Data Artikel

poster publikasi

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Oleh Jajang R Kawentar

Kreativitas itu tidak dapat dibendung dan harus menemukan jalan keluarnya; maka memamerkan karya seniman disabilitas (berkebutuhan khusus) pada pameran virtual Peace in Chaos. Ada sepuluh seniman, Agus Yusuf (Madiun; Daksa), Anfield Wibowo (Jakarta; Rungu Wicara, Sindrom Asperger), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Yogyakarta; Rungu Wicara), Lala Nurlala (Bandung; Asperger), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Sleman; Rungu Wicara), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Lampung; Rungu Wicara), Rofita Rahayu (Gunung Kidul; Rungu Wicara), Wiji Astuti (Gunung Kidul; Amputi Tangan dan Kaki), Winda Karunadhita (Keramas Gianyar Bali; Muscular Distrophy), Yuni Darlena (Bengkulu; Daksa). Digagas oleh Budi Dharma (Butong) koordinator pameran.

Cara damai dalam situasi kacau ini, berbagai kreativitas harus difasilitasi sebagai produktifitas baru menghadapi situasi. Dalam rangka menghindari wabah Covid-19 menyiasati kegiatan kolektif, salah satu solusi adalah event virtual. Event ini melibatkan banyak seniman dan video maker  tanpa harus berhadapan langsung. Seniman tetap di rumah, tetap bisa menjaga jarak untuk menjaga kesehatannya. Tim event virtual exhibition berkerja di rumah mengolah data mempersiapkan penayangan secara online. Hanya mengandalkan media sosial dan handphone.

Seniman terus meningkatkan produktifitasnya sebagai upaya menghindari ketegangan berpikir yang diakibatkan dari kecurigaan karena setiap orang membawa bakal penularan virus. Situasi umum ini meneror terus menerus, sehingga keadaan pandemi terasa kian mencekam.

 

Ketika Melukis Menjadi Pilihan Hidup  

Seni tidak akan ada matinya. Kreatifitas seni terus memenuhi ruang dan waktu dalam kondisi dan situasi apapun. Ia hadir memberikan pencerahan, pandangan serta pemandangan segar, wawasan baru dan pengalaman baru bagi para pelaku dan penikmatnya. Berupa prosesnya atau karya yang dihasilkannya.

Ketika melukis menjadi pilihan hidup, dalam situasi dan kondisi apapun akan tetap melukis. Namun bagaimana ketika melukis itu menjadi pilihan hidup bagi para penyandang disabilitas? Kekuatan, kesungguhan dan keyakinan yang telah teruji terhadap pilihannya itu. Dengan berbagai kendala keterbatasannya adalah kelemahan yang justru menjadi kekuatan meyakinkan semua orang atas kemampuannya. Mereka mampu melewatinya dengan keseriusan menyuguhkan karyanya. Meskipun itu bukan jalan hidupnya, setidaknya melukis menjadi pilihan hidupnya yang bersahabat dan ramah padanya.

Dalam berkarya, mereka tidak memaksa orang lain mengerti disabilitas yang ditanggungnya. Mereka menyadari sungguh dirinya bukanlah objek, tapi subjek seperti juga warga masyarakat lainnya. Mereka tidak meminta dipahami, karena mereka tahu orang yang peduli tidak butuh penjelasan itu. Seperti halnya mereka turut mendonasikan sebagian dari penjualan karyanya disisihkan bagi saudara-saudaranya yang terdampak Covid-19. Semoga dari apa yang ia mampu beri menularkan virus kebaikan dan perdamaian. Menghadiahkan yang bermanfaat bagi semua orang.

 

Keindahan Menjemput Damai

Menikmati karya dari kepasrahan dan ketulusan penciptanya, ada rasa haru dan kagum tak terhingga. Meskipun melihat proses mereka berkarya melalui beberapa photo dan video yang mereka rekam, memahami keindahan maha pencipta dan apa yang diciptakannya. Baiklah kita mulai dengan Agus Yusuf, tanpa kedua tangannya melukis dengan mengunakan mulut untuk menggerakkan kuasnya. Berapa lama ia meyakinkan kalau dirinya mampu melukis dengan indah. Ia betul-betul mahir melukiskan bentuk benda atau objek. Kemauan dan kesabarannya seperti telah menghadirkan kedua tangannya yang tiada itu. Dia memamerkan dua karya lukisan yang mampu merangsang orang ingin memiliki atau ingin mencicipinya seperti lukisan buah apel yang mulai memerah di batangnya diberi judul ‘Menggugah’, dan lukisan Merpati merpati putih berpasangan bertengger di pohon sedang memadu kasih, damainya meraka itu terasa seperti judulnya ‘Damai’.

Anfield Wibowo, memiliki banyak gagasan yang mengalir yang mendorongnya mengungkapkan pada ruang kosong. Dia juga pencatat atau perekam yang baik setiap momentum keindahan yang sangat berarti baginya dan menyentuh hatinya. Sehingga ada beberapa variasi lukisan hasil eksplorasinya. Tiga karya ditampilkan pada pameran ini, ‘Menunggu Chinderella’ dilukiskan suasana malam yang bertabur bintang, di tengah malam itu Chinderella belum pulang usai pesta. ‘Musim Gugur’ dia merekam bagaimana moment ketika berkunjung ke luar negri ketika musim gugur. ‘Smiling Budha’ terkait keyakinan, spiritual dan religiusitas. Ia mengatakan pada kita tentang segala sesuatu yang telah dialami dan ditemuinyanya dengan segala apa yang ia rasakannya, atau itulah pendapatnya.

Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, tertata dengan teknik lukisnya yang mumpuni, bercerita sesuatu yang monumental, dan pesan moral terselip di dalamnya. Suasana yang dibangun adalah kegembiraan, kebahagiaan dan damai. Seperti ‘Bermain ke Negeri Dongeng’ bagaimana anak-anak bermain penuh suka cita dengan berbagai permainan, dan warna-warna cerah disaputkan pada objek-objeknya. ‘Malioboro’ menggambarkan Malioboro yang padat gedung pertokoaan seperti berlomba menembus langit. Serta ditandai pula oleh pesatnya pembanguan gedung baru. ‘Toleransi Antar Umat Beragama’, ia ingin menyampaikan keberagaman beragama dalam bermasyarakat. Pentingnya saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan agama, kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

karya pameran

akrilik di atas kanvas

Lala Nurlala, menampilkan figur imajinatif  yang ilustratif, dengan dipenuhi motif stilisasi tumbuhan. Dia lebih fokus pada garis dan karakter dari figurnya. Garis seperti sebuah strategi dalam membahasakan ketertarikannya pada sesuatu, meredam dan menyelesaikannya. Empat karya Seris Pandemic: Untitled #1-#4 diikutkan pada pameran kali ini. Figur tokoh pewayangan berkarakter pahlawan atau tokoh penyelamat yang diselimuti oleh motif berbentuk ukel membentuk asesoris, busana sampai pada backroundnya. Rumitnya motif yang mendominasi karya tersebut seperti rumitnya situasi Pandemi ini. Dalam satu tema itu ratusan karya bersamaan yang dia ciptakan.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita, ketertarikannya pada sesuatu yang sering dilihatnya, dekat dan dipahaminya mengarahkannya pada sebuah konsep seperti halnya pada titik dan garis. Titik-titiknya membentuk sesuatu yang dia bayangkannya. Bisa dilihat pada karya ‘Titik Terang’ dimana dia membuat titik-titik warna terang dengan backround warna hitam. Titik-titik itu membentuk sebuah motif dan dipisahkan dengan garis menjadi beberapa ruang. Begitupun pada karya ‘Kaktus’, dia mengutamakan titik-titik dan sedikit garis besar membentuk objeknya. Kesederhanaan antara titik dan garis ini seperti sebuah kesimpulan dari konsepnya melukis.

Mochammad Yusuf Ahda Tisar, dalam melukis memiliki kecenderungan pada arsitektur dan sesuatu yang alami dari kearifan lokal. Dia berusaha menjelaskan dengan teliti pemahamannya dari apa yang dia lihat dan dipikirkannya. Pengalamannya telah mengajarkan bagaimana prespektif cara berpikir dan cara meyakinkan kemampuannya, meskipun menggunakan alat dan media sederhana yang dimilikinya. Tiga karyanya, ‘Perlahan Tapi Pasti’, menunjukkan pandangan terhadap sikap atau cara menghadapi sesuatu dengan tenang begitu juga bekicot sedang merayap. ‘Islamic Center dan Bubu Penangkap Ikan’ melukiskan Bubu yang berukuran lebih besar dari gedung, dia seperti sedang merancang bangunan dari Bubu penangkap ikan, inspirasi bagi kita. ‘Rumah Panggung Lampung’, memotret bentuk bangunan asli daerah Lampung, rumah panggung yang kini tidak lagi dibangun di kampungnya.

Rofita Rahayu, dari keterbatasan dirinya, semangat hidupnya untuk selalu mengolah rasa. Pertemuannya dengan media lukis menjadi sebuah perjuangan dalam mencitrakan dirinya, mewujudkan mimpi yang terus dia coba menggapainya. Dua karyanya ‘Tentang Harapan dan Kesunyian’, lukisan ini dibuat detail menggambarkan seorang putri bersayap sedang memeluk dirinya sendiri di angkasa. Satu lagi ‘Habibie’, potret teknokrat yang menjadi presiden Republik Indonesia ketiga, BJ. Habibie dan pesawat origami dengan backround merah putih. Pada visual karyanya itulah dia menaruh harapan dan menggapainya.

Wiji Astuti, perancang busana dari Gunung Kidul Yogyakarta berkarya batik kain yang bisa digunakan untuk menghiasi dinding ruangan rumah, kantor atau hotel dengan dibingkai. Motifnya mengambil stilisasi tumbuhan dan binatang yang kerap ia lihat disekitar kampungnya. Seperti pada karyanya ‘Kimpul Wungu’ yaitu stilisasi dari tumbuhan sejenis talas berwarna ungu, pada jaman revolusi umbinya itu menjadi makanan pengganti nasi dan sekarang sudah hampir punah. ‘Pupus Lumbu’ ini juga stilisasi motif sejenis talas berwarna hijau dan ‘Gareng Pung’ serangga sejenis Tonggeret yang biasanya di goreng menjadi lauk makan. Saking banyaknya serangga itu jadi wabah penyakit bagi pertanian penduduk. Motif Batik yang diciptakannya ini kemudian bisa jadi ciri dari batik daerah Gunung Kidul.

Winda Karunadhita, memamerkan tiga karyanya yang sangat romantis, warna yang membangkitkan kebahagiaan dan rasa damai. Penguasaan mengolah warnanya membuat karyanya menjadi hidup dan komunikatif. Dia bercerita tentang kegundahan hatinya, seperti pada ‘Tujuh Bidadari’. Tujuh bidadari itu sedang mandi di sungai diintip pemuda desa, sebuah suasana yang ceria namun dramatik. Begitupun dengan ‘Beauty in The Dark’ bercerita tiga burung menclok di pohon yang rimbun bunga, dua burung menclok berdampingan dan satunya menclok di dahan bawahnya seperti mengajak dialog. Disitulah cerita burung itu dimulai. Satu lagi ‘Forget Me Not Flower’, kisah dua kupu-kupu di taman bunga-bunga. Untuk menghasilkan karya yang indah itu, ia harus menopang tangan yang digunakannya melukis oleh tangan satunya selama menyelesaikan lukisannya. Tangannya tidak memiliki kekuatan, itulah keterbatasannya. Kekuatannya bertumpu pada semangatnya, keteguhan, kesabaran dan keyakinan hatinyalah, ia  kerahkan dalam berkarya. Lalu berapa lama dan bagaimana ia belajar melukis selama ini?

karya seniman perempuan

oil on canvas

Yuni Darlena, sangat terkesan dengan suasana alam yang indah dan budaya di daerahnya. Mengisyaratkan betapa ia ingin bertamasya ke lokasi-lokasi alam itu, keliling nusantara dan mengabadikannya pada setiap goresannya di kanvas. Suasana alam yang sejuk, aman dan nyaman dalam kesederhanaan realitas kesehariannya, terlukis kerinduan serta damainya alam itu. Selama ini dia hanya dapat membayangkan di atas kursi rodanya. Tiga karya yang dipamerkan, ‘Riak-riak di Kampung Nelayan’ menggambarkan suasana atau keadaan rumah nelayan di tepi laut. ‘Sawahku’ suasana petani pedesaan sedang memanen padinya dan ‘Lentera Bengkulu Tempo Dulu “Kala” Badai’, lukisan heroiknya lentera di mercusuar bertahan dari deburan ombak karena badai, menjadi tanda arah bagi para nelayan atau perahu yang berlayar.

Demikianlah sedikit pandangan mengenai sepuluh seniman berkebutuhan khusus yang tangguh menghadapi situasi pandemik dan bersaing dengan para pelukis umumnya. Kelemahan, kekurangan, kelebihan dan keunggulan itu kuasa Tuhan, sejauhmana kita bersyukur dan berusaha lebih baik. Para seniman ini telah menunjukkan kesungguhannya lebih-lebih, karena dia harus berdamai terlebih dahulu dengan kekuarangan fisiknya. Kita pun bisa berdalih dan katakan ‘Peace in Chaos!

Yogyakarta, 10 Juni 2020

 

Pameran di rumah saja

354 Downloads

 

“Pameran di Rumah saja”, Analisis Wacana Kritis

Aa Nurjaman

Pandemi “covid 19” yang melanda di berbagai kota di Indonesia berpengaruh pada mentalitas masyarakat secara keseluruhan. Presiden Jokowi sejak awal Maret 2020 meresponsnya dengan memerintahkan kepada menteri keuangan untuk mengucurkan dana kepada masyarakat yang terdampak “covid 19”.1 Dana tersebut ditujukan terutama untuk memutus penularan covid 19, dengan himbauan untuk meninggalkan beragam aktivitas sehingga terbentuk suatu majas “tinggal di rumah” saja. Tetapi majas “tinggal di rumah saja” tiga bulan kemudian, tepatnya pada akhir Mei 2020, berubah menjadi “Indonesia Terserah”.

Apabila kita pelajari dari makna bahasa, perubahan majas “tinggal di rumah saja” ke Indonesia terserah”, terbentuk karena suatu istilah yang timbul kemudian yaitu “bansos”, yang bisa diinterpretasikan sebagai titik masalah terbentuknya wacana kritis yang beredar pada masyarakat terdampak covid 19. Wacana kedua majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, hemat saya, perlu kiranya dianalisis secara kritis. Analisis wacana kritis ini bisa dimulai dari pembentukan majas yang kerap dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa.2 Sebagai dasar penentuan majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, bisa diinterpretasikan mengacu kepada tatanan bahasa semantik berupa ironi.3 Guna memahami istilah “bansos” yang membentuk majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, Zoest (1993), mencatat tiga ciri tanda semiotika berdasar pada teori Charles Sanders Peirce, sebagai semiotika. Teori semiotika Peirce mengklasifikasikan tiga tanda: pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain atau bersifat representatif. Ketiga, tanda bersifat interpretatif.4

AngonBebek, Ipeh Nur

Menurut Charles Sander Peirce, ada tiga unsur latar belakang yang menentukan tanda dalam bahasa, yaitu tanda yang dapat ditangkap oleh indera (Ground) yang ditunjuk sebagai objek (denotatum), dan yang ada di benak si penerima (interpretant).5 Kemudian dalam kaitan tanda interpretantnya, Pierce menyebutkan bahwa tanda-tanda denotatum bersifat subjektif karena pengalaman individu dengan realitas disekitarnya yang berbeda-beda. Tiga hal kaitan tanda yang berbeda dalam interpretantnya antara lain:
1. Rheme, tanda yang bisa dinterpretasikan sebagai representasi dari kemungkinan denotatum. “Bansos” adalah sejenis definisi x, karena menurut metode keberadaannya masih merupakan kemungkinan. X dalam konteks permasalahan masyarakat terdampak covid 19 bisa diinterpretasikan sebagai “dana” atau “rakyat”.
2. Dicisign (atau dicent sign), suatu tanda yang menawarkan kepada interpretantnya suatu hubungan yang benar. Terdapat kebenaran antara tanda yang ditunjuk dengan kenyataan yang ditunjuk oleh tanda itu, sehingga timbul istilah “bansos dana” atau “bansos rakyat”, terlepas dari eksistensinya.
3. Argument, hubungan interpretatif antara tanda berdasarkan silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu mengacu pada tiga proporsi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen.5 Dalam analisis wacana kritis permasalahan ini bisa diinterpretasikan mengenai APBN sebagai sumber dana “bansos” yang kemudian membentuk majas “Tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”.

Pameran di Rumah Saja – Alternatif Kegiatan Seniman

Para seniman sebagai bagian dari masyarakat terdampak covid 19 menyadari perlunya metode baru dalam berkegiatan seperti pameran seni rupa, yang tidak lagi sebagai kegiatan berkumpul dalam suatu acara publikasi wacana seni dari karya-karya mereka, dengan memunculkan beberapa istilah pameran secara on line, seperti “Art Quarantine”, “Covid Affects 2020” dan lain sebagainya. Istilah tersebut menjadi suatu majas baru dalam dunia kesenian yang mengacu pada pemanfaatan media sosial untuk menciptakan suatu ruang pameran yang bisa diakses oleh semua kalangan. sica.asia yang merupakan salah satu organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pameran on line, memiliki gagasan menyelenggarakan “Pameran di Rumah saja”. Pada kegiatan “Pameran di Rumah saja” kali ini, sica.asia memajang karya-karya lukisan buah karya seniman, antara lain : Afdal, Aidi Jupri, Ipeh Nur, Ayu Arista Murti, Dedy Sufryadi, Diana Puspita Putri, Erianto, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Jerry Padang, Laila Tifah, Mutiara Riswari, Oktaravianus Bakara, Ricky Wahyudi, Riduan, Udien Aee, Stevan Sixcio Kresonia, Soni Irawan, M.A. Roziq, Deden FG, Riki Antoni dan lain-lain. Karya-karya yang terpajang pada “Pameran di Rumah Saja” menyampaikan beragam pesan. Makna pesan inilah yang kemudian melahirkan wacana kritis mengenai situasi terdampak covid 19 dalam pandangan seniman.

Soni Irawan

 

Analisis Wacana Kritis Majas “Pameran di Rumah saja”

Karya-karya yang terpajang kali ini berkenaan dengan wacana kekuasaan, karena pola hidup baru yang diwacanakan akhir-akhir ini, new normal, suatu kebijakan pemerintah atau lebih tepat disebut doktrin. Kebijakan tersebut terbukti sebagai doktrin karena sifatnya yang berubah-ubah. Mulai dari majas “perang menghadapi covid 19”, kemudian “berdamai dengan covid 19”, sampai memunculkan istilah “new normal” yang kemudian melahirkan majas yang demikian ekstrem “Indonesia terserah”. Majas “Indonesia terserah” inilah yang tidak bisa disanggah kemudian melahirkan wacana kritis di media sosial. Analisis wacana kritis yang bisa digunakan dalam mengkritisi doktrin yang berubah-ubah antara lain: sebuah metode critical discourse analytic Norman Fairclough. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dipraktekan sebagai doktrin berupa bahasa yang secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial, karena analisis dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu, yaitu istilah “dana terdampak covid 19” menjadi “bansos”. Kedua istilah itu memiliki arti yang berdiri sendiri; “dana terdampak covid 19” berarti penanggulangan bencana dengan menggunakan dana rakyat, sedangkan “bansos” bisa diartikan penanggulangan bencana dengan menggunakan dana bantuan dari para pejabat pemerintah atau dari donator Negara lain, dalam arti tidak menggunakan dana yang berasal dari rakyat.

Apabila berpijak pada teori analisis wacana kritis Fairclough, rekayasa “dana terdampak covid 19” menjadi “bansos” merupakan gejala linguistik yang mengacu pada gejala sosial, baik secara tertulis maupun lisan. Manusia melakukan itu karena mereka memiliki tekad secara sosial dan agar terjadi efek sosial.6 Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi:
1). Teks (text), dipusatkan pada ciri-ciri formal (kosa kata, tata bahasa, sintaksis, dan koherensi kalimat).
2). Praktik Kewacanaan (discourse practice), yang melibatkan pemroduksian teks.
3). Praktik sosial (sosiocultural practice), yang mencakup peristiwa komunikatif.
Pertama: Teks (text), yang dipusatkan pada ciri-ciri formal (kosa kata, tata bahasa, sintaksis, dan koherensi kalimat) bisa kita gunakan untuk menganalisis berbagai isyu mengenai pandemic yang tak kunjung reda, bahwa persoalannya terletak pada rekayasa uang rakyat yang dimanipulasi menjadi istilah “bansos”. Melalui teori analisis wacana kritis bisa diidentifikasi bahwa istilah “Bansos” untuk mendefinisikan dana yang dikucurkan oleh pemerintah sebagai jaminan hidup untuk memutus penyebaran covid 19 berasal dari APBN.7 Hal tersebut berarti bahwa dana tersebut berasal dari dana rakyat untuk dikembalikan ke rakyat. Tetapi Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut dana rakyat itu sebagai bansos,8 dalam arti suatu bantuan yang bukan berasal dari dana rakyat melalui beragam pajak yang dibayarkan kepada pemerintah, melainkan mengacu pada arti hasil rekayasa yang seolah-olah dana tersebut berasal dari bantuan para donatur, entah siapa?
Kedua: Praktik Kewacanaan (discourse practice), yang melibatkan pemroduksian teks, bisa digunakan untuk menganalisis fakta-fakta bahwa di tengah silangsengkarut wacana “bansos” yang tidak tepat sasaran, kemudian polemik lainnya berupa permasalahan “Kartu Prakerja”, yang merupakan suatu rekayasa dari “dana cadangan terdampak covid 19” yang direkayasa menjadi suatu bentuk pelatihan masyarakat yang terdampak PHK dari berbagai perusahaan.
Ketiga: Praktik sosial (sosiocultural practice), yang mencakup peristiwa komunikatif, yang bisa digunakan untuk menganalisis tindakan pemerintah yang menutup tempat-tempat keramaian seperti kawasan pariwisata, berbagai tempat pendidikan, pusat-pusat perbelanjaan, berbagai rumah ibadah, sehingga muncul majas baru “belajar di rumah saja” dan “ibadah di rumah saja”. Tetapi di balik itu, ternyata “bansos” tidak sampai kepada masyarakat miskin, tetapi sebaliknya justru sampai kepada masyarakat yang dekat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Kekacauan dalam penangan penyebaran covid 19 muncul secara serempak karena sebagian masyarakat mulai kesulitan pangan, sehingga muncul istilah ”Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)”.Pada akhir bulan Ramadhan, kekacauan situasi mencapai puncaknya. Peraturan PSBB di Ibu Kota dan di kota-kota besar lainnya dilanggar oleh sebagian masyarakat urban. Pemerintah pusat tiba-tiba merubah kebijaksanaan dari “berperang melawan covid 19” menjadi “Berdamai dengan covid 19”, yang akhirnya melahirkan majas baru, “Indonesia Terserah”.
Namun demikian bagi seniman, silangsekarutnya praktik pewacanaan dan praktik social penanggulangan covid 19, tengah menumbuhkan suatu gaya baru dalam penyelenggaraan kegiatan pameran seni rupa sebagai pengejawantahan dari New Normal yang didoktrinkan pemerintah pusat. “Pameran di Rumah saja”, bagi para seniman yang tergabung dalam sica.asia merupakan sebuah konklusi kegiatan pameran yang mampu mengantisipasi penyebaran penularan covid 19, karena bisa menjaga jarak dan tidak berkumpul sebagaimana galibnya acara pameran seni rupa.

Yogyakarta, 26 Mei 2020
_________________
https://m.liputan6.com
2 Okke Kusuma Sumantri Zaimar. “Majas dan Pembentukannya”. Makara, Sosial Humaniora Vol. 6 No. 2. Desember 2002, p. 45.
3 Ibid.
4 Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Penerjemah : Ani Soekowati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
5 Ratmanto. “Pesan: Tinjauan Bahasa, Semiotika dan Hermeuneutika”. Mediator Vol. 5 No. 1. 2004. P. 31.
6 Ibid. p. 33.
7 Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman. P. 23.
8 Mutia Fauzia, kompas.com. Diakses tanggal 25 Mei 2020 oleh Aa Nurjaman.
9 https://money.kompas.com