Data Artikel

KONVERGENSI: PASCA-TRADISIONALISME

KONVERGENSI: PASCA-TRADISIONALISME

Oleh Suwarno Wisetrotomo

Jagad pemikiran, pengkajian, praktik (penciptaan),
dan percakapan seni rupa semakin padat, riuh,
penuh lintasan, pengulangan, terobosan, tegangan,
dan berlapis kepentingan. Mereka yang terlibat di
dalamnya terus memasuki ruang-ruang pergulatan,
penjelajahan, bersinggungan dan beririsan dengan
berbagai aspek; sosial, politik, ekonomi, keamanan,
intoleransi, kekerasan, ketidakadilan, hukum, lingkungan, perubahan iklim, dan sejenisnya, termasuk yang
terkait dengan luka-luka serta trauma sejarah masa
lalu. Kompleksitas persoalan itu juga beriringan dengan
laju perkembangan teknologi dengan fitur-fitur yang
semakin sempurna yang mengisyaratkan kecepatan.
Pendidikan tinggi seni—di dalamnya termasuk
bidang seni rupa, yang secara umum memasuki tradisi
akademik lebih awal dibandingkan dengan bidang
seni yang lain—semestinya berada dalam gelanggang
penuh kecamuk itu, memainkan peran dengan segala
risiko dan keterbatasannya. Karena itu menjadi niscaya
untuk terlibat, baik dalam aspek produksi pengeta huan, praktik seni, mediasi seni, dan tata kelola seni.
Institusi pendidikan (tinggi) seni di tengah gelombang
pasang perubahan, selayaknya trengginas merespons
dengan beragam cara; mengevaluasi kurikulum, mata
kuliah, tata kelola, meninjau dengan seksama fasilitas,
membangun jejaring baik dengan institusi, komunitas,
maupun individu; dan menimbang dengan cermat
sumber daya tenaga pengajar disertai aparatus birokrasi
kampus (para dosen yang memilih tugas tambahan
sebagai pejabat dan tenaga kependidikan) yang kom patibel dengan gerak zaman.
Meski ikhwal “terlibat” itu masih harus dilihat dengan
KONVERGENSI: PASCA-TRADISIONALISME
Oleh Suwarno Wisetrotomo
seksama dengan prinsip kehati-hatian, realitas lapangan
dapat dicermati, bahwa yang meramaikan gelanggang
pemikiran, penciptaan seni, dalam berbagai lapisan,
sebagian besar adalah para mahasiswa atau alumni
(lulusan atau jebolan) institusi pendidikan tinggi seni.
Mereka bermain dan memainkan ide-ide serta karya
seni dengan beragam pendekatan, dan memunculkan
percakapan yang riuh di antara publik seni, bahkan tak
jarang merembet ke persoalan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya.
Contoh terbaru adalah bagaimana institusi kolektif
ruangrupa (Ade Darmawan dan kawan-kawan), yang
terpilih sebagai direktur artistik Documenta 15 (ber langsung di Kassel, Jerman, selama 100 hari, dari 18
Juni sampai 25 September 2022). Perhelatan seni
kontemporer terpenting (setelah Venice Biennale),
yang menimbulkan kegaduhan percakapan dan reaksi
publik berdimensi politik. Mengusung tema “Lumbung”
sebagai konsep kerja yang menarik, namun dalam per cakapan dan polemik, seperti tenggelam oleh reaksi
politisnya. Apa pun akibatnya dari percakapan itu, saya
memandang ruangrupa ‘berhasil’—entah disadari,
diduga, atau tidak—menciptakan dampak politik
(political impact) seni atau kebudayaan di level interna sional.
Namun jauh sebelumnya, sejumlah peristiwa
seni rupa di ruang-ruang internasional mendapat kan beragam respon. Menyebut beberapa contoh
misalnya; Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika
Serikat (KIAS, berlangsung pada 18 Oktober 1990-23
Maret 1992); yang menuai kontroversi di dalam negeri
terkait pilihan seniman, dan respons ‘setengah hati’
11
dari publik seni Amerika Serikat, merupakan peristiwa
penting yang didukung oleh pemerintah Orde Baru,
dan layak dicatat dalam sejarah, terkait pencapaian ke berhasilan membuat peristiwa seni dengan menjemput
publik dunia khususnya Amerika Serikat.¹ Kemudian
pada 1995 pemerintah Orde Baru melalui Direktorat
Jenderal Kebudayaan (saat itu Prof. Dr. Edi Sedyawati
sebagai Direktur Jenderal) juga menginisiasi Pameran
Contemporary Art of the Non-Aligned Countries –
Unity in Diversity in International Art di Jakarta, yang
menyuarakan percakapan menarik tentang kekuatan
poros (negara) Selatan untuk membangun posisi tawar
terhadap perspektif Utara-Barat.²
Pada kasus personal dapat disebutkan beberapa
contoh misalnya, tahun 1996, sebuah pameran di
Lisson Gallery, London, karya Heri Dono (l. 1960)
ditolak (dan diturunkan) oleh Kedutaan Besar Republik
Indonesia di London karena karya yang dimaksud
dianggap membawa pesan politik lokal (Indonesia).
Akibatnya, Heri Dono harus menjalani interogasi dan
terpaksa setuju dengan keputusan itu, menimbang
bahwa ia masih harus mengikuti sejumlah pameran
di sejumlah negara. Dapat dibayangkan, bagaimana
pada suatu penggal waktu, intervensi politik kekuasaan
dapat memasuki wilayah seni sedemikian rupa. Begitu
pun sebaliknya, atau setidaknya saling memanfaatkan.
Entang Wiharso (l. 1967), penerima Guggenheim Fel lowship 2019; projek pameran A Thousand Kilometers
di York College of Pennsylvania, Amerika Serikat 2021;
pameran When the Skies are Falling, di Asia Center,
Harvard University, 2022; dan yang terbaru, pameran
Double Horizon di Srisasanti Gallery, Yogyakarta,
2022; dan sejumlah projek seni serta pameran penting
lainnya, menunjukkan luasnya penjelajahan ide, topik,
media, pesan yang bersilangan, yang bertolak dari pen galaman berinteraksi dengan sejumlah tegangan sosial
baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pesan itu
secara metaforis disuarakan di berbagai pameran yang
memancing publik seni untuk mendiskusikannya.
Demikian pun praktik seni oleh Tisna Sanjaya
(l. 1958), berwatak multidisiplin dan lintas bidang,
misalnya; Projek Seni Installation of Growth (1996)
dalam bentuk aksi menanam pohon melinjo (gnetum
gnemon) di sejumlah kampung di Bandung, sejumlah
kampung di Solo dan Surabaya; Projek Seni Cigonde wah yang ‘menyulap’ lahan buangan sampah menjadi
arena pusat kegiatan warga untuk seni dan pengola han sampah; Projek Air Seni yang melibatkan teknokrat
untuk menyuling air sungai menjadi layak minum; mengi nisiasi penyelamatan ruang hijau Babakan Siliwangi
dan revitalisasi bangunan heritage bekas bioskop Dian,
semuanya di Bandung. Tentu saja Tisna tetap berkarya
grafis dan melukis.
Contoh berikutnya adalah Moelyono (l. 1957)
dengan sejumlah projek seni yang berdaya mengger akkan, misalnya; Projek Seni Rupa Penyadaran, masuk
ke jantung persoalan, menerobos sekaligus berkolab orasi dengan berbagai disiplin, untuk menggerakkan
partisipan dari dalam. Hasilnya memiliki matra multidi mensional dan multi fungsional utamanya bagi partisi pan, yang pada umumnya orang-orang biasa seperti
nelayan miskin, komunitas kesenian kampung (misalnya
Ludruk). Moelyono juga ‘menggerakkan’ para penyan dang disabilitas melalui aktivitas Para Rupa, dengan me numbuhkan kesadaran, kehadiran (eksistensi; merasa
ada dan berguna) melalui praktik seni rupa. Lapisan so sial-masyarakat yang disentuh Moelyono nyata adanya
dan di mana-mana. Memotivasi bahwa mereka ada dan
berguna merupakan pencapaian yang indah melampaui
eksistensi seni itu sendiri. Ia meyakini bahwa, “seni rupa
penyadaran mendasarkan dirinya dengan menduduk kan rakyat sebagai subjek, sebagai pencipta kebu dayaan, bukan sebagai konsumen kebudayaan yang
bersifat pasif. Sebagai pencipta kebudayaan, rakyat
mempunyai potensi dan hak guna menguasai seni rupa
sebagai media dialog”.3 Aktivitasnya bertumpu pada
kesadaran untuk menenggelamkan diri pada anonim itas; ia ada di belakang panggung sebagai motivator,
inspirator, sekaligus penggerak. Tentu saja Moelyono
tetap berkarya mandiri, melukis, dengan tema-tema
¹ Persoalan ini saya bahas cukup rinci dalam Suwarno Wisetrotomo (2021), Kuasa Rupa – Kuasa Negara: Kurator Di Antara Tegangan
Pasar dan Kekuasaan, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
² Ibid, khususnya hlm. 102-111.
3 Moelyono (1997), Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 44.
12
manusia-manusia biasa di sekitarnya.
Contoh nama dan aktivitasnya masih dapat
ditambah berderet-deret. Mereka tercatat sebagai
alumni institusi pendidikan tinggi seni yang mampu
menerobos berbagai batas(an) seni rupa, dan men gapitalisasinya menjadi pencapaian bentuk, presentasi,
dan wacana yang pantas dipertarungkan di berbagai
forum, termasuk forum internasional. Sementara kita
semua tahu, mereka, sejumlah nama yang disebut
sebagai contoh tadi, menyelesaikan (atau setidaknya
menempuh) pendidikan tinggi seni (rupa) di Indonesia
yang format kurikulum, metode pembelajaran, dan
fasilitas, tergolong lama serta terasa lamban menyesuai kan diri dengan arus besar perubahan. Kita semua
maklum, bahwa investasi pemerintah untuk pendidikan
– terlebih pendidikan tinggi seni—masih jauh dari ideal.
Dunia pendidikan tinggi seni hari ini (dan ke
depan), sangat penting menyadari posisinya, agar
berani melakukan terobosan dalam banyak hal,
dengan dukungan data dan manajemen informasi
yang memadai. Sivitas akademika yang didukung oleh
aparatur birokrasi kampus (jajaran pemimpin di seluruh
lapisan) harus terus-menerus berada dalam kesadaran
perubahan dan pergeseran; agar berani melakukan
terobosan dalam berbagai keputusan atau kebijakan
strategis.4
Keberanian untuk memimpin yang berada
dan membawa arah selaras dalam semangat konver gensi. Jika pemimpin hanya “main aman”, dipastikan
institusi yang dipimpinnya menjadi melempem, jalan di
tempat di bawah bayang-bayang sejarah masa lampau,
sambil gamang menjemput masa depan.
Menjelang seratus tahun usia negeri ini (pada 2022,
usia Republik Indonesia 77 tahun, atau 23 tahun lagi
menuju usia seabad), kondisi “dalam” di institusi pen didikan tinggi seni (negeri/PTN) di Indonesia masih
belum banyak bergeser (sekali lagi mari kita lihat in dikatornya; kurikulum, fasilitas, metode pembelajaran,
arsip, dan tata kelolanya; tentu dengan sejumlah perke cualian terobosan beberapa dosen muda dalam format
“merdeka belajar-kampus merdeka” dalam berbagai
aspek dan eksperimen). Lalu dari mana mereka
mendapatkan pengetahuan, semangat, dan perspek tif kritis untuk melakukan terobosan ide, praktik seni,
dan kemampuan mengartikulasikannya ke ruang-ruang
yang lebih luas (sebutlah: internasional) itu?
Jawaban paling dasar adalah, bahwa gairah dan
kreativitas penciptaan seni mendorong siapa pun
untuk melakukan penjelajahan. Seorang seniman pada
dasarnya menjadikan dirinya sebagai laboratorium untuk
menjajal dan menguji banyak hal, demi menemukan,
mewujudkan, dan kemudian meruntuhkannya, untuk
kembali melakukan dengan metode yang kurang lebih
sama, demi mendapatkan kebaruan. Ikhwal kecer dasan sosial; sebutlah kefasihan mengartikulasikan dan
kelincahan mempertukarkan modal (sosial, ekonomi,
budaya, dan simbolik) untuk digunakan sebagai bekal
kontestasi atau kompetisi di gelanggang kesenian,
salah satunya dapat diperoleh melalui pergaulan-inter aksi dengan banyak pihak.
Konvergensi Sebagai Keniscayaan
Dalam kajian budaya, konvergensi dimaksudkan
sebagai penggabungan sesuatu yang tadinya ber beda-beda, utamanya dalam konteks industri komu nikasi dan teknologi yang menyertainya. Digitalisasi
merupakan contoh nyata. Dampak teknologi digital
kini mengubah banyak hal, antara lain penjelajahan,
transmedia, volume, jarak, waktu, dan lain-lainnya.
Meringkus keluasan, kompleksitas persoalan, melim pahnya data, algoritma, dengan fitur-fitur yang mengis yaratkan gerak cepat. Inilah era, meminjam teori Paul
Virilio, disebut sebagai dromologi; kecepatan untuk
menikmati dan memperoleh informasi adalah sega la-galanya. Telisik lebih jauh terkait dromologi, seperti
dirisalahkan Heru Nugroho, bahwa, “Masyarakat telah
dibawa masuk ke dalam sebuah ruang yang dapat
bergerak sangat cepat yang dinamakan dromospheric
space atau ruang kecepatan”.5
4 Suwarno Wisetrotomo (2020), Ombak Perubahan – Problem Sekitar Fungsi Seni dan Kritik Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Nyala, hlm. 35. 5 Lihat Heru Nugroho, “Dromologi, Dromokrasi, dan Kontrol: Politik Kecepatan Menurut Paul Virilio” dalam Wening Udasmoro [Editor] (2020),
Gerak Kuasa – Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.
242.
13
Memburu cepat akan beriringan dengan risiko-risiko
yang tidak sederhana, karena, dalam konteks masyar akat pascamodern, kecepatan menjadi faktor deter minan dalam kehidupan sosial.6
Dalam pemikiran dan
praktik seni, kecepatan ini akan beririsan (sekaligus ber hadapan) dengan masalah kedalaman (rasa), sublimasi,
metafora, atau pilihan-pilihan bentuk yang tepat atau
luput, yang efektif memanggul pesan atau yang mem buyarkan, yang menyentuh jiwa atau yang memasygul kan, dan lain sebagainya.
Teknologi mutakhir dalam seni seperti digital
misalnya, memunculkan gejala yang menumbuhkan
pengalaman baru dalam hal ‘melihat’ dan ‘merasakan’
karya seni—setidaknya selama pandemi Covid-19
dengan variannya—yang dampak dan ikutannya terasa
sampai hari ini. Akibat digitalisasi seni (ekspresi dengan
pendekatan dan media digital; mendigitalkan bentuk
seni konvensional; hingga pasar digital, serba virtual),
maka terjadi pergeseran dalam banyak aspek. Pasar
dengan wahana (platform) digital seperti Non Fungible
Token (NFT), suatu aset digital yang mewakili objek
nyata seperti karya seni visual, musik, game, video, dan
sejenisnya yang diperdagangkan secara daring (online).
Ikhwal teknologi NFT, Sudjud Dartanto dalam esai
pendeknya memaparkan dengan baik tiga fenomena
terkait relasi seni dan rantai blok (blockchain), yakni;
Pertama, banyak pengembangan proyek seni yang
berbasis sistem kriptografis. Kedua, terjadi adaptasi
kreator seni dalam mengubah bentuk komunikasi,
presentasi, dan interaksi karya seni dalam ruang NFT.
Ketiga, muncul berbagai jenis konsumer, dari para
pemirsa karya seni kripto hingga kolektornya.7
Setiap
perkembangan dan perubahan akan berhadapan
dengan risiko, yang Sebagian tak dapat diduga.
Teknologi terus mewujudkan imajinasi. Kini
kita mulai berkenalan dan bergaul dengan realitas
metaverse, dunia virtual yang paralel dengan dunia
nyata. Metaverse, demikian dijelaskan Rico Usthavia
Frans, merupakan evolusi cara kita mengonsum si internet.8
Dalam dunia metaverse, demikian Frans,
aset-aset seperti tanah, rumah, mobil, dan benda-ben da lain, termasuk mata uang, akan berbentuk digital.9
Tantangan baru terus akan bermunculan. Tetapi seperti
kata Sudjud, teknologi tidak pernah mundur, ia akan
terus mengevaluasi dirinya di tengah berbagai kekuran gannya.10
Apakah konvergensi dalam konteks pameran ini
hanya yang terkait dengan teknologi mutakhir? Tentu
saja tidak. Konvergensi juga dapat dilihat dari upaya
seniman atau komunitas melakukan penjelajahan
gagasan, material, dan pendekatan presentasinya.
Praktik seni seperti yang dilakukan oleh Entang Wiharso,
Heri Dono, Moelyono, atau Tisna Sanjaya, kemudian
dapat ditambahkan seperti Nindityo Adi Purnomo,
Nasirun, Ichwan Noor, Yuli Prayitno, Eko Nugroho, Diah
Yulianti, Ayu Arista Murti, Loli Rusman, kawan-kawan
Mes 56, dan institusi kolektif lainnya, menunjukkan
dengan jelas, bagaimana persilangan, penjelajahan,
dilakukan untuk menemukan makna, nilai, dan fungsi
yang baru.
Yogyakarta (atau Bandung) yang dalam gelanggang
seni rupa berada dalam level kosmopolitan, mendorong
nama-nama seperti yang sudah disebut tadi memiliki
keberanian menerobos pergaulan internasional; entah
tinggal ulang alik (seperti Entang Wiharso, Nindityo
Adi Purnomo), atau pengalaman dari masa studi lanjut
seperti Tisna Sanjaya, atau aktivitas residensi sekaligus
mengikuti peristiwa-peristiwa seni rupa (Heri Dono,
Moelyono, Nasirun, Eko Nugroho, dan lainnya).
Dapat pula dilihat dari pameran ini, bagaimana la pis-lapis proses pencapaian itu seperti; bagaimana
melihat proses kreatif Nyoman Erawan, Made Djirna,
Agung Mangu Putra, Putu Sutawijaya, atau Nyoman
Masriadi terus bertumbuh dengan tantangan baru.
6 Ibid.
7
Sudjud Dartanto, “NFT: Seni, Simulakra, dan Kelangkaan Aset” dalam Kompas, Minggu, 3 Juli 2022, hlm. 9. 8
Rico Usthavia Frans, “Memprediksi Dampak “Metaverse”” dalam Kompas, Selasa, 12 Juli 2022, hlm. 1 dan 15. 9
Ibid, hlm. 15. Baca pula artikel Ignatius Haryanto, “NFT “Kompas” dan Masa Lalu Selalu Aktual” dalam Kompas, 12 Juli 2022, hlm. 6. Haryanto
mengurai, dengan teknologi NFT memungkinkan masa lalu kembali digali dan ditampilkan lagi. Lebih dari itu bahkan dapat menjadi ‘benda’ koleksi
dan diperjualbelikan. 10 Sudjud Dartanto, Op.Cit, hlm. 9.
14
Deretan nama ini adalah generasi ‘perupa Bali’ yang
memiliki pengalaman dan tantangan baru; lahir dan
tumbuh di Bali, kemudian melanjutkan kuliah di Yo gyakarta. Modal tradisi Bali yang kuat “didialogkan”
bahkan mungkin “dibenturkan” dengan tradisi baru di
Yogyakarta, sampai akhirnya menemukan cara dan
bentuk pengucapan (ekspresi) yang baru atau berbeda
dari akar tradisi miliknya. Kemudian mereka menetap di
Bali maupun di Yogyakarta. Akan berbeda jika melihat
generasi seperti Wayan Karja, Nyoman Sujana (Suklu)
yang lahir dan tumbuh di Bali, mendialogkan tradisi baru
melalui berbagai forum pertemuan (terkecuali Wayan
Karja yang ‘membenturkan’ diri dalam kultur Amerika
Serikat ketika menempuh studi lanjut).
Pengalaman yang ‘menantang’ dan ‘menggang gu’ dalam interaksi pada karya seni terkait struktur,
bentuk, warna, tekstur, gerak, aroma, cahaya, dan se jenisnya pasca-auratik, yang menyodorkan tantangan
baru bagi publik seni. Konvergensi juga memunculkan
pilihan-pilihan baru dalam hal pengembangan diri di
dunia kesenian/seni rupa, misalnya persilangan atau
menjamah beragam profesi dan ketrampilan, misalnya;
perupa sekaligus manajer; sekaligus kurator; sekaligus
produser; sekaligus distributor; sekaligus penggerak
dan aktivisme, dan lain -lain. Kesemuanya dilakukan
dalam persilangan, pertukaran (posisi), dan perlintasan.
Konvergensi: Refleksi Kritis, dan
Dialektika
Pendidikan tinggi seni rupa (di) Indonesia, dihitung
sejak diresmikannya ASRI pada 15 Januari 1950 sebagai
institut disiplin seni, pada tahun 2022 memasuki usia 72
tahun. FSRD ITB lahir pada 1947, tetapi menjadi bagian
dari Institut Teknologi Bandung. Dilihat dari pembidan gan, pengelompokan jurusan, kurikulum, tata kelola,
dan lainnya, seperti sudah diurai pada bagian awal
catatan ini, nyaris tidak mengalami perubahan yang
signifikan sejak dilahirkan, jika dibandingkan dengan
percepatan pemikiran dan praktik seni di masyarakat
yang mengalami perlintasan disiplin serta pergeseran,
baik dalam aspek wacana, penciptaan seni, maupun
tata kelola seni.
Sejak ASRI (1950) hingga Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta, pembidangan disiplin tak bergeser: seni
murni (lukis, patung, grafis), desain (interior, komunikasi
visual, produk), dan kriya (kayu, batik, logam, keramik).
Sementara di gelanggang pemikiran dan penciptaan
seni, batas-batas itu sudah cair, meleleh, lalu diterobos,
ditumbangkan, bergumul pada satu ruang “seni visual”
yang memungkinkan mengakomodasi beragam gejala
visual.
Namun demikian, fakta menarik bahwa alumni ASRI
hingga FSR ISI Yogyakarta—termasuk alumni FSRD
ISI Denpasar, FSRD ISI Padang Panjang, FSRD ITB
Bandung, FSRD IKJ, seperti sudah disebutkan pada
bagian awal catatan ini—mampu beradaptasi dengan
jagad pemikiran dan penciptaan seni, memproduksi
wacana-wacana mutakhir, serta melakukan penjelaja han ide, media, bentuk untuk karya-karyanya. Mereka
tak lagi terikat oleh pilihan disiplinnya, tetapi mengem bangkan diri dalam beragam kemungkinan.
Pada ranah ini melihat dari dekat situasi proses
belajar-mengajar di institusi pendidikan tinggi seni
dapat dijadikan bahan refleksi. Adakah upaya sistem atis menyiapkan pengajar dan fasilitas pembelajaran
yang terus-menerus mampu memperbarui diri? Atau
jangan-jangan yang terjadi adalah involusi pengeta huan dan pemikiran seni, yang berakibat pada proses
pembelajaran yang berisi “materi dan cara yang sudah
lampau” di tengah ‘dromoseni’ (kecepatan seni di
seluruh aspek?). Mungkin karena itu James Elkins
dengan sinis mengatakan, “instructors praise the
work of famous students as if they helped guide them
to their success. Still, there is very little evidence that
art schools have control over the production of really
interesting art”.
11 Pengajar mudah mengaku menjadi
bagian dari kesuksesan alumni, sementara kurang bukti
bahwa terdapat mekanisme kontrol terhadap proses
kreatif kesenian mereka. Proses belajar-mengajar di
kampus pasti ada gunanya. Akan tetapi beradaptasi
11 James Elkins (2001), Why Art Cannot Be Taught, Urban, Chicago, and Springfield: University of Illinois Press, hlm. 97.
15
dengan gerak zaman—baik bagi guru maupun murid—
tentu merupakan keniscayaan. Akan tetapi melakukan
pendakuan (claim; assertion) terhadap pencapaian
sukses bekas murid karena andil terbesar dalam proses
belajar-mengajar, tentu terlalu spekulatif, jika tidak boleh
disebut naif.
Menarik untuk diamati dengan seksama, konvergen si dalam dunia seni rupa – yang digunakan sebagai titik
pandang pameran ini—justru menghadirkan beragam
kemungkinan praktik dan karya seni rupa. Konvergen si dalam dunia seni rupa, seperti satu ruang di mana
berbagai kemungkinan terjadi. Dalam hal ini, konver gensi dapat merujuk pada medan seni atau ekosistem
jejaring seni rupa kontemporer global yang bisa terjadi
terutama karena teknologi digital yang memudahan
silang arus informasi.
Pada ranah itulah refleksi kritis perlu sungguh-sung guh dilakukan, yang muaranya akan terbiasa melakukan
autokritik. Mawas diri, disertai sikap rendah hati untuk
mengurai keberadaan diri, agar tumbuh kesadaran
kritis; apa yang kurang, yang belum, selambat atau
secepat apa respon yang harus dilakukan, dan lain-lain.
Seluruh sivitas akademika penting untuk menyusun
daftar pertanyaan untuk diri dan institusinya; bagaimana
sumber daya manusia (dosen, tenaga kependidikan),
rekrutmen mahasiswa, bagaimana meningkatkan kapa sitasnya, bagaimana investasi fasilitas harus dilakukan,
bagaimana tata kelola efektif dilakukan, bagaimana
membuat semua aspek, ruang, lini, potensi menjadi
semakin berdaya?
Jika terbiasa menerima kritik dan autokritik, maka
harapannya tumbuh atmosfer berdialektika, sebagai
keniscayaan makhluk akademik. Setiap orang dalam
posisinya masing-masing bersiap untuk melangsung kan percakapan, diskusi kritis, sebagai salah satu cara
meningkatkan kapasitas diri. Setiap individu di ling kungan pendidikan tinggi seni memiliki tanggungjawab
untuk memantaskan diri, dan memiliki keberanian
memasuki ruang-ruang pergaulan yang lebih luas. Jika
kapasitas diri bertumbuhan, maka atmosfir akademik
yang kritis dan kreatif dipastikan tumbuh secara sehat.
Perkembangan seni rupa kontemporer sangat me merlukan kapasitas intelektual yang mumpuni, agar
setiap kreator mampu mengartikulasikan dengan baik
gagasan dan kerja kreatifnya; agar kritikus dan kurator
memiliki ketajaman dalam memproduksi pengeta huan; agar dosen memiliki kapasitas dalam memantik
pemikiran kritis para mahasiswa; dan agar tercipta kar ya-karya seni rupa (desain, kriya) yang memiliki daya
pukau serta daya ganggu, dan pantas memasuki ruang ruang kompetisi serta kontestasi di berbagai forum.
Perspektif kritis, gairah menjelajah, dan lebih terlibat
pada realitas kehidupan, akan sangat membantu
membangun pemahaman terhadap pemikiran dan
praktik seni rupa kontemporer atau apapun.
Paradigma seni rupa kontemporer memiliki karakter
sulit untuk disusun dalam ketunggalan makna, se bagaimana dalam seni rupa modern yang berasaskan
pencarian esensi seni lukis (medium specificity dalam
seni rupa modern). Karena itu pluralitas menjadi kon sekuensi dari konvergensi dalam seni rupa kontem porer. Pluralitas dan keterbukaan paradigma seni rupa
kontemporer, bahkan membuka peluang bertemunya
berbagai unsur, metode, dan disiplin lain ke dalam seni
rupa kontemporer. Heterogenitas dalam ruang konver gensi tersebut bahkan menampung beragam ideologi
seni yang mungkin saling bertentangan. Salah satu
konsekuensi logis dari pluralitas adalah penerimaannya,
bahkan pada medium dan gagasan yang merupakan
turunan seni rupa modern, seperti seni lukis (juga
patung atau grafis). Namun, berbagai medium konven sional—yang sering dipertentangkan dengan medium
baru berbasis digital—perlu menyusun ulang urgensi
keberadaannya dalam konteks masa kini. Tentu tidak
ada satu jawaban yang paling tepat atau benar berkait
dengan urgensi tersebut. Setiap seniman memiliki
kebebasan dalam menerjemahkan kepentingan peng gunaan mediumnya dalam konteks budaya digital masa
kini.
Saat ini, kita hidup dalam masa modern yang
telah kehilangan keyakinan utopisnya mengenai masa
depan. Modernitas muncul dengan bayaran pupusnya
tradisi. Atau setidaknya, tradisi—sebutlah berbagai seni
16
tradisional, atau tradisi-tradisi dalam kehidupan dalam
wujud kearifan lokal—pelan-pelan (sebagian) menjadi
lapuk dan lampau. Modernitas dunia dibentuk sebagai
hasil dari hegemoni Barat sejak masa kolonisasi. Mod ernisasi tidak lain adalah westernization. Abad pencer ahan adalah abad keyakinan humanisme dengan
orientasi meninggalkan tradisi.
Sementara, pada sisi lain, bagi bangsa-bangsa non Barat, modernisasi selalu—atau masih—dibayangi dan
dibebani oleh tradisi. Bahkan, tak sekadar dibayangi
(alih-alih dibebani), tradisi seringkali justru diposisikan
sebagai modal kultural berdimensi sejarah masa lampau
yang eksotis untuk dijadikan titik pijak kreasi-kreasi
baru. Kritik pada Modernisme—yang juga dipengaruhi
oleh postmodernisme—sedikit banyak menghasilkan
tinjauan ulang pada gagasan tradisi.
Untuk kita di Indonesia, gagasan mengenai masyar akat pasca-tradisional menjadi hal penting, mengingat
gagasan “masyarakat modern Indonesia” pun masih
menjadi imajinasi yang belum tersusun—atau malah
telah dilupakan. Pada sisi lain “tradisi” seringkali sesung guhnya merupakan hal yang “baru” atau dikonstruksi kan ulang sebagai (menjadi) bagian (unsur) baru dalam
spirit modern maupun kontemporer. Dalam kaitan ini,
seniman pun hidup dalam “tradisi” keseniannya, dalam
segala bentuk kemungkinannya. Pada ranah inilah kon vergensi, seni kontemporer, dan pascatradisionalisme
menemukan pertautannya.
Dalam situasi semacam ini, semestinya pergula tan pemikiran—diskusi, bahkan perdebatan terkait
berbagai pandangan, wacana, kajian, dan praktik
seni—semakin sering dilakukan. Terasa sekali, hingga
hari ini, meminjam istilah Iwan Pranoto, api intelektu alisme belum menyala secara signifikan,12 terlebih di
dalam lingkungan pendidikan tinggi seni di Indonesia.
Pendidikan tinggi seni yang semula menitik beratkan
pada praktik (penciptaan) seni, memang tak mudah
membangun kultur akademik dan intelektualisme.
Seperti catatan Redaksi Basis (Oktober 1967) seperti
dikutip Pranoto, “Ketakutan yang berlebih-lebihan
terhadap intelektualisme akan membawa kita pada
emosionalisme dan verbalisme”.13 Suatu pernyataan
aktual hingga kini bahwa, emosionalisme dan verbal isme cenderung bertumpu pada sikap respons cepat
tanpa analisis, nir-kematangan pikiran, serta tanpa
pengendapan pemikiran. Demikian pun ekspresi seni
tanpa kematangan gagasan, pencarian bentuk yang
sungguh-sungguh, akan berakibat sama; bertumpu
pada kata-kata yang juga tak jelas, dan sangat mungkin
kosong.
Pameran “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme” ini
dirancang oleh tim kurator, terdiri atas: Suwarno Wise trotomo (Ketua Sidang Kurator), Asmudjo Jono Irianto
dan M. Rain Rosidi (Anggota), yang berupaya mena jamkan diskusi untuk dijadikan rujukan dalam memilih
seniman/karya, yang dipresentasikan di ruang Galeri R.
J. Katamsi kompleks kampus ISI Yogyakarta. Presenta si karya diolah oleh tim artistik yang dipimpin oleh Wimo
Ambala Bayang.
Melalui pameran ini, dapat dilihat bagaimana kompl eksitas pemikiran dan praktik seni rupa dalam kelindan
konvergensi, berikut irisan-irisannya pada dunia seni
tradisi. Aspek-aspek konvergensi dan kaitannya dalam
dunia pendidikan tinggi disoroti secara tajam oleh
Asmudjo Jono Irianto (lihat: Pendidikan Tinggi Seni
Rupa di Indonesia: Konvergensi dan Post Tradisi dalam
Seni Rupa Kontemporer). Asmudjo melihat bagaimana
praktik konvergensi ini dalam varian yang berkembang
di institusi pendidikan tinggi di luar FSRD ISI Yogy akarta, yakni FSRD ITB Bandung, FSRD ISI Denpasar,
FSRD ISI Padang Panjang, dan FSRD IKJ Jakarta.
Sementara Rain Rosidi berfokus pada perspektif kon vergensi dalam praktik seni visual yang ditunjukkan
oleh sejumlah perupa generasi terbaru (millennial) yang
demikian intim—bahkan sehari-hari—menggunakan
idiom, medium, dan bentuk-bentuk alternatif (multi media, seni digital, video mapping, sound art, dan se jenisnya) (lihat esai Rain Rosidi: SENI YANG TAK LAGI
“WINGIT”: Jejak Langkah Ruang Alternatif, Kolektif Seni,
dan Media Baru). Rain menyoroti bagaimana perupa
muda millennial ini tumbuh di tengah institusi pendidi 12 Iwan Pranoto, “Memahami Takdir” dalam Harian Kompas, Senin, 18 Juli 2022, hlm. 6. 13 Ibid.
17
kan tinggi seni hari ini yang diguncang oleh gelombang
perubahan yang demikian dinamis.
Pameran ini berambisi ingin menunjukkan, betapa
tantangan dunia pendidikan tinggi seni pada umumnya,
bidang seni rupa khususnya, kini, sungguh tidak
sederhana. Di tengah dromospheric space yang merun tuhkan susunan ruang antara yang di sini dengan yang
di sana atas nama kecepatan, berikut banjir bandang
informasi dan disrupsi bertubi-tubi dengan segenap
guncangannya, bagaimana institusi pendidikan tinggi
seni memposisikan diri? Sibuk dengan kerja admin istrasi demi hadir dalam statistik, matrik, dan jenjang
nilai bagus oleh para asesor, sembari menempatkan
aspek-aspek dasar (fasilitasi, sumber daya, kebaruan,
dan lain-lain) yang mendukung proses belajar-mengajar
pada prioritas kedua atau bahkan ketiga? Bagaimana
institusi pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia mengh adapi tantangan semacam ini? Bukankah fungsi institusi
pendidikan tinggi seni (rupa) adalah untuk menemukan
bibit dan tunas seni terbaik, dan menciptakan atmosfir
yang tepat untuk tumbuh kembang mereka?
Jika pun demikian adanya, kita patut bersyukur,
bahwa daya kreativitas dan daya gugat para seniman—
notabene alumnus institusi pendidikan tinggi seni di
Indonesia—untuk terus mencari, menemukan, dan
berpihak pada pencapaian artistik, estetik, berdimensi
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan terus meng gerakkan nilai-nilai kemanusiaan, terus bertumbuhan
secara meyakinkan.