Saat saya mulai mengoleksi karya seni rupa, perupa-perupa muda—seperti Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, M. Irfan, Nyoman Masriadi, Nyoman Sukari, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Yunizar, Yusra Martunus dll.—belum ada di pentas seni rupa Indonesia. Saat itu yang saya koleksi adalah karya-karya old masters Indonesia, seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono, dan Widayat.
Tapi, selain sering ke Yogya dan punya hubungan dekat dengan perupa-perupa Yogya, terutama Affandi, saya harus turun mengoleksi ke bawah—ke generasi Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, Subroto, Suraji, dan lain-lain. Apalagi, saat itu para perupa old masters sudah semakin menua, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal—tidak ada kolektor di sini.
Berbeda dengan sekarang, orang masuk ke pasar seni rupa dengan sadar untuk menjadi kolektor. Lantas lihat buku lelang ini—dan main telunjuk: “saya mau ini, ini, ini, ini!” Dulu tidak begitu. Perupa-perupa yang datang ke sini. Ada Nasirun, Entang Wiharso, Sukari, dan lain-lain. Selain itu, saya kerap datang ke pameran seni rupa. Misalnya, pameran kelompok Spirit 90 puluh—saya datang dan memborong. Nah, ini tentunya didengar oleh perupa-perupa yang lebih muda, seperti kelompok Jendela. Mereka pun menghubungi saya—dan saya berjanji akan selalu menghadiri pameran mereka dan pameran kelompok-kelompok perupa muda lainnya yang sudah ada saat itu, seperti kelompok Genta, kelompok Semut, dan lain-lain.
Saya tertarik melihat pameran-pameran mereka karena banyak karya yang bagus. Jadi, pada masa itu saya sudah mengoleksi karya-karya mereka, termasuk karya Ardison, Saftari, Sigit Santoso, Bunga Jeruk, dan Gusmen Heriadi—perupa-perupa muda yang pernah dan masih dikontrak Edwin Gallery itu. Semuanya saya koleksi.
Saya juga sudah mengoleksi karya-karya perupa muda Bali saat itu—dan karena itu saya dekat dengan mereka. Apalagi saya memang dekat dengan Made Jirna, pelukis yang lebih senior dari perupa-perupa Bali seangkatan Sukari.
Karena Jirna mempunyai pengaruh besar di kalangan perupa-perupa muda Bali itu, setiap kali mengadakan pameran di Bali, di Padma Hotel, kami ajak Sukari, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya untuk pameran. Lantas kelompok Jendela, kami pamerkan juga di sana. Sayangnya, kolektor-kolektor di Jakarta, yang masih menyenangi old masters, ketika saya undang tak ada yang berminat. Sebaliknya, teman-teman di sekitar sini (Magelang) saja yang berminat mengoleksi karya-karya perupa muda itu.
Namun demikian, saya terus memotivasi kolektor-kolektor di Jakarta itu untuk mengoleksi karya-karya perupa muda Indonesia. Sebab, menurut pandangan saya, seni rupa Indonesia harus ada successor-nya untuk menggantikan para old masters yang sudah meninggal. Nah, kalau successor-nya tidak didukung, habis kita nanti—dan bagaimana kita akan maju?
Jadi kita harus mendukung successor-nya, terutama yang benar-benar potensial. Mendukungnya dengan apa? Ya, dengan mengoleksi karya-karya mereka. Apalagi, pada waktu itu, karya-karya old masters sudah langka, mahal, tak terbayar dan sebagainya. Nah, kita perlu mencari alternatif lainnya yang menarik, dan sesuatu yang berbeda.
Akhirnya, saya punya pengikut. Kalau ada pameran perupa-perupa muda, mereka datang—dan akan berkunjung ke museum saya untuk apa-apa yang berkenaan dengan mengoleksi karya seni rupa. Dari sini hubungan kami menjadi erat. Pendeknya, perkembangan mengoleksi itu berjalan natural. Bermula dari karya-karya old masters, lantas ke karya-karya perupa muda—dari generasi Nyoman Gunarsa hingga generasi Ivan Sagito dan seterusnya.
Tahapannya jelas, hanya saja generasi sekarang—generasi Masriadi—lebih beruntung. Ya, dalam hidup ini tidak ada yang bisa menampik atau mengingkari keberuntungan. Sebab, menurut saya, untuk jadi perupa terkenal, tentunya, perlu bakat. Tapi bakat thok tidak cukup, harus kerja keras, dan punya karakter. Kalau karakternya brengsek—suka berubah terus-menerus—akan repot. Nah, tanggung jawab pun penting. Yang terakhir, itu semua harus disertai dengan faktor “X”—yaitu faktor luck (keberuntungan).
Misalnya, pelukis Sudibyo itu hebat—jauh lebih hebat dari Basuki Abdullah—tapi kok tidak terkenal!? Justru Basuki Abdullah yang lebih terkenal! Karena faktor luck—karena ia di Madiun saja, tidak pernah bergaul. Jadi, faktor luck itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Ya, itu filsafat hidup—semua itu ada di situ—tidak bisa lepas-lepas.
Anak-anak ini (Masriadi dkk.) bakatnya jelas ada, skill-nya jelas ada. Kalau tidak, karya-karya mereka juga tidak bagus, kan!? Skill itu termasuk imajinasi—ada pada mereka. Tapi mereka beruntungnya hidup di zaman sekarang yang, sebenarnya, sangat dibantu oleh kemunculan China. Kalau China tidak seperti sekarang, saya kira, seni rupa Indonesia juga tidak akan seperti sekarang. Padahal, China sepuluh tahun lalu masih kalah sama Indonesia. Lukisan-lukisan Affandi lebih mahal daripada lukisan-lukisan pelukis-pelukis top di China. Sekarang kok disalip habis-habisan. Faktornya banyak tentu saja. Ada faktor ekonomi, politik, dan jumlah penduduk China yang banyak sekali dan tersebar di seluruh dunia.
Jadi, anak-anak ini harus bersyukur. Affandi harus menunggu keberuntungannya begitu lama. Hendra Gunawan sampai mati tidak pernah mengalami keberuntungannya, padahal dia begitu hebat. Mereka masih muda, tapi sudah hidup “wah”. Punya porsche, rumahnya banyak, ke New York naik pesawat kelas bisnis, sementara saya naik ekonomi!
Tapi persoalan mereka sekarang adalah bagaimana bisa bertahan di tengah pasar yang terlalu dominan, yang maunya goreng-menggoreng, sehingga seolah-olah karya yang bagus hanya yang laku keras di balai lelang, yang harganya mahal—yang di luar itu tidak. Inilah penyakit zaman kontemporer. Susahnya, yang keliru ini masih dipercaya beberapa kolektor di Indonesia.
Karena itu, saya sering bilang kepada sejumlah kolektor lainnya, kita harus tetap berpikiran jernih, kita harus belajar terus, belajar melihat, belajar sejarah, termasuk sejarah pasar, dan sejarah segalanya. Kita harus betul-betul menguasainya, sehingga kita mempunyai keyakinan diri bahwa barang yang baik, kualitas yang baik, never go down.
Kalau kita yakin itu baik, walaupun ditinggal orang, kita tetap menyambutnya. Jangan takut menjadi kontroversial. Dengan keyakinan diri, pengetahuan yang cukup memadai, fondasi yang kuat—kita tidak akan goyah dan tidak gampang digoyang atau dipermainkan orang.
Jadi, pertimbangan saya jelas dalam mengoleksi—yaitu kualitas. Kalau karya tidak berkualitas, sekalipun digoreng, didongkrak, dan sebagainya, tetap tidak masuk pertimbangan. Seperti pepatah Belanda bilang: “Anggur yang baik tidak perlu dekorasi.” Karena itu, saya sebenarnya tidak perduli dengan istilah tradisional, modern, kontemporer, atau apa pun namanya, terserah, yang penting kualitas. Dan itu yang akan survive. Yang tidak berkualitas, masuk second layers. Hukum Darwin berlaku di sini: “Survival perfectus”—Yang hebat pasti survive, yang medioker pasti tersingkir.
Karena itu pula, dalam berbagai kesempatan, seperti lecture dan sebagainya, saya selalu menyerukan untuk “jangan mengoleksi nama besar”, tapi “mengoleksilah karya besar!” Jadi, saya anti mengoleksi brand name. Saya mengoleksi high quality look of art. Saya disuruh mengoleksi karya Masriadi kelas kambing!? Pasti saya tidak mau! Saya lebih baik beli karya Irwanto Lentho yang bagus daripada karya Masriadi yang jelek! Saya lebih baik beli karya Nasirun yang bagus daripada karya Handiwirman yang jelek! Saya selalu tidak senang dengan brand. Pakai mata dan rasa—bukan main dompet! Kalau tidak berkualitas, karya itu tidak akan bisa bertahan. Sooner or later pasti njengking!
Itu sebenarnya ilmu dari Affandi, Widayat, dan sebagainya. Mereka lah yang mengajarkan saya melihat lukisan dengan menggunakan perasaan. Kalau melihat lukisan, menurut Widayat, lihatlah yang “greng,” yang punya “greget.” Sedangkan menurut Affandi, lihatlah yang enak dirasakan. Tapi, pada dasarnya, saya adalah orang yang emosional, perasa, apalagi saya pernah belajar musik, terutama biola. Itu kan penuh rasa. Karena itu, saya suka dengan karya-karya seni rupa yang ekspresif.
Sukari, misalnya, karya-karyanya luar biasa ekspresif. Langsung menarik saya. Contoh lainnya, lukisan Alfi dan Handiwirman, tidak terlalu berat tapi punya estetika tinggi. Indahnya ada. Rasanya ada. Nah, saya lihat karya-karya kelompok Jendela memenuhi syarat itu. Sementara itu, seperti halnya Sukari, karya-karya anak Bali yang ekspresionis dan abstrak ekspresionis itu memang mementingkan rasa. Nah, kalau Masriadi sama sekali nyeleneh. Tapi yang nyeleneh itu dibikinnya menarik—apalagi tidak ada sebelumnya yang seperti itu. Ide-ide dan humornya nyeleneh dan menarik.
Jadi, selera itu sebenarnya yang pegang peranan dalam saya mengoleksi karya-karya kelompok Jendela dan Bali. Karya-karya Putu, misalnya, sekalipun ekspresif, kekuatannya terletak di garis. Dia sebenarnya seorang draftsman yang bagus. Drawing-nya pun bagus.
Pendeknya, saya senang sekali dengan karya-karya mereka yang abstrak, tapi penuh rasa dan artistik tinggi. Enak di mata, enak di hati, seperti diajarkan Affandi, saya beli tanpa terlalu banyak berpikir apa cerita atau isinya.
Begitu pula dengan karya-karya lainnya yang saya koleksi. Saya hampir-hampir tidak pernah bertanya ceritanya. Saya kadang-kadang tidak tahu judulnya. Asal kualitasnya bagus, saya beli. Barulah setelah saya membangun museum, saya pajang—dan orang-orang datang berkunjung dan bertanya ceritanya—saya terpaksa harus bercerita. Ada yang saya tidak tahu ceritanya—ya, saya karang sendiri. Picasso pernah bilang: Begitu tercipta, seperti apa cerita dalam sebuah lukisan tergantung pada pemirsanya.
Tapi lebih penting dari itu adalah bagaimana merawat karya-karya itu. Seorang kolektor wajib memelihara karya-karya itu dengan baik, karena mereka adalah jiwanya seniman. Kalau ada kerusakan diperbaiki dan sebagainya. Pendeknya, dimaintenance dengan baik. Lebih baik lagi kalau bisa diperlihatkan kepada umum. Dengan begitu, karya-karya itu akan hidup terus, abadi, dan dikenang.
—Sebagaimana diceritakan kepada Wahyudin As