Pameran GRENG Memperingati 100 Tahun H. Widayat: Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
Lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 9 Maret 1919—pelukis Widayat atau, resminya, H. Widayat, berusia 100 tahun di tahun 2019 ini. Tapi kita tahu, pada 22 Juni 2002, dia telah berkalang tanah. Sepanjang umurnya yang delapan puluh tiga itu Widayat mengesankan sebagai juru ukur pegawai kehutanan dan juru gambar peta rel kereta api di Palembang; pimpinan Seksi Penerangan—dengan pangkat Letnan Satu—di Divisi Garuda Sumatra Selatan (1945-1947); pendiri Pelukis Indonesia Muda (PIM) bersama G. Sidharta, Murtihadi, Sayoga, dan Suhendra (Yogyakarta, 1954); Dosen seni rupa ASRI, pendiri dan pemilik Museum Haji Widayat di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah (1994); Pelukis serbabisa; dan Maestro Seni Lukis Indonesia. Atas semua itu, Widayat meninggalkan dua warisan estetis yang paling dikenal dan dikenang penghayat seni rupa Indonesia—utamanya Yogyakarta, yaitu lukisan “Dekora Magis” dan “Greng”. Yang pertama adalah karya seni rupa, benda budaya, dan obyek artistik yang memampukan Widayat terpandang sebagai salah satu pelukis Indonesia terkemuka pasca generasi Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono. Pendeknya, lukisan-lukisan “Dekora Magis” Widayat tidak hanya bernilai artistik tinggi, tapi juga bernilai ekonomi yang menjulang dan menggiurkan banyak pecinta dan penjaja karya seni rupa Indonesia. Yang kedua adalah semacam kata kunci Widayat untuk mengidentifikasi dan/atau menilai lukisan. Seturut kata kunci itu, sebuah lukisan yang tersimpulkan baik-apik bila terdapat “Greng”.
Dalam kalimat penulis seni rupa Agus Dermawan T., “Greng” merupakan “istilah khas Widayat untuk menandai lukisan-lukisan yang memiliki optimasi ekspresi, teknik perwujudan, getaran, serta keluasan imajinasi dan fantasi.” Yang menarik, kata kunci ini justru populer melalui kolektor besar Oei Hong Djien (OHD). Sampai-sampai, bila tak senantiasa diluruskan OHD, banyak orang mengira kata kunci tersebut berasal dari atau kepunyaan pemilik OHD Museum, Magelang, itu. Demikianlah, dengan kedua warisan itu, nama Widayat tetap bertakhta di lidah dan hati penghayat seni rupa Indonesia, utamanya di Yogyakarta, sekalipun ia telah berada di alam baka sejak 17 tahun lalu.
Pameran bertajuk “Greng” ini menggelar pusparagam karya seni rupa—lukisan, gambar, patung, foto, dan objek-instalasi ciptaan 29 seni rupawan Yogyakarta. Dengan itu, pameran ini bertujuan mempresentasikan ikhtiar kreatif—pikiran, perasaan, dan tanggapan—perupa atas kedua warisan estetis Widayat tersebut dalam bahasa visual seturut kadar dan kecenderungan artistik atau sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi mereka. Secara praksis ke-29 perupa itu diundang untuk memamerkan karya-karya yang mereka anggap “greng” atau merupakan tafsir estetis mereka atas “Greng” atau “Decora Magis” atau riwayat kreatif Widayat.
Pameran Potret: Bentara Budaya
oleh WAHYUDIN
Seni rupa modern Indonesia meninggalkan sejumlah warisan berharga bagi khazanah seni lukis potret di Indonesia—antara lain lukisan Di Depan Kelambu Terbuka (1939) karya S. Sudjojono, Pengantin Revolusi (1955) karya Hendra Gunawan, dan Ibuku (1941) karya Affandi.
Dengan itu, mereka memungkinkan kita untuk masuk menemu makna kehidupan personal dan realitas sosial-politik di Indonesia pada masa itu. Lukisan-lukisan itu boleh dibilang merupakan cermin estetis yang memampukan kita berkaca tentang pergulatan eksistensial pelukis dan pengamatan sosial mereka atas kehidupan sehari-hari.
Karena itulah seni lukis potret bukan hanya berkenaan dengan perkara personal, melainkan juga sosial-politik. Dengan kata lain, seni lukis potret memungkinkan seorang pelukis untuk menggambarkan-ungkapkan pengalaman pribadinya atas dirinya sendiri atau orang lain sekaligus memberikan pernyataan politis atas sosok pribadi dan orang lain yang tergambar di lukisannya.
Dalam hal itu, bentuk-bentuk seni lainnya—grafis, fotografi, dan patung—pun tak ketinggalan. Dalam seni patung, misalnya, kita bisa menyebut patung Jenderal Sudirman (1950) karya Hendra Gunawan yang hingga kini masih berdiri di halaman gedung DPRD Yogyakarta. Begitu pula dengan foto-foto karya Mendur bersaudara tentang sosok dan tokoh Indonesia pada masa Revolusi.
Pada perkembangannya seni rupa kontemporer menempatkan potret sebagai salah satu pokok perupaan penting dalam proses kreatif banyak perupa di Indonesia, tak terkecuali di Yogyakarta.
Walhasil, sulit untuk dimungkiri bahwa potret merupakan khazanah estetis dalam seni rupa kontemporer yang paling memungkinkan perupa bertungkus lumus dan menyelidiki bukan hanya hakikat sosok—tapi juga pokok yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah, pameran Potret: Penyeldidikan Estetis di Bentara Budaya Yogyakarta, 13-22 Agustus 2019 ini berkehendak mempresentasikan ikhtiar kreatif—pikiran, perasaan, dan tanggapan—Aan Arief, Abdi Setiawan, Anusapati, Budi Ubrux, Dadang Rukmana, Dedy Sufriadi, Dipo Andy, F Sigit Santoso, Galam Zulkifli, I Nyoman Darya, Jumaldi Alfi, Kokoh Nugroho, Tantin Udiantara, Zulkarnaini atas potret dalam bahasa visual seturut kadar dan kecenderungan artistik atau sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi mereka.
Dengan begitu, pemirsa beroleh kesempatan melakukan penyelidikan estetis atas potret yang terselidik secara estetis dalam karya-karya 13 seni rupa (wan) tersebut.
Yogyakarta, 13 Agustus 2019
Pameran Potret: Syang Art Space Magelang
oleh WAHYUDIN
Seni rupa modern Indonesia meninggalkan sejumlah warisan berharga bagi khazanah seni lukis potret di Indonesia—antara lain lukisan Di Depan Kelambu Terbuka (1939) karya S. Sudjojono, Pengantin Revolusi (1955) karya Hendra Gunawan, dan Ibuku (1941) karya Affandi.
Dengan itu, mereka memungkinkan kita untuk masuk menemu makna kehidupan personal dan realitas sosial-politik di Indonesia pada masa itu. Lukisan-lukisan itu boleh dibilang merupakan cermin estetis yang memampukan kita berkaca tentang pergulatan eksistensial pelukis dan pengamatan sosial mereka atas kehidupan sehari-hari.
Karena itulah seni lukis potret bukan hanya berkenaan dengan perkara personal, melainkan juga sosial-politik. Dengan kata lain, seni lukis potret memungkinkan seorang pelukis untuk menggambarkan-ungkapkan pengalaman pribadinya atas dirinya sendiri atau orang lain sekaligus memberikan pernyataan politis atas sosok pribadi dan orang lain yang tergambar di lukisannya.
Dalam hal itu, bentuk-bentuk seni lainnya—grafis, fotografi, dan patung—pun tak ketinggalan. Dalam seni patung, misalnya, kita bisa menyebut patung Jenderal Sudirman (1950) karya Hendra Gunawan yang hingga kini masih berdiri di halaman gedung DPRD Yogyakarta. Begitu pula dengan foto-foto karya Mendur bersaudara tentang sosok dan tokoh Indonesia pada masa Revolusi.
Pada perkembangannya seni rupa kontemporer menempatkan potret sebagai salah satu pokok perupaan penting dalam proses kreatif banyak perupa di Indonesia, tak terkecuali di Yogyakarta.
Walhasil, sulit untuk dimungkiri bahwa potret merupakan khazanah estetis dalam seni rupa kontemporer yang paling memungkinkan perupa bertungkus lumus dan menyelidiki bukan hanya hakikat sosok—tapi juga pokok yang terkandung di dalamnya.
Pameran 80 nan Ampuh: Syang Art Space
oleh WAHYUDIN
Seorang Indonesia berumur 80 adalah seorang warga di atas rata-rata dalam usia, ikhtiar, dan kiprah hidup. Dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter adalah seorang warga Indonesia di atas rata-rata dengan ikhtiar dan kiprah hidup yang mengesankan di dunia seni rupa Indonesia.
Pada umurnya yang ke-80 tahun, dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Doktermenghablurkan apa yang pernah dikemukakan seorang arif dari Barat: Mengoleksikarya seni rupa bisa jadi sebentuk penyakit cinta. Keindahan bisa jadi sangat menggiurkan, tapi karya seni rupa bukan sekadar indah. Banyak yang tampak aneh danganjil—terutama dalam karya seni rupa kontemporer. Itu sebabnya, mengoleksi karyaseni rupa bukan hanya ihwal menyimpan benda-benda estetis di suatu tempat, tapi juga merawatnya dengan citra, ingatan, dan makna—apalagi jika itu karya seni rupakontemporer.
Saya yakin dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter menginsafi itu di setiap waktuluang estetiknya—sehingga selalu memungkinkannya untuk menempatkan citra,ingatan, dan makna itu di museumnya bernama OHD Museum sebagai yangkontemporer—yang kini dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masa lalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masa kini.
Keinsafan itu pun merupakan sesuatu di atas rata-rata ikhtiar dan kiprah hidup kolektor-kolektor seni rupa di Indonesia. Maka bisa dimengerti jika seorang pengamat pasar seni rupa terkemuka dari Barat mendaulatnya sebagai salah seorang “pembuat selera baru” (the new taste-maker) di dunia seni rupa—dan OHD Museum adalah salah satu ruang seni rupa swasta di dunia yang mengisi peran yang tak bisa—atau tak mau—diambil oleh negara.
Pameran 80 nan Ampuh: Nalarroepa
oleh WAHYUDIN
80 tahun adalah sejarah yang memampukan seorang warga di Republik ini menjadi seorang manusia di atas rata-rata. Apalagi jika warga itu adalah warga seni rupa yang tidak biasa. Seorang pecinta seni rupa atawa kolektor dengan sebuah museum yang menyimpan ribuan karya seni rupa (wan) Indonesia lintas zaman—dari zaman Hindia-Belanda sampai zaman Pasca Reformasi.
Kecintaan semacam itu bukan hanya mengesankan, melainkan juga mengagumkan di sebuah republik yang hampir-hampir tak mengacuhkan seni rupa, kecuali sebagai sekadar aktivitas waktu-senggang orang-orang berkantong tebal.
Dengan begitu, mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah ikhtiar sejarah untuk merawat dan mengabadi-kan daya cipta tak tepermanai warga negara bernama perupa di atas harga, citra, dan makna—bukan guna senang-senang belaka.
Ikhtiar itulah, pada hemat saya, yang memungkinkan kita untuk tak berkeluh-kesah tentang sejarah seni rupa kontemporer—alih-alih harapan kita akan masa depan seni rupa Indonesia. Sebab, kita tahu, sampai pada umurnya yang kedelapan puluh, dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter merefleksikan ikhtiar itu dengan sangat bagus sejarah itu lewat OHD Museum.
Maka, bolehlah kita percaya bahwa sejarah akan terus tumbuh di OHD Museum sebagai sebuah pencapa-ian untuk penghidupan yang lebih baik dan berkualitas, kalau bukan kesempurnaan di masa depan, bagi pengha-yat seni rupa Indonesia.
Atas kepercayaan itu, kami—Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)-menggelar pameran “Delapan Puluh nan Ampuh” ini. Dengan ini pula momen historis dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter yang kedelapan puluh memampukan kami menghablurkannya menjadi momen este-tis dari tiga puluh tujuh karya seni rupa (wan) berukuran rata-rata 80 x 100 sentimeter ini: Agung Hanafi Purboaji, Agus Putu Suyadnya, Anton Subianto, Asep Maulana Hakim, Azhar Horo, Bambang Pramudiyanto, Bahaudin Udien AEE, Banny Jayanata, Budi Purnomo, Bulan Banuari, Eko Didyk Sukowati, Dadang Rukmana, Danni King Heriyanto, Diana Mahardika, Dodi Irwandi, Feri Eka Candra, Ifat Futuh, Irennius Bongky, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Tri Adhi Widyatmanto, Tri Anna Pambudi, Laila Tifah, Loli Rusman, Mahendra Pampam, M. Aidi Yupri, Muji Harjo, Oktaravianus Bakara, Paul Agustian, Ricky Wahyudi, Stevan Sixcio K, Theresia Agustina Sitompul, Yaksa Agus, Yayat Surya, Yoelexz Diposentono, dan Yuni Wulandari. Demikianlah-80 adalah sejarah, 100 adalah doa untuk masa depan.
Yogyakarta, 26 April 2019 Atas Nama MDTL dan SICA
Pameran 80 nan Ampuh: Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
80 tahun adalah sejarah yang memampukan seorang warga di Republik ini menjadi seorang manusia di atas rata-rata. Apalagi jika warga itu adalah warga seni rupa yang tidak biasa. Seorang pecinta seni rupa atawa kolektor dengan sebuah museum yang menyimpan ribuan karya seni rupa (wan) Indonesia lintas zaman—dari zaman Hindia-Belanda sampai zaman Pasca Reformasi.
Kecintaan semacam itu bukan hanya mengesankan, melainkan juga mengagumkan di sebuah republik yang hampir-hampir tak mengacuhkan seni rupa, kecuali sebagai sekadar aktivitas waktu-senggang orang-orang berkantong tebal.
Dengan begitu, mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah ikhtiar sejarah untuk merawat dan mengabadi-kan daya cipta tak tepermanai warga negara bernama perupa di atas harga, citra, dan makna—bukan guna senang-senang belaka.
Ikhtiar itulah, pada hemat saya, yang memungkinkan kita untuk tak berkeluh-kesah tentang sejarah seni rupa kontemporer—alih-alih harapan kita akan masa depan seni rupa Indonesia. Sebab, kita tahu, sampai pada umurnya yang kedelapan puluh, dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter merefleksikan ikhtiar itu dengan sangat bagus sejarah itu lewat OHD Museum.
Maka, bolehlah kita percaya bahwa sejarah akan terus tumbuh di OHD Museum sebagai sebuah pencapa-ian untuk penghidupan yang lebih baik dan berkualitas, kalau bukan kesempurnaan di masa depan, bagi pengha-yat seni rupa Indonesia.
Atas kepercayaan itu, kami—Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)—menggelar pameran “Delapan Puluh nan Ampuh” ini. Dengan ini pula momen historis dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter yang kedelapan puluh memampukan kami menghablurkannya menjadi momen este-tis dari tiga puluh tujuh karya seni rupa (wan) berukuran rata-rata 80 x 100 sentimeter ini: Agung Hanafi Purboaji, Agus Putu Suyadnya, Anton Subianto, Asep Maulana Hakim, Azhar Horo, Bambang Pramudiyanto, Bahaudin Udien AEE, Banny Jayanata, Budi Purnomo, Bulan Banuari, Eko Didyk Sukowati, Dadang Rukmana, Danni King Heriyanto, Diana Mahardika, Dodi Irwandi, Feri Eka Candra, Ifat Futuh, Irennius Bongky, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Tri Adhi Widyatmanto, Tri Anna Pambudi, Laila Tifah, Loli Rusman, Mahendra Pampam, M. Aidi Yupri, Muji Harjo, Oktaravianus Bakara, Paul Agustian, Ricky Wahyudi, Stevan Sixcio K, Theresia Agustina Sitompul, Yaksa Agus, Yayat Surya, Yoelexz Diposentono, dan Yuni Wulandari. Demikianlah-80 adalah sejarah, 100 adalah doa untuk masa depan.
Yogyakarta, 26 April 2019 Atas Nama MDTL dan SICA
Pameran 80 nan Ampuh: Bentara Budaya Yogyakarta
oleh WAHYUDIN
Hari ini, Jumat, 5 April 2019, kolektor Oei Hong Djien—yang masyhur di lidah penghayat senirupa dengan panggilan “Pak Dokter” atau “OHD”—berusia 80. Dalamumur yang mungkintakbisadicapaiolehkebanyakanorang di republik ini, OHD menjelma musyafirlata (flaneur) di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Itu merupakan semacam amsal waktu luang pecinta senirupa masa kini yang tiada henti lalu-lalang dari satu pameran kepameran lainnya; dari satu art fair ke art fair lainnya; dari satu balai lelang kebalai lelang lainnya; dari satu museum ke museum lainnya; dari satu peristiwa senirupa ke peristiwa senirupa lainnya. Pun—ini keunggulan perbandingan OHD ketimbang kolektor lainnya di Tanah Air—dari satu studio perupake studio perupa lainnya—terutama studio perupa di Yogyakarta.
Di setiap waktu luang itu OHD merayakannya dengan antusiasme yang tak tertandingi kolektor lainnya.Dengan begitu, OHD pun menjelma sosok historis yang khas di dunia senirupa Indonesia, “yang mengisi waktu dengan kekuatan seperti baterai”—untuk memakai kalimat Susan Buck-Morss.
Dia seperti tak pernah merasa bosan—sangat mungkin karena dia tahu apa yang ditunggu. Dia hampir-hampir tak pernah merasa lelah barangkali karena dia tahu bagaimana mengelola tubuhnya dengan energi yang simpatik .Sebutlah itu cinta.Dan cintanya paling besar mengejawantah sebagai OHD Museum.
Di museum itu, selama lebih kurang 20 tahun terakhir, tersimpan ribuan karya senirupa Indonesia dari zaman kolonial sampai era milenial. Semuanya dipenuh-seluruhinya dalam suka dan duka perawatan, perhelatan, dan pemahaman, sehingga memungkinkannya terpandang sebagai yang kontemporer—yang kini-dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masalalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masa kini.
Atas kemungkinan itulah kami—Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)—menaja pameran di Bentara Budaya Yogyakarta (5-13 April) ini sebagai persembahan dan penghormatan untuk OHD: seorang kolektor berumur “Delapan Puluh” dengan cinta “nan Ampuh” kepada senirupa Indonesia.
Persembahan dan penghormatan itu menghablur sebagai momen historis sekaligus momen estetis dari daya cipta dua puluh perupa perempuan muda milenial ini:
Ajeng Pratiwi, Anis Kurniasih, Anjani Citra A, Aurora Santika, Deidra Mesayu, Dhiasasi Ulupi, Diana Puspita Putri, Dini Nur Aghnia, Elisa Faustina, Hanggita Dewi, Harindarvati, Ipeh Nur, Meliantha Muliawan, Melta Desyka, Mutiara Riswari, Novelia Hafidzoh, Rara Kuastra, Reza Prastisca Hasibuan, Triana Nurmaria, dan Rika Ayu.
Pameran 80 nan Ampuh: Bale Banjar Sangkring
oleh WAHYUDIN
Dia seperti tak pernah merasa bosan—sangat mungkin karena dia tahu apa yang ditunggu. Dia hampir-hampir tak pernah merasa lelah—barangkali karena dia tahu bagaimana mengelola tubuhnya dengan energi yang simpatik. Sebutlah itu cinta. Dan cintanya paling besar mengejawantah sebagai OHD Museum. Di museum itu, selama lebih kurang 20 tahun terakhir, tersimpan ribuan karya seni rupa Indonesia dari zaman kolonial sampai era milenial. Semuanya dipenuh-seluruhinya dalam suka dan duka perawatan, perhelatan, dan pemahaman, sehingga memungkinkannya terpandang sebagai yang kontemporer—yang kini-dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masa lalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masa kini.
Atas kemungkinan itulah kami bersama-sama—Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)—menaja pameran ini di Bale Banjar-Sangkring Art Space ini (5-13 April) ini sebagai persembahan dan penghormatan untuk OHD: seorang kolektor berumur “Delapan Puluh” dengan cinta “nan Ampuh” kepada seni rupa Indonesia. Persembahan dan penghormatan itu pun menghablur sebagai momen historis sekaligus momen estetis dari daya cipta penuh rasa ingin tahu empat puluh tujuh perupa pelbagai lapisan generasi ini:
Adalah ; Aan Arief, Abdi Setiawan, Adi Gunawan, Aditya Candra, Ali Umar, A.T. Sitompul, Angki Purbandono, Basrizal Albara, Bayu Wardhana, Budi Ubrux, Bunga Jeruk, Dadi Setiyadi, Dedy Sufriadi, Deskhairi, Dipo Andy, Dwi Setya “Acong”, Diah Yulianti, Edi Prabandono, Edi Sunaryo, Edo Pilli, Erizal As, Edo Pop, Gusmen Heriadi, Harry Susanto, I Dewa Mustika, I Dewa Ngakan Made Ardana, I Made Arya Palguna, I Nyoman Darya, Isur Suroso, Januri, Jim Allen Abel, Joko Sulistyo, Katirin, Kokok P. Sancoko, Kokoh Nugroho, M. Irfan, Nasirun, Riki Antoni, Robi Fathoni, F. Sigit Santoso, Soni Irawan, Syahrizal Koto, Syahrizal Pahlevi, Tri Suharyanto, Yunizar, Zulfa Hendra, dan Zulkarnaini.
Bentara Budaya Yogyakarta, Bale Banjar-Sangkring, Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat
Jumat, 5 April 2019, kolektor Oei Hong Djien—yang masyhur di lidah penghayat senirupa dengan panggilan “Pak Dokter” atau “OHD”—berusia 80. Dalam umur yang mungkin tak bisa dicapai oleh kebanyakan orang di republik ini, OHD menjelma sosok historis yang khas di dunia senirupa Indonesia.
Ayah dua anak yang lahir di Magelang, Jawa Tengah, itu seperti tak pernah merasa bosan lalu-lalang dari satu pameran kepameran lainnya; dari satu art fair ke art fair lainnya; dari satu balai lelang kebalai lelang lainnya; dari satu museum ke museum lainnya; dari satu peristiwa senirupa keperistiwa senirupa lainnya. Pun—ini keunggulan perbandingan OHD ketimbang kolektor lainnya di Tanah Air—dari satu studio perupa ke studio perupa lainnya—terutama studio perupa di Yogyakarta.
Itu sebabnya lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1964) dan Patologi Anatomi Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda (1966-1968) itu terpandang bukan hanya sebagai pecinta dan pengoleksi karya senirupa, tapi juga patron “pembuat selera” di dunia senirupa Indonesia dengan sebuah museum senirupa yang mengesankan.
Di museum bernama OHD Museum itu, selama lebih kurang 20 tahun terakhir, tersimpan ribuan karya senirupa Indonesia dari zaman kolonial sampai era milenial. Semuanya dipenuh-seluruh nya dalam suka dan duka perawatan, perhelatan, dan pemahaman, sehingga memungkinkannya terpandang sebagai yang kontemporer—yang kini-dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masa lalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masakini.
Atas kemungkinan itulah Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA) mengadakan pameran Delapan Puluh nan Ampuh di Bale Banjar-Sangkring dan Bentara Budaya Yogyakarta (5-13 April 2019) serta di Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat (26 April 2019) sebagai persembahan dan penghormatan untuk OHD: seorang kolektor berumur “Delapan Puluh” dengan cinta “nan Ampuh” kepada senirupa Indonesia.
Persembahan dan penghormatan itu pun akan menghablurkan momen historis ulang tahun ke-80 OHD sebagai momen estetis dari daya cipta penuh rasa hormat dalam puspa ragam karya senirupa: gambar, lukisan, foto, patung, dan objek instalasi dsb.—ratusan perupa pelbagai lapisan generasi di Syang Art Space Magelang (27 April 2019), Kiniko Art Space dan Sarang Building (28 April 2019), Langgeng Art Foundation dan Galeri Lorong (30 April 2019), Pendhopo Art Space dan Tahun mas Art Room (2 Mei 2019), Indie Art Room dan MJK Community (3 Mei 2019), dan Ruang Dalam Art Space dan SURVIVE! Garage (4 Mei 2019)
Curator by Wahyudin AS / Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
Suatu kali seorang jauhari dari Barat pernah mengatakan ini:
“Salah satu proyek seni rupa adalah mendamaikan kita dengan dunia tidak lewat protes, ironi, atau amsal politik—tapi melalui perenungan nan intens tentang kesenangan di alam. Para perupa berulang kali menawarkan kita gambaran semesta yang memampukan kita bergerak tanpa ketegangan. Itu memang bukan dunia sebagaimana adanya, melainkan seperti yang diinginkan indra dahaga kita: surga bumi penuh makna dan rasa peduli sonder seteru.”
Dengan itu, SICA (Sicincin Indonesia Contemporary Art) beroleh kebijaksanaan yang memungkinkannya menggelar pameran seni rupa: lukisan, fotografi, dan obyek-instalasi—berpokok perupaan lanskap ciptaan Aan Arief, Abdi Setiawan, Ali Gopal, AT Sitompul, Azhar Horo, Bayu Wardhana, Dedy Sufriadi, Deskhairi, Edo Pillu, Erianto, Labadiou Piko, I Made Dewa Mustika, Jumaldi Alfi, Kokok P. Sancoko, MA. Roziq, M. Irfan, Riki Antoni, S. Dwi Setya Acong, Stevan Buana, Yuni Wulandari, Yustoni Volunteero, Wimo Ambala Bayang, Zulfa Hendra, dan Zulkarnaini di Museum Dan Tanah Liat, 3-21 Mei 2018 ini.