Memperkatakan Sanento Yuliman
Memperkatakan Sanento Yuliman (1)
Oleh WAHYUDIN
Tiga puluh dua tahun lalu—pada kapan yang tak diterangkannya—Sanento Yuliman bertandang ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta, untuk menilik Pameran Peringatan Trisno Sumardjo (1916-1969), kritikus seni rupa, sastrawan, dan ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).
Apa yang disaksikan doktor seni rupa dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis, itu di sana membikinnya terpinga-pinga.
“Di halaman depan Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki saya tertegun,” tulis Sanento Yuliman. “Betulkah di situ ada pameran? Tidak ada poster besar, tidak ada kain rentang. Untung, saya tertolong oleh secarik poster kecil tertempel sederhana pada panel di serambi yang lengang itu.”
Namun demikian, kenyataan itu tak menyurutkan langkahnya, sekalipun mau tak mau menghadapkannya pada ketertegunan yang lain lagi sebagai berikut:
“Di pintu, saya memperoleh katalog: secarik kertas 21 x 24 sentimeter dilipat dua. Dalam kata pengantarnya—sekitar 30 baris—tidak sepatah kata tentang orang bernama Trisno Sumardjo, kapan, serta bagaimana ujung-pangkal dan malang-melintangnya dalam seni lukis kita.”
Ketergemapan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu terus berlanjut setelah ia membaca katalog. “Pengantar katalog dibekali sebuah kutipan pernyataan Trisno Sumardjo,” tulisnya. “Tapi dalam daftar lukisan tidak dicantumkan tarikh. Sekilas terpikir: barangkali Pameran Peringatan Trisno Sumardjo 10-17 April 1988 ini, tahap dalam proses melupakannya?”
Celakanya, selewat pertanyaan tersebut berkelebat, ia harus bersua kenyataan ini: “Pameran Peringatan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta itu memajangkan 34 lukisan cat minyak dan cat air, serta 32 coretan hitam putih. Kecuali dua lukisan koleksi DKJ dan sebuah koleksi Ajip Rosidi, karya-karya itu tidak diterangkan asal-asulnya.”
Apa boleh buat—setelah memeriksa pokok perupaan dan menyidik penggambaran karya-karya Trisno Sumardjo dalam pameran itu, yang tetap saja menyisakan sejumlah pertanyaan di benaknya—Sanento Yuliman sampai pada kesimpulan ini:
“Sebuah Pameran Peringatan tidaklah cukup hanya berbekal sebuah koleksi. Apalagi mengenai Trisno Sumardjo, pelukis yang kontroversial di kalangan pengulas dan penggemar lukisan.”
Sampai pada titik itu saya harus katakan bahwa semua keterheran-heranan Sanento Yuliman itu saya petik dari tulisannya “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” (Tempo, 23 April 1988).
Selain di majalah yang “enak dibaca dan perlu” itu—kita bisa membaca tulisan tersebut dalam Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Asikin Hasan, peny., Jakarta: Yayasan Kalam, Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation, dan Majalah Berita Mingguan TEMPO, April 2001, halaman 256-258, dan Sanento Yuliman, Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-1992, Danuh Tyas Pradipta, Hendro Wiyanto, dan Puja Anindita, peny., Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan gang kabel, Januari 2020, halaman 697-700.
***
Tiga puluh satu tahun sesudah “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” terbit—setelah 27 tahun Sanento Yuliman berkalang tanah—Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto mengampu pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, 11 Desember 2019-15 Januari 2020.
Ketika mengetahuinya—lengkapnya tertulis: Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992)-Pameran Karya dan Arsip—untuk kali pertama lewat instagram Dewan Kesenian Jakarta dua hari sebelum pameran itu dibuka oleh penyair-pelukis Goenawan Mohamad pada Rabu malam, 11 Desember 2019—saya langsung terkenang “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”.
Saya kira Mengingat-ingat Sanento Yuliman bersanad kepada “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”—dan Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto tampaknya beroleh “petunjuk” dalam khidmatnya. Terbukti, Mengingat-ingat Sanento Yuliman tampil lebih tertata-kelola, rapi, bersih, dan benderang ketimbang “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo”. Semua keterpegunan Sanento Yuliman pada “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo” tak terjumpa dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman. Alih-alih, kita akan takzim kepadanya.
Betapa tak, selama lebih dari satu setengah abad, sejak zaman Raden Saleh sampai era Handiwirman Saputra, baru kali itu seorang kritikus seni rupa di Indonesia, yang telah pindah ke alam barzakh hampir tiga dasawarsa, dimuliakan dengan pameran yang mengesankan—bahwa seni rupa Indonesia pernah memiliki seorang pemikir, penulis, dan penilik seni rupa bernama Sanento Yuliman Hadiwardoyo yang gagasan, tulisan, dan ulasannya mencerminkan—pinjam istilah sang kritikus—“kecerdasan melihat” yang mengagumkan.
Yang lebih mengesankan, Dewan Kesenian Jakarta, penaja Mengingat-ingat Sanento Yuliman, mendirikan “monumen pemikiran” sang kritikus kelahiran Jatilawang, Cilacap, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, itu berupa buku berukuran 170 x 252 sentimeter, tebal xxxvi + 1024 halaman, berisi 177 tulisan bertitimangsa 1969-1992—yang memungkinkan pembaca beroleh kebijaksanaan bahwa kritikus, sebagaimana pernah diucapkannya kepada Hendro Wiyanto, tak hanya bisa dilahirkan, tapi juga bisa dibikin dengan “faal intelegensi” menatap karya seni rupa secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya.
Tapi pada yang mengesankan itu saya pun teringat kata-kata penyajak Goenawan Mohamad dari tahun 2001 ini: “Dalam mengenang tersirat lupa; di dalamnya senantiasa ada proses seleksi.” Apa yang terlupakan dari Mengingat-ingat Sanento Yuliman adalah sejumlah nama dan peristiwa di sekitar kekritikan Sanento Yuliman dan Dewan Kesenian Jakarta.
Tanpa bermaksud menyembunyikan nama-nama kritikus lainnya di lalu waktu—satu nama yang ingin saya sebut barang sebentar di sini adalah kritikus Sudarmadji. Sebagaimana Sanento Yuliman, Sudarmadji adalah orang Cilacap, lahir pada 2 Januari 1934. Seperti halnya Sanento Yuliman, mantan dosen Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” itu merupakan pembela waskita Gerakan Seni Rupa Baru. Pembelaannya yang legendaris berupa polemik dengan kritikus Kusnadi di Kedaulatan Rakyat, September-Oktober 1975.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta 1985-1990 (?) itu rajin menyiarkan ulasan-ulasan kritik di pelbagai media massa. Pun menulis sejumlah buku seni rupa. Salah satunya yang telah menjadi klasik tapi masih sering dikutip sampai kini adalah Dari Saleh sampai Aming, Seni Lukis Baru Indonesia dalam Sejarah dan Apresiasi (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, 1974).
Kecuali ada luka yang belum sembuh dalam hubungan Sudarmadji dan Dewan Kesenian Jakarta pada dulu kala—saya berharap kelak ada “monumen pemikiran” dan pameran karya dan arsip Mengingat-ingat Sudarmadji—atau apa pun judulnya—di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, kemudian entah di mana di Yogyakarta.
Sementara itu saya ingin mencatat “pertengkaran ringan”—yang luput terarsip (?) dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman—antara Agus Dermawan T. dengan Jim Supangkat dan Gendut Riyanto di Tempo beberapa pekan setelah kematian mendadak Sanento Yuliman.
***
Di dalam ambulans yang melarikannya ke Rumah Sakit Advent, Bandung, pada Kamis dini hari, 14 Mei 1992, Sanento Yuliman menghembuskan nafas terakhirnya dalam umur 51.
Penghayat seni rupa (di) Indonesia pun berduka—tak terkecuali teman-teman dekat sang kritikus. Tapi tak ada di antara mereka yang bersungkawa sedalam pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Jim Supangkat.
“Kepergiannya mungkin akan mempengaruhi perkembangan seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena berbagai kegiatan seni rupa kehilangan perannya yang menentukan. Kehilangan terbesar adalah kemungkinan penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia. Keahliannya dalam hal ini nyaris tidak tergantikan,” tulis Jim Supangkat dalam obituari “Duka untuk Seni Rupa” (Tempo, 23 Mei 1992).
Selain kehilangan kemungkinan-kemungkinan itu, Jim Supangkat mengkhawatirkan “seni rupa modern Indonesia kehilangan patokan kebenaran” dengan wafatnya Sanento Yuliman yang “selalu berpikir akademistis karena ia sangat menghormati kebenaran”—sampai-sampai “mencari pembenaran ilmiah menandakan sikapnya yang hati-hati dalam membuat kesimpulan.”
Obituari itu mendapat tanggapan dari penulis seni rupa Agus Dermawan T. dalam “Seni Rupa: Duka untuk Sanento” (Tempo, 6 Juni 1992) dengan kalimat pembuka yang menohok ini: “Barangkali tulisan Jim Supangkat itu bisa menarik dan menggetarkan perasaan pembaca bila tidak dibumbui opininya yang terlampau berlebihan dan mengada-ada.”
Setelah itu Agus Dermawan T. merespons pernyataan Jim Supangkat ihwal keahlian Sanento Yuliman dalam penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia yang “nyaris tidak tergantikan”—dan “kehilangan patokan kebenaran”—sebagai “ngawur, emosional, dan tak masuk akal.”
Pasalnya, tulis Agus Dermawan T., “sebelum Sanento hadir sebagai penulis, Kusnadi dan Sudarmaji sudah menulis sejarah seni rupa modern kita dengan tata historis yang betul. Juga Soedarso Sp. yang kitab-kitabnya bukannya jauh dari kebenaran. Jadi, sesungguhnya Sanento hanyalah sepenggalan belaka dari seluruh kegiatan penulisan sejarah seni rupa.”
Tak mau tinggal diam, Jim Supangkat membalas melalui “Sanento Yuliman: Tanggapan untuk Agus Dermawan” (Tempo, 13 Juni 1992), antara lain sebagai berikut:
“Ada yang aneh sebetulnya, tapi apa boleh buat. Komentar Agus Dermawan (Tempo, 6 Juni 1992) menganggap Almarhum Sanento Yuliman sebagai “cuma” salah seorang penulis seni rupa. Karena itu ia menilai uraian saya tentang peran penting Almarhum dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia (Tempo, 23 Mei 1992, Obituari) berlebihan dan mengada-ada. Ia keberatan. Lebih dari itu, ia ingin menegaskan bahwa opini saya adalah sebuah informasi menyesatkan. Dengan nada sangat yakin ia menyebutnya: ngawur dan sama sekali tidak betul. Saya tidak tahu terminologi apa yang dipegang Agus Dermawan dalam menyebutkan buku sejarah seni rupa Indonesia sudah diterbitkan. Kenyataannya, belum ada sebuah buku pun yang menggunakan judul ‘sejarah seni rupa Indonesia’.”
Agus Dermawan T. tak balik membalas tanggapan Jim Supangkat atas tanggapannya terhadap Jim Supangkat. Yang muncul adalah tulisan Gendut Riyanto berjudul “Sanento Yuliman: Pandangan Seorang Teman” (Tempo, 13 Juni 1992).
Eksponen Seni Rupa Kepribadian Apa itu memandang Sanento Yuliman sebagai kritikus andal “seperti puncak gunung es di samudra luas. Hanya tampak ujungnya tapi memendam kekuatan kukuh hingga di dasar lautan”—dan sebab itu ia mengejutkan.
“Satu lagi yang mengejutkan dari Sanento,” ungkap Gendut Riyanto, “sikapnya yang ‘tidak mengkritik’, dalam arti dan konteks kritik seperti terminologi kritik di masa Dan Suwaryono, Sudarmaji, Agus Dermawan T., Sujoyono, Rudi Isbandi, Putu Wijaya, dan Bambang Bujono. Kritik yang dilancarkannya lebih ditancapkan pada gejala empirik seraya mengkonstruksikan logikanya sehingga yang terjadi adalah analisa kritis, yang menurut sejumlah senirupawan dan kritisi ‘tidak tajam’ atau ‘intelektualistik’.”
***
“Pertengkaran ringan” itu saya rasa seperti pala Minahasa yang menghangatkan benak saya sebelum mencatat perkara-perkara besar di seputar “monumen pemikiran” Sanento Yuliman …***