PPSI Melacak Lukisan Palsu
PPSI Melacak Lukisan Palsu
Oleh WAHYUDIN
Pada Senin, 29 Oktober 2018—ketika buku Melacak Lukisan Palsu terbit dan beredar di jaringan toko buku Gramedia seluruh Indonesia—Oei Hong Djien (OHD) tengah berada di Belanda. Saya mengetahuinya dari status-status di Facebook OHD. Di Negeri Kincir Angin itu, OHD memanjakan matanya sepanjang hari di Frans Hals Museum dan Teylers Museum di Haarlem serta Boymans van Beuningen Museum di Rotterdam.
Dari tanah tumpah darah Vincent van Gogh itu, OHD terbang ke Italia untuk menghadiri Global Private Museum Summit di Torino, “menghayati karya (seni rupa) dengan hati yang murni” di Artissimo Art Fair Torino dan menonton opera di gedung La Scala, Milan, yang legendaris, dan menikmati penuh khidmat The Last Supper Leonardo da Vinci di Santa Maria delle Grazie, Milan.
Atas kenyataan itu, penghayat seni rupa yang peka sangat mungkin tak percaya dengan perkara lukisan palsu yang menderu seru OHD pada 2012. Pasalnya, perkara itu bukan hanya mencemari reputasi pelukis-pelukis karyatama (old-master) Indonesia bernama S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, melainkan juga menjotos kredibilitas OHD sebagai kolektor sohor dari Magelang.
Di tengah senyapnya pasar seni rupa Indonesia kala itu, perkara tersebut menjelma “permainan mulut” yang berlarat-larat. Ironisnya, “permainan mulut” itu makin menebalkan syak-wasangka di lidah dan hati kubu penuduh dan kubu tertuduh. Perkara itu pun menjelma laksana sengketa tiada putus, sehingga tak sesiapa jua sanggup meradukannya.
Salah satu kelompok penuduh yang paling militan memperkarakan lukisan terduga palsu OHD adalah Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI) yang bermarkas di Jakarta sejak 2012 dengan komendur kolektor besar Budi Setiadharma. Selain gencar melakukan “penyadaran publik” lewat pameran lukisan-lukisan palsu karyatama Indonesia, mereka melancarkan kontranarasi dengan menerbitkan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

Buku PPSI
***
Saya pernah mengulas buku terbitan 2014 itu untuk satu-dua media luring dan daring di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Oleh karena itu, izinkan saya mengulangnya barang sedikit di sini. Buku setebal xxvi + 382 halaman itu memuat 11 tulisan cerdik-pandai seni rupa, 4 komentar kolektor seni rupa, 1 investigasi jurnalistik dari Tempo (edisi 25 Juni-1 Juli 2012), dan 42 halaman “Koleksi” berisi reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia, yaitu Affandi (7 lukisan), Hendra Gunawan (20 lukisan), Lee Man Fong (1 lukisan), S. Sudjojono (14 lukisan), dan Soedibio (4 lukisan).
Disunting jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono, Jejak Lukisan Palsu Indonesia menganalisis, kalau bukan membuat penilaian moral, pameran Back to Basic di OHD Museum, 5 April-31 Juli 2012, dan buku dwibahasa Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia: Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Widayat, Soedibio, karya OHD setebal 278 halaman yang diterbitkan oleh OHD Museum pada 5 April 2012. Hasilnya adalah dugaan bahwa sejumlah lukisan S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio dalam pameran dan buku OHD tersebut palsu.
Tapi, OHD bergeming, bahkan cuek bebek saja, hingga seperti kata pepatah lama: “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, PPSI menyalak OHD tetap bergerak. Buktinya, pada 14 November 2015, OHD Museum menerbitkan buku setebal 201 halaman karya kurator Jim Supangkat dan sejarawan Iwan Sewandono yang, disengaja atau tak disengaja, mengandung sejumlah ekspresi intelektual yang terkait dengan pemikiran dan penilaian Jejak Lukisan Palsu Indonesia.
Betapa tak, dengan memilih-muat lukisan Arakan Pengantin, Berjudi, Penjual Es Lilin, Perang Buleleng di Bali, dan Saritem, yang sebelumnya diduga palsu, Supangkat dan Sewandono secara tak langsung membantu OHD menyangkal, kalau bukan mengganggap tak berharga sama sekali, pendapat dan penilaian, antara lain Agus Dermawan T., Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, Asiong, Bambang Bujono, Mikke Susanto, Seno Joko Suyono, Syakieb Sungkar, dan Wicaksono Adi dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia.
Pada titik itu, bisa dipastikan, The People in 70 Years bukan lagi sekadar suplemen pameran berjudul sama di OHD Museum (14 November 2015-22 Februari 2016), yang memuat 194 karya 84 seni rupawan dari generasi Abdullah Suriosubroto sampai generasi Yudi Sulistya, melainkan telah menjelma risalah penyanggah tuduh.
Sangat mungkin itu salah satu sebabnya, apalagi PPSI tak ingin Jejak Lukisan Palsu Indonesia dianggap berdusta kepada penghayat seni rupa Tanah Air dengan terbitnya The People in 70 Years, mereka bersemangat—bekerjasama dengan Kepustakaan Populer Gramedia—menerbitkan buku Melacak Lukisan Palsu setebal lii + 242 halaman ini, sekalipun “harus bersabar” hampir tiga tahun lamanya.
***
Kesabaran dan semangat itu mengikhtisarkan daya juang PPSI yang pantang angkat tangan untuk menginsafi bahwa “isi buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia masih kurang lengkap,” sehingga buku Melacak Lukisan Palsu “dibuat antara lain untuk mengajak semua orang agar lebih berhati-hati membeli lukisan Indonesia di tengah maraknya pemalsuan lukisan, ketika bahkan seorang kolektor berpengalaman seperti Oei Hong Djien menyimpan karya-karya yang oleh beberapa pihak diragukan keautentikannya” (hlm. xiii).
Namun demikian, alih-alih menambal sulam kekuranglengkapan Jejak Lukisan Palsu Indonesia—Melacak Lukisan Palsu tampil serupa bedil berburu baru berpeluru lama dengan sasaran tembak utama yang sama—yaitu OHD.
Oleh karena itu, bisa dimengerti jika Melacak Lukisan Palsu memuat ulang tulisan Aminudin T.H. Siregar “Lukisan Para Penjiplak S. Sudjojono Koleksi OHD Museum?” (hlm. 89-167), Amir Sidharta “Misteri Soedibio” (171-211), dan Asiong “Analisis Visual atas Lukisan-lukisan Hendra Gunawan dalam Buku Lima Maestro” (hlm. 213-227).
Saya ingin menyebut tulisan Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, dan Asiong tersebut sebagai “cara intelektual”—dengan telaah artistik, visual, dan historiografi—PPSI melacak lukisan terduga bodong dalam koleksi OHD Museum.
Tapi, sebagaimana diinsafi PPSI, “cara intelektual” itu—sekalipun argumen-argumen dan kesimpulan-kesimpulannya tampak masuk akal—masih menyisakan celah silat lidah berupa klaim kebenaran yang “dapat berlangsung berkepanjangan dan tanpa ujung.” Maka perlu diupayakan cara lain untuk memastikan perkara lukisan palsu di Indonesia terkupas tuntas. Apalagi, seperti diterakan Agus Dermawan T dalam “Lukisan Palsu Kita dan Mata Telanjang” (Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012, hlm. 86), “sesungguhnya kualitas pemalsuan lukisan di Indonesia tergolong kelas ringan, sehingga sebagian besar masih gampang ditengarai dengan pengetahuan visual dan mata telanjang.”
***
Atas keinsafan itu, PPSI pun menerbitkan kembali liputan khusus Tempo dari edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bertajuk “Lukisan Palsu Sang Maestro”. Liputan ini harus diakui eksklusif—bahkan boleh dibilang sebuah terobosan dalam jurnalisme, terutama jurnalisme seni rupa. Sependek pengetahuan saya, setidaknya sepanjang tiga dasawarsa terakhir, belum pernah ada majalah lain, apalagi majalah seni rupa, di Indonesia yang melakukan investigasi jurnalistik secepat dan sesaksama Tempo dengan edisi 25 Juni-1Juli 2012.
Betapa tak, sekira dua bulan setelah pameran Back to Basic dibuka, ketika para penghayat seni rupa—kolektor, kurator, akademisi, penulis, dan perupa—masih bersilat lidah hampir tanpa jeda di dunia maya, dengan spirit Tintin yang mengesankan, Tempo telah “berhasil” menelisik riwayat “lukisan palsu sang maestro” yang terdapat dalam koleksi OHD Museum dan melacak sindikat pemalsu lukisan-lukisan bodong itu.
Sebenarnya—pada edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bersampul potret OHD di balik bingkai bolong karya Kendra Paramita itu—Tempo tak hanya menurunkan laporan “Lukisan Palsu Sang Maestro” dalam rubrik “Layar” bertajuk “Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum” sepanjang 21 halaman, tapi juga menampilkan selembar kartun karya Pri S. dan menerbitkan “pendapat pribadinya” dalam rubrik “Opini” berjudul “Gonjang-Ganjing Lukisan Palsu”.
Kartun dan “Opini” itu tak dimuat lagi baik dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia maupun Melacak Lukisan Palsu. Tak apa. Toh, itu tak membatalkan iktikad dan ikhtiar PPSI untuk mengikuti jejak langkah Tempo seolah “Sukab Intel Melayu”—untuk meminjam nama tokoh buku-komik Seno Gumira Ajidarma—dalam melacak lukisan palsu di Indonesia sebagaimana diperlihatkannya pada Melacak Lukisan Palsu bagian “Melacak Para ‘Pemalsu’” (hlm. 1-15) dan “Sindikat Pemalsu Lee Man Fong” (hlm. 69-87).

kartun Pri S
Jadi, sementara Tempo dengan “cara Tintin” menghasilkan narasi “lukisan palsu sang maestro” yang “enak dibaca dan perlu”—PPSI dengan “cara Sukab Intel Melayu” berhasil mengumpulkan “barang bukti” lukisan palsu yang tak enak dikoleksi tapi perlu disimpan guna pengetahuan dan penyadaran umum.
Pada akhirnya Melacak Lukisan Palsu yang disunting oleh Syakieb Sungkar, Seno Joko Suyono, Wicaksono Adi, dan Shuliya Ratanavara (yang terakhir ini, entah kenapa, hanya tercantum di kolofon, sedangkan di sampul depan dan punggung buku gaib) harus dibaca sebagai bukan sekadar kemasan baru yang lebih tipis-ringan dan murah dari Jejak Lukisan Palsu Indonesia, melainkan juga upaya jauhari, alih-alih dokumen pengetahuan, yang belum sudah.
Kini, setelah hampir dua tahun Melacak Lukisan Palsu terbit—“gonjang-ganjing lukisan palsu”, terutama yang berasal dari koleksi OHD Museum, redup sudah. Praktik jual-beli lukisan palsu pun konon jadi sepi, meski pembuatan dan pengedarannya tak jua mati. Sementara itu, tak kita dengar lagi pergerakan PPSI untuk melakukan penyadaran publik mengenai lukisan palsu di Indonesia agar mereka—pinjam perkataan editor Melacak Lukisan Palsu—“lebih waspada dalam melihat suatu karya sekaligus untuk mengurangi dan mencegah pembuatan maupun peredaran lukisan palsu.”
Apakah PPSI sudah “berdamai” dengan perkara yang “tergolong kelas ringan” namun membikin krisis legitimasi pendidikan, sejarah, dan kritik seni rupa di negeri ini?
Apakah diam-diam PPSI tengah melakukan penyelidikan di kalangan perupa, terutama perupa di Yogyakarta, untuk mengetahui pertimbangan dan pendapat mereka tentang lukisan palsu yang terabaikan dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia dan Melacak Lukisan Palsu?
Apakah PPSI justru sedang menyingsingkan lengan baju membangun laboratorium forensik lukisan palsu dengan alat-alat deteksi canggih guna mengenyahkan—pinjam istilah Ketua PPSI Budi Setiadharma—“nila setitik” di sebelanga susu seni rupa Indonesia?
Saya kira saya butuh bantuan Tintin atau Sukab—boleh juga Sherlock Holmes atau Robert Langdon—untuk mencari tahu jawabannya. Atau, jangan-jangan Anda, puan-tuan pembaca nan budiman, yang tahu jawabannya … ***