mengarang

Pameran Tunggal Mengarang

Dan Abdi Setiawan pun Mengarang

 

Lima tahun belakangan—setelah lebih kurang delapan belas tahun bertungkus lumus dengan seni patung figur, naratif, dan reflektif, yang memampukannya dicatat dan dapat tempat terhormat di dunia seni rupa Indonesia—Abdi Setiawan, lahir di Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971, berasyik-masyuk dengan arang.

 

Hasilnya, 13 karya: 11 objek-lukisan-relief dan 2 drawing—dalam pameran Mengarang di Nadi Gallery, Jakarta, 22 November-12 Desember 2022.

 

“Selama lima tahun terakhir,” kata Abdi Setiawan, “arang dan mengarang telah menyuntikkan semangat baru yang membuat saya tak cemas dan takut dengan pergeseran dan perubahan pilar artistik—bentuk, teknik, ide—karya saya, apalagi khazanah seni rupa kontemporer mendukung dengan praktik apropriasi.”

 

Arang dan apropriasi, harus diakui, bukan bahan dan praktik artistik baru di dunia seni rupa kontemporer Indonesia dan mancanegara. Tapi, tanpa perlu membanding-bandingkannya dengan tendensi kritis, moralistik, atau maknawi perupa-pemeluk teguh apropriasi dan pemanfaat besar arang lainnya, dalam praktik apropriasinya, sebagaimana bisa kita periksa dalam karya-karya di pameran Mengarang ini, Abdi Setiawan bukan hanya memperlihatkan bahwa “appropriation is not always an oppositional practice”—melainkan juga membuktikan pernyataan Kyung An dan Jessica Cerasi bahwa “contemporary art isn’t some wacky destructive credo that sets out to crumble all that has come before.”

 

Itu sebabnya yang menjauhkan karya-karya arang alumnus Jurusan Patung, Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini dari mitos tentang kebaruan dan kreativitas sebagaimana dikemukakan Boris Groys berikut: “There is a myth that to create something new, to be creative in general, you have to reject anything traditional, forget the past, and begin anew.”

 

Dan Abdi Setiawan pun mengarang dengan apropriasi: meminjam, mengopi, mengutip, atau menemurupakan citra-karya yang sudah ada, yang dibuat oleh perupa lain dari lalu waktu yang jauh maupun yang dekat—yakni Leonardo da Vinci, Vincent van Gogh, Marcel Duchamp, Pablo Picasso, Salvador Dali, Lucio Fontana, dan Damien Hirst—sebagai ikhtiarnya menghormati daya cipta mereka dengan visi kreatif baru atau “seikat konsistensi yang dapat dikenali dan bertahan lama di dalam suatu kumpulan karya”—dalam hal ini karya-karya arang.

 

Maka bisa dimengerti jika Abdi Setiawan berhikmat:

 

“Saya tidak percaya bahwa seorang perupa hanya akan berkarya begitu-begitu saja, kecuali dia seorang pemalu atau pendusta.” (*)

 

Jakarta, 22 November 2022

 

WAHYUDIN,

kurator pameran

pameran tunggal

Pameran Tunggal Faisal Amir

Pameran Tungga Faisal Amir

AnomAlien

13-20 November 2022

di Studio Kalahan

Pemutaran Film : 15 November 2022

jam : 15.00 wib

Diskusi / Artis Talk : 16 November 2022

jam : 15.00

Studio Kalahan

subroto

Pameran ” The Master #3″

The Master #3

Pameran Tunggal Sejarah yang Ditemu-Ciptakan

Srisasanti Gallery mempersembahkan 𝚂𝚎𝚓𝚊𝚛𝚊𝚑 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙳𝚒𝚝𝚎𝚖𝚞-𝙲𝚒𝚙𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗, pameran tunggal Iskandar Fauzy (@iskandar.fauzy).

22 Oktober—11 Desember 2022

Pembukaan
Jumat, 21 Oktober, 17:00 WIB

Kunjungi Instagram @srisasantigallery untuk informasi lebih lanjut.

Srisasanti Gallery presents 𝚂𝚎𝚓𝚊𝚛𝚊𝚑 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙳𝚒𝚝𝚎𝚖𝚞-𝙲𝚒𝚙𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗, a solo exhibition by Iskandar Fauzy.

22 October—11 December 2022

Opening
Friday, 21 Oktober, 5 pm

Visit @srisasantigallery’s profile for more information.

Tirtodipuran Link
Jalan Tirtodipuran 50
Yogyakarta

Pameran Attunement


Nadi Gallery

Sabtu 15 september 2022

Jam 19.30 WIB



Pameran Waskita Seni

indieBold#2

WASKITA SENI | Sang Guru Seniman

Gagasan dasar dihadirkan pameran seni sang guru seniman ini adalah penghormatan Indieart House dalam menandai perjalanan melintas generasi atas jejak bakti seni, prinsip berkesenian, dan transmisi pengetahuan para guru/dosen seni yang memiliki ketajaman mata hati, kecerdasan estetik dan kebijaksanaan nilai-nilai diri melalui karya seninya. Pameran ini bisa dikatakan sebagai tribute bagi para dosen-seniman purnatugas yang sejak awal berdirinya ASRI hingga menjadi ISI Yogyakarta, malang melintang mewarnai dan mengayakan seni rupa Indonesia hingga melahirkan generasi-generasi seniman modernis-kontemporer dan estetikawan melalui ruang-ruang kritis akademik dan ruang dialog seni publik.

Artist by:
H. Widayat. | Fajar Sidik  | Nyoman Gunarsa | Aming Prayitno | Suwaji | Drs. Soewardi, M. Sn. | Sudarisman |Subroto Sm.  | Drs. Wardoyo Sugianto | Wardoyo | Dr. Edi Sunaryo, M. Sn. | Drs. Agus kamal | Effendi | Y. Eka Supriyadi | Dra.Nunung Nurdjianti,M. Hum | Drs. Asnar Zacky, M. Sn. | Drs. Titoes Libert, M. Sn.

Officiated by : Benny Santoso Salim
Currated by : I Gede Arya Sucitra

Opening : Wednesday 17 August 2022 – 17.00 WIB
Exhibition period : 18 Agustus – 4 September 2022
Venue:  Indieart House Jl. As Samawaat no.99 Bekelan, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Untuk info lebih lanjut bisa hub Mbak Nur : +62 819 0425 1977
*FREE HTM Reservasi bisa langsung ditempat
Tetap Patuhi Protokol Kesehatan Sesuai Najuran Pemerintah

Pameran Konvergensi

Pasca Traditionalisme

12 Agustus – 12 September 2022

Galeri RJ.Katamsi ISI Yogyakarta

Dalam perkembangan seni rupa kontemporer global saat ini, “Konvergensi” merupakan refleksi hingga cairnya batasan seni.

Seni rupa hari ini banyak berbentuk hibrid dengan mengadopsi perkembangan teknologi, science dan digital, tidak ada lagi batasan dan hirarki antar material.

Seniman juga diajak untuk kreatif menghasilkan karya yang kaya dan berani dengan adanya hibridasi tersebut.

Hadirnya konvergensi tidak melulu menawarkan sebuah kepaduan, namun juga keragaman dan perbedaan.

Pameran Konvergesi diinisiasi dalam rangka memperingati 125 tahun tokoh-pendidik R.J. Katamsi.

Pameran bakaba #8

NOISE

8 Agustus 2022

Komplek Sarang Kalipakis
Tirtonirmolo, Kasihan , Bantul
Yogyakarta

Hakikat dari noise adalah mampu mengaburkan perihal utama. Walaupun yang membuat kabur tersebut akan mampu menjadi hal utama pula nantinya.

Art merupakan tradisi barat (Eropa Barat-Amerika), merupakan arus besar nan utama dalam art world. Sementara seni rupa Indonesia bermain di atas tradisi art, bermacam varian. Kata lainnya, seni rupa Indonesia bergumul di pinggir atau permukaan arus tersebut. Pergumulan inilah yang selama ini kita kritik, tampar, sekaligus diperjuangkan. Sesungguhnya, seni rupa Indonesia merupakan sebuah noise bagi perjalanan art.

Keadaan tersebut tak semata lantaran sumber daya manusia (seniman) tak kreatif dan inovatif, keberadaan seluruh okosistem seni rupa Indonesia tentu saja ikut serta memengaruhinya, juga Indonesia sebagai satu negara di tengah negara-negara lainnya.

  • Alam mengajarkan “Jangan menghadang dengan telapak tangan derasnya air terjun, jika tak ingin patah-patah dan hanyut, tapi jadikanlah itu sebagai tepian untuk setiap tubuhmu”. Artinya, sebuah usaha untuk menerima bukan sikap penolakan terhadap keadaan

Pameran “Berhenti Berpikir”

Berhenti Berpikir

Aa Nurjaman

Pameran tunggal seni rupa Ari Lancor di Tembi Rumah Budaya yang berlangsung pada 27 Juli – 11 Agustus 2022 berjudul “Berhenti Berpikir”. Judul ini menantang saya untuk menganalisis secara mendalam mengenai istilah berpikir yang selama ini digadang-gadang sebagai landasan konsepsi berkarya. Bagaimana tidak, secara umum karya-karya seni rupa modern-kontemporer mengutarakan hasil pemikiran yang disebut konsep. Konsep-konsep itu menjadi modal dasar para kurator untuk mendongkrak karya-karya seni rupa supaya memiliki nilai jual. Melalui penafsiran para kurator, karya-karya seni rupa dianggap memiliki nilai pemikiran yang berperan dalam kehidupan sosial. Tetapi bagaimana ketika Lancor justru menegaskan bahwa kini ia tengah “berhenti berpikir?”

Ungkapan Ari Lancor menjadikan saya menelisik perjalanan berkeseniannya. Berawal dari tidak bisa menamatkan sekolah STMnya di Yayasan Islam NU karena tidak mampu melunasi SPPnya, Lancor berangkat ke Bali bersama pamannya. Bekerja sebagai tukang ampelas di perusahaan mebel antik, yang kemudian bergaul di jalanan sambil belajar menggambar. Menggambar kemudian menjadi hoby yang dikerjakannya setiap ada kesempatan. Ia juga mempelajari karya-karya lukisan souveniran berikut cara menjualnya, dan dari sana ia mulai mendapatkan uang. Namun uang ternyata tidak menjadikan jiwanya bahagia, atau setidaknya mendapat kepuasan. “Ada sesuatu yang tak bisa dinilai dengan uang, yaitu berkarya dengan tanpa memikirkan apapun”.

Pameran Apa Kubilang

Pameran Tunggal Miko Jatmiko ” Apa kubilang”

Karya-karya Miko Jatmiko pada pameran tunggalnya yang ke-13 kali ini adalah karya-karya yang dihasilkannya di dalam penjara, yang merupakan metafor keberhasilannya dalam memutarbalikkan penderitaannya menjadi semangat juang. Sungguh suatu peluang dalam menemukan jati diri di dalam seni.

*Apa Kubilang?*

Garis-garis itu semacam garis hidup yang dialaminya hingga kini. Bisa dibayangkan, tahun 1996, ia berpenampilan perlente sebagai Direktur PT. Hasta Sadewa. Tetapi tahun 2005 berubah drastis, ketika ia menjadi pelukis dengan rambut gondrong, kaus oblong, bercelana jeans dengan sabuk berantai dan tidak jauh dari botol. Ia kerap ikut serta dalam beberapa event pameran seni rupa. Kemudian masuk penjara karena kegiatan ‘Fullmoon Malioboro’, yang mengukuhkan namanya sebagai Miko Malioboro. Dan kini, ia dengan serta merta ingin mengembalikan ke nama asalnya, Miko Jatmiko. Itulah sebagian kecil makna garis-garis dalam karya Miko. Garis-garis yang sudah menemukan jati dirinya sebagai Miko Jatmiko.