“DRUNKEN BROOM”
“DRUNKEN BROOM”
Oleh : Andika Budi Raharja
Untuk mencapai harmoni yang merupakan bagian seni yang esensial, seorang seniman harus berpegang pada sensasinya bukan pada visinya.
~ (Paul Cezanne)
Kenyataan-nya sebuah lukisan mengandung suatu keseriusan, namun di lain pihak terkandung pula unsur main-main. Karena itulah, lahir ungkapan dari kelompok Fauvism; “Ketepatan bukan selalu merupa-kan kebenaran.” Orang-orang yang berkreasi seni tidak ingin sekedar untuk meniru alam apa adanya (mimesis), melainkan alam ini ingin diciptakan kembali. Seniman mengolah kembali realitas sesuai dengan seleranya. Seperti halnya seni patung yang mati-matian berusaha menggambarkan figur manusia yang selalu berubah-ubah dalam bentuk tiga dimensi, untuk mengatur ketidakteraturan gerak-gerik menjadi satu kesatuan gaya yang agung (harmoni). Seni patung tidak menolak “imitasi”, yang justru diperlukannya. Tetapi imitasi bukanlah pencarian utamanya. Yang dicari oleh seni ini, adalah suatu gerak-gerik, ekspresi atau penglihatan tipikal (sensasi). Tujuannya bukan untuk meniru melainkan “memberinya gaya.”
Di lain tempat, pelukis memisahkan objek lukisannya sebagai jalan untuk menyatu dengannya. Melukis berarti meng-isolasi dalam ruang dan waktu, sebuah gerakan yang dalam kehidupan nyata lebur dalam gerakan lainnya. “Di sini tidak ada waktu yang ada hanya peristiwa yang membeku.” Sepenggal kalimat dalam novel Einstein Dreams karya Alan Lightman yang membicarakan tentang berbagai hakikat waktu, seolah sesuai dengan penggambaran itu. Pelukis membekukan gerakan-gerakan di dunia nyata, dengan menangkap gejolak tubuh objek-seninya yang selintas atau keluwesan sikap-sikap, untuk diletakkan dalam sebuah ekspresi yang sarat makna.
Ekspresi adalah istilah yang penting dalam dunia seni rupa. Hampir dalam semua madzab seni modern, bersumber dan selalu menggunakan label “ekspresionisme.” Perkataan tersebut secara fundamental menjadi penting, sama pentingnya dengan “idealisme” dan “realisme.” Apa yang terkandung di dalam “ekspresi” sebenarnya berupa lirisisme juga simbolisme. Lewat lirisisme atau “emosi yang mendalam,” dan juga simbolis, seni berambisi menata kembali semesta (cosmos). Seni ingin menciptakan sesuatu yang tak terhingga, namun bisa dipakai untuk mengembalikan pengalaman -yang tak terhingga yang pernah dialami tersebut dan ingin dialami kembali secara terus-menerus oleh manusia.
Seni ingin membuat sebuah karya yang bisa diukur dengan akal sehat, bisa dikomunikasikan, dan yang terpenting adalah memulihkan kembali the infinite atau yang sering dinamakan CHAOS.. Bukan semata-mata pengukuhan atas realitas atau kenyataan yang ada, melainkan tindakan atas dasar estetika melalui diri senimannya sendiri dalam menghadapi dunia waktu itu. Yakni, seniman mengolah kembali realitas sesuai dengan ekspresi atau ungkapan emosionil mendalam dan seturut seleranya. Keterlibatan individualisme ini yang menjadi karakteristik seni modern, kemudian memberi ciri dan gaya terhadap lukisan seseorang. Sebongkah kebebasan yang tak didapati pada madzab Seni Klasik. Gejala-gejala pemberontakan menuju kebebasan berekspresi, dahulu selalu dapat dipadamkan kembali oleh kepentingan kalangan borjuis dan bangsawan yang menjadi patron-patron seni masa itu.
Dalam segi teknis Eugene Delacroix sajalah yang tampaknya tersorot oleh publik seni, karena goresan kuasnya terkenal “lebih liar,” para pengamat bahkan menjulukinya sang “drunken broom“: sapuan kuas yang menggila atau sapuan kuas yang sengaja menunjukkan kekasaran juga ketegasan garis, karena tak didusel secara halus pada kanvas-nya. Idealisme klasik memang tak banyak mendukungnya kala itu, orang-orang lebih menyukai gambaran seni yang bersifat tenang. Delacroix maju sedikit ke depan dengan goresan ekspresif-nya dan unsur emosionil yang tak mudah untuk dimengerti seniman-seniman lain sezamannya. Sambutan hangat, datang justru dari generasi berikutnya yaitu Vincent Van Gogh, pelukis dari negeri “kincir angin” yang bahkan sampai merepro salah satu lukisan Delacroix yang berjudul “Pieta“. Di masa Van Gogh ekspresi individual juga “subjektifitas” dalam berkesenian telah lebih dikembangkan (terutama dalam kegiatan seni yang dilangsungkan di Salon-Salon), ruang di mana pergeseran estetika dalam kesenian baru serius dimulai.
Adapun pemaknaan aktual konsep Estetika sebenarnya berdekatan dengan individualitas. Estetika berasal dari kata Yunani “Aesthesis“, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut “taste” dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran manusia mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Sensasi-sensasi yang diperoleh dalam hubungan atau kontak langsung dengan objek-seni. Langkah pertama pelukis adalah membuat berbagai bagian dari lukisannya selaras satu sama lain. Menghilangkan sebagian dan memilih sebagian lainnya. Prinsip seni lukis juga berbentuk suatu pilihan. “Kejeniusan,” tulis Delacroix “kalau dilihat dari seni yang dihasilkannya, tidak lain adalah bakat dalam menggeneralisasi dan memilih-milih.”
Seni merupakan suatu hakekat dari realitas yang rumit. Alam dan objek (yang umum dan yang khusus), personal dan impersonal juga kebebasan dan order (keteraturan). Kesederhanaan dan kompleksitas, bahkan kontinuitas dan diskontinuitas. Di dalam suatu karya seni yang merupakan suatu kesatuan atau harmoni akan terdapat diskontinuitas (keterputusan) dalam kontinuitas-nya (keberlangsungan). Sering disebutkan: “karya seni yang baik, dalam kontinuitas-nya harus ada diskontinuitas pada suatu bagian,” bila tidak karya seni tersebut justru tidak baik. Ada kedalaman dan ada kedangkalan. Karya seni nampak baik dari segi permukaan, juga akan lebih baik jika mengandung suatu kedalaman di dalam isinya. Ketenangan dan energi (diam dan bergerak). Suatu karya akan memperhitungkan kesatuan antara yang stabil dan tidak, yang berat dan ringan, yang serius dan yang gembira. Kesatuan antara yang kuat saja, atau yang energik saja justru tidak menimbulkan keindahan, atau malah sebaliknya dan mungkin akan “membosankan.”
“SEMESTA YANG TERTUTUP”
“The creation of something new is not accomplised by the intelect, but by the play instinct acting from inner necessity. The creative mind plays with the objects it loves.”
– Carl Jung
Ekspresi atau ungkapan estetika (sensitivitas perasaan) menjadi hidup, hanya apabila seseorang masuk dalam laku penghayatan terhadap realitas-objek dan mengalami langsung sensasi itu dengan batinnya. Karena, seni sebagai ekspresi merupakan hasil ungkapan batin ataupun emosi mendalam seorang seniman yang tergambar ke dalam karya seni lewat “medium” dan “alat” yang memang dipilihnya. Pada saat seseorang sedang mengekspresikan emosinya, pertama mereka sadar bahwa mereka mempunyai emosi, tetapi bisa jadi belum menyadari seperti apa sebenarnya rupa-emosi itu? Baru dalam keadaan tertentu, misalnya karena adanya gangguan perasaan pada Self atau diri kita (entah karena sedih atau malah bahagia), dalam kondisi tertekan kemudian seseorang berusaha melepaskan perasaan yang datang tersebut dengan melakukan sesuatu (aktualisasi tindakan). Kegiatan semacam inilah yang dimaksud dengan ungkapan. Dengan demikian ungkapan dapat disebut sebagai “berbahasa”. Komunikasi dapat terjadi pada setiap manusia dengan manusia lain, walaupun punya latar belakang yang berbeda. Seni memungkinkan peristiwa tersebut dapat terjadi, karena bahasanya yang universal. Proses komunikasi dalam kesenian tercermin lewat lambang-lambang atau simbol yang ter-babar.
Dikatakan oleh Paul Cezanne, bahwa yang paling sukar di dunia ini adalah mengutarakan “ekspresi langsung” atau konsepsi yang imajiner. Apabila tindakan tersebut tidak dicocokkan dengan model yang objektif, maka buah pikiran akan menjelajahi kanvas tidak menentu. Tak ada pelukis yang tak memiliki objeknya, baik objek-seni itu bersifat fisik atau memori-nya sekalipun tetaplah sebuah objek (model yang dijadikan contoh). Memori-kolektif dalam psikologi Jungian kemudian dikenal sebagai arketipe, yang sering muncul dalam mimpi-mimpi dan kondisi kesadaran yang berubah (trance, trans). Semua itu Ada: digambarkan, dibekukan dari gerakan sehari-hari yang tak terputus. Gaya seorang pelukis merupakan pemanjangan terhadap alam dan sejarah; sebuah “kehadiran” yang diletakkan pada benda-benda yang melintas lewat. Dengan mudahnya, seni mewujudkan penyatuan -yang khas dan -yang umum sebagaimana diimpikan Hegel. Barangkali inilah sebabnya kenapa zaman-zaman seperti yang sedang kita lalui, yang terkagum-kagum oleh ide tentang kesatuan atau harmoni, menoleh kepada seni-seni primitif dengan stilisasi paling intens dan kesatuan paling “merangsang.” Ini sekaligus menjelaskan kuatnya negasi dan transposisi yang telah merangsang lukisan modern, dalam gejolak kacau balau untuk menunjukkan kehadiran sekaligus kesatuan. Kecenderungan fenomena dalam kesenian inilah yang coba kami ungkapkan dan maknai kembali, lewat pameran “DRUNKEN BROOM” kali ini.
Dalam komposisi primitifnya di luar sejarah yang merupakan “keadaan” paling murni dari Seni, akan ditemukan semangat pemberontakan dan individualism dari sisi senimannya sendiri. Seni, seperti pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari. Tidak seorangpun seniman dapat menerima kenyataan, ” kata Nietzsche. Ini benar; tetapi juga tidak seorangpun seniman dapat hidup di luar kenyataan. Kreasi seni adalah kehendak kesatuan dengan, dan suatu penolakan (laku-kritik) terhadap dunia. Cara paling sederhana dan umum dalam menilai karya seni sebagai suatu ekspresi adalah dengan memandangnya sebagai suatu “pelarian.” Memang, kreasi seni menunjukkan adanya semacam penolakan terhadap kenyataan. Tetapi penolakan ini bukan pelarian begitu saja. Apakah kita lihat dalam kegiatan itu suatu gerakan pengunduran diri oleh seorang pengecut yang, menurut Hegel “dalam kekecewaannya menciptakan suatu dunia fiktif yang mengagungkan moralitas atau nilai-nilai?” Kenyataannya karya-karya yang menyajikan dunia moral sangat jauh dari karya seni besar. Bahkan menyedihkan dan sama sekali tidak menarik.
Inilah kontradiksinya: manusia menolak kenyataan dunia, tanpa berusaha lari dari dunia itu sepenuhnya. Kecuali pada saat tertentu, bagi mereka kenyataan yang ada ini adalah sesuatu yang “belum selesai.” Mereka berpindah-pindah dari tindakan yang satu ke tindakan yang lain, kemudian kembali lagi untuk menilai tindakan-tindakan tersebut dengan berbagai perlambang yang baru dan terus mengalir bagaikan air sungai Tantalus menuju muara yang tak dikenal. Mengetahui di mana garis sungai itu berakhir, menguasai arus warnanya, dan akhirnya menangkap kehidupan yang asing tersebut. Inilah kerinduan sejati manusia, di jantung tanah kelahirannya sendiri.
Tetapi bukan tidak mungkin terdapat suatu transendensi hidup, yang dijanjikan kepada kita oleh keindahan seni yang dapat membuat kita mencintai dunia kita ini. Dengan demikian seni membawa kita kembali kepada asal muasal pemberontakan ketika ia mencoba memberi bentuk kepada nilai yang bergerak bebas dalam proses menjadi (becoming) yang tanpa akhir; tetapi yang oleh seniman dirasakan dan dikehendaki untuk “dilepaskan” dari aliran sejarah. Kita dapat menggambarkan hal ini dengan lebih jelas dengan menelaah seni yang justru masuk ke dalam aliran sejarah dan memberinya gaya: novel. Esensi novel adalah koreksi terus menerus, selalu bergerak ke arah yang sama yang diberikan seniman kepada apa yang dialami. Koreksi ini pertama-tama bertujuan mencapai kesatuan (harmoni), dan dengan cara ini sebenarnya ia juga sedang menerjemahkan suatu kebutuhan metafisis.
Seni, seperti pemberontakan adalah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan “sekaligus mengingkari.” Kreasi seni menghendaki kesatuan dengan, dan juga suatu penolakan terhadap dunia. Ia menolak dunia karena hal-hal yang tidak ada padanya dan atas nama hal-hal yang kadang-kadang ada padanya. Dalam setiap pemberontakan terlihat tuntutan metafisik bagi adanya suatu kesatuan, ketidakmungkinan memperoleh kesatuan tersebut dan perlunya diciptakan sesuatu sebagai penggantinya. Ini sekaligus mendifinisan seni. Karena sebenarnya urgensi pemberontakan itu sebagian bersifat estetik.
Semua pemikiran yang diilhami oleh semangat pemberontakan selalu disinari oleh suatu retorika atau berada dalam sebuah “semesta yang tertutup.” Benteng retorika dalam Lucretius, kloster-kloster dan istana-istana terkunci dari Sade, pulau terpencil yang romantik, ketinggian-ketinggian yang menyendiri dari Nietzsche, lautan elemental dari Lautre’amont, istana-istana mengerikan yang dilahirkan kembali di antara kaum Surealis -semuanya ini dengan caranya sendiri-sendiri menunjukkan adanya kebutuhan yang sama akan koherensi dan kesatuan. Hanya dalam dunia-dunia yang tertutup inilah, akhirnya manusia dapat memiliki pengetahuan dan berkuasa. Gerakan tersebut tidak lain adalah seni itu sendiri. “Seniman mengolah kembali dunia sesuai dengan seleranya.”
Ekspresionisme berangkat dari realisme-dinamis, sebagai pelepasan diri dari ketidakpuasan faham realisme-formal. Vincent Van Gogh dianggap sebagai perintis gerakan ini di samping Cezanne, Renoir, dan Gauguin. Van Gogh memang banyak mengalami penderitaan dari masyarakat sewaktu hidupnya, namun yang tergores di dalam kanvasnya bukanlah semata-mata pengukuhan atas realitas yang ada, melainkan tindakan estetik atas dirinya dalam menghadapi dunia waktu itu. Lain lagi dengan tokoh ekspresionisme sejawatnya; Kandinsky malah memanfaatkan warna dan garis untuk menggambarkan kondisi spiritual. Apabila dilihat dari konsepnya, bahwa kalau suatu lukisan sudah tidak harus sesuai dengan bentuk dan warna alamnya, maka arahnya akan menuju sesuatu yang absolut atau dengan kata lain, menciptakan “sebuah dunia tersendiri.”