yang “nyaris tidak tergantikan”—dan “kehilangan patokan kebenaran”—sebagai “ngawur, emosional, dan tak masuk akal.”

Pasalnya, tulis Agus Dermawan T., “sebelum Sanento hadir sebagai penulis, Kusnadi dan Sudarmaji sudah menulis sejarah seni rupa modern kita dengan tata historis yang betul. Juga Soedarso Sp. yang kitab-kitabnya bukannya jauh dari kebenaran. Jadi, sesungguhnya Sanento hanyalah sepenggalan belaka dari seluruh kegiatan penulisan sejarah seni rupa.”

Tak mau tinggal diam, Jim Supangkat membalas melalui “Sanento Yuliman: Tanggapan untuk Agus Dermawan” (Tempo, 13 Juni 1992), antara lain sebagai berikut:

“Ada yang aneh sebetulnya, tapi apa boleh buat. Komentar Agus Dermawan (Tempo, 6 Juni 1992) menganggap Almarhum Sanento Yuliman sebagai “cuma” salah seorang penulis seni rupa. Karena itu ia menilai uraian saya tentang peran penting Almarhum dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia (Tempo, 23 Mei 1992, Obituari) berlebihan dan mengada-ada. Ia keberatan. Lebih dari itu, ia ingin menegaskan bahwa opini saya adalah sebuah informasi menyesatkan. Dengan nada sangat yakin ia menyebutnya: ngawur dan sama sekali tidak betul. Saya tidak tahu terminologi apa yang dipegang Agus Dermawan dalam menyebutkan buku sejarah seni rupa Indonesia sudah diterbitkan. Kenyataannya, belum ada sebuah buku pun yang menggunakan judul ‘sejarah seni rupa Indonesia’.”

Agus Dermawan T. tak balik membalas tanggapan Jim Supangkat atas tanggapannya terhadap Jim Supangkat. Yang muncul adalah tulisan Gendut Riyanto berjudul “Sanento Yuliman: Pandangan Seorang Teman” (Tempo, 13 Juni 1992).

Eksponen Seni Rupa Kepribadian Apa itu memandang Sanento Yuliman sebagai kritikus andal “seperti puncak gunung es di samudra luas. Hanya tampak ujungnya tapi memendam kekuatan kukuh hingga di dasar lautan”—dan sebab itu ia mengejutkan.

“Satu lagi yang mengejutkan dari Sanento,” ungkap Gendut Riyanto, “sikapnya yang ‘tidak mengkritik’, dalam arti dan konteks kritik seperti terminologi kritik di masa Dan Suwaryono, Sudarmaji, Agus Dermawan T., Sujoyono, Rudi Isbandi, Putu Wijaya, dan Bambang Bujono. Kritik yang dilancarkannya lebih ditancapkan pada gejala empirik seraya mengkonstruksikan logikanya sehingga yang terjadi adalah analisa kritis, yang menurut sejumlah senirupawan dan kritisi ‘tidak tajam’ atau ‘intelektualistik’.”

***

“Pertengkaran ringan” itu saya rasa seperti pala Minahasa yang menghangatkan benak saya sebelum mencatat perkara-perkara besar di seputar “monumen pemikiran” Sanento Yuliman …***

 

 

buku tentang lukisan palsu

PPSI Melacak Lukisan Palsu

PPSI Melacak Lukisan Palsu 

Oleh WAHYUDIN

 

Pada Senin, 29 Oktober 2018—ketika buku Melacak Lukisan Palsu terbit dan beredar di jaringan toko buku Gramedia seluruh Indonesia—Oei Hong Djien (OHD) tengah berada di Belanda. Saya mengetahuinya dari status-status di Facebook OHD. Di Negeri Kincir Angin itu, OHD memanjakan matanya sepanjang hari di Frans Hals Museum dan Teylers Museum di Haarlem serta Boymans van Beuningen Museum di Rotterdam.

Dari tanah tumpah darah Vincent van Gogh itu, OHD terbang ke Italia untuk menghadiri Global Private Museum Summit di Torino, “menghayati karya (seni rupa) dengan hati yang murni” di Artissimo Art Fair Torino dan menonton opera di gedung La Scala, Milan, yang legendaris, dan menikmati penuh khidmat The Last Supper Leonardo da Vinci di Santa Maria delle Grazie, Milan.

Atas kenyataan itu, penghayat seni rupa yang peka sangat mungkin tak percaya dengan perkara lukisan palsu yang menderu seru OHD pada 2012. Pasalnya, perkara itu bukan hanya mencemari reputasi pelukis-pelukis karyatama (old-master) Indonesia bernama S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, melainkan juga menjotos kredibilitas OHD sebagai kolektor sohor dari Magelang.

Di tengah senyapnya pasar seni rupa Indonesia kala itu, perkara tersebut menjelma “permainan mulut” yang berlarat-larat. Ironisnya, “permainan mulut” itu makin menebalkan syak-wasangka di lidah dan hati kubu penuduh dan kubu tertuduh. Perkara itu pun menjelma laksana sengketa tiada putus, sehingga tak sesiapa jua sanggup meradukannya.

Salah satu kelompok penuduh yang paling militan memperkarakan lukisan terduga palsu OHD adalah Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI) yang bermarkas di Jakarta sejak 2012 dengan komendur kolektor besar Budi Setiadharma. Selain gencar melakukan “penyadaran publik” lewat pameran lukisan-lukisan palsu karyatama Indonesia, mereka melancarkan kontranarasi dengan menerbitkan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

 buku tentang lukisan palsu

Buku PPSI

***

Saya pernah mengulas buku terbitan 2014 itu untuk satu-dua media luring dan daring di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Oleh karena itu, izinkan saya mengulangnya barang sedikit di sini. Buku setebal xxvi + 382 halaman itu memuat 11 tulisan cerdik-pandai seni rupa, 4 komentar kolektor seni rupa, 1 investigasi jurnalistik dari Tempo (edisi 25 Juni-1 Juli 2012), dan 42 halaman “Koleksi” berisi reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia, yaitu Affandi (7 lukisan), Hendra Gunawan (20 lukisan), Lee Man Fong (1 lukisan), S. Sudjojono (14 lukisan), dan Soedibio (4 lukisan).

Disunting jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono, Jejak Lukisan Palsu Indonesia menganalisis, kalau bukan membuat penilaian moral, pameran Back to Basic di OHD Museum, 5 April-31 Juli 2012, dan buku dwibahasa Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia: Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Widayat, Soedibio, karya OHD setebal 278 halaman yang diterbitkan oleh OHD Museum pada 5 April 2012. Hasilnya adalah dugaan bahwa sejumlah lukisan S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio dalam pameran dan buku OHD tersebut palsu.

Tapi, OHD bergeming, bahkan cuek bebek saja, hingga seperti kata pepatah lama: “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, PPSI menyalak OHD tetap bergerak. Buktinya, pada 14 November 2015, OHD Museum menerbitkan buku setebal 201 halaman karya kurator Jim Supangkat dan sejarawan Iwan Sewandono yang, disengaja atau tak disengaja, mengandung sejumlah ekspresi intelektual yang terkait dengan pemikiran dan penilaian Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

Betapa tak, dengan memilih-muat lukisan Arakan Pengantin, Berjudi, Penjual Es Lilin, Perang Buleleng di Bali, dan Saritem, yang sebelumnya diduga palsu, Supangkat dan Sewandono secara tak langsung membantu OHD menyangkal, kalau bukan mengganggap tak berharga sama sekali, pendapat dan penilaian, antara lain Agus Dermawan T., Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, Asiong, Bambang Bujono, Mikke Susanto, Seno Joko Suyono, Syakieb Sungkar, dan Wicaksono Adi dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

Pada titik itu, bisa dipastikan, The People in 70 Years bukan lagi sekadar suplemen pameran berjudul sama di OHD Museum (14 November 2015-22 Februari 2016), yang memuat 194 karya 84 seni rupawan dari generasi Abdullah Suriosubroto sampai generasi Yudi Sulistya, melainkan telah menjelma risalah penyanggah tuduh.

Sangat mungkin itu salah satu sebabnya, apalagi PPSI tak ingin Jejak Lukisan Palsu Indonesia dianggap berdusta kepada penghayat seni rupa Tanah Air dengan terbitnya The People in 70 Years, mereka bersemangat—bekerjasama dengan Kepustakaan Populer Gramedia—menerbitkan buku Melacak Lukisan Palsu setebal lii + 242 halaman ini, sekalipun “harus bersabar” hampir tiga tahun lamanya.

***

Kesabaran dan semangat itu mengikhtisarkan daya juang PPSI yang pantang angkat tangan untuk menginsafi bahwa “isi buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia masih kurang lengkap,” sehingga buku Melacak Lukisan Palsu “dibuat antara lain untuk mengajak semua orang agar lebih berhati-hati membeli lukisan Indonesia di tengah maraknya pemalsuan lukisan, ketika bahkan seorang kolektor berpengalaman seperti Oei Hong Djien menyimpan karya-karya yang oleh beberapa pihak diragukan keautentikannya” (hlm. xiii).

Namun demikian, alih-alih menambal sulam kekuranglengkapan Jejak Lukisan Palsu IndonesiaMelacak Lukisan Palsu tampil serupa bedil berburu baru berpeluru lama dengan sasaran tembak utama yang sama—yaitu OHD.

Oleh karena itu, bisa dimengerti jika Melacak Lukisan Palsu memuat ulang tulisan Aminudin T.H. Siregar “Lukisan Para Penjiplak S. Sudjojono Koleksi OHD Museum?” (hlm. 89-167), Amir Sidharta “Misteri Soedibio” (171-211), dan Asiong “Analisis Visual atas Lukisan-lukisan Hendra Gunawan dalam Buku Lima Maestro” (hlm. 213-227).

Saya ingin menyebut tulisan Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, dan Asiong tersebut sebagai “cara intelektual”—dengan telaah artistik, visual, dan historiografi—PPSI melacak lukisan terduga bodong dalam koleksi OHD Museum.

Tapi, sebagaimana diinsafi PPSI, “cara intelektual” itu—sekalipun argumen-argumen dan kesimpulan-kesimpulannya tampak masuk akal—masih menyisakan celah silat lidah berupa klaim kebenaran yang “dapat berlangsung berkepanjangan dan tanpa ujung.” Maka perlu diupayakan cara lain untuk memastikan perkara lukisan palsu di Indonesia terkupas tuntas. Apalagi, seperti diterakan Agus Dermawan T dalam “Lukisan Palsu Kita dan Mata Telanjang” (Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012, hlm. 86), “sesungguhnya kualitas pemalsuan lukisan di Indonesia tergolong kelas ringan, sehingga sebagian besar masih gampang ditengarai dengan pengetahuan visual dan mata telanjang.”

***

Atas keinsafan itu, PPSI pun menerbitkan kembali liputan khusus Tempo dari edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bertajuk “Lukisan Palsu Sang Maestro”. Liputan ini harus diakui eksklusif—bahkan boleh dibilang sebuah terobosan dalam jurnalisme, terutama jurnalisme seni rupa. Sependek pengetahuan saya, setidaknya sepanjang tiga dasawarsa terakhir, belum pernah ada majalah lain, apalagi majalah seni rupa, di Indonesia yang melakukan investigasi jurnalistik secepat dan sesaksama Tempo dengan edisi 25 Juni-1Juli 2012.

Betapa tak, sekira dua bulan setelah pameran Back to Basic dibuka, ketika para penghayat seni rupa—kolektor, kurator, akademisi, penulis, dan perupa—masih bersilat lidah hampir tanpa jeda di dunia maya, dengan spirit Tintin yang mengesankan, Tempo telah “berhasil” menelisik riwayat “lukisan palsu sang maestro” yang terdapat dalam koleksi OHD Museum dan melacak sindikat pemalsu lukisan-lukisan bodong itu.

Sebenarnya—pada edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bersampul potret OHD di balik bingkai bolong karya Kendra Paramita itu—Tempo tak hanya menurunkan laporan “Lukisan Palsu Sang Maestro” dalam rubrik “Layar” bertajuk “Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum” sepanjang 21 halaman, tapi juga menampilkan selembar kartun karya Pri S. dan menerbitkan “pendapat pribadinya” dalam rubrik “Opini” berjudul “Gonjang-Ganjing Lukisan Palsu”.

Kartun dan “Opini” itu tak dimuat lagi baik dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia maupun Melacak Lukisan Palsu. Tak apa. Toh, itu tak membatalkan iktikad dan ikhtiar PPSI untuk mengikuti jejak langkah Tempo seolah “Sukab Intel Melayu”—untuk meminjam nama tokoh buku-komik Seno Gumira Ajidarma—dalam melacak lukisan palsu di Indonesia sebagaimana diperlihatkannya pada Melacak Lukisan Palsu bagian “Melacak Para ‘Pemalsu’” (hlm. 1-15) dan “Sindikat Pemalsu Lee Man Fong” (hlm. 69-87)

tentang lukisan palsu

kartun Pri S

Jadi, sementara Tempo dengan “cara Tintin” menghasilkan narasi “lukisan palsu sang maestro” yang “enak dibaca dan perlu”—PPSI dengan “cara Sukab Intel Melayu” berhasil mengumpulkan “barang bukti” lukisan palsu yang tak enak dikoleksi tapi perlu disimpan guna pengetahuan dan penyadaran umum.

Pada akhirnya Melacak Lukisan Palsu yang disunting oleh Syakieb Sungkar, Seno Joko Suyono, Wicaksono Adi, dan Shuliya Ratanavara (yang terakhir ini, entah kenapa, hanya tercantum di kolofon, sedangkan di sampul depan dan punggung buku gaib) harus dibaca sebagai bukan sekadar kemasan baru yang lebih tipis-ringan dan murah dari Jejak Lukisan Palsu Indonesia, melainkan juga upaya jauhari, alih-alih dokumen pengetahuan, yang belum sudah.    

Kini, setelah hampir dua tahun Melacak Lukisan Palsu terbit—“gonjang-ganjing lukisan palsu”, terutama yang berasal dari koleksi OHD Museum, redup sudah. Praktik jual-beli lukisan palsu pun konon jadi sepi, meski pembuatan dan pengedarannya tak jua mati. Sementara itu, tak kita dengar lagi pergerakan PPSI untuk melakukan penyadaran publik mengenai lukisan palsu di Indonesia agar mereka—pinjam perkataan editor Melacak Lukisan Palsu—“lebih waspada dalam melihat suatu karya sekaligus untuk mengurangi dan mencegah pembuatan maupun peredaran lukisan palsu.”

Apakah PPSI sudah “berdamai” dengan perkara yang “tergolong kelas ringan” namun membikin krisis legitimasi pendidikan, sejarah, dan kritik seni rupa di negeri ini?

Apakah diam-diam PPSI tengah melakukan penyelidikan di kalangan perupa, terutama perupa di Yogyakarta, untuk mengetahui pertimbangan dan pendapat mereka tentang lukisan palsu yang terabaikan dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia dan Melacak Lukisan Palsu?

Apakah PPSI justru sedang menyingsingkan lengan baju membangun laboratorium forensik lukisan palsu dengan alat-alat deteksi canggih guna mengenyahkan—pinjam istilah Ketua PPSI Budi Setiadharma—“nila setitik” di sebelanga susu seni rupa Indonesia?

Saya kira saya butuh bantuan Tintin atau Sukab—boleh juga Sherlock Holmes atau Robert Langdon—untuk mencari tahu jawabannya. Atau, jangan-jangan Anda, puan-tuan pembaca nan budiman, yang tahu jawabannya … ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

buku perkembangan seni

Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan

Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan

Oleh WAHYUDIN

 

“Kebenaran nomor satu, baru kebagusan.”

—S. Sudjojono (1946)

 

Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Jakarta: Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia, 2014) mencantumkan kata-kata “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru” itu (hlm. v) sebagai falsafah—kalau bukan sandaran moral—penerbitannya. Celakanya, sejumlah penghayat seni rupa di Tanah Air justru mencurigai kebenaran “Koleksi” di buku suntingan jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono ini.

“Koleksi” adalah 42 halaman yang memuat reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia—yaitu Affandi (7 lukisan, hlm. 41-47), Hendra Gunawan (20 lukisan, hlm. 256-275), Lee Man Fong (1 lukisan, hlm. 40), S. Sudjojono (14 lukisan, hlm. 228-241), dan Soedibio (4 lukisan, hlm. 162-165).

Sepelacakan saya sekira satu tahun setelah Jejak Lukisan Palsu Indonesia terbit, ada dua orang yang sangat serius mencurigai “Koleksi” tersebut—yaitu Enin Supriyanto via “Membiarkan Lubang Menganga, Terperosok Sendiri: Pelajaran (Lagi) dari Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia” (Kalam 27/2015. Buka http://salihara.org/kalam/current-issue/) dan hendrotan lewat status-status di Facebook (baca, misalnya, https://www.facebook.com/hendrotanhendro?fref=nf, 21 Agustus 2015, pukul 6:48 dan 10:57 WIB, dan 28 Agustus 2015, pukul 9:22 WIB) dan komentar-komentar pendek di blog pribadinya (lihat, misalnya, http://hendrotan.blogspot.com/2015/08/bukunya-ppsi-jejak-lukisan-palsu.html).

Oleh karena itu, agar kecurigaan tersebut tak menjadi sekadar skeptisisme teka-teki yang mengharu-biru di media sosial dan “Koleksi” itu tak mengeras sebagai korpus tertutup dengan klaim kebenaran yang manasuka—berbekal “ilmu bedah” yang “diajarkan” para penulis buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia—saya akan membedah “Koleksi” Hendra Gunawan di sini.

Saya akan “membedah”-nya—menggunakan teknik “bedah ringan” dan “sayatan perbandingan”—dengan referensi pembanding buku Agus Dermawan T. dan Astri Wright  Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter  (selanjutnya ditulis Hendra Gunawan …) terbitan Ir Ciputra Foundation Jakarta, 2001.

***

Mengikuti pendapat Seno Joko Suyono (hlm. 88), tersebab “biografi pelukis kita dan karyanya belum lengkap didata,” maka terciptalah “ruang kosong dalam sejarah seni lukis kita” yang memungkinkan “jaringan perdagangan lukisan palsu” beroperasi dengan gampang dan leluasa. Kita garis bawahi istilah “ruang kosong” dari jurnalis Tempo itu.

Hendra Gunawan adalah salah seorang maestro kita yang memiliki “ruang kosong” itu. Sebagaimana catatan Seno (hlm. 91), “ruang kosong” pendiri Pelukis Rakjat (1947) itu berlangsung “sekitar 13 tahun (akhir 1965-15 Mei 1978) masa Hendra dipenjara di Kebon Waru, Bandung.” Dari “ruang kosong” itu, Seno mensinyalir, “banyak karya tidak autentik Hendra diperdagangkan.”

Dengan keterangan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan era penciptaan 20 lukisan Hendra Gunawan dalam “Koleksi” sebagai berikut:

(1) Sebelum dipenjara: 4 lukisan (bertahun 1948, 1950an, 1958, dan 1960). (2) Dalam penjara: 13 lukisan (bertitimangsa 1970an, 1970 [dua lukisan], 1971, 1973 [dua lukisan], 1974 [tiga lukisan], 1975 [dua lukisan], dan 1976 [dua lukisan]). (3) Selepas penjara: 3 lukisan (bertarikh 1979 [dua lukisan] dan 1980).

Dengan begitu, penting untuk kita garis bawahi bahwa lukisan Hendra Gunawan yang paling banyak dimuat dalam “Koleksi” adalah lukisan “dalam penjara”—itu pun rata-rata berukuran besar. Tentang hal ini, mari kita sangsikan dengan mengingat pernyataan Agus Dermawan T. di buku ini (hlm. 67): “Setahu saya, sesuai penuturan Hendra dan keluarganya, tidak banyak lukisan berukuran besar yang lahir dari studionya.” Kalau demikian, dengan nalar skeptis kita bisa bertanya: Bagaimana mungkin Hendra melahirkan lukisan-lukisan berukuran besar di dalam penjara yang serba susah?

Dari sana, kita beranjak ke persoalan 2 lukisan Hendra yang tahun pembuatannya tak pasti dalam “Koleksi”. (1) Bandung Lautan Api, 1950an, cat minyak di kanvas, 227 x 297 cm (hlm. 257). (2) Mandi di Sungai, 1970an, cat minyak di kanvas, 140 x 70 cm (hlm. 260).

Ketidakpastian itu, sebagaimana ditengarai Seno di buku ini (hlm. 88), mencerminkan penyakit kronis dalam historiografi seni rupa Indonesia—penyakit sejarah dalam penulisan dan pendokumentasian karya seni rupa, utamanya karya seni lukis old-master, yang sering kali dimanfaatkan sebagai cela bisnis dalam perdagangan lukisan palsu di Indonesia.

Dengan adanya penyakit kronis itu dalam buku ini—tentu kita perlu menyangsikan provenance kedua lukisan tersebut. Sebab, implikasi logisnya bisa menjadi seperti ini: Lukisan Mandi di Sungai—sebagaimana klasifikasi di atas—termasuk dalam era penciptaan “dalam penjara”. Tapi ketidakpastian tahun pembuatannya sangat mungkin membuka penafsiran yang berbeda: 1970an itu tahun berapa? Masa “dalam penjara” atau “selepas penjara”?

Lebih penting dari itu, pertanyaannya adalah: Mengapa Hendra tak menggoreskan tahun pembuatan yang pasti di kanvas kedua lukisannya itu? Alih-alih, mengapa di kanvas kedua lukisan Hendra itu tak tersurat tahun penciptaan yang pasti? Lantas, siapakah yang menaksir—jika bukan memastikan—tahun penciptaan kedua lukisan itu sebagai tahun 1950an dan 1970an?

***

buku lukisan palsu

Buku PPSI

Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu melemparkan saya ke dalam persoalan judul lukisan Hendra yang berbahasa Inggris dalam “Koleksi”—yaitu  Snake Charmer (1974, cat minyak di kanvas, 196 x 87 cm [hlm. 267]), Landscape (1976, cat minyak di kanvas, 150 x 220 cm [hlm. 272]), dan Barong Dance (1979, cat minyak di kanvas, 145 x 93 cm [hlm. 273]).

Sepengetahuan saya, mencantumkan judul berbahasa Inggris adalah praktik estetik yang jarang dilakukan oleh maestro-maestro seni lukis kita, tak terkecuali Hendra—betapapun kita tahu mereka menguasai sejumlah bahasa asing dengan baik, antara lain, Belanda dan Inggris. Khusus Hendra, praktik itu sangat mungkin tak dilakukannya karena kebesarannya sebagai seorang pelukis yang nasionalis—yang tidak hanya piawai menciptakan lukisan-lukisan bersejarah, tapi juga menggubah puisi di kanvas-kanvas lukisannya. Dengan begitu, bisa dibayangkan, Hendra akan berkecenderungan kuat kepada bahasa Indonesia ketimbang bahasa Inggris dalam memberikan judul lukisan-lukisannya.

Argumen tersebut akan semakin meyakinkan kalau kita periksa buku Hendra Gunawan …—di mana kita akan terpahamkan bahwa bahasa Inggris dibubuhkan orang lain sebagai terjemahan judul-judul lukisan Hendra yang aslinya berbahasa Indonesia. Dalam buku Hendra Gunawan … ini (hlm. 109) kita bisa temukan lukisan Hendra berjudul Ngamen Ular—dibahasa Inggriskan menjadi Snake Performer — (1973, cat minyak di kanvas, 145 x 72 cm) yang pokok perupaan dan komposisi artistiknya terbilang mirip dengan lukisan Snake Charmer.

Diperhatikan dengan saksama, kedua lukisan tersebut dibuat Hendra pada era “dalam penjara”. Ini kalau kita percaya dengan keautentikan kedua lukisan tersebut sebagai buah karya asli Hendra—meskipun dari segi estetis terasa ada kejanggalan dalam lukisan Snake Charmer. Bukan hanya dari aspek judulnya saja, melainkan juga dari segi ekspresi dan gestur sosoknya yang terkesan merepetisi dari lukisan Ngamen Ular—padahal ada jarak satu tahun dalam masa penciptaan kedua lukisan tersebut.

Setali tiga uang dengan lukisan Mandi di Sungai dalam “Koleksi” (hlm. 260) yang ekspresi dan gestur sosoknya terkesan menyalin dari lukisan Keramas (1973, cat minyak di kanvas, 140 x 80 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm.131). Begitu pula yang bisa dikatakan tentang dua lukisan cat minyak di kanvas berjudul Pandawa Dadu dalam “Koleksi” (hlm. 264 dan 265). Yang pertama bertitimangsa 1971 dan berukuran 202 x 387 cm. Yang kedua bertarikh 1973 dan berukuran 146,5 x 294 cm; reproduksinya yang sama terdapat juga dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 114-115).

Kedua lukisan yang berasal dari masa Hendra “dalam penjara” itu tidak hanya mencengangkan dari segi ukurannya, melainkan juga dari aspek pengulangan pokok perupaannya yang kompleks tapi nyaris persis—untuk tidak mengatakan kembar—padahal keduanya terpisah jarak dua tahun dalam masa penciptaannya.

Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan lukisan Mandi di Pancuran (1979, cat minyak di kanvas, 248,5 x 140 cm) dalam “Koleksi” (hlm. 274). Lukisan ini dari segi pokok perupaannya persis betul dengan lukisan Antri Mandi (1970, cat minyak di kanvas, 247,5 x 139,5 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 101). Karena keduanya bak pinang dibelah dua—tapi berbeda tahun penciptaan dan ukurannya—maka kita tak bisa menyamakannya dengan kasus lukisan kembar S. Sudjojono yang berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut (1964) dan Dunia Tanpa Pria (1964), sebagaimana terjelaskan oleh Tim Penulis buku ini (hlm.226-227).

Kejanggalan itu bukan hanya mengesankan adanya masalah keautentikan lukisan kembar, melainkan juga memunculkan perkara kesahihan dalam pendataan riwayat lukisan di antara dua literarur yang berbeda. Oleh karena itu, kita pantas menyangsikan keabsahan intelektual kedua literatur itu dalam wacana publik dan historiografi seni rupa Indonesia saat ini.

Sehubungan dengan hal itu—membanding-bandingkan data dari kedua buku ini—kita akan berhadapan dengan masalah perbedaan ukuran dalam lukisan yang sama judul, media, pokok perupaan dan tahun penciptaannya—yakni lukisan Kuda Lumping (1973, cat minyak di kanvas). Dalam “Koleksi” (hlm. 263), Kuda Lumping ditulis berukuran 147 x 297 cm, sementara dalam Hendra Gunawan … (hlm. 117) ditulis berukuran 147 x 300 cm. Apa arti perbedaan itu? Revisi datakah? Atau kesalahan pencantuman data?

Sebaliknya dengan masalah lukisan Kuda Lumping itu adalah masalah lukisan sama dalam media, ukuran, pokok perupaan, dan tahun penciptaan, tapi berbeda judulnya. Dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 86) terdapat lukisan berjudul Gerilya (1960, cat minyak di kanvas, 145 x 158 cm). Dalam “Koleksi” (hlm. 259), judul lukisan itu bertambah panjang menjadi Gerilya Persiapan Penyerangan. Pertanyaan kita adalah: Yang manakah yang sahih?

Sampai di pertanyaan itu saya sudahi bedah “Koleksi” Hendra Gunawan ini dengan sepotong peribahasa yang barangkali bermanfaat untuk direnungkan bersama oleh penerbit, penyunting, dan pembaca buku ini: “Mengata dulang paku serpih, mengata orang awak yang lebih.”