Pameran GRENG Memperingati 100 Tahun H. Widayat: Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
Lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 9 Maret 1919—pelukis Widayat atau, resminya, H. Widayat, berusia 100 tahun di tahun 2019 ini. Tapi kita tahu, pada 22 Juni 2002, dia telah berkalang tanah. Sepanjang umurnya yang delapan puluh tiga itu Widayat mengesankan sebagai juru ukur pegawai kehutanan dan juru gambar peta rel kereta api di Palembang; pimpinan Seksi Penerangan—dengan pangkat Letnan Satu—di Divisi Garuda Sumatra Selatan (1945-1947); pendiri Pelukis Indonesia Muda (PIM) bersama G. Sidharta, Murtihadi, Sayoga, dan Suhendra (Yogyakarta, 1954); Dosen seni rupa ASRI, pendiri dan pemilik Museum Haji Widayat di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah (1994); Pelukis serbabisa; dan Maestro Seni Lukis Indonesia. Atas semua itu, Widayat meninggalkan dua warisan estetis yang paling dikenal dan dikenang penghayat seni rupa Indonesia—utamanya Yogyakarta, yaitu lukisan “Dekora Magis” dan “Greng”. Yang pertama adalah karya seni rupa, benda budaya, dan obyek artistik yang memampukan Widayat terpandang sebagai salah satu pelukis Indonesia terkemuka pasca generasi Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono. Pendeknya, lukisan-lukisan “Dekora Magis” Widayat tidak hanya bernilai artistik tinggi, tapi juga bernilai ekonomi yang menjulang dan menggiurkan banyak pecinta dan penjaja karya seni rupa Indonesia. Yang kedua adalah semacam kata kunci Widayat untuk mengidentifikasi dan/atau menilai lukisan. Seturut kata kunci itu, sebuah lukisan yang tersimpulkan baik-apik bila terdapat “Greng”.
Dalam kalimat penulis seni rupa Agus Dermawan T., “Greng” merupakan “istilah khas Widayat untuk menandai lukisan-lukisan yang memiliki optimasi ekspresi, teknik perwujudan, getaran, serta keluasan imajinasi dan fantasi.” Yang menarik, kata kunci ini justru populer melalui kolektor besar Oei Hong Djien (OHD). Sampai-sampai, bila tak senantiasa diluruskan OHD, banyak orang mengira kata kunci tersebut berasal dari atau kepunyaan pemilik OHD Museum, Magelang, itu. Demikianlah, dengan kedua warisan itu, nama Widayat tetap bertakhta di lidah dan hati penghayat seni rupa Indonesia, utamanya di Yogyakarta, sekalipun ia telah berada di alam baka sejak 17 tahun lalu.
Pameran bertajuk “Greng” ini menggelar pusparagam karya seni rupa—lukisan, gambar, patung, foto, dan objek-instalasi ciptaan 29 seni rupawan Yogyakarta. Dengan itu, pameran ini bertujuan mempresentasikan ikhtiar kreatif—pikiran, perasaan, dan tanggapan—perupa atas kedua warisan estetis Widayat tersebut dalam bahasa visual seturut kadar dan kecenderungan artistik atau sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi mereka. Secara praksis ke-29 perupa itu diundang untuk memamerkan karya-karya yang mereka anggap “greng” atau merupakan tafsir estetis mereka atas “Greng” atau “Decora Magis” atau riwayat kreatif Widayat.
Pameran 80 nan Ampuh: Nalarroepa
oleh WAHYUDIN
80 tahun adalah sejarah yang memampukan seorang warga di Republik ini menjadi seorang manusia di atas rata-rata. Apalagi jika warga itu adalah warga seni rupa yang tidak biasa. Seorang pecinta seni rupa atawa kolektor dengan sebuah museum yang menyimpan ribuan karya seni rupa (wan) Indonesia lintas zaman—dari zaman Hindia-Belanda sampai zaman Pasca Reformasi.
Kecintaan semacam itu bukan hanya mengesankan, melainkan juga mengagumkan di sebuah republik yang hampir-hampir tak mengacuhkan seni rupa, kecuali sebagai sekadar aktivitas waktu-senggang orang-orang berkantong tebal.
Dengan begitu, mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah ikhtiar sejarah untuk merawat dan mengabadi-kan daya cipta tak tepermanai warga negara bernama perupa di atas harga, citra, dan makna—bukan guna senang-senang belaka.
Ikhtiar itulah, pada hemat saya, yang memungkinkan kita untuk tak berkeluh-kesah tentang sejarah seni rupa kontemporer—alih-alih harapan kita akan masa depan seni rupa Indonesia. Sebab, kita tahu, sampai pada umurnya yang kedelapan puluh, dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter merefleksikan ikhtiar itu dengan sangat bagus sejarah itu lewat OHD Museum.
Maka, bolehlah kita percaya bahwa sejarah akan terus tumbuh di OHD Museum sebagai sebuah pencapa-ian untuk penghidupan yang lebih baik dan berkualitas, kalau bukan kesempurnaan di masa depan, bagi pengha-yat seni rupa Indonesia.
Atas kepercayaan itu, kami—Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)-menggelar pameran “Delapan Puluh nan Ampuh” ini. Dengan ini pula momen historis dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter yang kedelapan puluh memampukan kami menghablurkannya menjadi momen este-tis dari tiga puluh tujuh karya seni rupa (wan) berukuran rata-rata 80 x 100 sentimeter ini: Agung Hanafi Purboaji, Agus Putu Suyadnya, Anton Subianto, Asep Maulana Hakim, Azhar Horo, Bambang Pramudiyanto, Bahaudin Udien AEE, Banny Jayanata, Budi Purnomo, Bulan Banuari, Eko Didyk Sukowati, Dadang Rukmana, Danni King Heriyanto, Diana Mahardika, Dodi Irwandi, Feri Eka Candra, Ifat Futuh, Irennius Bongky, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Tri Adhi Widyatmanto, Tri Anna Pambudi, Laila Tifah, Loli Rusman, Mahendra Pampam, M. Aidi Yupri, Muji Harjo, Oktaravianus Bakara, Paul Agustian, Ricky Wahyudi, Stevan Sixcio K, Theresia Agustina Sitompul, Yaksa Agus, Yayat Surya, Yoelexz Diposentono, dan Yuni Wulandari. Demikianlah-80 adalah sejarah, 100 adalah doa untuk masa depan.
Yogyakarta, 26 April 2019 Atas Nama MDTL dan SICA
Bentara Budaya Yogyakarta, Bale Banjar-Sangkring, Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat
Jumat, 5 April 2019, kolektor Oei Hong Djien—yang masyhur di lidah penghayat senirupa dengan panggilan “Pak Dokter” atau “OHD”—berusia 80. Dalam umur yang mungkin tak bisa dicapai oleh kebanyakan orang di republik ini, OHD menjelma sosok historis yang khas di dunia senirupa Indonesia.
Ayah dua anak yang lahir di Magelang, Jawa Tengah, itu seperti tak pernah merasa bosan lalu-lalang dari satu pameran kepameran lainnya; dari satu art fair ke art fair lainnya; dari satu balai lelang kebalai lelang lainnya; dari satu museum ke museum lainnya; dari satu peristiwa senirupa keperistiwa senirupa lainnya. Pun—ini keunggulan perbandingan OHD ketimbang kolektor lainnya di Tanah Air—dari satu studio perupa ke studio perupa lainnya—terutama studio perupa di Yogyakarta.
Itu sebabnya lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1964) dan Patologi Anatomi Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda (1966-1968) itu terpandang bukan hanya sebagai pecinta dan pengoleksi karya senirupa, tapi juga patron “pembuat selera” di dunia senirupa Indonesia dengan sebuah museum senirupa yang mengesankan.
Di museum bernama OHD Museum itu, selama lebih kurang 20 tahun terakhir, tersimpan ribuan karya senirupa Indonesia dari zaman kolonial sampai era milenial. Semuanya dipenuh-seluruh nya dalam suka dan duka perawatan, perhelatan, dan pemahaman, sehingga memungkinkannya terpandang sebagai yang kontemporer—yang kini-dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masa lalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masakini.
Atas kemungkinan itulah Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA) mengadakan pameran Delapan Puluh nan Ampuh di Bale Banjar-Sangkring dan Bentara Budaya Yogyakarta (5-13 April 2019) serta di Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat (26 April 2019) sebagai persembahan dan penghormatan untuk OHD: seorang kolektor berumur “Delapan Puluh” dengan cinta “nan Ampuh” kepada senirupa Indonesia.
Persembahan dan penghormatan itu pun akan menghablurkan momen historis ulang tahun ke-80 OHD sebagai momen estetis dari daya cipta penuh rasa hormat dalam puspa ragam karya senirupa: gambar, lukisan, foto, patung, dan objek instalasi dsb.—ratusan perupa pelbagai lapisan generasi di Syang Art Space Magelang (27 April 2019), Kiniko Art Space dan Sarang Building (28 April 2019), Langgeng Art Foundation dan Galeri Lorong (30 April 2019), Pendhopo Art Space dan Tahun mas Art Room (2 Mei 2019), Indie Art Room dan MJK Community (3 Mei 2019), dan Ruang Dalam Art Space dan SURVIVE! Garage (4 Mei 2019)
Curator by Wahyudin AS / Nallaroepa Art Space
oleh WAHYUDIN