Data Artikel

lukisan soedjojono

Tengkar Tiga Kurator

Tengkar Tiga Kurator

Oleh WAHYUDIN

 

Kurator bertengkar di media massa adalah perkara biasa, sekalipun langka adanya dan kerap tak saksama, di dunia seni rupa Indonesia. Sebelum “tengkar tiga kurator” ini, saya ingat pertengkaran kurator Aminudin TH Siregar dengan kurator M Dwi Marianto tentang kehidupan seni rupa (di) Yogyakarta di Kompas pada akhir 2001—awal 2002.

Setelah itu terjadi pertengkaran antara kurator Enin Supriyanto dengan kurator Jim Supangkat ihwal kebebasan berekspresi di Kompas dan majalah Visual Arts (2006) lantaran kasus pemakzulan Pink Swing Park Agus Suwage dan Davy Linggar dari CP Biennale 2005.

Itu sebabnya, ketika membaca pertengkaran Jim Supangkat, Hendro Wiyanto, dan Agus Dermawan T. di Tempo dan Koran Tempo (2016)saya merasa menemukan permulaan penuh hikmat kebijaksanaan untuk memenuhi ikhtiar #oneweekonereading, #sepekansebacaan, #oneweekonebook, #satuminggusatubuku sica.asia guna #berbagibacaan dengan pembaca yang mulia.

—WD

 

Satu setengah bulan sebelum pameran The People in 70 Years (OHD Museum, 4 November 2015-30 April 2016), berakhir—kurator seni rupa Jakarta asal Tuban Hendro Wiyanto menulis “Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat” di majalah Tempo (14 Maret 2016).

Dalam tulisan tersebut, Hendro Wiyanto—yang terperangah dengan pernyataan Jim Supangkat, pengampu The People in 70 Years, di majalah Tempo (7-13 Maret 2016) bahwa sang kurator seni rupa Bandung asal Makassar itu “yakin tidak akan terjebak” dalam “masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan” dan “tidak mungkin memilih lukisan palsu”—mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran ‘The People’ itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang ‘tidak ada hubungan sama sekali’?”

Sementara menunggu jawabannya—Hendro Wiyanto menghimbau Jim Supangkat untuk  “membaca dulu ‘Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum’ (rubrik “Layar” Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran ‘The People’ yang dikuratori Jim Supangkat.”

(Salah satu “karyatama yang diduga bukan karya otentik” adalah lukisan Arakan Pengantin S. Sudjojono. Tapi sang kurator bergeming bahwa “itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya.”)

Atas himbauan itu Hendro Wiyanto berharap “mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah ‘terjebak’.”

Lebih kurang tiga minggu berselang Jim Supangkat pun menjawab pertanyaan Hendro Wiyanto lewat tulisannya, “Dua Drama ‘Arakan Pengantin’,” di majalah Tempo (4-10 April 2016). Pokok jawaban kurator mantan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru itu sebagai berikut:

“Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas (…) Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata (…)

Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap ‘tidak terlihat’ juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?”

Sikap tak peduli Jim Supangkat rupanya mendapat perhatian kritis dari kurator  seni rupa Jakarta asal Banyuwangi Agus Dermawan T. Dalam esainya, “AADC? (Ada Apa dengan ‘Curator’?)” di Koran Tempo (Rabu, 11 Mei 2016), Agus Dermawan T. menduga sikap “congkak” Jim Supangkat itu lantaran kritik seni rupa sudah mati di Indonesia. Lebih tepatnya kurator mantan eksponen Nusantara-Nusantara itu menulis sebagai berikut:

“Matinya kritik seni inilah yang menjadikan sejumlah kurator merasa berkuasa sepenuh-penuhnya, dan merasa menjadi agen kebenaran seni nomor satu. Bahkan terhadap lukisan palsu. Akibatnya, ada kurator yang berani bercongkak ria di media massa: ‘Mustahil kurator terjebak lukisan palsu.’ (Tempo, 13 Maret 2016). Mentalitas seperti inilah yang akhirnya dengan cepat digunakan oleh para penyamun seni rupa. Dan seni rupa (Indonesia) pun rusaklah.”

Gawat! Saya pikir Jim Supangkat perlu menjawab pernyataan Agus Dermawan T. itu. Tapi, di atas sikapnya kepada Hendro Wiyanto—Jim Supangkat  tampaknya lebih tak peduli lagi kepada Agus Dermawan T.—sehingga dia merasa tak perlu menjawabnya kapan pun dan di mana pun. Barangkali karena Jim Supangkat tahu bahwa persengketaan itu tak sedikit jua mencederai reputasi OHD. Bahkan sampai hari ini sang kolektor tetap berbangga dan berbahagia dengan apa yang dimilikinya: OHD Museum—sebagaimana musyafir lata (flaneur) yang bangga dan bahagia dalam keluyurannya.