Data Artikel

TUBUH BERDARAH

TUBUH BERDARAH

 

Pada 30 Agustus 2018 pukul 10.14 perupa Abdi Setiawan menulis status di FB: “Sesi pemotretan karya yang dilakukan di sekitar wilayah Jogjakarta, proses berkarya yang sangat menyenangkan, bisa berbaur dengan alam…” Kalimat itu berhiaskan foto dirinya sedang melelerkan cat merah pada patung figur yang tergolek dengan usus terburai di tepi pantai, di tepi rel kereta api, dan di tumpukan sampah. Pelukis Bambang Pramudiyanto berkomentar: “Wah… serem-serem bos.”

Pada 11 September 2018 Pukul 10.56 Abdi kembali menulis status di FB: “Perform on the road…” Kembali dia mengusung patung yang sama di tengah puing bangunan. Esoknya 12 September 2018 patung berlumur darah itu muncul di lahan kosong di belakang perumahan. Berikutnya lebih banyak lagi foto karya patung yang sama di tujuh tempat berbeda dengan teks: “I just Commoner (2007)”. Itulah judul karya patung seniman kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatra Barat 29 September 1971 ini.

 

Muncul berbagai respon, dari: sickman, sadis, seram; hingga: keren, saya suka. “Ini eksperimen saya tentang masalah rasa,” tulis Abdi lewat pesan Messenger, Sabtu 22 September 2018. Dia menjelaskan, dalam seni rupa orang selalu membicarakan keindahan, artistik, unik. Tapi jarang melihat seni rupa dari sisi lain. “Dari sisi yang menjijikkan,  mengerikan, kejelekan. Apakah itu masih dianggap seni?” kata dia.

 

Narasi karya patung itu dia ambil dari orang yang dia sebut rakyat biasa yang tak punya hak dan kewajiban. “Selalu menjadi korban dari orang atau kelompok yang lebih kuat,” ujar Abdi. Dia tak menjelaskan secara spesifik yang dia maksud sosok korban itu. “Banyak terjadi sekitar 2007. Orang kecil yang menjadi korban.”

 

Patung itu pernah dipajang pada pameran 100 tahun Affandi (2007) di Taman Budaya Yogyakarta. Abdi membuat sesi pemotretan patung itu yang kemudian dipamerkan pada Bienal Jogja X 2009 “Jogja Jamming, Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja”. Pemotretan berlangsung antara lain di Pantai Samas, reruntuhan bangunan, Sungai Bedog, persawahan Nitiprayan, tempat pembuangan sampah Kasongan dan Piyungan.

 

Karya patung itu kemudian dibeli kolektor Syakieb Sungkar. Syakieb, kata Abdi, berkali-kali menyatakan akan membeli patung itu. “Kalau ada kesempatan bertemu pak Syakieb selalu menanyakan patung itu. Akhirnya saya lepas,” kata dia.

 

Abdi Setiawan yang pernah belajar seni lukis di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang adalah lulusan jurusan seni patung ISI Yogyakarta. Dia memperlakukan karya patungnya secara tak lazim dengan menabrak kaidah patung konvensional lewat pengecatan beberapa bagian patungnya yang bercorak figuratif, bahkan patung dia beri pakaian. Karyanya mengeksplorasi tema kehidupan kelompok marginal berupa patung tunggal maupun patung bercorak site specific instalation.■

 

  • Raihul Fadjri Faniska

 

Foto: Koleksi Abdi Setiawan

What’s Else Could We Think About? Bon Apetite

Abdi Setiawan: What else could we think About? Bon Appetit

Oleh Jajang R Kawentar

What else could we think About? Boun Appetit’, Abdi Setiawan bercanda di Museum Oei Hong Djien (OHD) pada ulang tahun ke 20 Museum tersebut, Magelang, 20 Mei 2017. Seperti opera sabun yang menghadirkan dramatikal pada ruang makan. Saya gagal faham apakah karya patung yang terbuat dari kayu jati itu displaynya pada  ruang makan VIP terkini atau warung angkringan, tempat seniman nongkrong dengan property meja dan kursi klasik?

Apalagi yang kita pikirkan? Silahkan makan, begitu terjemaahan bebas dari judul karya perjamuan makan karya Abdi Setiawan. Sengaja atau kebetulan, adegan dan situasi ini merupakan drama satire. Semacam potret pertemuan tertutup para pengusaha, para pejabat, para penguasa, para pemimpin partai, para preman atau para konglomerat. Atau mereka yang tergabung semuanya itu. Pertemuan seperti ini sudah umum dalam pengambilan keputusan yang tidak umum.

Menurut saya kali ini Abdi Setiawan cukup signifikan pembaharuannya, dari humor yang kocak, selenge-an, urakan, seperti lonte, tante girang, masyarakat urban, kini menjurus humor yang formal dan menendang gunungan es. Mungkin dia telah menyelesaikan membaca buku Madilog (Matrialisme, Dialektika dan Logika) karya Tan Malaka moyangnya dia dari Minang, atau mendapat siraman rohani dan rohana mengenai strategi kekuasaan dan globalisasi ekonomi, sehingga ada sengatan berbeda dalam tema karyanya. Mungkin juga faktor usia yang semakin matang, dan condong perbaikan religiusitasnya.

Sepertinya karya ini mengungkapkan sebuah gagasan dimana peralihan objek yang akan digarap Abdi Setiawan ke depan. Dia mempersiapkan beberapa seri karyanya tentang Landscape. Dengan cara dia menghidangkan sajiannya berupa Landscape disebuah acara jamuan makan, seolah dia sedang menawarkan sebuah gagasan atau new taste yang layak dikonsumsi. Tentu ini bukan masakan Minang yang terkenal seperti rendang. Bisa jadi ini masakan sejenis rendang, yang selalu menjadi favorit dalam sebuah sajian makan. Apakah demikian yang dimaksudkan Abdi Setiawan?

Belum tentu, karena bisa saja karya ini menyampaikan gagasan kerakusan dan gawat daruratnya situasi dimana bumi ini dipijak. Bagaimana kekuasaan dan kekayaan alam hanya milik sebagian orang yang berada dalam lingkaran meja. Mereka seperti  sedang membagi wilayah kue dan menyantapnya dengan tamak. Tidak lagi layak seperti dipandang manusia, tetapi rakus dan jahatnya manusia melampaui binatang.

Abdi Setiawan mengibaratkannya manusia berwajah Gorila, di kepalanya tumbuh batang dan ranting menjulang ke langit. Penekanan terhadap kerakusan dan kejahatan itu tumbuh menjalar dan dapat menciptakan kehidupan lain dalam gagasannya. Wilayah kue dibuat landscape dengan peta rencana “pembangunan”, dibalik itu sesungguhnya akan terjadi eksploitasi dan eksplorasi pengrusakan keseimbangan alam.

 

Otokritik

Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan, demikian Oxfam melaporkan.

Laporan itu seperti Landscape yang dihidangkan di meja makan, menjelaskan kekuasan wilayah dibicarakan dan diatur oleh mereka yang dapat menduduki kursi di lingkaran meja tersebut.  Bagaimana nasib mereka yang justru berada dalam landscape?  itu bagian yang dimaksud dari rencana stategi mereka. Strategi mereka termasuk dalam rencana strategi sang kreator. Begitupun dengan karya patung yang dibuat dari kayu jati berumur ratusan tahun, bukankah bagian dari sebuah rencana eksplorasi dan eksploitasi alam?

Ini merupakan otokritik. Telunjuk mengarah ke sasaran satu, mengarah ke diri sendiri lebih dari satu, bisa dua tiga sekaligus.

Satu kursi yang sengaja kosong itu  seperti sedang menanti tuannya. Abdi Setiawan  membuat kursi bagian dari karyanya. Kursi kosong memunculkan pertanyaan, siapakah pemilik kursi itu?  Apakah pengunjung yang sengaja duduk, selfie atau Abdi Setiawan sendiri?

Begitulah seniman memiliki rasa humor, terkadang selengean, karakter yang melekat turunan kampus Gampingan. Sebuah tanda seniman masih tetap berfikir waras dan menjaga tetap waras: mana yang benar atau salah; mana yang baik atau keliru. Mengenal dirinya sendiri dan memahami prilaku yang aneh terjadi dalam dirinya,  dia berusaha menjaga jarak dengan prilaku yang keliru.

Penyadaran atau kesadaran dalam kekeliruan bila menyampaikannya dengan bahasa humor,  tidak terasa menyinggung perasaan pelaku prilaku keliru. Namun akan menganggap itu hanya lelucon biasa, siapapun dapat terjerat prilaku keliru. Manusia bukan malaikat yang selamanya baik dan benar. Manusia kadang sholeh, kadang bejad.*) –Art08 Keloran, Juni 2017

Jajang R Kawentar penulis Art Critique Forum Yogyakarta