MINANGKARTA
MINANGKARTA
Riski Januar
Bantul, 16 Januari 2022
Minangkarta sebagai tema pameran merupakan sebuah nama yang dirangkai untuk menjelaskan hal-hal tentang adaptasi, akulturasi, dan urbanitas. Dalam Bahasa Sangsekerta karta memiliki arti Makmur, maju, sedang berkembang, ulung, dan sempurna1.
Pesatnya perkembangan teknologi mempermudah manusia dalam segala hal. Teknologi tidak hanya mempengaruhi manusia dalam hal-hal teknis namun juga berdampak kepada kehidupan sosial dan cara komunikasi. Kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi memberikan sebuah bentuk dunia yang saling terkoneksi, manusia tidak lagi kesulitan dalam jarak, waktu, dan tempat karena teknologi telah mefasilitasi semuanya secara virtual.
Ketika penemuan teknologi informasi seperti yang dijelaskan di atas berkembang dalam skala massal, maka teknologi itu telah mengubah bentuk masyarakat manusia, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global, sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat dan begitu besar memengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia juga dijuluki sebagai the big village, yaitu sebuah desa yang besar, dimana masyarakatnya saling kenal dan saling menyapa satu dengan lainnya.
Masyarakat global juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama, menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, melakukan pertahanan militer bersama, menciptakan mata uang bersama, dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini.2
Fenomena tentang masyarakat global ini memunculkan sebuah pertanyaan tentang identitas; apakah identitas kultural masih berlaku dan relevan pada kehidupan hari ini?. Pertanyaan ini sekiranya menarik dijawab melalui sudut pandang seni, karena seni berfungsi sebagai penanda identitas, zaman dan peradaban manusia.
Pameran After Mooi Indie yang ke empat kalinya ini merupakan sebuah pameran yang diinisiasi oleh Forum Mahasiswa Minang Institut Seni Indonesia Yogyakarta (FORMMISI-Yk). Forum mahasiswa berbasis etnis ini mampu bertahan lebih dari satu dekade lamanya, hal ini memperlihatkan sebuah konsistensi dan kebutuhan untuk saling berkumpul yang didasari oleh kesamaan daerah asal, Bahasa dan etnis.
Dalam budaya Minang konflik merupakan sebuah bagian dalam kebudayaannya yang berpengaruh terhadap perkembangan budaya dan orang-orang di dalamnya. Konflik di Minangkabau merupakan siklus yang berulang selama berabad-abad yang lalu, seperti konflik antara adat dan agama yang sampai hari ini masih terus dibicarakan. Konflik dalam budaya Minangkabau adalah sebuah keharusan karena jika tidak ada konflik mereka tidak menghasilkan pemikiran cerdas dalam menghadapi kehidupan mereka. Menurut Taufik Abdullah (1966) bagi orang Minangkabau konsep konflik ini tidak hanya dialami oleh anggota masyarakat tapi juga dijadikan peraturan dalam sistem sosialnya. Bahkan konflik dipandang sebagai suatu hal yang penting untuk mencapai persatuan dalam masyarakat.3
Maka dari penjelasan di atas, berkumpulnya orang Minang memperlihat bahwa ada sebuah keinginan “berkonflik” yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah pemikiran, kesempatan dan pemecahan-pemecahan maslah. Hal ini pun sekiranya berlaku bagi Formmisi-Yk dalam ide dan gagasan berkesenian dalam tantangan zaman.
Maka dari itu, melalui pameran ini, kita dapat mengamati bagaimana konflik yang muncul dari seniman muda beretnis Minang dalam menghadapi dan beradaptasi dalam arus globalisasi pada saat sekarang ini.
1 P.J. Zoetmulder. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2 Bungin Burhan, Sosiologi Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2009, Hlm 163
3 https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/konflik-dalam-budaya-minangkabau/ diakses pada 16 Januari
- 18.54 WIB