Data Artikel

NOISE

Noise

Anton Rais Makoginta

Antah sapek antah mantilau
Ramo ramo di dalam gantang
Antah dapek antah kok silau
Kaba lah lamo tak baulang
Tambilang di rumpun lansek
Di baliak batang kayu patai
Dibilang sado nan dapek
Nan tingga untuak rang pandai
Tatkalo jarek ka dikambang
Jatuah badarai bungo lado
Tatkalo surek dikambang
Cucua badarai isi kapalo
Pilin-bapilin rotan sago
Kaik-bakaik aka baha
Sajak di langik tabarito
Tibo di bumi jadi kaba
Palupuah tadia nan dibantangkan
Puti batanun suto perak
Sungguahpun kaba nan disampaikan
Suri tuladan untuak rang banyak

Kata ‘noise’ sudah siang bagaikan hari, terang bersuluh bulan, bergelangang di mata orang ramai. Tidak perlu lagi kita sigi dedahkan asal usul, pengertian katanya, barangkali ceritera ini sangat cocok mengena di awal tulisan ini. Tengah malam dua karib sedang berbicara melalui telepon, tiba-tiba hujan deras mengguyuri tempat mereka masing-masing. Pembicaraan menjadi tidak jelas, bertumpuk dengan deraunya hujan, mereka mencari posisi agar kebisingan tersebut terminimalisir dan pembicaraan berlanjut kembali. Suasana tersebut merupakan gambaran dari noise, dalam hal ini hujan hadir sebagai pengabur pembicaraan, pengganggu topik utama pembicaraan mereka. Namun bagi orang lain hujan yang turun di saat itu memang hal yang ditunggu untuk membuat tidur lebih lelap, juga ada yang menunggu untuk pengairan sawahnya. Polah mereka yang mencari posisi untuk meminimalisir adalah sifat adaptif terhadap lingkungan sekitar, karena hujan bukan berada atas kehendak dan diciptakan oleh mereka sendiri.
Hakikat dari noise adalah mampu mengaburkan hal substantif atau hal yang utama, walaupun yang membuat kabur tersebut dengan beradapatasi akan sanggup pula menjadi hal utama nantinya sesuai dengan waktunya berproses. Memperhatikan perbincangan Jim Supangkat di kanal youtube galeri nasional belakangan ini dengan tegas beliau menyatakan, bahwa seni rupa indonesia hidup di atas mitos-mitos art barat (eropa barat-amerika). Hal tersebut berangkat dari pemikiran bahwa seni rupa tidak niscaya setua kebudayaan manusia, seni rupa juga tidak serta merta bisa dianggap gejala universal yang muncul pada semua bangsa di dunia di segala zaman, art adalah tradisinya orang barat.
Berabad-abad lamanya cikal bakal negara yang bernama Indonesia ini dikolonialisasi, dijerat, diikat, dimasuki seni rupa yang lebih moderen. Sehingga praktik-praktik seni rupa sebelumnya dinyatakan sebagai hal yang kuno, dijadikan kajian penelitian arkeologi dan antropologi. Setelah merdeka sampai sekarang penulisan-penulisan, baik tulisan kurator ataupun kritikus seni, pencapaian seniman selalu dibandingkan atau dirujuk pada perupa-perupa barat. Misalnya seniman Indonesia mengolah ready made, barang tentu tulisan itu akan dipenuhi tentang Marchel Duchamp. Contoh lainnya gerakan kolektif seni di Indonesia pada akhir-akhir ini, akan dicari bahwa di barat telah lama muncul kolektif yang mereka namai dengan guild di beberapa tempat, dan lagi-lagi kelompok Dada di Jerman sebelum diboyong ke Amerika dibicarakan. Walaupun tujuan tersebut salah satu usaha menempatkan atau mengakui capaian-capaian perupa dengan perkembangan seni rupa global, tetapi ia tetap menempel, mengekor, menganggu, bising, noise. Artinya seni rupa Indonesia itu sebenarnya adalah noise bagi perkembangan art.
Praktik demikian akan selalu membawa capaian-capaian perupa Indonesia akan selalu berbau-bau barat, kalau tidak tekniknya, wacananya pun beraroma barat. Apakah kita menyalahkan kondisi demikian? Tentu tidak! Ada sebuah analogi, jika kita pernah ke kota Padang, akan meilihat angkutan umum bebagai modifikasi, malahan sampai ekstrim tak nyaman dinaiki dan kita tidak bisa mengidentifikasi kendaraan tersebut aslinya bagaimana. Orang yang memikirkan untuk menciptakan kendaraan sebagai alat transportasi tentu saja bukan orang Padang, mereka memodifikasi yang telah diciptakan. Kata sederhananya, kita tidak pernah (belum) mampu menciptakan kendaraan, kalau menghias sanggup sekali. Begitulah industri bekerja, dikuasi negara-negara besar, pemilik modal besar, kapitalisme global. Itu juga gambaran bagi seni rupa indonesia, memodifikasi yang telah ada sebelumnya dengan berbagai teknik, bentuk dan wacana yang mengandung keindonesian melihat isu besar nan global.
Untungnya bagi yang terlambat bisa mengambil cotoh pada yang telah sudah dan mengambil tuah pada yang menang, tapi jangan ditelan mentah-mentah karena bisa akan muntah. Industri- industri seni rupa indonesia berkembang pula mengikuti perkembangan yang telah ada di barat, event-event seni rupa merujuk ke sana, mulai dari pameran di galeri komersil, art fair galeri, art fair perupa, projek seni rupa, pun pameran bakaba ini. Tinggal memoles dengan isu-isu lokal dengan level skala pada tingkat global, seperti isu sosial, gender, lingkungan, politik, spritual, identitas, sejarah, ketubuhan dan seterusnya.
Medan seni kita usahakan pula untuk ideal, muncullah para kurator, hadir beberapa galeri, bienal-bienal di beberapa kota, art fair tiap tahun, pertemuan-pertemuan kaum industri seni rupa, pesta antar seniman dengan kolektor dan pelaku lainnya. Itulah usaha adaptasi, dengan cara demikian kita dapat mengikuti arus yang telah diciptakan, arusnya terlalu besar untuk dihadang songsong berhadapan. Tentu saja yang melawan arus tersebut tetap ada, dengan mengucapkan kata maaf karena arus mereka merasa terganggu.
Sakato Art Community sekumpulan ratusan perupa di Yogyakarta dengan sadar memasuki indusrti seni rupa ini, menjaga hubungan dengan orang-orang yang terlibat dengan medan seni merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian. Menetapkan bahwa seni rupa pilihan hidup yang perlu benar diseriuskan, dan nyatanya kebanyakan perupanya bisa hidup pula dengan keseniannya. Uniknya sebagai kolektif, Sakato berusaha memerdekakan individu setiap warganya. Artinya tidak akan lahir satu karya bersama, melainkan karya-karya individu. Kata lainya, kolektif seni demi kepentingan perupa otonom. Keadaan tersebut mampu membuat komunitas ini bertahan sejak 1995 sampai sekarang, 27 tahun sebagai bukti kesanggupan sustainability. Hidup dengan usaha sendiri, walaupun ada dukungan dari pihak tertentu, namun tidak berusaha bertahan dengan memutar proposal pada lembaga-lembaga pendanaan yang memiliki kepentingannya sendiri jua.
Membicarakan capaian-capaian artistik, membentuk hubungan dengan pihak lain tergabung dalam “ota sakato”, semacam diskusi yang tidak ditentukan format, melainkan bercerita saling berbagi pengalaman secara santai, simutan bisa berlangsung di studio masing-masing, di mana pun. Untuk perputaran ekonomi komunitas dan warganya di sekretariat sakato dinamai dengan “merandai pajang”, segala bentuk cipta kreatif ada di sana, dari kerajinan, merchandise, karya seni dalam ukuran kecil bisa dipajang secara bergiliran terus-menerus.
Kenapa dinamai dengan warga sakato? Belakangan sistem sebuah komunitas yang berpatron pada ketua ataupun direktur, hidup bersama yang bersifat hierarkis dirasa tidak cocok dengan karakter anggotanya. Kebetulan kebanyakan anggotanya berlatar belakang budaya yang sama, minangkabau. Budaya yang sesungguhnya tidak mengenal kedudukan hierarkies tersebut, hal inilah yang diubah oleh Belanda pertama kali pada awal abad 19. Sistem berkampung tersebutlah yang diterapkan kembali beberpa tahun belakangan, benar ada yang mengurus tapi keputusan bukan ditangan mereka. Sehingga istilah pengurus dan anggota tidak berlaku bagi komunitas sakato, lebih tepatnya semuanya adalah warga sakato.
Pameran bakaba merupakan salah satu usaha membuat pertemuan antar seniman dengan berbagai kepentingan. Perjumpaan dengan pihak galeri, pertemuan dengan seniman lainnya, perjumpaan dengan kolektor, persuaan dengan berbagai apresian yang bermacam polahnya, tidak memungkinkan adanya kerjasama antar mereka setelah itu, satu hal yang mereka ingat tidak tercerabut sebagai warga sakato.
Dalam bakaba #8:Noise, hampir 100 warga sakato turut serta memerkan karyanya, baik yang baru berkarya sampai yang telah menjalin sebuah kerjasama dengan galeri di manapun, mereka berkumpul pada kesempatan ini, sebanyak itu dan di tempat pameran yang memiliki beberapa ruang, sangat memungkinkan mengklasifikasi pokok perupaan mereka. Misalnya, satu ruang pokok peruapaannya landsacpe, ruang yang lain terdapat karya yang memperlihatkan kemampuan teknik melukis realis, ruang yang lainnya pokok perupaan abstrak, ruang yang berisikan warna-warna gemerlap serta beberapa instalasi dan mural di dalam ruang ataupun di luar ruangan terkelompokkan dengan jelas. Sangat beragam yang akan kita jumpai, semuanya adalah capai-capaian penciptaan warga sakato saat ini, setelah sekitar 4 tahun pameran bakaba tidak digelar.
Karya yang terdapat dalam pameran ini bisa menjadi noise untuk bakaba sendiri. Juga karya yang lain melihat keadaan noise di luar lingkungannya, pada ranah sosio-politik, lingkungan, atau isu global yang begitu banyak dan hangat dibicarakan saat ini. Satu hal yang pasti para warga sakato kebanyakan adalah perupa yang berkarya dan hidup di studio dan sadar dengan industri seni rupa (profesi), itulah pilihan mereka, isu-isu di luar studio mereka serap memalui berbagai informasi, mereka tidak terlalu mengada-ada dengan melakukan sebuah penelitian yang sesungguhnya sangat berjarak dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Pada akhirnya, keadaan seni rupa indonesia berada pada posisi noise, tinggal waktu yang membuktikan bahwa sesuatu yang noise tersebut akan menjadi hal yang utama pula nantinya. Sakato sebagai kolektif seni juga noise bagi kolektif-kolektif yang mengubur kemerdekaan individu di dalamnya, 27 tahun sebagai bukti sakato tetap bertahan hidup di kaki sendiri, merdeka.
Balayia kapa dari Samarang
Banyak mambao suto-suto
Balabuah tantang Painan
Baitu kaba kato urang
Duto urang kami indak sato
Bohong urang kami tak di sinan

 

NOISE

BAKABA #8

NOISE

Menandai Spirit Zaman Dalam Kebisingan Dunia Digital.

Dalam definisi umum, noise diartikan sebagai kebisingan. Definisi ini dapat diperluas menyangkut banyak hal seperti permasalahan politik, sosial masyarakat, religius, hingga kesenian.

Memaknai kebisingan (noise) dalam fenomena seni rupa kekinian, salah satunya dapat kita amati dari mudahnya akses dalam mengapresiasi karya seni dengan bantuan teknologi internet melalui media sosial dan fasilitas digital lainnya seperti katalog digital hingga pameran seni berbasis digital.

Dampak baiknya, seni rupa dapat diapresiasi oleh berbagai kalangan masyarakat. Dalam pameran seni rupa konvensional, sosial media dimanfaatkan untuk mempublikasikan pameran seni, hal ini efektif karena sifat sosial media yang mampu menjangkau banyak orang.

Kita dapat mengamati fenomena pertumbuhan apresian dari golongan pengguna sosial media, kebanyakan apresian golongan ini merupakan anak-anak muda pengguna aktif sosial media yang mengapresiasi karya seni dengan cara mereka sendiri seperti Selfi atau membuat video pendek yang pada akhirnya juga bermuara menjadi konten internet di laman sosial media masing-masing apresian. Dalam konteks ini, sosial media berhasil menciptakan basis apresian dan cara mengapresiasi karya seni yang khas. Fenomena ini juga banyak di apresiasi oleh seniman dengan membuat karya yang bisa mengakomodir cara mengapresiasi seperti ini.

Pada tahun 2015, detik.com memuat berita dengan judul “Jumlah Pengunjung Galeri Nasional Meningkat Karena Tren Selfie”. Pemberitaan ini memaparkan tentang meningkatnya jumlah pengunjung Galeri Nasional karena peran sosial media. Zambrud Setya Negara yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pameran dan Kemitraan Galeri Nasional telah meneliti fenomena ini sejak tahun 2013.

“Pada 2013 lalu jumlah pengunjung sekitar 65.844 pengunjung per-tahunnya. Namun, angkanya melonjak menjadi 109 ribu pengunjung di tahun 2014. Sepanjang 2015 pihak Galeri Nasional Indonesia fokus dan konsisten menyebarkan informasi pameran melalui media sosial. Nominalnya pun naik menjadi 115.863 pengunjung[1].

Statistik pengunjung Galeri Nasional pada tahun 2015 memperlihatkan peningkatan pengunjung pameran yang signifikan. Hal ini pun terjadi di galeri, museum dan bahkan ruang-ruang seni alternatif di Indonesia, bahkan fenomena peningkatan pengunjung pameran ini pun terus berlangsung hingga tahun ini yang didukung dengan berkurangnya kasus covid-19 dan pelonggaran peraturan pemerintah tentang pandemik.

Selain dalam wilayah apresiasi, dampak dari sosial media juga memunculkan fenomena seni rupa dalam wilayah kekaryaan dan kesenimanan. Sosial media menghamparkan ribuan karya seni, memunculkan ribuan seniman-seniman baru, mempublikasikan ribuan pameran seni, yang berlangsung setiap hari, bahkan dalam setiap jam.

Selain hal-hal baik tentang Kemudahan dan kecepatan dalam memamerkan, mengapresiasi dan memproduksi karya seni terdapat konsekuensi yang diterima oleh kesenian itu sendiri seperti plagiarisme, kaburnya klasifikasi seniman, dan minimnya pembacaan karya dalam hal wacana, konsep dan gagasan seniman.

Namun, jika seni berfungsi sebagai penanda zaman, maka konsekuensi ini merupakan konsekuensi atas zaman itu sendiri. Kemudahan teknis yang diberikan oleh teknologi digital memungkinkan setiap orang kini terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan kreatif. Terjadi ledakan kreativitas, dan kreativitas bukan lagi milik kaum genius eksklusif.[2]

Maka tidak heran jika ledakan kreativitas ini dapat kita lihat dari banyaknya karya yang diproduksi dan diunggah di sosial media setiap harinya. Ledakan kreativitas ini memberikan euforia yang secara tidak langsung menenggelamkan fungsi, nilai, dan makna dari karya seni itu sendiri. Selain itu, ledakan kreativitas juga turut memudarkan klasifikasi seniman karena siapa pun pada akhirnya dapat menjadikan dirinya seniman tanpa lagi melewati proses-proses berkesenian secara konvensional.

Hal ini mungkin saja transisi dari perubahan zaman yang begitu pesat semenjak mudah dan murahnya dalam mengakses teknologi internet. Kemungkinan dampak lanjut dan mendasar dari ledakan kreativitas adalah yang bersifat “dekonstruktif”, yakni yang betul-betul mengubah secara radikal pola perilaku konvensional, sambil melahirkan “disrupsi”, dalam arti: pola-pola lama tak lagi bisa digunakan.[3]

Perubahan pola ini merupakan tantangan bagi seniman untuk menyelesaikan persoalan zamannya melalui karya seni.

Fenomena ini pun memantik pembicaraan seni rupa dalam wilayah esensial tentang karya seni, kesenimanan, nilai, serta fungsi dari karya seni itu sendiri. Jika fenomena-fenomena ini dianggap sebagai bentuk kebisingan (noise) yang terjadi di seni rupa, kita tentu dapat melihatnya dalam dua sudut pandang, baik positif maupun negatif.

Salah satu fungsi dari seni adalah sebagai penanda zaman. Seniman seharusnya mampu menangkap spirit zaman yang berkorelasi dengan kekaryaan dan gagasannya. Melalui pameran BAKABA #8 ini, kita mungkin dapat mengamati hal-hal apa saja yang ditandai seniman melalui karya-karyanya.

 

Riski Januar

Bantul, 2 Agustus 2022

[1] https://hot.detik.com/art/d-3098045/jumlah-pengunjung-galeri-nasional-meningkat-karena-tren-selfie diakses pada 2 Agustus 2022, 1.49 WIB

[2] Sugiharto Bambang, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi, Penerbit PT. Kanisius, Yogyakarta, 2019. Hal 111

[3] Ibid hal 113