Data Artikel

Ambarium: Pray, Hope & Dreams

Oleh Jajang R Kawentar

Ambar Pranasmara Alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta membuka kejutan pasar seni rupa Malaysia bekerja sama dengan Senso Art Gallery Cafe, Jalan Tan Hiok Nee, Johor Baru 25a, Malaysia, mengadakan pameran tunggal seni rupa yang bertajuk Pray, Hope & Dreams dibuka pada 16 September 2018. Seyogyanya pameran berakhir hari Minggu, 30 September 2018 diperpanjang hingga 15 Oktober 2018. Pameran ini menampilkan 60 karya lukis akrilik di atas kertas dan kanvas dengan ukuran bervariasi relatif mudah dicangking.

Senso Art Gallery sendiri terletak di kota Johor Lama dengan arsitektur bangunan tua berupa ruko dekat dengan jalur penyebrangan ke Singappore, cukup strategis mendapat banyak pengunjung. Angin segar bagi para perupa yang ingin mencoba menjelajah kota untuk memamerkan karya-karya kreatifnya dengan ukuran relatif mudah dicangking.

Apresiasi yang baik dari masyarakat seni di Johor Malaysia itu menumbuhkan peluang dan kesempatan menjalin hubungan kerjasama event seni rupa. Meskipun sebetulnya di Indonesia sendiri itu lebih potensial. Namun pengalaman Ambar ini justru menumbuhkan semangat unuk berkarya bagi seniman yang berada di sekitar kota Johor itu. Bahkan ada yang langsung berminat untuk pameran di sana.

Pameran yang dibuka oleh pemilik Senso Art Gallery, Chaterine Chai dihadiri kolekor dan seniman juga oleh Konsulat General Repulik Indonesia di Johor.

 

 

Ambarrium

Ambarrium itu sejenis Laboratorium Seni Rupa yang bisa dipacking dan dibawa ke mana-mana bersama pemiliknya, seperti halnya Laboratorium Seni Rupa Ambar Pranasmara. Dengan Laboratorium itu dapat leluasa berkarya dimanapun, sehingga menghasilkan gagasan dan tema sesuai dengan situasi serta kondisinya. Terbukti semua karya yang ditampilkan dalam pameran di Senso Art Gallery Cafe ini hasil kerja dalam waktu senggang pada istirahat setelah bekerja di kota itu.

Bukan hasil karya yang meniru karya orang lain namun karya yang mengekspresikan sebuah fantasi, harapan dan doa, ketika sedang bekerja, ketika jalan-jalan melihat pemandangan kota, pantai, dan pegunungan menakjubkan di negeri Jiran itu. Dia berusaha mengekspresikan doa-doa dengan melukiskannya pada lembaran kertas. Dalam setiap doa itu ada harapan dan cita-cita. Seperti usaha spiritual memvisualisasikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya.Sehingga apapun yang tampak dalam karyanya merupakan keindahan dari kesederhanaan setiap doa, harapan dan cita-cita itu. Sementara doa, harapan dan cita-cita itu sendiri adalah keindahan yang hanya dapat dibayangkan dan dirasakannya.

 

Ambar Membawa Tradisi Petani Jawa

Seperti halnya para petani di Jawa, Ambar Pranasmara kelahiran Yogyakarta 1972 yang memiliki latar pendidikan seni lukis pada Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta dan seni patung di ISI Yogyakarta, hal utama baginya adalah kerja dan lebih utama itu berkarya. Demikian pula dengan petani di Jawa, selain mereka bercocok tanam, mereka juga biasanya membuat karya kerajinan, kerja bangunan atau berkesenian lainnya. Sementara Ambar karier pekerjaannya dibidang pembuatan patung monumen, relief, mural, juga mengerjakan artistik film, clip musik, dan tvc.

Dia juga dibesarkan dikeluarga seniman. Kreatifitas tanpa batas, dimana pun dapat berkarya sebagai ungkapan rasa syukur untuk mendekatkan diri pada sang maha pencipta, atau ungkapan kegalauan, instropeksi, koreksi, doa dan harapan. Hal ini dilakukan usai menunaikan kerja utama, berkarya sebagai obat penawar kelelahan fisik. Berkarya seni seperti menetralisir dan memfokuskan lagi pikiran, karena semua itu akan kembali pada yang maha mengaturnya. Itulah inti dari karya-karya yang dipamerkan Ambar Pranasmara bertajuk Pray, Hope and Dreams.

Pameran tersebut upaya mengenali barang-barang pribadi dan kenangan-kenangan yang memiliki hubungan emosional lebih intens dengan senimannya Ambar menampilkan karya seni dari karier pekerjaannya. Barang-barang yang dipresentasikannya merupakan karya duplikasi dari produk seni pada jaman dulu kala abad VI masehi, kini keberadaan benda tersebut di museum luar negeri.

Pada mulanya benda seni tersebut memenuhi kebutuhan artistik untuk shooting film. Benda ini memiliki kenangan yang berhubungan dengan profesinya sebagai seniman patung juga artistik film yang dilakoni semenjak mahasiswa. Benda duplikasi itu menjadi koleksinya sebagai penanda capaian artistik pada filmnya.

Antara kerja yang utama dan kerja yang lebih utama itu saling mendukung dalam kehidupan bermasyarakat. Atas hasil karya dan hasil kerja itu menciptakan dialog dengan dirinya sendiri, dialog dengan keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Dalam setiap dialog itu ada doa, harapan dan cita-cita. *)
Yogyakarta, 29 September 2018

Jajang R Kawentar penulis Art Critique Forum Yogyakarta