Data Artikel

6 Fakta Unik Lukisan Mona Lisa yang Terkenal, Siapa Dia Sebenarnya?

 

Nama aslinya bukan Mona Lisa, lho

 

lukisan Mona Lisa (pixabay.com/WikiImages)

 

Jika ada yang bertanya lukisan mana yang paling populer di dunia, Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci mungkin jawabannya. Bahkan, Mona Lisa yang dipajang di Louvre di Paris sejak 1797 berhasil menarik jutaan wisatawan ke Paris dari seluruh dunia. Beberapa dari mereka hanya datang karena penasaran.

Namun percaya atau tidak, banyak juga turis yang datang berkali-kali dan mengaku jatuh cinta dengan tokoh dalam lukisan tersebut , di sini enam fakta di balik lukisan Mona Lisa yang terkenal, siapa dia?

  1. Nama aslinya bukan Mona Lisa

Selama bertahun-tahun, banyak ahli memperdebatkan siapa sebenarnya karakter di balik lukisan Mona Lisa. Sedikit yang tidak percaya bahwa tokoh Mona Lisa dalam lukisan itu adalah Leonardo Da Vinci sendiri. Padahal, tokoh dalam lukisan tersebut bukanlah Leonardo Da Vinci, melainkan seorang wanita bernama Lisa Gherardini.

Lisa Gherardini adalah istri mantan orang kaya Italia Francesco del Giocondo. Pada 1503 Francesco bertemu Leonardo Da Vinci dan meminta seniman terkenal itu untuk melukis istrinya, yang sangat dia cintai. Kenapa harus namanya Mona Lisa? Itu karena Mona Lisa berarti “My Lady Lisa” dalam bahasa Italia.

  1. Leonardo Da Vinci tidak benar-benar menyelesaikan lukisan ini

Mona Lisa memang merupakan salah satu karya terbaik Da Vinci, namun siapa sangka Da Vinci sendiri tidak pernah berhasil menyelesaikannya. Sejak ditugaskan pada 1503, Da Vinci membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

Pada tahun 1517  Raja François I memintanya untuk pindah ke Prancis. Akibatnya, lukisan Mona Lisa dan proyek lainnya pun harus dipindahkan. Pada akhirnya, Da Vinci tidak pernah menyelesaikan lukisannya.

Karena dua tahun setelah pindah ke Prancis, Leonardo Da Vinci menderita stroke dan meninggal dunia. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Kapel Saint Hubert di Prancis.

  1. Mona Lisa tinggal di kamar tidur Napoleon Bonaparte selama bertahun-tahun

Setelah Da Vinci pergi, Raja François I memamerkan Mona Lisa dan beberapa lukisan lainnya di Kastil Fontainebleau. Seratus tahun kemudian, Louis XIV memindahkan mereka ke Grand Palace of Versailles. Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa pada abad ke-18, lukisan ini dipindahkan ke Istana Tuileries, di mana lukisan itu disimpan di kamar tidur Napoleon selama empat tahun.

Namun, kehadiran Mona Lisa di kamar kaisar menjadi awal ketertarikan Napoleon pada seorang wanita cantik asal Italia bernama Teresa Guadagni, yang ternyata merupakan keturunan dari Lisa Gherardini.

  1. Pencuri membuat Mona Lisa terkenal

Pada 21 Agustus 1911, Mona Lisa dicuri dari kopernya di Louvre. Hebatnya, begitu berita pencurian itu tersiar, ribuan orang Prancis berbondong-bondong meratapi ruang kosong yang ditinggalkan oleh Mona Lisa. Untungnya, kasus pencurian ini berhasil diungkap dua tahun kemudian.

Seorang Italia bernama Vincenzo Peruggia, yang juga mantan karyawan Louvre, ditangkap di Florence setelah tertangkap mencoba menjual lukisan Mona Lisa ke salah satu galeri seni lokal. Meski mencoba menjualnya, alasan utama Peruggia mencurinya bukan karena butuh uang, tapi karena percaya bahwa Mona Lisa adalah aset milik rakyatnya.

  1. Dua pria bunuh diri karena jatuh cinta padanya

Napoleon bukan satu-satunya pria yang jatuh cinta pada pesona Mona Lisa. Sejak dipamerkan di Louvre pada 1797, ribuan orang datang ke lukisan itu, meninggalkan puisi dan bunga. Lebih gila lagi, beberapa orang bahkan memilih bunuh diri karena perasaannya.

Korban pertama adalah seniman abad ke-19 bernama Luc Maspero. Suatu hari di tahun 1852, Luc memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar hotel lantai empatnya.

Luc berkata dalam sebuah catatan yang dia tinggalkan: “Selama bertahun-tahun saya berjuang dengan senyumnya. Saya lebih baik mati.” Enam puluh tahun kemudian, seorang pria memutuskan untuk menembak kepalanya sendiri karena alasan yang sama.

  1. Mona Lisa tidak akan pernah dijual

Lukisan Gioconda, yang dibuat pada tahun 1503 oleh seniman sekelas Leonardo Da Vinci, tidak diragukan lagi sangat berharga. Betapa tidak, saat lukisan ini dipinjamkan ke beberapa museum pada tahun 1960, Louvre mengamankan lukisan tersebut hingga USD 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun.

Setelah sepuluh tahun, harga lukisan ini meningkat secara signifikan. Toh setelah hebohnya turis untuk bertemu dengan Mona Lisa, jelas pihak museum tidak akan pernah merilis lukisan ini dengan biaya berapa pun.

 

Terlepas dari beberapa fakta unik tentang lukisan Mona Lisa, lukisan ini tetap merupakan karya yang luar biasa. Bukan hanya karena harga atau artis yang membuatnya, tetapi karena sejarahnya yang lebih dari 500 tahun, yang membuat Mona Lisa begitu tak ternilai harganya.

 

 

lukisan soedjojono

Tengkar Tiga Kurator

Tengkar Tiga Kurator

Oleh WAHYUDIN

 

Kurator bertengkar di media massa adalah perkara biasa, sekalipun langka adanya dan kerap tak saksama, di dunia seni rupa Indonesia. Sebelum “tengkar tiga kurator” ini, saya ingat pertengkaran kurator Aminudin TH Siregar dengan kurator M Dwi Marianto tentang kehidupan seni rupa (di) Yogyakarta di Kompas pada akhir 2001—awal 2002.

Setelah itu terjadi pertengkaran antara kurator Enin Supriyanto dengan kurator Jim Supangkat ihwal kebebasan berekspresi di Kompas dan majalah Visual Arts (2006) lantaran kasus pemakzulan Pink Swing Park Agus Suwage dan Davy Linggar dari CP Biennale 2005.

Itu sebabnya, ketika membaca pertengkaran Jim Supangkat, Hendro Wiyanto, dan Agus Dermawan T. di Tempo dan Koran Tempo (2016)saya merasa menemukan permulaan penuh hikmat kebijaksanaan untuk memenuhi ikhtiar #oneweekonereading, #sepekansebacaan, #oneweekonebook, #satuminggusatubuku sica.asia guna #berbagibacaan dengan pembaca yang mulia.

—WD

 

Satu setengah bulan sebelum pameran The People in 70 Years (OHD Museum, 4 November 2015-30 April 2016), berakhir—kurator seni rupa Jakarta asal Tuban Hendro Wiyanto menulis “Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat” di majalah Tempo (14 Maret 2016).

Dalam tulisan tersebut, Hendro Wiyanto—yang terperangah dengan pernyataan Jim Supangkat, pengampu The People in 70 Years, di majalah Tempo (7-13 Maret 2016) bahwa sang kurator seni rupa Bandung asal Makassar itu “yakin tidak akan terjebak” dalam “masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan” dan “tidak mungkin memilih lukisan palsu”—mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran ‘The People’ itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang ‘tidak ada hubungan sama sekali’?”

Sementara menunggu jawabannya—Hendro Wiyanto menghimbau Jim Supangkat untuk  “membaca dulu ‘Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum’ (rubrik “Layar” Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran ‘The People’ yang dikuratori Jim Supangkat.”

(Salah satu “karyatama yang diduga bukan karya otentik” adalah lukisan Arakan Pengantin S. Sudjojono. Tapi sang kurator bergeming bahwa “itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya.”)

Atas himbauan itu Hendro Wiyanto berharap “mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah ‘terjebak’.”

Lebih kurang tiga minggu berselang Jim Supangkat pun menjawab pertanyaan Hendro Wiyanto lewat tulisannya, “Dua Drama ‘Arakan Pengantin’,” di majalah Tempo (4-10 April 2016). Pokok jawaban kurator mantan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru itu sebagai berikut:

“Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas (…) Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata (…)

Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap ‘tidak terlihat’ juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?”

Sikap tak peduli Jim Supangkat rupanya mendapat perhatian kritis dari kurator  seni rupa Jakarta asal Banyuwangi Agus Dermawan T. Dalam esainya, “AADC? (Ada Apa dengan ‘Curator’?)” di Koran Tempo (Rabu, 11 Mei 2016), Agus Dermawan T. menduga sikap “congkak” Jim Supangkat itu lantaran kritik seni rupa sudah mati di Indonesia. Lebih tepatnya kurator mantan eksponen Nusantara-Nusantara itu menulis sebagai berikut:

“Matinya kritik seni inilah yang menjadikan sejumlah kurator merasa berkuasa sepenuh-penuhnya, dan merasa menjadi agen kebenaran seni nomor satu. Bahkan terhadap lukisan palsu. Akibatnya, ada kurator yang berani bercongkak ria di media massa: ‘Mustahil kurator terjebak lukisan palsu.’ (Tempo, 13 Maret 2016). Mentalitas seperti inilah yang akhirnya dengan cepat digunakan oleh para penyamun seni rupa. Dan seni rupa (Indonesia) pun rusaklah.”

Gawat! Saya pikir Jim Supangkat perlu menjawab pernyataan Agus Dermawan T. itu. Tapi, di atas sikapnya kepada Hendro Wiyanto—Jim Supangkat  tampaknya lebih tak peduli lagi kepada Agus Dermawan T.—sehingga dia merasa tak perlu menjawabnya kapan pun dan di mana pun. Barangkali karena Jim Supangkat tahu bahwa persengketaan itu tak sedikit jua mencederai reputasi OHD. Bahkan sampai hari ini sang kolektor tetap berbangga dan berbahagia dengan apa yang dimilikinya: OHD Museum—sebagaimana musyafir lata (flaneur) yang bangga dan bahagia dalam keluyurannya.