Data Artikel

Siobhan McBride Unsettles the Familiar

Apa yang membuat karya Siobhan McBride secara keseluruhan menarik adalah ketertarikannya pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari.

oleh John Yau 5 Januari 2023

 

Siobhan McBride, “Lantern Fly Graveyard” (2022), acrylic gouache, colored pencils, paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches (all images courtesy Long Story Short NYC, formerly Another Gallery NYC)

Keadaan visual di antara dan kontras gelap dan terang, serta keingintahuan saya tentang hubungan antara subjek lukisan dan biografi seniman, yang mendorong saya untuk mengunjungi pameran Siobhan McBride: Never Means Always Not, di Galeri Lain (16 Desember 2022–8 Januari 2023), dikuratori oleh Stavroula Coulianidis. Seolah-olah untuk memperkuat perasaan saya bahwa pekerjaan itu tentang perubahan dan perasaan tidak selaras dengan lingkungan seseorang, saya mengetahui bahwa pada tanggal 1 Januari 2023, galeri tersebut telah berganti nama menjadi Long Story Short NYC.

 

Meskipun saya menyimpulkan bahwa lukisan McBride didasarkan pada foto, lukisan tersebut bukanlah fotorealis. Nyatanya, secara spasial mereka tampil sangat berbeda dari kebanyakan lukisan realis berbasis foto, yang cenderung meratakan pemandangan. Penghalang dan ruang di luarnya, bersama dengan ruang yang hampir tertutup di setiap lukisannya, tampaknya menjadi inti dari pokok bahasannya. Meskipun saya pertama kali melihat karya di komputer saya, aspek lain yang menurut saya menarik adalah interaksi antara area datar warna dan ruang tiga dimensi, malam yang aneh atau cahaya buatan, dan minatnya pada permukaan padat dan transparan, pantulan dan bentuk, dan siluet tajam. Menurut siaran pers, “Siobhan McBride lahir di Seoul, Korea Selatan, dan diadopsi ke Queens, NY, saat masih bayi” dan beberapa pekerjaannya berkaitan dengan “pencarian identitas biologisnya di Korea”. Bersama dengan unsur formal, informasi yang berbeda ini membuat saya ingin mengetahui apakah 12 lukisan berukuran sedang dalam pameran itu semenarik yang saya bayangkan. Saya segera melihat itu.

 

McBride bekerja dengan guas akrilik, akrilik matte, spidol cat, dan pensil warna di atas kertas yang dipasang di atas pensil. Lukisan-lukisannya penuh dengan detail yang tidak biasa, yang dihasilkan dari penggunaan bentuk abstrak sederhana, kebanyakan persegi panjang, dengan cara yang tidak langsung dapat dibaca. Dia menggambarkan ruang sebagai sebagian tertutup dan diblokir, dan pada tingkat tertentu tidak dapat diketahui, yang dikombinasikan dengan siluet abstrak dengan tepi rumit yang terbaca sebagai pemandangan udara yang aneh dari dedaunan pohon di “Makam Terbang Lentera”, misalnya, atau sebagai garing, bayangan tak menyenangkan yang ditimbulkan oleh detail arsitektural dalam “Jonno-gu Night Walk” (keduanya tahun 2022). Pemandangannya misterius dan bahkan meresahkan.

Siobhan McBride, “Five Doors” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

McBride memberi tahu saya bahwa dia memotret interior apartemen tak berpenghuni, jalan-jalan kota yang sebagian besar kosong, dan permainan arcade yang dia gambarkan dalam karyanya. Sementara perhatian terhadap detail dan permukaan menarik perhatian pemirsa ini, apa yang membuat karya ini secara keseluruhan lebih menarik daripada fitur-fiturnya yang berbeda adalah minat McBride pada ambiguitas, sugestibilitas, dan elusivitas kehidupan sehari-hari: berbagai jenis cahaya yang hidup berdampingan di sebuah kota. jalan di sore atau malam hari, pemandangan melalui apartemen atau jendela mobil, dan pantulan di permukaannya.

 

Secara lebih luas, McBride tampaknya sedang mengeksplorasi cara membuat sesuatu yang segar dari yang biasa tanpa menggunakan trik yang biasa, seperti detail yang berlebihan, palet warna yang tidak realistis, atau penjajaran surealis. Dia menggabungkan detail berdasarkan pengamatan yang tidak dapat diuraikan secara instan, yang mengganggu kemampuan kita untuk memahami segala sesuatu dengan lancar. Perlawanan itulah yang saya sukai dari lukisan-lukisan itu.

 

Dalam “Canopy” (2021), kami melihat ke luar jendela di sebuah rumah yang cukup terang dengan pohon hitam besar yang tertutup salju di depannya. Bagian lukisan, seperti jendela bercahaya di lantai dua bangunan, menyertakan detail yang ada di sisi lain keterbacaan, sedangkan sisi atas dan bawah rumah datar dan berwarna solid. Siluet gelap dan rumit pada area putih dengan sedikit gradasi di bawah sisi kiri pohon dapat dilihat sebagai bayangan di atas salju, tetapi tidak ada bayangan yang muncul di sisi kanan pohon. Bagaimana kita memahami apa yang tampak sebagai perbedaan di sini? Atau di tempat lain, di mana sesuatu yang terlihat melalui jendela tampak berubah menjadi pantulan? Ambiguitas itu membuat saya terus mencari. Apa yang bisa dengan mudah menjadi pemandangan klise – sebuah rumah dengan pohon yang dipenuhi salju di depannya – menjadi sesuatu yang lain. Itu bukan prestasi kecil.

Siobhan McBride, “Jongno-gu Night Walk” (2022), acrylic gouache, paint marker, and colored pencil on paper on panel, 18 inches x 24 inches

“Five Doors” (2022) disusun seolah-olah seseorang sedang duduk di samping wastafel kamar mandi, melihat melalui pintu ke bagian lorong di mana dua pintu lagi, satu terbuka dan yang lainnya tertutup, terlihat. Kami melihat sebuah lorong, ruang yang mungkin tidak kami perhatikan. Handuk mandi oranye tergantung di sepanjang tepi kanan lukisan. Di belakang kabinet dan wastafel yang dipotong, memanjang ke dalam dengan sudut yang tajam, dan keranjang anyaman adalah lemari terbuka dengan rak. Apakah ini juga memiliki pintu, yang menjelaskan judul lukisan itu? Mengapa keset karet di lantai tepat di luar kamar mandi? Pemandangannya hambar, aneh, familiar — sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan dua kali, bahkan jika kita melihatnya setiap hari. Semakin lama saya melihat lukisan itu, semakin menimbulkan pertanyaan bagi saya, yang merupakan arah yang tidak biasa untuk diambil oleh seorang pelukis dalam kehidupan sehari-hari.

 

“Makgeolli Snack Run” (2022) menampilkan jalan lingkungan di Seoul pada malam hari. Seperti dalam “Lima Pintu”, pemirsa ditarik ke ruang yang terbuka dan tertutup, dapat diakses dan tidak dapat diakses. Namun, alih-alih memasangkan pintu yang tertutup dan terbuka, dia menggambarkan jalan sempit yang agak miring ke ruang gelap, dengan bangunan empat lantai yang gelap di ujungnya. Satu jendela menyala menerangi gedung apartemen berukuran sederhana ini dari dalam. Pita cahaya gradien dari sumber tak terlihat mengalir di bawah gedung. Jalan ini terasa jauh tetapi mungkin bisa menjadi tujuan. Dua kipas besar yang menjorok ke dalam dari tepi kanan bawah lukisan menunjukkan bahwa kami meninggalkan bangunan setinggi jalan.

 

McBride menggambarkan pemandangan yang kita lihat sambil lalu, melalui jendela mobil di hari hujan (“Deluge,” 2022), sambil melamun (“Lantern Fly Graveyard,” 2022), atau sambil fokus pada aktivitas lain (seperti game arcade di “ Gembok Cinta dan Kereta Gantung,” 2022). Itu adalah barang-barang dari kehidupan seseorang, sebuah kronik dari momen-momen yang biasa dan bermakna sekaligus. Masing-masing menampilkan perhatian khusus pada terang atau gelap, warna yang menentukan materi pelajaran. Segalanya tampak seolah-olah baru pertama kali dilihat. Dalam detail abstrak dan pergeseran tiba-tiba yang menolak terjemahan, seniman menyampaikan perasaan tergeser dan tidak nyaman sebagai bagian dari pemandangan seperti trotoar atau bangunan.

Siobhan McBride, “Canopy” (2021), acrylic gouache and paint marker on paper on panel, 18 inches x 24 inches

Siobhan McBride: Never Means Always Not berlanjut di Long Story Short NYC (52 Henry Street, Two Bridges, Manhattan) hingga 8 Januari. Pameran ini dikuratori oleh Stavroula Coulianidis.

Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman

Memperkatakan Sanento Yuliman (1)

Oleh WAHYUDIN

 

Tiga puluh dua tahun lalu—pada kapan yang tak diterangkannya—Sanento Yuliman bertandang ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta, untuk menilik Pameran Peringatan Trisno Sumardjo (1916-1969), kritikus seni rupa, sastrawan, dan ketua pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).

Apa yang disaksikan doktor seni rupa dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, Prancis, itu di sana membikinnya terpinga-pinga.

“Di halaman depan Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki saya tertegun,” tulis Sanento Yuliman. “Betulkah di situ ada pameran? Tidak ada poster besar, tidak ada kain rentang. Untung, saya tertolong oleh secarik poster kecil tertempel sederhana pada panel di serambi yang lengang itu.”

Namun demikian, kenyataan itu tak menyurutkan langkahnya, sekalipun mau tak mau menghadapkannya pada ketertegunan yang lain lagi sebagai berikut:

“Di pintu, saya memperoleh katalog: secarik kertas 21 x 24 sentimeter dilipat dua. Dalam kata pengantarnya—sekitar 30 baris—tidak sepatah kata tentang orang bernama Trisno Sumardjo, kapan, serta bagaimana ujung-pangkal dan malang-melintangnya dalam seni lukis kita.”

Ketergemapan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu terus berlanjut setelah ia membaca katalog. “Pengantar katalog dibekali sebuah kutipan pernyataan Trisno Sumardjo,” tulisnya. “Tapi dalam daftar lukisan tidak dicantumkan tarikh. Sekilas terpikir: barangkali Pameran Peringatan Trisno Sumardjo 10-17 April 1988 ini, tahap dalam proses melupakannya?”

Celakanya, selewat pertanyaan tersebut berkelebat, ia harus bersua kenyataan ini: “Pameran Peringatan yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta itu memajangkan 34 lukisan cat minyak dan cat air, serta 32 coretan hitam putih. Kecuali dua lukisan koleksi DKJ dan sebuah koleksi Ajip Rosidi, karya-karya itu tidak diterangkan asal-asulnya.”

Apa boleh buat—setelah memeriksa pokok perupaan dan menyidik penggambaran karya-karya Trisno Sumardjo dalam pameran itu, yang tetap saja menyisakan sejumlah pertanyaan di benaknya—Sanento Yuliman sampai pada kesimpulan ini:

“Sebuah Pameran Peringatan tidaklah cukup hanya berbekal sebuah koleksi. Apalagi mengenai Trisno Sumardjo, pelukis yang kontroversial di kalangan pengulas dan penggemar lukisan.”

Sampai pada titik itu saya harus katakan bahwa semua keterheran-heranan Sanento Yuliman itu saya petik dari tulisannya “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” (Tempo, 23 April 1988).

Selain di majalah yang “enak dibaca dan perlu” itu—kita bisa membaca tulisan tersebut dalam Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Asikin Hasan, peny., Jakarta: Yayasan Kalam, Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation, dan Majalah Berita Mingguan TEMPO, April 2001, halaman 256-258, dan Sanento Yuliman, Estetika yang Merabunkan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-1992, Danuh Tyas Pradipta, Hendro Wiyanto, dan Puja Anindita, peny., Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan gang kabel, Januari 2020, halaman 697-700.

***

Tiga puluh satu tahun sesudah “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo” terbit—setelah 27 tahun Sanento Yuliman berkalang tanah—Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto mengampu pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, 11 Desember 2019-15 Januari 2020.

Ketika mengetahuinya—lengkapnya tertulis: Mengingat-ingat Sanento Yuliman (1941-1992)-Pameran Karya dan Arsip—untuk kali pertama lewat instagram Dewan Kesenian Jakarta dua hari sebelum pameran itu dibuka oleh penyair-pelukis Goenawan Mohamad pada Rabu malam, 11 Desember 2019—saya langsung terkenang “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”.

Saya kira Mengingat-ingat Sanento Yuliman bersanad kepada “Mengingat-ingat Trisno Sumardjo”—dan Danuh Tyas Pradipta dan Hendro Wiyanto tampaknya beroleh “petunjuk” dalam khidmatnya. Terbukti, Mengingat-ingat Sanento Yuliman tampil lebih tertata-kelola, rapi, bersih, dan benderang ketimbang “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo”. Semua keterpegunan Sanento Yuliman pada “Pameran Peringatan Trisno Sumardjo” tak terjumpa dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman. Alih-alih, kita akan takzim kepadanya.

Betapa tak, selama lebih dari satu setengah abad, sejak zaman Raden Saleh sampai era Handiwirman Saputra, baru kali itu seorang kritikus seni rupa di Indonesia, yang telah pindah ke alam barzakh hampir tiga dasawarsa, dimuliakan dengan pameran yang mengesankan—bahwa seni rupa Indonesia pernah memiliki seorang pemikir, penulis, dan penilik seni rupa bernama Sanento Yuliman Hadiwardoyo yang gagasan, tulisan, dan ulasannya mencerminkan—pinjam istilah sang kritikus—“kecerdasan melihat” yang mengagumkan.

Yang lebih mengesankan, Dewan Kesenian Jakarta, penaja Mengingat-ingat Sanento Yuliman, mendirikan “monumen pemikiran” sang kritikus kelahiran Jatilawang, Cilacap, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, itu berupa buku berukuran 170 x 252 sentimeter, tebal xxxvi + 1024 halaman, berisi 177 tulisan bertitimangsa 1969-1992—yang memungkinkan pembaca beroleh kebijaksanaan bahwa kritikus, sebagaimana pernah diucapkannya kepada Hendro Wiyanto, tak hanya bisa dilahirkan, tapi juga bisa dibikin dengan “faal intelegensi” menatap karya seni rupa secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya.

Tapi pada yang mengesankan itu saya pun teringat kata-kata penyajak Goenawan Mohamad dari tahun 2001 ini: “Dalam mengenang tersirat lupa; di dalamnya senantiasa ada proses seleksi.” Apa yang terlupakan dari Mengingat-ingat Sanento Yuliman adalah sejumlah nama dan peristiwa di sekitar kekritikan Sanento Yuliman dan Dewan Kesenian Jakarta.

Tanpa bermaksud menyembunyikan nama-nama kritikus lainnya di lalu waktu—satu nama yang ingin saya sebut barang sebentar di sini adalah kritikus Sudarmadji. Sebagaimana Sanento Yuliman, Sudarmadji adalah orang Cilacap, lahir pada 2 Januari 1934. Seperti halnya Sanento Yuliman, mantan dosen Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” itu merupakan pembela waskita Gerakan Seni Rupa Baru. Pembelaannya yang legendaris berupa polemik dengan kritikus Kusnadi di Kedaulatan Rakyat, September-Oktober 1975.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta 1985-1990 (?) itu rajin menyiarkan ulasan-ulasan kritik di pelbagai media massa. Pun menulis sejumlah buku seni rupa. Salah satunya yang telah menjadi klasik tapi masih sering dikutip sampai kini adalah Dari Saleh sampai Aming, Seni Lukis Baru Indonesia dalam Sejarah dan Apresiasi (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, 1974).

Kecuali ada luka yang belum sembuh dalam hubungan Sudarmadji dan Dewan Kesenian Jakarta pada dulu kala—saya berharap kelak ada “monumen pemikiran” dan pameran karya dan arsip Mengingat-ingat Sudarmadji—atau apa pun judulnya—di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, kemudian entah di mana di Yogyakarta.

Sementara itu saya ingin mencatat “pertengkaran ringan”—yang luput terarsip (?) dalam Mengingat-ingat Sanento Yuliman—antara Agus Dermawan T. dengan Jim Supangkat dan Gendut Riyanto di Tempo beberapa pekan setelah kematian mendadak Sanento Yuliman.

***

Di dalam ambulans yang melarikannya ke Rumah Sakit Advent, Bandung, pada Kamis dini hari, 14 Mei 1992, Sanento Yuliman menghembuskan nafas terakhirnya dalam umur 51.

Penghayat seni rupa (di) Indonesia pun berduka—tak terkecuali teman-teman dekat sang kritikus. Tapi tak ada di antara mereka yang bersungkawa sedalam pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Jim Supangkat.

“Kepergiannya mungkin akan mempengaruhi perkembangan seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena berbagai kegiatan seni rupa kehilangan perannya yang menentukan. Kehilangan terbesar adalah kemungkinan penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia. Keahliannya dalam hal ini nyaris tidak tergantikan,” tulis Jim Supangkat dalam obituari “Duka untuk Seni Rupa” (Tempo, 23 Mei 1992).

Selain kehilangan kemungkinan-kemungkinan itu, Jim Supangkat mengkhawatirkan “seni rupa modern Indonesia kehilangan patokan kebenaran” dengan wafatnya Sanento Yuliman yang “selalu berpikir akademistis karena ia sangat menghormati kebenaran”—sampai-sampai “mencari pembenaran ilmiah menandakan sikapnya yang hati-hati dalam membuat kesimpulan.”

Obituari itu mendapat tanggapan dari penulis seni rupa Agus Dermawan T. dalam “Seni Rupa: Duka untuk Sanento” (Tempo, 6 Juni 1992) dengan kalimat pembuka yang menohok ini: “Barangkali tulisan Jim Supangkat itu bisa menarik dan menggetarkan perasaan pembaca bila tidak dibumbui opininya yang terlampau berlebihan dan mengada-ada.”

Setelah itu Agus Dermawan T. merespons pernyataan Jim Supangkat ihwal keahlian Sanento Yuliman dalam penyusunan sejarah seni rupa modern Indonesia yang “nyaris tidak tergantikan”—dan “kehilangan patokan kebenaran”—sebagai “ngawur, emosional, dan tak masuk akal.”

Pasalnya, tulis Agus Dermawan T., “sebelum Sanento hadir sebagai penulis, Kusnadi dan Sudarmaji sudah menulis sejarah seni rupa modern kita dengan tata historis yang betul. Juga Soedarso Sp. yang kitab-kitabnya bukannya jauh dari kebenaran. Jadi, sesungguhnya Sanento hanyalah sepenggalan belaka dari seluruh kegiatan penulisan sejarah seni rupa.”

Tak mau tinggal diam, Jim Supangkat membalas melalui “Sanento Yuliman: Tanggapan untuk Agus Dermawan” (Tempo, 13 Juni 1992), antara lain sebagai berikut:

“Ada yang aneh sebetulnya, tapi apa boleh buat. Komentar Agus Dermawan (Tempo, 6 Juni 1992) menganggap Almarhum Sanento Yuliman sebagai “cuma” salah seorang penulis seni rupa. Karena itu ia menilai uraian saya tentang peran penting Almarhum dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia (Tempo, 23 Mei 1992, Obituari) berlebihan dan mengada-ada. Ia keberatan. Lebih dari itu, ia ingin menegaskan bahwa opini saya adalah sebuah informasi menyesatkan. Dengan nada sangat yakin ia menyebutnya: ngawur dan sama sekali tidak betul. Saya tidak tahu terminologi apa yang dipegang Agus Dermawan dalam menyebutkan buku sejarah seni rupa Indonesia sudah diterbitkan. Kenyataannya, belum ada sebuah buku pun yang menggunakan judul ‘sejarah seni rupa Indonesia’.”

Agus Dermawan T. tak balik membalas tanggapan Jim Supangkat atas tanggapannya terhadap Jim Supangkat. Yang muncul adalah tulisan Gendut Riyanto berjudul “Sanento Yuliman: Pandangan Seorang Teman” (Tempo, 13 Juni 1992).

Eksponen Seni Rupa Kepribadian Apa itu memandang Sanento Yuliman sebagai kritikus andal “seperti puncak gunung es di samudra luas. Hanya tampak ujungnya tapi memendam kekuatan kukuh hingga di dasar lautan”—dan sebab itu ia mengejutkan.

“Satu lagi yang mengejutkan dari Sanento,” ungkap Gendut Riyanto, “sikapnya yang ‘tidak mengkritik’, dalam arti dan konteks kritik seperti terminologi kritik di masa Dan Suwaryono, Sudarmaji, Agus Dermawan T., Sujoyono, Rudi Isbandi, Putu Wijaya, dan Bambang Bujono. Kritik yang dilancarkannya lebih ditancapkan pada gejala empirik seraya mengkonstruksikan logikanya sehingga yang terjadi adalah analisa kritis, yang menurut sejumlah senirupawan dan kritisi ‘tidak tajam’ atau ‘intelektualistik’.”

***

“Pertengkaran ringan” itu saya rasa seperti pala Minahasa yang menghangatkan benak saya sebelum mencatat perkara-perkara besar di seputar “monumen pemikiran” Sanento Yuliman …***

 

 

buku tentang lukisan palsu

PPSI Melacak Lukisan Palsu

PPSI Melacak Lukisan Palsu 

Oleh WAHYUDIN

 

Pada Senin, 29 Oktober 2018—ketika buku Melacak Lukisan Palsu terbit dan beredar di jaringan toko buku Gramedia seluruh Indonesia—Oei Hong Djien (OHD) tengah berada di Belanda. Saya mengetahuinya dari status-status di Facebook OHD. Di Negeri Kincir Angin itu, OHD memanjakan matanya sepanjang hari di Frans Hals Museum dan Teylers Museum di Haarlem serta Boymans van Beuningen Museum di Rotterdam.

Dari tanah tumpah darah Vincent van Gogh itu, OHD terbang ke Italia untuk menghadiri Global Private Museum Summit di Torino, “menghayati karya (seni rupa) dengan hati yang murni” di Artissimo Art Fair Torino dan menonton opera di gedung La Scala, Milan, yang legendaris, dan menikmati penuh khidmat The Last Supper Leonardo da Vinci di Santa Maria delle Grazie, Milan.

Atas kenyataan itu, penghayat seni rupa yang peka sangat mungkin tak percaya dengan perkara lukisan palsu yang menderu seru OHD pada 2012. Pasalnya, perkara itu bukan hanya mencemari reputasi pelukis-pelukis karyatama (old-master) Indonesia bernama S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, melainkan juga menjotos kredibilitas OHD sebagai kolektor sohor dari Magelang.

Di tengah senyapnya pasar seni rupa Indonesia kala itu, perkara tersebut menjelma “permainan mulut” yang berlarat-larat. Ironisnya, “permainan mulut” itu makin menebalkan syak-wasangka di lidah dan hati kubu penuduh dan kubu tertuduh. Perkara itu pun menjelma laksana sengketa tiada putus, sehingga tak sesiapa jua sanggup meradukannya.

Salah satu kelompok penuduh yang paling militan memperkarakan lukisan terduga palsu OHD adalah Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI) yang bermarkas di Jakarta sejak 2012 dengan komendur kolektor besar Budi Setiadharma. Selain gencar melakukan “penyadaran publik” lewat pameran lukisan-lukisan palsu karyatama Indonesia, mereka melancarkan kontranarasi dengan menerbitkan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

 buku tentang lukisan palsu

Buku PPSI

***

Saya pernah mengulas buku terbitan 2014 itu untuk satu-dua media luring dan daring di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Oleh karena itu, izinkan saya mengulangnya barang sedikit di sini. Buku setebal xxvi + 382 halaman itu memuat 11 tulisan cerdik-pandai seni rupa, 4 komentar kolektor seni rupa, 1 investigasi jurnalistik dari Tempo (edisi 25 Juni-1 Juli 2012), dan 42 halaman “Koleksi” berisi reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia, yaitu Affandi (7 lukisan), Hendra Gunawan (20 lukisan), Lee Man Fong (1 lukisan), S. Sudjojono (14 lukisan), dan Soedibio (4 lukisan).

Disunting jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono, Jejak Lukisan Palsu Indonesia menganalisis, kalau bukan membuat penilaian moral, pameran Back to Basic di OHD Museum, 5 April-31 Juli 2012, dan buku dwibahasa Lima Maestro Seni Rupa Modern Indonesia: Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Widayat, Soedibio, karya OHD setebal 278 halaman yang diterbitkan oleh OHD Museum pada 5 April 2012. Hasilnya adalah dugaan bahwa sejumlah lukisan S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio dalam pameran dan buku OHD tersebut palsu.

Tapi, OHD bergeming, bahkan cuek bebek saja, hingga seperti kata pepatah lama: “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, PPSI menyalak OHD tetap bergerak. Buktinya, pada 14 November 2015, OHD Museum menerbitkan buku setebal 201 halaman karya kurator Jim Supangkat dan sejarawan Iwan Sewandono yang, disengaja atau tak disengaja, mengandung sejumlah ekspresi intelektual yang terkait dengan pemikiran dan penilaian Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

Betapa tak, dengan memilih-muat lukisan Arakan Pengantin, Berjudi, Penjual Es Lilin, Perang Buleleng di Bali, dan Saritem, yang sebelumnya diduga palsu, Supangkat dan Sewandono secara tak langsung membantu OHD menyangkal, kalau bukan mengganggap tak berharga sama sekali, pendapat dan penilaian, antara lain Agus Dermawan T., Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, Asiong, Bambang Bujono, Mikke Susanto, Seno Joko Suyono, Syakieb Sungkar, dan Wicaksono Adi dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia.

Pada titik itu, bisa dipastikan, The People in 70 Years bukan lagi sekadar suplemen pameran berjudul sama di OHD Museum (14 November 2015-22 Februari 2016), yang memuat 194 karya 84 seni rupawan dari generasi Abdullah Suriosubroto sampai generasi Yudi Sulistya, melainkan telah menjelma risalah penyanggah tuduh.

Sangat mungkin itu salah satu sebabnya, apalagi PPSI tak ingin Jejak Lukisan Palsu Indonesia dianggap berdusta kepada penghayat seni rupa Tanah Air dengan terbitnya The People in 70 Years, mereka bersemangat—bekerjasama dengan Kepustakaan Populer Gramedia—menerbitkan buku Melacak Lukisan Palsu setebal lii + 242 halaman ini, sekalipun “harus bersabar” hampir tiga tahun lamanya.

***

Kesabaran dan semangat itu mengikhtisarkan daya juang PPSI yang pantang angkat tangan untuk menginsafi bahwa “isi buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia masih kurang lengkap,” sehingga buku Melacak Lukisan Palsu “dibuat antara lain untuk mengajak semua orang agar lebih berhati-hati membeli lukisan Indonesia di tengah maraknya pemalsuan lukisan, ketika bahkan seorang kolektor berpengalaman seperti Oei Hong Djien menyimpan karya-karya yang oleh beberapa pihak diragukan keautentikannya” (hlm. xiii).

Namun demikian, alih-alih menambal sulam kekuranglengkapan Jejak Lukisan Palsu IndonesiaMelacak Lukisan Palsu tampil serupa bedil berburu baru berpeluru lama dengan sasaran tembak utama yang sama—yaitu OHD.

Oleh karena itu, bisa dimengerti jika Melacak Lukisan Palsu memuat ulang tulisan Aminudin T.H. Siregar “Lukisan Para Penjiplak S. Sudjojono Koleksi OHD Museum?” (hlm. 89-167), Amir Sidharta “Misteri Soedibio” (171-211), dan Asiong “Analisis Visual atas Lukisan-lukisan Hendra Gunawan dalam Buku Lima Maestro” (hlm. 213-227).

Saya ingin menyebut tulisan Aminudin T.H. Siregar, Amir Sidharta, dan Asiong tersebut sebagai “cara intelektual”—dengan telaah artistik, visual, dan historiografi—PPSI melacak lukisan terduga bodong dalam koleksi OHD Museum.

Tapi, sebagaimana diinsafi PPSI, “cara intelektual” itu—sekalipun argumen-argumen dan kesimpulan-kesimpulannya tampak masuk akal—masih menyisakan celah silat lidah berupa klaim kebenaran yang “dapat berlangsung berkepanjangan dan tanpa ujung.” Maka perlu diupayakan cara lain untuk memastikan perkara lukisan palsu di Indonesia terkupas tuntas. Apalagi, seperti diterakan Agus Dermawan T dalam “Lukisan Palsu Kita dan Mata Telanjang” (Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012, hlm. 86), “sesungguhnya kualitas pemalsuan lukisan di Indonesia tergolong kelas ringan, sehingga sebagian besar masih gampang ditengarai dengan pengetahuan visual dan mata telanjang.”

***

Atas keinsafan itu, PPSI pun menerbitkan kembali liputan khusus Tempo dari edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bertajuk “Lukisan Palsu Sang Maestro”. Liputan ini harus diakui eksklusif—bahkan boleh dibilang sebuah terobosan dalam jurnalisme, terutama jurnalisme seni rupa. Sependek pengetahuan saya, setidaknya sepanjang tiga dasawarsa terakhir, belum pernah ada majalah lain, apalagi majalah seni rupa, di Indonesia yang melakukan investigasi jurnalistik secepat dan sesaksama Tempo dengan edisi 25 Juni-1Juli 2012.

Betapa tak, sekira dua bulan setelah pameran Back to Basic dibuka, ketika para penghayat seni rupa—kolektor, kurator, akademisi, penulis, dan perupa—masih bersilat lidah hampir tanpa jeda di dunia maya, dengan spirit Tintin yang mengesankan, Tempo telah “berhasil” menelisik riwayat “lukisan palsu sang maestro” yang terdapat dalam koleksi OHD Museum dan melacak sindikat pemalsu lukisan-lukisan bodong itu.

Sebenarnya—pada edisi 25 Juni-1 Juli 2012 bersampul potret OHD di balik bingkai bolong karya Kendra Paramita itu—Tempo tak hanya menurunkan laporan “Lukisan Palsu Sang Maestro” dalam rubrik “Layar” bertajuk “Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum” sepanjang 21 halaman, tapi juga menampilkan selembar kartun karya Pri S. dan menerbitkan “pendapat pribadinya” dalam rubrik “Opini” berjudul “Gonjang-Ganjing Lukisan Palsu”.

Kartun dan “Opini” itu tak dimuat lagi baik dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia maupun Melacak Lukisan Palsu. Tak apa. Toh, itu tak membatalkan iktikad dan ikhtiar PPSI untuk mengikuti jejak langkah Tempo seolah “Sukab Intel Melayu”—untuk meminjam nama tokoh buku-komik Seno Gumira Ajidarma—dalam melacak lukisan palsu di Indonesia sebagaimana diperlihatkannya pada Melacak Lukisan Palsu bagian “Melacak Para ‘Pemalsu’” (hlm. 1-15) dan “Sindikat Pemalsu Lee Man Fong” (hlm. 69-87)

tentang lukisan palsu

kartun Pri S

Jadi, sementara Tempo dengan “cara Tintin” menghasilkan narasi “lukisan palsu sang maestro” yang “enak dibaca dan perlu”—PPSI dengan “cara Sukab Intel Melayu” berhasil mengumpulkan “barang bukti” lukisan palsu yang tak enak dikoleksi tapi perlu disimpan guna pengetahuan dan penyadaran umum.

Pada akhirnya Melacak Lukisan Palsu yang disunting oleh Syakieb Sungkar, Seno Joko Suyono, Wicaksono Adi, dan Shuliya Ratanavara (yang terakhir ini, entah kenapa, hanya tercantum di kolofon, sedangkan di sampul depan dan punggung buku gaib) harus dibaca sebagai bukan sekadar kemasan baru yang lebih tipis-ringan dan murah dari Jejak Lukisan Palsu Indonesia, melainkan juga upaya jauhari, alih-alih dokumen pengetahuan, yang belum sudah.    

Kini, setelah hampir dua tahun Melacak Lukisan Palsu terbit—“gonjang-ganjing lukisan palsu”, terutama yang berasal dari koleksi OHD Museum, redup sudah. Praktik jual-beli lukisan palsu pun konon jadi sepi, meski pembuatan dan pengedarannya tak jua mati. Sementara itu, tak kita dengar lagi pergerakan PPSI untuk melakukan penyadaran publik mengenai lukisan palsu di Indonesia agar mereka—pinjam perkataan editor Melacak Lukisan Palsu—“lebih waspada dalam melihat suatu karya sekaligus untuk mengurangi dan mencegah pembuatan maupun peredaran lukisan palsu.”

Apakah PPSI sudah “berdamai” dengan perkara yang “tergolong kelas ringan” namun membikin krisis legitimasi pendidikan, sejarah, dan kritik seni rupa di negeri ini?

Apakah diam-diam PPSI tengah melakukan penyelidikan di kalangan perupa, terutama perupa di Yogyakarta, untuk mengetahui pertimbangan dan pendapat mereka tentang lukisan palsu yang terabaikan dalam Jejak Lukisan Palsu Indonesia dan Melacak Lukisan Palsu?

Apakah PPSI justru sedang menyingsingkan lengan baju membangun laboratorium forensik lukisan palsu dengan alat-alat deteksi canggih guna mengenyahkan—pinjam istilah Ketua PPSI Budi Setiadharma—“nila setitik” di sebelanga susu seni rupa Indonesia?

Saya kira saya butuh bantuan Tintin atau Sukab—boleh juga Sherlock Holmes atau Robert Langdon—untuk mencari tahu jawabannya. Atau, jangan-jangan Anda, puan-tuan pembaca nan budiman, yang tahu jawabannya … ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

buku perkembangan seni

Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan

Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan

Oleh WAHYUDIN

 

“Kebenaran nomor satu, baru kebagusan.”

—S. Sudjojono (1946)

 

Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Jakarta: Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia, 2014) mencantumkan kata-kata “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru” itu (hlm. v) sebagai falsafah—kalau bukan sandaran moral—penerbitannya. Celakanya, sejumlah penghayat seni rupa di Tanah Air justru mencurigai kebenaran “Koleksi” di buku suntingan jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono ini.

“Koleksi” adalah 42 halaman yang memuat reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia—yaitu Affandi (7 lukisan, hlm. 41-47), Hendra Gunawan (20 lukisan, hlm. 256-275), Lee Man Fong (1 lukisan, hlm. 40), S. Sudjojono (14 lukisan, hlm. 228-241), dan Soedibio (4 lukisan, hlm. 162-165).

Sepelacakan saya sekira satu tahun setelah Jejak Lukisan Palsu Indonesia terbit, ada dua orang yang sangat serius mencurigai “Koleksi” tersebut—yaitu Enin Supriyanto via “Membiarkan Lubang Menganga, Terperosok Sendiri: Pelajaran (Lagi) dari Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia” (Kalam 27/2015. Buka http://salihara.org/kalam/current-issue/) dan hendrotan lewat status-status di Facebook (baca, misalnya, https://www.facebook.com/hendrotanhendro?fref=nf, 21 Agustus 2015, pukul 6:48 dan 10:57 WIB, dan 28 Agustus 2015, pukul 9:22 WIB) dan komentar-komentar pendek di blog pribadinya (lihat, misalnya, http://hendrotan.blogspot.com/2015/08/bukunya-ppsi-jejak-lukisan-palsu.html).

Oleh karena itu, agar kecurigaan tersebut tak menjadi sekadar skeptisisme teka-teki yang mengharu-biru di media sosial dan “Koleksi” itu tak mengeras sebagai korpus tertutup dengan klaim kebenaran yang manasuka—berbekal “ilmu bedah” yang “diajarkan” para penulis buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia—saya akan membedah “Koleksi” Hendra Gunawan di sini.

Saya akan “membedah”-nya—menggunakan teknik “bedah ringan” dan “sayatan perbandingan”—dengan referensi pembanding buku Agus Dermawan T. dan Astri Wright  Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter  (selanjutnya ditulis Hendra Gunawan …) terbitan Ir Ciputra Foundation Jakarta, 2001.

***

Mengikuti pendapat Seno Joko Suyono (hlm. 88), tersebab “biografi pelukis kita dan karyanya belum lengkap didata,” maka terciptalah “ruang kosong dalam sejarah seni lukis kita” yang memungkinkan “jaringan perdagangan lukisan palsu” beroperasi dengan gampang dan leluasa. Kita garis bawahi istilah “ruang kosong” dari jurnalis Tempo itu.

Hendra Gunawan adalah salah seorang maestro kita yang memiliki “ruang kosong” itu. Sebagaimana catatan Seno (hlm. 91), “ruang kosong” pendiri Pelukis Rakjat (1947) itu berlangsung “sekitar 13 tahun (akhir 1965-15 Mei 1978) masa Hendra dipenjara di Kebon Waru, Bandung.” Dari “ruang kosong” itu, Seno mensinyalir, “banyak karya tidak autentik Hendra diperdagangkan.”

Dengan keterangan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan era penciptaan 20 lukisan Hendra Gunawan dalam “Koleksi” sebagai berikut:

(1) Sebelum dipenjara: 4 lukisan (bertahun 1948, 1950an, 1958, dan 1960). (2) Dalam penjara: 13 lukisan (bertitimangsa 1970an, 1970 [dua lukisan], 1971, 1973 [dua lukisan], 1974 [tiga lukisan], 1975 [dua lukisan], dan 1976 [dua lukisan]). (3) Selepas penjara: 3 lukisan (bertarikh 1979 [dua lukisan] dan 1980).

Dengan begitu, penting untuk kita garis bawahi bahwa lukisan Hendra Gunawan yang paling banyak dimuat dalam “Koleksi” adalah lukisan “dalam penjara”—itu pun rata-rata berukuran besar. Tentang hal ini, mari kita sangsikan dengan mengingat pernyataan Agus Dermawan T. di buku ini (hlm. 67): “Setahu saya, sesuai penuturan Hendra dan keluarganya, tidak banyak lukisan berukuran besar yang lahir dari studionya.” Kalau demikian, dengan nalar skeptis kita bisa bertanya: Bagaimana mungkin Hendra melahirkan lukisan-lukisan berukuran besar di dalam penjara yang serba susah?

Dari sana, kita beranjak ke persoalan 2 lukisan Hendra yang tahun pembuatannya tak pasti dalam “Koleksi”. (1) Bandung Lautan Api, 1950an, cat minyak di kanvas, 227 x 297 cm (hlm. 257). (2) Mandi di Sungai, 1970an, cat minyak di kanvas, 140 x 70 cm (hlm. 260).

Ketidakpastian itu, sebagaimana ditengarai Seno di buku ini (hlm. 88), mencerminkan penyakit kronis dalam historiografi seni rupa Indonesia—penyakit sejarah dalam penulisan dan pendokumentasian karya seni rupa, utamanya karya seni lukis old-master, yang sering kali dimanfaatkan sebagai cela bisnis dalam perdagangan lukisan palsu di Indonesia.

Dengan adanya penyakit kronis itu dalam buku ini—tentu kita perlu menyangsikan provenance kedua lukisan tersebut. Sebab, implikasi logisnya bisa menjadi seperti ini: Lukisan Mandi di Sungai—sebagaimana klasifikasi di atas—termasuk dalam era penciptaan “dalam penjara”. Tapi ketidakpastian tahun pembuatannya sangat mungkin membuka penafsiran yang berbeda: 1970an itu tahun berapa? Masa “dalam penjara” atau “selepas penjara”?

Lebih penting dari itu, pertanyaannya adalah: Mengapa Hendra tak menggoreskan tahun pembuatan yang pasti di kanvas kedua lukisannya itu? Alih-alih, mengapa di kanvas kedua lukisan Hendra itu tak tersurat tahun penciptaan yang pasti? Lantas, siapakah yang menaksir—jika bukan memastikan—tahun penciptaan kedua lukisan itu sebagai tahun 1950an dan 1970an?

***

buku lukisan palsu

Buku PPSI

Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu melemparkan saya ke dalam persoalan judul lukisan Hendra yang berbahasa Inggris dalam “Koleksi”—yaitu  Snake Charmer (1974, cat minyak di kanvas, 196 x 87 cm [hlm. 267]), Landscape (1976, cat minyak di kanvas, 150 x 220 cm [hlm. 272]), dan Barong Dance (1979, cat minyak di kanvas, 145 x 93 cm [hlm. 273]).

Sepengetahuan saya, mencantumkan judul berbahasa Inggris adalah praktik estetik yang jarang dilakukan oleh maestro-maestro seni lukis kita, tak terkecuali Hendra—betapapun kita tahu mereka menguasai sejumlah bahasa asing dengan baik, antara lain, Belanda dan Inggris. Khusus Hendra, praktik itu sangat mungkin tak dilakukannya karena kebesarannya sebagai seorang pelukis yang nasionalis—yang tidak hanya piawai menciptakan lukisan-lukisan bersejarah, tapi juga menggubah puisi di kanvas-kanvas lukisannya. Dengan begitu, bisa dibayangkan, Hendra akan berkecenderungan kuat kepada bahasa Indonesia ketimbang bahasa Inggris dalam memberikan judul lukisan-lukisannya.

Argumen tersebut akan semakin meyakinkan kalau kita periksa buku Hendra Gunawan …—di mana kita akan terpahamkan bahwa bahasa Inggris dibubuhkan orang lain sebagai terjemahan judul-judul lukisan Hendra yang aslinya berbahasa Indonesia. Dalam buku Hendra Gunawan … ini (hlm. 109) kita bisa temukan lukisan Hendra berjudul Ngamen Ular—dibahasa Inggriskan menjadi Snake Performer — (1973, cat minyak di kanvas, 145 x 72 cm) yang pokok perupaan dan komposisi artistiknya terbilang mirip dengan lukisan Snake Charmer.

Diperhatikan dengan saksama, kedua lukisan tersebut dibuat Hendra pada era “dalam penjara”. Ini kalau kita percaya dengan keautentikan kedua lukisan tersebut sebagai buah karya asli Hendra—meskipun dari segi estetis terasa ada kejanggalan dalam lukisan Snake Charmer. Bukan hanya dari aspek judulnya saja, melainkan juga dari segi ekspresi dan gestur sosoknya yang terkesan merepetisi dari lukisan Ngamen Ular—padahal ada jarak satu tahun dalam masa penciptaan kedua lukisan tersebut.

Setali tiga uang dengan lukisan Mandi di Sungai dalam “Koleksi” (hlm. 260) yang ekspresi dan gestur sosoknya terkesan menyalin dari lukisan Keramas (1973, cat minyak di kanvas, 140 x 80 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm.131). Begitu pula yang bisa dikatakan tentang dua lukisan cat minyak di kanvas berjudul Pandawa Dadu dalam “Koleksi” (hlm. 264 dan 265). Yang pertama bertitimangsa 1971 dan berukuran 202 x 387 cm. Yang kedua bertarikh 1973 dan berukuran 146,5 x 294 cm; reproduksinya yang sama terdapat juga dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 114-115).

Kedua lukisan yang berasal dari masa Hendra “dalam penjara” itu tidak hanya mencengangkan dari segi ukurannya, melainkan juga dari aspek pengulangan pokok perupaannya yang kompleks tapi nyaris persis—untuk tidak mengatakan kembar—padahal keduanya terpisah jarak dua tahun dalam masa penciptaannya.

Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan lukisan Mandi di Pancuran (1979, cat minyak di kanvas, 248,5 x 140 cm) dalam “Koleksi” (hlm. 274). Lukisan ini dari segi pokok perupaannya persis betul dengan lukisan Antri Mandi (1970, cat minyak di kanvas, 247,5 x 139,5 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 101). Karena keduanya bak pinang dibelah dua—tapi berbeda tahun penciptaan dan ukurannya—maka kita tak bisa menyamakannya dengan kasus lukisan kembar S. Sudjojono yang berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut (1964) dan Dunia Tanpa Pria (1964), sebagaimana terjelaskan oleh Tim Penulis buku ini (hlm.226-227).

Kejanggalan itu bukan hanya mengesankan adanya masalah keautentikan lukisan kembar, melainkan juga memunculkan perkara kesahihan dalam pendataan riwayat lukisan di antara dua literarur yang berbeda. Oleh karena itu, kita pantas menyangsikan keabsahan intelektual kedua literatur itu dalam wacana publik dan historiografi seni rupa Indonesia saat ini.

Sehubungan dengan hal itu—membanding-bandingkan data dari kedua buku ini—kita akan berhadapan dengan masalah perbedaan ukuran dalam lukisan yang sama judul, media, pokok perupaan dan tahun penciptaannya—yakni lukisan Kuda Lumping (1973, cat minyak di kanvas). Dalam “Koleksi” (hlm. 263), Kuda Lumping ditulis berukuran 147 x 297 cm, sementara dalam Hendra Gunawan … (hlm. 117) ditulis berukuran 147 x 300 cm. Apa arti perbedaan itu? Revisi datakah? Atau kesalahan pencantuman data?

Sebaliknya dengan masalah lukisan Kuda Lumping itu adalah masalah lukisan sama dalam media, ukuran, pokok perupaan, dan tahun penciptaan, tapi berbeda judulnya. Dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 86) terdapat lukisan berjudul Gerilya (1960, cat minyak di kanvas, 145 x 158 cm). Dalam “Koleksi” (hlm. 259), judul lukisan itu bertambah panjang menjadi Gerilya Persiapan Penyerangan. Pertanyaan kita adalah: Yang manakah yang sahih?

Sampai di pertanyaan itu saya sudahi bedah “Koleksi” Hendra Gunawan ini dengan sepotong peribahasa yang barangkali bermanfaat untuk direnungkan bersama oleh penerbit, penyunting, dan pembaca buku ini: “Mengata dulang paku serpih, mengata orang awak yang lebih.”

 

 

 

lukisan soedjojono

Tengkar Tiga Kurator

Tengkar Tiga Kurator

Oleh WAHYUDIN

 

Kurator bertengkar di media massa adalah perkara biasa, sekalipun langka adanya dan kerap tak saksama, di dunia seni rupa Indonesia. Sebelum “tengkar tiga kurator” ini, saya ingat pertengkaran kurator Aminudin TH Siregar dengan kurator M Dwi Marianto tentang kehidupan seni rupa (di) Yogyakarta di Kompas pada akhir 2001—awal 2002.

Setelah itu terjadi pertengkaran antara kurator Enin Supriyanto dengan kurator Jim Supangkat ihwal kebebasan berekspresi di Kompas dan majalah Visual Arts (2006) lantaran kasus pemakzulan Pink Swing Park Agus Suwage dan Davy Linggar dari CP Biennale 2005.

Itu sebabnya, ketika membaca pertengkaran Jim Supangkat, Hendro Wiyanto, dan Agus Dermawan T. di Tempo dan Koran Tempo (2016)saya merasa menemukan permulaan penuh hikmat kebijaksanaan untuk memenuhi ikhtiar #oneweekonereading, #sepekansebacaan, #oneweekonebook, #satuminggusatubuku sica.asia guna #berbagibacaan dengan pembaca yang mulia.

—WD

 

Satu setengah bulan sebelum pameran The People in 70 Years (OHD Museum, 4 November 2015-30 April 2016), berakhir—kurator seni rupa Jakarta asal Tuban Hendro Wiyanto menulis “Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat” di majalah Tempo (14 Maret 2016).

Dalam tulisan tersebut, Hendro Wiyanto—yang terperangah dengan pernyataan Jim Supangkat, pengampu The People in 70 Years, di majalah Tempo (7-13 Maret 2016) bahwa sang kurator seni rupa Bandung asal Makassar itu “yakin tidak akan terjebak” dalam “masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan” dan “tidak mungkin memilih lukisan palsu”—mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran ‘The People’ itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang ‘tidak ada hubungan sama sekali’?”

Sementara menunggu jawabannya—Hendro Wiyanto menghimbau Jim Supangkat untuk  “membaca dulu ‘Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum’ (rubrik “Layar” Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran ‘The People’ yang dikuratori Jim Supangkat.”

(Salah satu “karyatama yang diduga bukan karya otentik” adalah lukisan Arakan Pengantin S. Sudjojono. Tapi sang kurator bergeming bahwa “itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya.”)

Atas himbauan itu Hendro Wiyanto berharap “mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah ‘terjebak’.”

Lebih kurang tiga minggu berselang Jim Supangkat pun menjawab pertanyaan Hendro Wiyanto lewat tulisannya, “Dua Drama ‘Arakan Pengantin’,” di majalah Tempo (4-10 April 2016). Pokok jawaban kurator mantan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru itu sebagai berikut:

“Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas (…) Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata (…)

Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap ‘tidak terlihat’ juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?”

Sikap tak peduli Jim Supangkat rupanya mendapat perhatian kritis dari kurator  seni rupa Jakarta asal Banyuwangi Agus Dermawan T. Dalam esainya, “AADC? (Ada Apa dengan ‘Curator’?)” di Koran Tempo (Rabu, 11 Mei 2016), Agus Dermawan T. menduga sikap “congkak” Jim Supangkat itu lantaran kritik seni rupa sudah mati di Indonesia. Lebih tepatnya kurator mantan eksponen Nusantara-Nusantara itu menulis sebagai berikut:

“Matinya kritik seni inilah yang menjadikan sejumlah kurator merasa berkuasa sepenuh-penuhnya, dan merasa menjadi agen kebenaran seni nomor satu. Bahkan terhadap lukisan palsu. Akibatnya, ada kurator yang berani bercongkak ria di media massa: ‘Mustahil kurator terjebak lukisan palsu.’ (Tempo, 13 Maret 2016). Mentalitas seperti inilah yang akhirnya dengan cepat digunakan oleh para penyamun seni rupa. Dan seni rupa (Indonesia) pun rusaklah.”

Gawat! Saya pikir Jim Supangkat perlu menjawab pernyataan Agus Dermawan T. itu. Tapi, di atas sikapnya kepada Hendro Wiyanto—Jim Supangkat  tampaknya lebih tak peduli lagi kepada Agus Dermawan T.—sehingga dia merasa tak perlu menjawabnya kapan pun dan di mana pun. Barangkali karena Jim Supangkat tahu bahwa persengketaan itu tak sedikit jua mencederai reputasi OHD. Bahkan sampai hari ini sang kolektor tetap berbangga dan berbahagia dengan apa yang dimilikinya: OHD Museum—sebagaimana musyafir lata (flaneur) yang bangga dan bahagia dalam keluyurannya.

poster publikasi

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Oleh Jajang R Kawentar

Kreativitas itu tidak dapat dibendung dan harus menemukan jalan keluarnya; maka memamerkan karya seniman disabilitas (berkebutuhan khusus) pada pameran virtual Peace in Chaos. Ada sepuluh seniman, Agus Yusuf (Madiun; Daksa), Anfield Wibowo (Jakarta; Rungu Wicara, Sindrom Asperger), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Yogyakarta; Rungu Wicara), Lala Nurlala (Bandung; Asperger), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Sleman; Rungu Wicara), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Lampung; Rungu Wicara), Rofita Rahayu (Gunung Kidul; Rungu Wicara), Wiji Astuti (Gunung Kidul; Amputi Tangan dan Kaki), Winda Karunadhita (Keramas Gianyar Bali; Muscular Distrophy), Yuni Darlena (Bengkulu; Daksa). Digagas oleh Budi Dharma (Butong) koordinator pameran.

Cara damai dalam situasi kacau ini, berbagai kreativitas harus difasilitasi sebagai produktifitas baru menghadapi situasi. Dalam rangka menghindari wabah Covid-19 menyiasati kegiatan kolektif, salah satu solusi adalah event virtual. Event ini melibatkan banyak seniman dan video maker  tanpa harus berhadapan langsung. Seniman tetap di rumah, tetap bisa menjaga jarak untuk menjaga kesehatannya. Tim event virtual exhibition berkerja di rumah mengolah data mempersiapkan penayangan secara online. Hanya mengandalkan media sosial dan handphone.

Seniman terus meningkatkan produktifitasnya sebagai upaya menghindari ketegangan berpikir yang diakibatkan dari kecurigaan karena setiap orang membawa bakal penularan virus. Situasi umum ini meneror terus menerus, sehingga keadaan pandemi terasa kian mencekam.

 

Ketika Melukis Menjadi Pilihan Hidup  

Seni tidak akan ada matinya. Kreatifitas seni terus memenuhi ruang dan waktu dalam kondisi dan situasi apapun. Ia hadir memberikan pencerahan, pandangan serta pemandangan segar, wawasan baru dan pengalaman baru bagi para pelaku dan penikmatnya. Berupa prosesnya atau karya yang dihasilkannya.

Ketika melukis menjadi pilihan hidup, dalam situasi dan kondisi apapun akan tetap melukis. Namun bagaimana ketika melukis itu menjadi pilihan hidup bagi para penyandang disabilitas? Kekuatan, kesungguhan dan keyakinan yang telah teruji terhadap pilihannya itu. Dengan berbagai kendala keterbatasannya adalah kelemahan yang justru menjadi kekuatan meyakinkan semua orang atas kemampuannya. Mereka mampu melewatinya dengan keseriusan menyuguhkan karyanya. Meskipun itu bukan jalan hidupnya, setidaknya melukis menjadi pilihan hidupnya yang bersahabat dan ramah padanya.

Dalam berkarya, mereka tidak memaksa orang lain mengerti disabilitas yang ditanggungnya. Mereka menyadari sungguh dirinya bukanlah objek, tapi subjek seperti juga warga masyarakat lainnya. Mereka tidak meminta dipahami, karena mereka tahu orang yang peduli tidak butuh penjelasan itu. Seperti halnya mereka turut mendonasikan sebagian dari penjualan karyanya disisihkan bagi saudara-saudaranya yang terdampak Covid-19. Semoga dari apa yang ia mampu beri menularkan virus kebaikan dan perdamaian. Menghadiahkan yang bermanfaat bagi semua orang.

 

Keindahan Menjemput Damai

Menikmati karya dari kepasrahan dan ketulusan penciptanya, ada rasa haru dan kagum tak terhingga. Meskipun melihat proses mereka berkarya melalui beberapa photo dan video yang mereka rekam, memahami keindahan maha pencipta dan apa yang diciptakannya. Baiklah kita mulai dengan Agus Yusuf, tanpa kedua tangannya melukis dengan mengunakan mulut untuk menggerakkan kuasnya. Berapa lama ia meyakinkan kalau dirinya mampu melukis dengan indah. Ia betul-betul mahir melukiskan bentuk benda atau objek. Kemauan dan kesabarannya seperti telah menghadirkan kedua tangannya yang tiada itu. Dia memamerkan dua karya lukisan yang mampu merangsang orang ingin memiliki atau ingin mencicipinya seperti lukisan buah apel yang mulai memerah di batangnya diberi judul ‘Menggugah’, dan lukisan Merpati merpati putih berpasangan bertengger di pohon sedang memadu kasih, damainya meraka itu terasa seperti judulnya ‘Damai’.

Anfield Wibowo, memiliki banyak gagasan yang mengalir yang mendorongnya mengungkapkan pada ruang kosong. Dia juga pencatat atau perekam yang baik setiap momentum keindahan yang sangat berarti baginya dan menyentuh hatinya. Sehingga ada beberapa variasi lukisan hasil eksplorasinya. Tiga karya ditampilkan pada pameran ini, ‘Menunggu Chinderella’ dilukiskan suasana malam yang bertabur bintang, di tengah malam itu Chinderella belum pulang usai pesta. ‘Musim Gugur’ dia merekam bagaimana moment ketika berkunjung ke luar negri ketika musim gugur. ‘Smiling Budha’ terkait keyakinan, spiritual dan religiusitas. Ia mengatakan pada kita tentang segala sesuatu yang telah dialami dan ditemuinyanya dengan segala apa yang ia rasakannya, atau itulah pendapatnya.

Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, tertata dengan teknik lukisnya yang mumpuni, bercerita sesuatu yang monumental, dan pesan moral terselip di dalamnya. Suasana yang dibangun adalah kegembiraan, kebahagiaan dan damai. Seperti ‘Bermain ke Negeri Dongeng’ bagaimana anak-anak bermain penuh suka cita dengan berbagai permainan, dan warna-warna cerah disaputkan pada objek-objeknya. ‘Malioboro’ menggambarkan Malioboro yang padat gedung pertokoaan seperti berlomba menembus langit. Serta ditandai pula oleh pesatnya pembanguan gedung baru. ‘Toleransi Antar Umat Beragama’, ia ingin menyampaikan keberagaman beragama dalam bermasyarakat. Pentingnya saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan agama, kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

karya pameran

akrilik di atas kanvas

Lala Nurlala, menampilkan figur imajinatif  yang ilustratif, dengan dipenuhi motif stilisasi tumbuhan. Dia lebih fokus pada garis dan karakter dari figurnya. Garis seperti sebuah strategi dalam membahasakan ketertarikannya pada sesuatu, meredam dan menyelesaikannya. Empat karya Seris Pandemic: Untitled #1-#4 diikutkan pada pameran kali ini. Figur tokoh pewayangan berkarakter pahlawan atau tokoh penyelamat yang diselimuti oleh motif berbentuk ukel membentuk asesoris, busana sampai pada backroundnya. Rumitnya motif yang mendominasi karya tersebut seperti rumitnya situasi Pandemi ini. Dalam satu tema itu ratusan karya bersamaan yang dia ciptakan.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita, ketertarikannya pada sesuatu yang sering dilihatnya, dekat dan dipahaminya mengarahkannya pada sebuah konsep seperti halnya pada titik dan garis. Titik-titiknya membentuk sesuatu yang dia bayangkannya. Bisa dilihat pada karya ‘Titik Terang’ dimana dia membuat titik-titik warna terang dengan backround warna hitam. Titik-titik itu membentuk sebuah motif dan dipisahkan dengan garis menjadi beberapa ruang. Begitupun pada karya ‘Kaktus’, dia mengutamakan titik-titik dan sedikit garis besar membentuk objeknya. Kesederhanaan antara titik dan garis ini seperti sebuah kesimpulan dari konsepnya melukis.

Mochammad Yusuf Ahda Tisar, dalam melukis memiliki kecenderungan pada arsitektur dan sesuatu yang alami dari kearifan lokal. Dia berusaha menjelaskan dengan teliti pemahamannya dari apa yang dia lihat dan dipikirkannya. Pengalamannya telah mengajarkan bagaimana prespektif cara berpikir dan cara meyakinkan kemampuannya, meskipun menggunakan alat dan media sederhana yang dimilikinya. Tiga karyanya, ‘Perlahan Tapi Pasti’, menunjukkan pandangan terhadap sikap atau cara menghadapi sesuatu dengan tenang begitu juga bekicot sedang merayap. ‘Islamic Center dan Bubu Penangkap Ikan’ melukiskan Bubu yang berukuran lebih besar dari gedung, dia seperti sedang merancang bangunan dari Bubu penangkap ikan, inspirasi bagi kita. ‘Rumah Panggung Lampung’, memotret bentuk bangunan asli daerah Lampung, rumah panggung yang kini tidak lagi dibangun di kampungnya.

Rofita Rahayu, dari keterbatasan dirinya, semangat hidupnya untuk selalu mengolah rasa. Pertemuannya dengan media lukis menjadi sebuah perjuangan dalam mencitrakan dirinya, mewujudkan mimpi yang terus dia coba menggapainya. Dua karyanya ‘Tentang Harapan dan Kesunyian’, lukisan ini dibuat detail menggambarkan seorang putri bersayap sedang memeluk dirinya sendiri di angkasa. Satu lagi ‘Habibie’, potret teknokrat yang menjadi presiden Republik Indonesia ketiga, BJ. Habibie dan pesawat origami dengan backround merah putih. Pada visual karyanya itulah dia menaruh harapan dan menggapainya.

Wiji Astuti, perancang busana dari Gunung Kidul Yogyakarta berkarya batik kain yang bisa digunakan untuk menghiasi dinding ruangan rumah, kantor atau hotel dengan dibingkai. Motifnya mengambil stilisasi tumbuhan dan binatang yang kerap ia lihat disekitar kampungnya. Seperti pada karyanya ‘Kimpul Wungu’ yaitu stilisasi dari tumbuhan sejenis talas berwarna ungu, pada jaman revolusi umbinya itu menjadi makanan pengganti nasi dan sekarang sudah hampir punah. ‘Pupus Lumbu’ ini juga stilisasi motif sejenis talas berwarna hijau dan ‘Gareng Pung’ serangga sejenis Tonggeret yang biasanya di goreng menjadi lauk makan. Saking banyaknya serangga itu jadi wabah penyakit bagi pertanian penduduk. Motif Batik yang diciptakannya ini kemudian bisa jadi ciri dari batik daerah Gunung Kidul.

Winda Karunadhita, memamerkan tiga karyanya yang sangat romantis, warna yang membangkitkan kebahagiaan dan rasa damai. Penguasaan mengolah warnanya membuat karyanya menjadi hidup dan komunikatif. Dia bercerita tentang kegundahan hatinya, seperti pada ‘Tujuh Bidadari’. Tujuh bidadari itu sedang mandi di sungai diintip pemuda desa, sebuah suasana yang ceria namun dramatik. Begitupun dengan ‘Beauty in The Dark’ bercerita tiga burung menclok di pohon yang rimbun bunga, dua burung menclok berdampingan dan satunya menclok di dahan bawahnya seperti mengajak dialog. Disitulah cerita burung itu dimulai. Satu lagi ‘Forget Me Not Flower’, kisah dua kupu-kupu di taman bunga-bunga. Untuk menghasilkan karya yang indah itu, ia harus menopang tangan yang digunakannya melukis oleh tangan satunya selama menyelesaikan lukisannya. Tangannya tidak memiliki kekuatan, itulah keterbatasannya. Kekuatannya bertumpu pada semangatnya, keteguhan, kesabaran dan keyakinan hatinyalah, ia  kerahkan dalam berkarya. Lalu berapa lama dan bagaimana ia belajar melukis selama ini?

karya seniman perempuan

oil on canvas

Yuni Darlena, sangat terkesan dengan suasana alam yang indah dan budaya di daerahnya. Mengisyaratkan betapa ia ingin bertamasya ke lokasi-lokasi alam itu, keliling nusantara dan mengabadikannya pada setiap goresannya di kanvas. Suasana alam yang sejuk, aman dan nyaman dalam kesederhanaan realitas kesehariannya, terlukis kerinduan serta damainya alam itu. Selama ini dia hanya dapat membayangkan di atas kursi rodanya. Tiga karya yang dipamerkan, ‘Riak-riak di Kampung Nelayan’ menggambarkan suasana atau keadaan rumah nelayan di tepi laut. ‘Sawahku’ suasana petani pedesaan sedang memanen padinya dan ‘Lentera Bengkulu Tempo Dulu “Kala” Badai’, lukisan heroiknya lentera di mercusuar bertahan dari deburan ombak karena badai, menjadi tanda arah bagi para nelayan atau perahu yang berlayar.

Demikianlah sedikit pandangan mengenai sepuluh seniman berkebutuhan khusus yang tangguh menghadapi situasi pandemik dan bersaing dengan para pelukis umumnya. Kelemahan, kekurangan, kelebihan dan keunggulan itu kuasa Tuhan, sejauhmana kita bersyukur dan berusaha lebih baik. Para seniman ini telah menunjukkan kesungguhannya lebih-lebih, karena dia harus berdamai terlebih dahulu dengan kekuarangan fisiknya. Kita pun bisa berdalih dan katakan ‘Peace in Chaos!

Yogyakarta, 10 Juni 2020

 

Pameran tunggal

Patung-Patung Geppetto van Jogja

Patung-Patung Geppetto van Jogja 

Oleh: WAHYUDIN

Abdi Setiawan, masyhur dengan panggilan Set, adalah Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Dari tangannya yang terampil, sekitar satu dasawarsa terakhir telah lahir “pinokio-pinokio” aneka rupa dan karakter. Ada yang elok, ada yang buruk, ada yang lucu, ada yang kaku, ada yang sok, ada yang lunak, ada yang galak, ada yang bijak. Tapi, semua sama-sama menarik bom imajinasi tak tepermanai. Semua adalah anak-anak kehidupan khayali yang lahir dari pergulatan insani Set.
Itulah yang memungkinkan pemirsa bertualang di dunia-dalam imajinasi kanak-kanak untuk masuk-menemu makna kehidupan atau permenungan hidup orang dewasa sebagai individu dan anggota masyarakat. Kemungkinan itu tersua dalam pameran tunggalnya berjudul The Future is Here di Redbase Contemporary Art, Jakarta, 30 Oktober-30 November 2014.
Dalam pameran tersebut alumnus Institut Seni Indonesia Jogjakarta itu kembali memanggungkan patung-patung sosok anak-anak dan orang dewasa yang pernah tampil dalam pelbagai pameran seni rupa di dalam dan luar negeri. Persisnya, ada tujuh patung sosok bocah laki-laki “bernama” Aktor (2009), Batman (2011), Burger Time (2009), Commodore (2010), Kapiten (2009), The Tiger (2011), dan Ultraman (2010). Kecuali Batman dan Tiger yang berbahan serat gelas atau kaca serat (fiberglass), lima lainnya berbahan kayu.

pameran

Display karya di Galeri Semarang

Dengan The Future is Here, praktik artistik Set boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung. Bukan cakap kecap, pematung kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971, itu sudah menginsafi keserupaan itu sejak 2004, ketika dirinya memanggungkan patung-patung figur manusia kawasan remang-remang pinggir kota dalam pameran tunggalnya yang berjudul Gairah Malam di Lembaga Indonesia Prancis, Jogjakarta.
Dalam kedua pameran itu, The Future is Here dan Gairah Malam, Set sahaja membuka kotak perkakas estetika aneka jenis yang memungkinkan pemirsa meresepsi karya seni patungnya sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan begitu mereka menjadi teremansipasi untuk mengada di antara “yang awam” dan “yang pakar” dalam aktivitas semiotis yang berambisi membuat makna dari tanda dan simbol pada karya seni rupa atau sekadar bersenang-senang memanfaatkan waktu senggang di galeri seni rupa.
Apa pun kepentingan mereka, perkara pemirsa tetap sama: bagaimana menjadi arif dalam suatu perjumpaan yang belum-sudah dengan karya seni rupa. Perkara itu adalah jarak, baik intelektual maupun emosional. Ternyata, dalam pameran The Future is Here, Set sudah mengisyaratkan secara lembut perkara itu dengan menghadirkan patung sosok gadis cilik “bersarira” jelaga dan “bernama” Girl a.k.a Kiss (2014).

pameran

karya patung Abdi Setiawan

Setelah lima tahun pameran The Future is Here berlalu, Kiss, Commodore, dan Tiger (ini kali berbahan kayu) akan tampil kembali dalam pameran Set and His People di Galeri Semarang, 16 November-15 Desember 2019. Begitu pula dengan Pinky, Tatto Man, Belaian Angin Malam, Salome, dan Melepas Lelah, yang pernah berlakon dalam The Flaneur di Nadi Gallery, Jakarta (2007); Asongan dalam A Sign of Absence di Edwin’s Gallery, Jakarta (2013), The Chef alias Mooi Indie dalam Jogja Joged di Artjog, Jogjakarta (2014); Shooter dalam New Sculptures di Metis Gallery, Amsterdam, Belanda (2010); Boogeyman dalam Melihat Indonesia di Ciputra Artprenuer Centre, Jakarta (2013); Awas Anjing Galak di Gajah Gallery, Singapura (tt); dan Si Pelukis Rakyat dalam Potret di Bentara Budaya Yogyakarta (13-22 Agustus 2019).
Dengan begitu, Set bukan hanya melakukan peremajaan atas sejumlah karya patungnya dari lalu waktu, melainkan juga memanggungkan ulang mereka guna pembaruan nilai artistik, ekonomi, dan diskursif yang berkaitan dengan 12 patung baru yang dibuat Set sepanjang sepuluh bulan terakhir di tahun 2019, yaitu To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.
Selain kedua belas patung baru itu, Set mengalih-wahana patung-patung protagonis Malacca’s Boys: Aktor, Hero, dan Sang Kapten, kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan. Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokoh kartun Jepang dan Barat. Keempat lukisan itu bertarikh 2019.
Sampai pada titik itu, saya harus katakan bahwa kebaruan 12 patung dan 4 lukisan tersebut tidak terletak pada perangkat formal dan materialnya. Sejak awal 2000-an Set telah memanfaatkan kayu sebagai perangkat material karya-karya patungnya sehingga memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, amalan artistik pematung Gregorius Sidharta (1932-2006) dan Amrus Natalsya (1933). Tidak juga pada isi yang terpahat, tergurat, atau terekspresikannya. Sebelumnya Set pernah membikin sejumlah patung dan lukisan serupa pada 2012 dan 2017), tapi pada konteks dan bentuk pemanggungannya.

Pameran

Pameran tunggal Abdi Setiawan

Dalam enam pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang memampukan Direktur Sicincin Indonesia Contemporary Art, Jogjakarta, ini menjadi semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia, sehingga membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal (1924-2000).
Ini kali, dalam pameran Set and His People, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara. Alih-alih, dia bertindak sebagai semacam juru-foto yang “menangkap” patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka. Dalam hal itu, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.
Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran “model penggambaran” patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia, dewasa dan kanak-kanak, dan sedikit binatang-boneka-binatang yang berbeda dan khas, kalau bukan baru, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini. (*)

Pameran di rumah saja

363 Downloads

 

“Pameran di Rumah saja”, Analisis Wacana Kritis

Aa Nurjaman

Pandemi “covid 19” yang melanda di berbagai kota di Indonesia berpengaruh pada mentalitas masyarakat secara keseluruhan. Presiden Jokowi sejak awal Maret 2020 meresponsnya dengan memerintahkan kepada menteri keuangan untuk mengucurkan dana kepada masyarakat yang terdampak “covid 19”.1 Dana tersebut ditujukan terutama untuk memutus penularan covid 19, dengan himbauan untuk meninggalkan beragam aktivitas sehingga terbentuk suatu majas “tinggal di rumah” saja. Tetapi majas “tinggal di rumah saja” tiga bulan kemudian, tepatnya pada akhir Mei 2020, berubah menjadi “Indonesia Terserah”.

Apabila kita pelajari dari makna bahasa, perubahan majas “tinggal di rumah saja” ke Indonesia terserah”, terbentuk karena suatu istilah yang timbul kemudian yaitu “bansos”, yang bisa diinterpretasikan sebagai titik masalah terbentuknya wacana kritis yang beredar pada masyarakat terdampak covid 19. Wacana kedua majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, hemat saya, perlu kiranya dianalisis secara kritis. Analisis wacana kritis ini bisa dimulai dari pembentukan majas yang kerap dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa.2 Sebagai dasar penentuan majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, bisa diinterpretasikan mengacu kepada tatanan bahasa semantik berupa ironi.3 Guna memahami istilah “bansos” yang membentuk majas “tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”, Zoest (1993), mencatat tiga ciri tanda semiotika berdasar pada teori Charles Sanders Peirce, sebagai semiotika. Teori semiotika Peirce mengklasifikasikan tiga tanda: pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain atau bersifat representatif. Ketiga, tanda bersifat interpretatif.4

AngonBebek, Ipeh Nur

Menurut Charles Sander Peirce, ada tiga unsur latar belakang yang menentukan tanda dalam bahasa, yaitu tanda yang dapat ditangkap oleh indera (Ground) yang ditunjuk sebagai objek (denotatum), dan yang ada di benak si penerima (interpretant).5 Kemudian dalam kaitan tanda interpretantnya, Pierce menyebutkan bahwa tanda-tanda denotatum bersifat subjektif karena pengalaman individu dengan realitas disekitarnya yang berbeda-beda. Tiga hal kaitan tanda yang berbeda dalam interpretantnya antara lain:
1. Rheme, tanda yang bisa dinterpretasikan sebagai representasi dari kemungkinan denotatum. “Bansos” adalah sejenis definisi x, karena menurut metode keberadaannya masih merupakan kemungkinan. X dalam konteks permasalahan masyarakat terdampak covid 19 bisa diinterpretasikan sebagai “dana” atau “rakyat”.
2. Dicisign (atau dicent sign), suatu tanda yang menawarkan kepada interpretantnya suatu hubungan yang benar. Terdapat kebenaran antara tanda yang ditunjuk dengan kenyataan yang ditunjuk oleh tanda itu, sehingga timbul istilah “bansos dana” atau “bansos rakyat”, terlepas dari eksistensinya.
3. Argument, hubungan interpretatif antara tanda berdasarkan silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu mengacu pada tiga proporsi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen.5 Dalam analisis wacana kritis permasalahan ini bisa diinterpretasikan mengenai APBN sebagai sumber dana “bansos” yang kemudian membentuk majas “Tinggal di rumah saja” dan “Indonesia terserah”.

Pameran di Rumah Saja – Alternatif Kegiatan Seniman

Para seniman sebagai bagian dari masyarakat terdampak covid 19 menyadari perlunya metode baru dalam berkegiatan seperti pameran seni rupa, yang tidak lagi sebagai kegiatan berkumpul dalam suatu acara publikasi wacana seni dari karya-karya mereka, dengan memunculkan beberapa istilah pameran secara on line, seperti “Art Quarantine”, “Covid Affects 2020” dan lain sebagainya. Istilah tersebut menjadi suatu majas baru dalam dunia kesenian yang mengacu pada pemanfaatan media sosial untuk menciptakan suatu ruang pameran yang bisa diakses oleh semua kalangan. sica.asia yang merupakan salah satu organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pameran on line, memiliki gagasan menyelenggarakan “Pameran di Rumah saja”. Pada kegiatan “Pameran di Rumah saja” kali ini, sica.asia memajang karya-karya lukisan buah karya seniman, antara lain : Afdal, Aidi Jupri, Ipeh Nur, Ayu Arista Murti, Dedy Sufryadi, Diana Puspita Putri, Erianto, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Jerry Padang, Laila Tifah, Mutiara Riswari, Oktaravianus Bakara, Ricky Wahyudi, Riduan, Udien Aee, Stevan Sixcio Kresonia, Soni Irawan, M.A. Roziq, Deden FG, Riki Antoni dan lain-lain. Karya-karya yang terpajang pada “Pameran di Rumah Saja” menyampaikan beragam pesan. Makna pesan inilah yang kemudian melahirkan wacana kritis mengenai situasi terdampak covid 19 dalam pandangan seniman.

Soni Irawan

 

Analisis Wacana Kritis Majas “Pameran di Rumah saja”

Karya-karya yang terpajang kali ini berkenaan dengan wacana kekuasaan, karena pola hidup baru yang diwacanakan akhir-akhir ini, new normal, suatu kebijakan pemerintah atau lebih tepat disebut doktrin. Kebijakan tersebut terbukti sebagai doktrin karena sifatnya yang berubah-ubah. Mulai dari majas “perang menghadapi covid 19”, kemudian “berdamai dengan covid 19”, sampai memunculkan istilah “new normal” yang kemudian melahirkan majas yang demikian ekstrem “Indonesia terserah”. Majas “Indonesia terserah” inilah yang tidak bisa disanggah kemudian melahirkan wacana kritis di media sosial. Analisis wacana kritis yang bisa digunakan dalam mengkritisi doktrin yang berubah-ubah antara lain: sebuah metode critical discourse analytic Norman Fairclough. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Kekuasaan yang dipraktekan sebagai doktrin berupa bahasa yang secara sosial dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial, karena analisis dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu, yaitu istilah “dana terdampak covid 19” menjadi “bansos”. Kedua istilah itu memiliki arti yang berdiri sendiri; “dana terdampak covid 19” berarti penanggulangan bencana dengan menggunakan dana rakyat, sedangkan “bansos” bisa diartikan penanggulangan bencana dengan menggunakan dana bantuan dari para pejabat pemerintah atau dari donator Negara lain, dalam arti tidak menggunakan dana yang berasal dari rakyat.

Apabila berpijak pada teori analisis wacana kritis Fairclough, rekayasa “dana terdampak covid 19” menjadi “bansos” merupakan gejala linguistik yang mengacu pada gejala sosial, baik secara tertulis maupun lisan. Manusia melakukan itu karena mereka memiliki tekad secara sosial dan agar terjadi efek sosial.6 Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi:
1). Teks (text), dipusatkan pada ciri-ciri formal (kosa kata, tata bahasa, sintaksis, dan koherensi kalimat).
2). Praktik Kewacanaan (discourse practice), yang melibatkan pemroduksian teks.
3). Praktik sosial (sosiocultural practice), yang mencakup peristiwa komunikatif.
Pertama: Teks (text), yang dipusatkan pada ciri-ciri formal (kosa kata, tata bahasa, sintaksis, dan koherensi kalimat) bisa kita gunakan untuk menganalisis berbagai isyu mengenai pandemic yang tak kunjung reda, bahwa persoalannya terletak pada rekayasa uang rakyat yang dimanipulasi menjadi istilah “bansos”. Melalui teori analisis wacana kritis bisa diidentifikasi bahwa istilah “Bansos” untuk mendefinisikan dana yang dikucurkan oleh pemerintah sebagai jaminan hidup untuk memutus penyebaran covid 19 berasal dari APBN.7 Hal tersebut berarti bahwa dana tersebut berasal dari dana rakyat untuk dikembalikan ke rakyat. Tetapi Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut dana rakyat itu sebagai bansos,8 dalam arti suatu bantuan yang bukan berasal dari dana rakyat melalui beragam pajak yang dibayarkan kepada pemerintah, melainkan mengacu pada arti hasil rekayasa yang seolah-olah dana tersebut berasal dari bantuan para donatur, entah siapa?
Kedua: Praktik Kewacanaan (discourse practice), yang melibatkan pemroduksian teks, bisa digunakan untuk menganalisis fakta-fakta bahwa di tengah silangsengkarut wacana “bansos” yang tidak tepat sasaran, kemudian polemik lainnya berupa permasalahan “Kartu Prakerja”, yang merupakan suatu rekayasa dari “dana cadangan terdampak covid 19” yang direkayasa menjadi suatu bentuk pelatihan masyarakat yang terdampak PHK dari berbagai perusahaan.
Ketiga: Praktik sosial (sosiocultural practice), yang mencakup peristiwa komunikatif, yang bisa digunakan untuk menganalisis tindakan pemerintah yang menutup tempat-tempat keramaian seperti kawasan pariwisata, berbagai tempat pendidikan, pusat-pusat perbelanjaan, berbagai rumah ibadah, sehingga muncul majas baru “belajar di rumah saja” dan “ibadah di rumah saja”. Tetapi di balik itu, ternyata “bansos” tidak sampai kepada masyarakat miskin, tetapi sebaliknya justru sampai kepada masyarakat yang dekat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Kekacauan dalam penangan penyebaran covid 19 muncul secara serempak karena sebagian masyarakat mulai kesulitan pangan, sehingga muncul istilah ”Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)”.Pada akhir bulan Ramadhan, kekacauan situasi mencapai puncaknya. Peraturan PSBB di Ibu Kota dan di kota-kota besar lainnya dilanggar oleh sebagian masyarakat urban. Pemerintah pusat tiba-tiba merubah kebijaksanaan dari “berperang melawan covid 19” menjadi “Berdamai dengan covid 19”, yang akhirnya melahirkan majas baru, “Indonesia Terserah”.
Namun demikian bagi seniman, silangsekarutnya praktik pewacanaan dan praktik social penanggulangan covid 19, tengah menumbuhkan suatu gaya baru dalam penyelenggaraan kegiatan pameran seni rupa sebagai pengejawantahan dari New Normal yang didoktrinkan pemerintah pusat. “Pameran di Rumah saja”, bagi para seniman yang tergabung dalam sica.asia merupakan sebuah konklusi kegiatan pameran yang mampu mengantisipasi penyebaran penularan covid 19, karena bisa menjaga jarak dan tidak berkumpul sebagaimana galibnya acara pameran seni rupa.

Yogyakarta, 26 Mei 2020
_________________
https://m.liputan6.com
2 Okke Kusuma Sumantri Zaimar. “Majas dan Pembentukannya”. Makara, Sosial Humaniora Vol. 6 No. 2. Desember 2002, p. 45.
3 Ibid.
4 Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Penerjemah : Ani Soekowati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
5 Ratmanto. “Pesan: Tinjauan Bahasa, Semiotika dan Hermeuneutika”. Mediator Vol. 5 No. 1. 2004. P. 31.
6 Ibid. p. 33.
7 Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman. P. 23.
8 Mutia Fauzia, kompas.com. Diakses tanggal 25 Mei 2020 oleh Aa Nurjaman.
9 https://money.kompas.com

Tabula Rasa

Tabula Rasa

Oleh WAHYUDIN

Dedy Sufriadi seorang pemeluk teguh seni lukis abstrak. Tidak main-main, keteguhan itu sudah mewujud dalam proses kreatifnya sekira dua dasawarsa terakhir. Itu sebabnya, selain terbilang konsisten dalam penghayatannya sebagai pelukis abstrak, alumnus ISI Yogyakarta ini terpandang penuh daya cipta di medan seni rupa kontemporer Yogyakarta.

Sejak 1996 hingga 2018, pelukis kelahiran Palembang 1976 ini telah mengikuti 195 pameran bersama, menggelar 14 pameran tunggal, dan memperoleh 11 penghargaan seni rupa. Itu semua terjadi di ruang gagas seni rupawan, galeri seni rupa, museum, dan bursa seni rupa tidak hanya di dalam negeri, utamanya Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Bandung, Surabaya, dan Bali, tapi juga di manca negara, antara lain Kuala Lumpur, Singapura, Manila, Taiwan, Shenzhen, Gunsan, Hong Kong, Brisbane, Melbourne, Selandia Baru, dan New York.

Atas kenyataan itu, sulit untuk menampik keberadaan Dedy Sufriadi sebagai salah satu penanda penting, kalau bukan salah seorang duta berharga, seni lukis abstrak di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Jadi, bisa dimengerti jika dia tampak unik di mata pemirsa dan pembutuh karya seni rupa kontemporer Indonesia.

Tapi, keunikan daya cipta pemegang gelar master dari Pascasarjana ISI Yogyakarta ini mungkin membingungkan mereka yang terbiasa dengan seni lukis representasional, terutama yang berakar dalam tradisi realisme. Berbeda dengan seni lukis realis yang begitu berambisi menyalin kenyataan sepersis mungkin, seni lukis abstrak “hanya” berikhtiar menggambarkan dunia dengan garis, warna, tekstur, bentuk, dan komposisi yang memungkinkan pemirsa bebas menikmati, merasakan, dan menghayatinya secara saksama dalam tempo secukup-cukupnya sebagai pengalaman estetis, bukan mimesis, yang tak tepermanai.

Itu sebabnya, seturut sejarawan seni Peter Gay dalam Modernism: The Lure of Heresy from Baudelaire to Beckett and Beyond (2009), seni lukis abstrak menuntut pemirsa untuk “mengalami” apa yang tersua di sana tidak hanya dengan pikiran artistik terbuka, tapi juga penglihatan nan tajam. Sebab, di luar komposisi, warna, garis, tekstur dll. hanya ada kanvas kosong.

Kritikus seni rupa Ossian Ward benar ketika mengutarakan dalam Ways of Looking: How to Experience Contemporary Art (2014), untuk mengapresiasi seni lukis abstrak dibutuhkan kesaksamaan dalam melihat sebagai laku aktif, yang ingin tahu, seraya menyerap, meresap, dan merasukkan apa yang tertangkap mata ke dalam jiwa.

Itu penting karena lukisan abstrak “tidak akan merelakan rahasianya terbaca dengan mudah. Ia menjadi jelas semata setelah (pemirsa) melihatnya terus-menerus atau berulang-ulang, atau ia (mungkin akan) muncul dalam sekejap lantas menghilang secepatnya.”

Dalam kepentingan itu melihat menjelma amalan terbuka pemirsa bermata awas lagi terpelajar atas lukisan abstrak yang membangkitkan pengalaman tentang dunia secara tidak langsung melalui metafora atau alusi yang muncul dari kombinasi warna, garis, bentuk, tekstur dll. Alih-alih, warna, garis, bentuk, dan tekstur itu menandakan makna lain yang tak harfah

Saya kira, pemirsa kiwari yang peka akan menemukan salah dua kekuatan seni lukis abstrak, yaitu ketaksaan yang memuliakan refleksi-diri dan multitafsir, yang akan mendorong mereka untuk tak sekadar menikmati pokok perupaan di permukaan kanvas, tapi juga mengalami makna pengalaman melihat, perasaan artistik murni, dan penafsiran estetis yang bisa jadi berbeda dengan apa yang niatkan pelukis.

Itulah lebih kurangnya sabur-limbur pengetahuan yang saya peroleh setelah memirsai lima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya bertajuk Tabula Rasa di Bale Banjar Sangkring, pada Rabu malam, 7 November 2018. Ini pameran tunggal yang unik karena berlangsung berjamaah dengan pameran tunggal lima perupa lain dari Jogjakarta dan Bali di tempat yang sama sonder kurator, alih-alih “sekadar” penulis dan sebuah “payung besar” tematik bernama Peaceful Seeker #2.

Namun demikian, harus saya katakan bahwa tajuk pameran tunggal pemilik Ruang Seni Nalarroepa tersebut aneh, terutama sebagai “pintu masuk” untuk menikmati kelima lukisan abstrak berbahan akrilik, spidol, lonjor minyak, pensil, dan kanvas, yang bertitimangsa 2018 itu. Apalagi kelima lukisan itu pun berjudul sama, kalau bukan tunggal, yaitu Tabula Rasa (150 x 240 sentimeter), Tabula Rasa #3-6 (200 x 200 sentimeter).

Apa yang tampak aneh di sana adalah kenyataan bahwa kelima lukisan tersebut merupakan dunia-dalam-imajinasi Dedy Sufriadi yang berisi objek-objek non-represetasional atau non-figuratif yang terbentuk dari perpaduan warna, garis, sapuan, totolan, dan coretan yang tak mudah diidentifikasi dalam sekali tatap seperti membaca sambil lalu atau membiarkan beragam acara di televisi melintas begitu saja dengan memencat-mencet tombol jarak jauh (remote control) sekenanya.

Karena itulah saya lebih suka mengkhidmati kelima lukisan tersebut sebagai serangkaian lanskap rupa khayali yang tidak merujuk ke apa pun kecuali dirinya sendiri, sehingga membebaskan penatap untuk tak menganggapnya sebagai citra, apalagi objek intelektual, yang harus dipahami, dipikirkan, dan dianalisis.

Salah satu cara terbaik untuk menikmati, merasakan, atau menghayati kelima lukisan abstrak Dedy Sufriadi dalam pameran tunggalnya yang berlangsung hingga 27 November 2018 itu adalah meluangkan waktu menonton secukup-cukupnya, kalau bukan berkali-kali; membuka segala kemungkinan siratan dari pokok perupaannya; dan mengikhtiarkan pengkhidmatan, jika bukan pemahaman dan penilaian, yang akan menghela saya menuju kenikmatan mengapresiasi yang tak berujung. (*)

Nirkias ; Sebuah Pengantar

Nirkias ; Sebuah Pengantar

 

Penulis Grace Samboh

Kebanyakan dari Anda mengenal M. Irfan sebagai pelukis dengan kecenderungan gaya (foto) realistik. Waktra[1] dalam kekaryaan Irfan mulai dari potret, alat-alat dan infrastruktur transportasi (rel kereta api, jalanan, jembatan, pesawat, mobil, dst), penggalan patung-patung dari era Renaissance, sampai dengan alat-alat bantu dalam kerja perbengkelan. Bagi Irfan sendiri, lukisan-lukisan ini justru muncul dari keinginannya untuk menggambar. Hari ini, kita bisa dengan yakin menganggap kecenderungan ini sebagai praktik artistik perupa generasi kelahiran 1970-an. Pada 2001, S. Teddy D. (1970-2016) pernah merumuskannya, “Lukisan adalah gambar yang disederhanakan atau dirumitkan.” Gambar memang mempunyai posisi yang menarik pada generasi perupa ini.

Gambar-gambar yang serupa dengan apa yang bisa kita lihat secara kasatmata ini, menurut Irfan, menuntun pelihatnya untuk menciptakan kiasannya sendiri. Kereta api, ya, kereta api. Jembatan, ya, jembatan. Namun, bagaimana gambar-gambar bisa bermakna tergantung pada bekal pengetahuan si pelihat untuk menciptakan kiasannya sendiri, entah itu pertimbangan, perbandingan, persamaan, perlambangan, ataupun sindiran sekalipun. Seorang insinyur, misalnya, akan bisa mengenali dari tahun berapa alat-alat dan infrastruktur yang digambarkan Irfan berasal. Ia kemudian —mungkin— bisa membangun ceritanya seputar ketersediaan bahan serta teknologi yang digunakan untuk membuatnya dalam konteks poleksosbud di era pembangunan infrastruktur tsb. Seorang sejarahwan dari PUSSIS Unimed, Sumatra Utara, Dr. Ichwan Azhari, misalnya, punya pembacaan lain atas seri karya Irfan tsb. Baginya, Irfan menelusuri penjuru Sumatra dari sudut pandang kolonial. Segala penggambaran temuan Irfan dari sepanjang pengembaraannya adalah hal-hal yang ada di seputar jalanan beraspal —yang dibuat para kaum penjajah untuk mempermudah perpindahan komoditas yang mereka butuhkan.

 

M. Irfan, Hidup segan mati tak mau, Jackfuit wood, iron, LED neon lights, wheel, Variable dimension, 2019

 

Dalam kata-kata Irfan, “Fase menggambar itu justru cenderung mendorong pelihat pada ketunggalan makna. Dia [objek yang digambar] adalah sebuah akhir. Karena objeknya hadir [dan bisa kita kenali], kita akan menggunakan bekal pengetahuan kita untuk melihat dan membicarakannya. Jadi, lukisanku jadi semacam pintu keluar, gitu.” Irfan kemudian membandingkannya dengan fase berkaryanya, pada paruh akhir 1990-an sampai tengah 2000-an, di mana ia cenderung melukiskan esensi. Ya, melukis, bukan menggambar. Pada fase ini, yang tampak dalam lukisan-lukisan Irfan kerap dianggap bergaya abstrak atau minimalis.

Walau hasilnya sama-sama lukisan, proses untuk fase kekaryaan yang ini ia kenali sebagai proses melukis, bukan menggambar seperti yang tadi saya jelaskan. Garis-garis, tekstur, dan komposisi yang hadir dalam kanvas-kanvas Irfan diniatkannya untuk memancing perasaan-perasaan atas kata-kata tertentu, misalnya pada kata benda (spt. celah) atau kata kerja (spt. tumpah). Apa yang tumpah? Cairkah? Kentalkah? Padatkah? Kemana tumpahnya? Kenapa dia tumpah? Menumpahi apa dia? Karena perasaan yang dipancing, tak akan sama khayalan dan pengalaman yang timbul dari lukisan-lukisan Irfan dalam periode ini. Melukiskan esensi, menurut Irfan, adalah menghadirkan semacam pintu masuk pada sebuah pengalaman estetik, bukan pada kemungkinan makna. Pada fase ini, lukisan Irfan menjadi kiasan itu sendiri. Ia tidak mengiaskan —apalagi menawarkan makna— apapun.

 

Kali ini, yang hadir di hadapan Anda adalah fase baru dalam praktik artistik Irfan. Tak ada gambar, tak ada lukisan. Tak ada hasrat untuk menggambar, tak ada keperluan untuk melukis. “Aku justru sedang mencari yang konkret,” kata Irfan. Apa itu yang konkret? Dalam rentang waktu praktik seni di Indonesia, konkretisme hanya sempat berkedip pada paruh akhir 1970-an. Itupun lebih sering bisa kita temukan dalam ranah sastra dan musik. Pada 1975, misalnya, Danarto pernah menolak bersuara di atas panggung di mana seharusnya ia membacakan puisinya. Pembacaan puisi ala Danarto adalah sebuah pertunjukan dalam diam yang menghadirkan beberapa lukisannya serta kotak yang mengeluarkan bergulung-gulung kertas tisu toilet bertuliskan “kata” yang dihambur-hamburkan oleh sejumlah penari. Pada saat itu, Danarto sedang tak percaya dengan kemampuan lafal bahasa (secara) konvensional.

Ia ingin menghadirkan kata-kata sebagai dirinya sendiri, sebagai teks. Apa-adanya. Pada 1979, Siti Adiyati menghadirkan sebuah kolam kecil yang penuh sesak dengan eceng gondok dan diselingi bunga-bunga emas. Pada masa itu, pemerintah DKI Jakarta memang sedang memerangi eceng gondok yang dianggap sebagai benalu di sungai-sungai Jakarta. Adiyati berpendapat sebaliknya. Menurutnya, eceng gondok bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai hal, setidaknya kerajinan, sehingga bisa jadi penghasilan tambahan bagi masyarakat bantaran sungai. Dalam pameran yang sama dengan Adiyati, Bonyong Munni Ardhi menghadirkan pintu studionya sendiri sebagai karyanya. Ia menolak menjadi seperti generasi pendahulunya, S. Sudjojono dkk yang —menurutnya— “sekadar menghadirkan representasi kemiskinan dan perjuangan” dalam kekaryaannya. Bagi Bonyong, kesenian tidak bisa mewakili apapun, sehingga, barang temuan digunakannya sebagai barang itu sendiri. Sengkonkret-konkretnya.

 

Dari senarai pendek barusan, bisa kita kenali bahwa istilah “konkret” digunakan tidak serta-merta sejalan, apalagi sepaham, dengan konkretisme yang lahir dalam konteks Futurisme (di Italia, 1912) atau Dadaisme (Swiss, Amerika Serikat, Paris, sekitar 1915-1922). Konkret dalam perbendaharaan seni rupa di sekitar kita berada pada posisi “yang lebih nyata dari realisme” ketimbang sikap membela material (seperti musik konkret ala Pierre Schaeffer) atau membela eksistensi dan estetika huruf serta lafal (seperti puisi-puisi Tristan Tzara). Sementara, “realisme” adalah sebuah ajaran, paham, sekaligus aliran yang 1) bertolak dari kenyataan; 2) berusaha menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Dengan kata lain, realisme meniru atau mewakili suatu kenyataan tertentu. Pernyataan Irfan —mencari sesuatu yang konkret— patut dibaca dalam temurun praktik rupa yang ada di sekitar kita berikut dengan perjalanan kekaryaan Irfan sendiri.

Ia mengawali praktiknya dengan melukis (dengan kecenderungan gaya abstrak atau, bisa juga, kita sebut minimalis), lalu menggambar (dengan gaya realistik). Dalam kedua fase ini, ia bergumul dengan kiasan dan menghadirkannya dalam wujud wimba[2]. Ada jarak yang tak terelakkan di antara kanvas-kanvas Irfan, Anda selaku pelihat, dan Irfan selaku senimannya. Pertama, jarak antara Anda selaku pelihat dengan karya. Kedua, antara apa yang dikhayalkan Irfan sebelum mencipta dan apa yang hadir dalam karyanya. Ketiga, bekal pengetahuan Anda selaku pelihat dan makna yang Anda ciptakan dari wimba-wimba Irfan yang biasanya hadir dalam ruang datar. Karya-karya pepasang[3] dalam pameran ini mengajak tubuh Anda untuk bergerak, setidaknya mengitari atau mengelilinginya. Lebih dari itu, menurut Irfan, karya-karya ini baru benar-benar selesai ketika Anda menjadi bagian darinya. Ketika Anda berada bersama dan di antara karya-karya ini, entah sekadar menolehkan kepala, mendangak, menunduk, termenung, berpatut, atau, sesederhana, berada bersamanya.

 

Ribuan kilometer ditempuh Irfan dalam penelusurannya di Sumatra. Melalui jalur barat, dua bulan lamanya ia mengembara dari Lampung menuju Sabang, sebuah pulau kecil di atas Aceh. Setelah rehat dua minggu, ia menempuh perjalanan kembali via Medan melalui jalur tengah. Pengembaraan menuju titik berangkat ini memakan waktu dua bulan lagi. Baginya, pengembaraan ini bukan heroik, tetapi sekadar perlu. Perlu karena ia merasa bahkan peribahasa macam ‘gemah ripah loh jinawi’ sudah menjadi asing di telinga apalagi matanya. Paling-paling hanya sekelibat tampak karena ia terpampang di logo taksi resmi Bandara Adisucipto. Tapi, bagaimana wujud alam yang konon ijo royo-royo itu? Bagaimana pengalaman hidup manusia yang masih mengalami kehebatan nusantara itu? Bukan hanya asing, tak jarang peribahasa yang memerikan kecakapan hidup manusia nusantara ini juga telah berubah artinya, entah karena kelenaan daya selidik kita atau karena kesibukan kehidupan perkotaan dan kosmopolitan yang melenakan.

Alah bisa karena biasa, misalnya. Umumnya, orang beranggapan bahwa artinya adalah: 1) Perbuatan yang sukar, kalau sudah biasa dikerjakan, tidak akan terasa sukar lagi; 2) kalah kepandaian oleh latihan. Padahal, menurut penelusuran ahli bahasa Jus Badudu, kata “bisa” dalam peribahasa ini berarti “racun dari ular”. Maka, ketimbang berkonotasi positif sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskannya sekarang, peribahasa ini muasalnya justru berkonotasi negatif: Perbuatan buruk itu ibarat racun, yang, apabila sedikit-sedikit dimakan, lama-lama akan menjadi kebas, dan pelakunya tak lagi merasa bersalah. Berbulan-bulan lamanya ia menempuh pengembaraan yang tujuannya sesederhana pengembaraan itu sendiri. Alam nusantara perlu dialami secara ketubuhan, secara keruangan, dan, bagi Irfan, perjalanan ini adalah salah satu cara konkretnya. Demikian juga senarai pepasang yang menjadi pilihan bentuk Irfan kali ini. Karya-karya ini menuntut kehadiran kita untuk menggenapi kekonkretannya.

 

Jatiwangi, 11 Juli 2019,