Pameran GRENG Memperingati 100 Tahun H. Widayat: Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
Lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 9 Maret 1919—pelukis Widayat atau, resminya, H. Widayat, berusia 100 tahun di tahun 2019 ini. Tapi kita tahu, pada 22 Juni 2002, dia telah berkalang tanah. Sepanjang umurnya yang delapan puluh tiga itu Widayat mengesankan sebagai juru ukur pegawai kehutanan dan juru gambar peta rel kereta api di Palembang; pimpinan Seksi Penerangan—dengan pangkat Letnan Satu—di Divisi Garuda Sumatra Selatan (1945-1947); pendiri Pelukis Indonesia Muda (PIM) bersama G. Sidharta, Murtihadi, Sayoga, dan Suhendra (Yogyakarta, 1954); Dosen seni rupa ASRI, pendiri dan pemilik Museum Haji Widayat di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah (1994); Pelukis serbabisa; dan Maestro Seni Lukis Indonesia. Atas semua itu, Widayat meninggalkan dua warisan estetis yang paling dikenal dan dikenang penghayat seni rupa Indonesia—utamanya Yogyakarta, yaitu lukisan “Dekora Magis” dan “Greng”. Yang pertama adalah karya seni rupa, benda budaya, dan obyek artistik yang memampukan Widayat terpandang sebagai salah satu pelukis Indonesia terkemuka pasca generasi Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono. Pendeknya, lukisan-lukisan “Dekora Magis” Widayat tidak hanya bernilai artistik tinggi, tapi juga bernilai ekonomi yang menjulang dan menggiurkan banyak pecinta dan penjaja karya seni rupa Indonesia. Yang kedua adalah semacam kata kunci Widayat untuk mengidentifikasi dan/atau menilai lukisan. Seturut kata kunci itu, sebuah lukisan yang tersimpulkan baik-apik bila terdapat “Greng”.
Dalam kalimat penulis seni rupa Agus Dermawan T., “Greng” merupakan “istilah khas Widayat untuk menandai lukisan-lukisan yang memiliki optimasi ekspresi, teknik perwujudan, getaran, serta keluasan imajinasi dan fantasi.” Yang menarik, kata kunci ini justru populer melalui kolektor besar Oei Hong Djien (OHD). Sampai-sampai, bila tak senantiasa diluruskan OHD, banyak orang mengira kata kunci tersebut berasal dari atau kepunyaan pemilik OHD Museum, Magelang, itu. Demikianlah, dengan kedua warisan itu, nama Widayat tetap bertakhta di lidah dan hati penghayat seni rupa Indonesia, utamanya di Yogyakarta, sekalipun ia telah berada di alam baka sejak 17 tahun lalu.
Pameran bertajuk “Greng” ini menggelar pusparagam karya seni rupa—lukisan, gambar, patung, foto, dan objek-instalasi ciptaan 29 seni rupawan Yogyakarta. Dengan itu, pameran ini bertujuan mempresentasikan ikhtiar kreatif—pikiran, perasaan, dan tanggapan—perupa atas kedua warisan estetis Widayat tersebut dalam bahasa visual seturut kadar dan kecenderungan artistik atau sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi mereka. Secara praksis ke-29 perupa itu diundang untuk memamerkan karya-karya yang mereka anggap “greng” atau merupakan tafsir estetis mereka atas “Greng” atau “Decora Magis” atau riwayat kreatif Widayat.
Pameran 80 nan Ampuh: Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
80 tahun adalah sejarah yang memampukan seorang warga di Republik ini menjadi seorang manusia di atas rata-rata. Apalagi jika warga itu adalah warga seni rupa yang tidak biasa. Seorang pecinta seni rupa atawa kolektor dengan sebuah museum yang menyimpan ribuan karya seni rupa (wan) Indonesia lintas zaman—dari zaman Hindia-Belanda sampai zaman Pasca Reformasi.
Kecintaan semacam itu bukan hanya mengesankan, melainkan juga mengagumkan di sebuah republik yang hampir-hampir tak mengacuhkan seni rupa, kecuali sebagai sekadar aktivitas waktu-senggang orang-orang berkantong tebal.
Dengan begitu, mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah ikhtiar sejarah untuk merawat dan mengabadi-kan daya cipta tak tepermanai warga negara bernama perupa di atas harga, citra, dan makna—bukan guna senang-senang belaka.
Ikhtiar itulah, pada hemat saya, yang memungkinkan kita untuk tak berkeluh-kesah tentang sejarah seni rupa kontemporer—alih-alih harapan kita akan masa depan seni rupa Indonesia. Sebab, kita tahu, sampai pada umurnya yang kedelapan puluh, dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter merefleksikan ikhtiar itu dengan sangat bagus sejarah itu lewat OHD Museum.
Maka, bolehlah kita percaya bahwa sejarah akan terus tumbuh di OHD Museum sebagai sebuah pencapa-ian untuk penghidupan yang lebih baik dan berkualitas, kalau bukan kesempurnaan di masa depan, bagi pengha-yat seni rupa Indonesia.
Atas kepercayaan itu, kami—Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA)—menggelar pameran “Delapan Puluh nan Ampuh” ini. Dengan ini pula momen historis dr Oei Hong Djien, OHD, atau Pak Dokter yang kedelapan puluh memampukan kami menghablurkannya menjadi momen este-tis dari tiga puluh tujuh karya seni rupa (wan) berukuran rata-rata 80 x 100 sentimeter ini: Agung Hanafi Purboaji, Agus Putu Suyadnya, Anton Subianto, Asep Maulana Hakim, Azhar Horo, Bambang Pramudiyanto, Bahaudin Udien AEE, Banny Jayanata, Budi Purnomo, Bulan Banuari, Eko Didyk Sukowati, Dadang Rukmana, Danni King Heriyanto, Diana Mahardika, Dodi Irwandi, Feri Eka Candra, Ifat Futuh, Irennius Bongky, Irwanto Lentho, Iskandar Fauzy, Tri Adhi Widyatmanto, Tri Anna Pambudi, Laila Tifah, Loli Rusman, Mahendra Pampam, M. Aidi Yupri, Muji Harjo, Oktaravianus Bakara, Paul Agustian, Ricky Wahyudi, Stevan Sixcio K, Theresia Agustina Sitompul, Yaksa Agus, Yayat Surya, Yoelexz Diposentono, dan Yuni Wulandari. Demikianlah-80 adalah sejarah, 100 adalah doa untuk masa depan.
Yogyakarta, 26 April 2019 Atas Nama MDTL dan SICA
Bentara Budaya Yogyakarta, Bale Banjar-Sangkring, Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat
Jumat, 5 April 2019, kolektor Oei Hong Djien—yang masyhur di lidah penghayat senirupa dengan panggilan “Pak Dokter” atau “OHD”—berusia 80. Dalam umur yang mungkin tak bisa dicapai oleh kebanyakan orang di republik ini, OHD menjelma sosok historis yang khas di dunia senirupa Indonesia.
Ayah dua anak yang lahir di Magelang, Jawa Tengah, itu seperti tak pernah merasa bosan lalu-lalang dari satu pameran kepameran lainnya; dari satu art fair ke art fair lainnya; dari satu balai lelang kebalai lelang lainnya; dari satu museum ke museum lainnya; dari satu peristiwa senirupa keperistiwa senirupa lainnya. Pun—ini keunggulan perbandingan OHD ketimbang kolektor lainnya di Tanah Air—dari satu studio perupa ke studio perupa lainnya—terutama studio perupa di Yogyakarta.
Itu sebabnya lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1964) dan Patologi Anatomi Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda (1966-1968) itu terpandang bukan hanya sebagai pecinta dan pengoleksi karya senirupa, tapi juga patron “pembuat selera” di dunia senirupa Indonesia dengan sebuah museum senirupa yang mengesankan.
Di museum bernama OHD Museum itu, selama lebih kurang 20 tahun terakhir, tersimpan ribuan karya senirupa Indonesia dari zaman kolonial sampai era milenial. Semuanya dipenuh-seluruh nya dalam suka dan duka perawatan, perhelatan, dan pemahaman, sehingga memungkinkannya terpandang sebagai yang kontemporer—yang kini-dan di sini—yang senantiasa berikhtiar merawat sesuatu yang baik dari masa lalu dan mengambil sesuatu yang lebih baik dari masakini.
Atas kemungkinan itulah Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Sicincin Indonesia Contemporary Art (SICA) mengadakan pameran Delapan Puluh nan Ampuh di Bale Banjar-Sangkring dan Bentara Budaya Yogyakarta (5-13 April 2019) serta di Nalarroepa dan Museum dan Tanah Liat (26 April 2019) sebagai persembahan dan penghormatan untuk OHD: seorang kolektor berumur “Delapan Puluh” dengan cinta “nan Ampuh” kepada senirupa Indonesia.
Persembahan dan penghormatan itu pun akan menghablurkan momen historis ulang tahun ke-80 OHD sebagai momen estetis dari daya cipta penuh rasa hormat dalam puspa ragam karya senirupa: gambar, lukisan, foto, patung, dan objek instalasi dsb.—ratusan perupa pelbagai lapisan generasi di Syang Art Space Magelang (27 April 2019), Kiniko Art Space dan Sarang Building (28 April 2019), Langgeng Art Foundation dan Galeri Lorong (30 April 2019), Pendhopo Art Space dan Tahun mas Art Room (2 Mei 2019), Indie Art Room dan MJK Community (3 Mei 2019), dan Ruang Dalam Art Space dan SURVIVE! Garage (4 Mei 2019)
Curator by Wahyudin AS / Museum dan Tanah Liat
oleh WAHYUDIN
Suatu kali seorang jauhari dari Barat pernah mengatakan ini:
“Salah satu proyek seni rupa adalah mendamaikan kita dengan dunia tidak lewat protes, ironi, atau amsal politik—tapi melalui perenungan nan intens tentang kesenangan di alam. Para perupa berulang kali menawarkan kita gambaran semesta yang memampukan kita bergerak tanpa ketegangan. Itu memang bukan dunia sebagaimana adanya, melainkan seperti yang diinginkan indra dahaga kita: surga bumi penuh makna dan rasa peduli sonder seteru.”
Dengan itu, SICA (Sicincin Indonesia Contemporary Art) beroleh kebijaksanaan yang memungkinkannya menggelar pameran seni rupa: lukisan, fotografi, dan obyek-instalasi—berpokok perupaan lanskap ciptaan Aan Arief, Abdi Setiawan, Ali Gopal, AT Sitompul, Azhar Horo, Bayu Wardhana, Dedy Sufriadi, Deskhairi, Edo Pillu, Erianto, Labadiou Piko, I Made Dewa Mustika, Jumaldi Alfi, Kokok P. Sancoko, MA. Roziq, M. Irfan, Riki Antoni, S. Dwi Setya Acong, Stevan Buana, Yuni Wulandari, Yustoni Volunteero, Wimo Ambala Bayang, Zulfa Hendra, dan Zulkarnaini di Museum Dan Tanah Liat, 3-21 Mei 2018 ini.
Curator by Wahyudin AS / Nallaroepa Art Space
oleh WAHYUDIN
Curator by Wahyudin AS / Museum dan Tanah Liat (MDTL)
Bantul, Akhir Mei 2016 oleh WAHYUDIN
Anda yang pernah menonton film The Winner (2004) besutan sutradara Mick Davis barang tentu menyimak percakapan antara Augeste Renoir dengan Amedeo Modigliani dan Pablo Picasso di teras rumahnya yang megah pada sebuah sore tahun 1919.
Dalam percakapan itu Modigliani bertanya kepada Renoir.
“Boleh kubertanya? Berapa harga tempat ini?”
“Kecil, hanya seharga dua lukisan,” jawab Renoir yang membuat Picasso cemberut.
“Aku punya dua mobil di garasi,” lanjut Renoir. “Sebuah sketsa untuk masing-masing mobil itu.”
Tak berselang lama, Renoir menunjuk sebuah patung perempuan telanjang karya Rodin yang dipajang tak jauh dari teras percakapan mereka.
“Aku menukar patung Rodin ini dengan sebuah lukisan pensil pot bunga. Hanya potnya, tanpa bunga,” ujar Renoir yang membikin Picasso belingsatan untuk cepat-cepat angkat kaki dengan masygul.
Renoir adalah salah seorang jenius dan maestro seni lukis yang dimiliki Paris pada waktu itu. Dengan reputasi ini, wajar saja ia menghargai sketsanya sebesar harga mobil. Padahal, kita tahu, sketsa tak lebih dari lukisan yang belum rampung. Bisa dibayangkan, berapa harga lukisan-lukisannya yang sudah jadi, apalagi yang dibikin dengan menggunakan banyak warna, sementara sebuah lukisan pensil saja sama harganya dengan sebuah patung karya Rodin yang sama termasyhurnya.
Dengan cuplikan percakapan itu—yang sangat mungkin membikin pematung atau pencinta seni patung muring-muring—saya ingin menggarisbawahi satu hal penting yang berkenaan dengan pameran ini: Alam-benda nan sederhana tapi memiliki nilai artistik, kalau bukan nilai ekonomi, yang tinggi.
Oleh karena itu, saya ingin mengemukakan satu contoh lain—yaitu lukisan Sunflowers (1888) dan Irises (1889) Vincent van Gogh. Kita mungkin sudah tahu bahwa kedua lukisan alam-benda tersebut, yang dibuat van Gogh pada tahun-tahun terakhir hidupnya yang rudin, sendiri, dan sakit jiwa, menjadi begitu terkenal setelah membikin rekor di balai lelang Christie’s dan Sotheby’s pada 1987.
Sunflowers, tepatnya Vase with Fifteen Sunflowers, terjual di Christies, London, pada 30 Maret 1987 dengan harga 39,9 juta dolar Amerika. Pembelinya adalah Yasuo Goto, pebisnis asuransi adiluhung Jepang. Sedangkan Irises terjual dengan harga 53 juta dolar Amerika di Sotheby’s, New York, pada 11 November 1987. Pembelinya adalah Alan Bond, pebisnis ternama Australia.
Tiga bulan setelah Sunflowers terjual, wartawan dan penyair Goenawan Mohamad merenung seraya mereka-reka kemungkinan dalam catatan pinggir berjudul “Kanvas” (Tempo, 27 Juni 1987). Catatan pinggir itu kemudian sedikit diperluasnya dalam tulisan “Tentang Seni dan Pasar” yang termaktub di bukunya, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005, halaman 429-435). Bahwa uang 39,9 juta dolar Amerika itu bukan hanya memampukan seseorang membeli 500 buah mobil Mercedes Benz dan 100 buah rumah mewah di kawasan Pondok Indah, Jakarta—melainkan juga mengungkapkan adanya “harta oligarkis” atau “hal-hal yang, saking langkanya, akhirnya hanya bisa dimiliki oleh satu dua pribadi, walaupun orang lain mampu membelinya.”
Pandangan yang lebih-kurang sama datang dari Don Thompson. Dalam bukunya yang laris dan terkenal, The $12 Million Stuffed Shark: The Curious Economics of Contemporary Art and Auction Houses (London: Aurum Press Ltd., 2008, halaman 146-159), ekonom dan guru besar di London School of Economics itu mengungkapkan bahwa terjualnya Irises merupakan dengan sangat baik “contoh klasik pembeli seni mengejar status budaya.”
Itu sebabnya yang membuat lukisan alam-benda menjadi salah satu “kekayaan oligarkis” yang paling diburu di balai lelang. Terbukti, pada 10 Mei 1999, Sotheby’s, New York, kembali berhasil menjual sebuah lukisan alam-benda Paul Cezane dari tahun 1894, berjudul Rideau, Cruchon et Compotier(Kendi, Tirai dan Mangkuk Buah), dengan harga 60,5 juta dolar Amerika.
Maka tak mengejutkan lagi, jika pada April 2011, melalui private sale, Keluarga Kerajaan Qatar berani membeli lukisan Cezane, The Card Player,dengan harga lebih dari 259 juta dolar Amerika. Padahal, lukisan bertarikh 1982/93 itu “hanya” memperlihatkan dengan bagus apa yang disebut para ahli lukisan alam-benda dengan “elemen alam-benda yang kerap hadir dalam lukisan potret.”
Bagaimanapun, dengan harga selangit itu, lukisan tersebut menjelma sebagai lukisan termahal kedua di dunia setelah lukisan abstrak Willem de Kooning Interchange (1955) dan lukisan potret dua perempuan Tahiti Paul Gauguin, Nafea Faa lpoipo—When Will You Marry? (1892), yang sama-sama terjual lewat private sale dengan harga 300 juta dolar Amerika pada 2015.
Ternyata, “elemen alam-benda yang kerap hadir dalam lukisan potret” itu tetap menggoda para pembutuh karya seni rupa—bahkan membikin mereka tergila-gila sehingga rela merogoh kocek jutaan dolar Amerika, sebagaimana dilakukan Ryoei Sato, mahajuragan kertas Jepang, ketika membeli lukisan van Gogh, Portrait of Dr. Gachet (1890), di Christie’s, New York, pada 15 Mei 1990.
Begitu pula yang dilakukan oleh Barilla Group. Pada 4 Mei 2005, perusahaan makanan Eropa ternama asal Parma, Italia, itu membeli lukisan Pablo Picasso, Garçon à la pipe—Boy With a Pipe (1905), dari Sotheby’s, New York, dengan harga 104,2 juta dolar Amerika.
Mutatis mutandis, publik seni rupa kontemporer internasional tetap saja terkejut ketika mendengar lukisan Andy Warhol dari tahun 1963, Silver Car Crash (Double Disaster), yang memperlihatkan elemen alam-benda dalam kecelakaan lalu-lintas, laku seharga 105,4 juta dolar Amerika di Sotheby’s, New York, pada 13 November 2013.
Pun demikian dengan objek-instalasi alam-benda berupa seekor hiu harimau yang dikeringkan di tangki kaca Damien Hirst yang bertarikh 1991. Karya berjudul The Physical Impossibility of Death in the Mind of Someone Living itu dibeli oleh Steven Cohen, eksekutif perusahaan investasi kaya raya dari Connecticut, Amerika, seharga 12 juta dolar Amerika pada 2005. Cohen membelinya lewat private sale dari mahapenjaja karya seni rupa kontemporer yang berbasis di New York, Larry Gagosian, yang beroleh hak penjualannya dari Charles Saatchi, pengusaha periklanan dan kolektor seni rupa kontemporer terkenal Inggris.
Itu sebabnya yang menantang Don Thompson untuk menelitinya secara saksama—lantas mengulitinya lewat buku The $12 Million Stuffed Shark yang memukau ihwal “ekonomi dan psikologi seni rupa, penjaja, dan balai lelang.” Alih-alih, kata Thompson, “ia mengeksplorasi uang, nafsu, dan pembesaran-diri lewat kepemilikan—semua elemen penting dunia seni rupa kontemporer.”
Sekalipun sudah diamalkan lama oleh banyak perupa, terutama yang tinggal dan berkarya di Eropa, istilah still-life (alam-benda) baru tercatat lewat istilah Belanda “stilleven” (hidup tenang) pada 1650. Kemudian menyebar sebagai kosa kata umum di Eropa pada akhir abad ke-17. Tapi, istilah alam-benda, sebagaimana dikenal dalam khazanah seni lukis saat ini, diwariskan dari kosa kata Prancis “nature morte” yang muncul pertama kali pada 1600.
Itu sebabnya, sebagaimana dicatat oleh Norman Bryson dalam Looking at the Overlooked: Four Essays on Still Life Painting (London: Reaktion Books, 1990), pada periode 1660-an, Akademi Prancis sudah menemukan tempat bagi alam-benda dalam debat estetika di sana. Selanjutnya, pada akhir abad ke-18, Sir Joshua Reynolds, pelukis dan rektor pertama Royal Academy of Arts, merumuskan teori alam-benda dalam Discourse—seri kuliah yang diberikannya di Academy antara 1769 dan 1790.
Sejak saat itu, alam-benda sebagai kategori dalam kritik seni tak bisa dilepaskan lagi dari wacana kritis seni lukis. Salah satu wacana kritis seni lukis alam-benda yang paling dikenal dalam khazanah kritik dan filsafat seni adalah diskusi lintas generasi antara filsuf Jerman Martin Heidegger, sejarawan seni Amerika Meyer Shapiro, dan filsuf Prancis Jacques Derrida. Ketiganya dengan saksama mendiskusikan lukisan alam-benda van Gogh berjudul A Pair of Boots (1887).
Heidegger memulainya lewat “The Origin of the Work Art”—yang memperlihatkan kecenderungan filosofisnya pada teori representasi, bahwa lukisan van Gogh tersebut, alih-alih lukisan tentang sepasang sepatu petani, merepresentasikan realitas ekstra estetis tentang perjuangan liat kaum petani.
Shapiro menanggapinya melalui “The Still Life as a Personal Object—A Note on Heidegger and van Gogh,” yang mengungkapkan kecenderungan intelektualnya pada teori ekspresi, bahwa seni merupakan ekspresi perasaan seniman. Dan itu berarti sepasang sepatu dalam lukisan van Gogh tersebut bukanlah gambar sepasang sepatu petani melainkan lukisan sepasang sepatu van Gogh sendiri yang senantiasa dipakainya dari rumahnya di Belanda hingga di pertambangan batubara di Belgia tatkala dia—dalam misi yang gagal—bekerja sebagai penginjil Kristen.
Derrida nimbrung dalam diskusi tersebut dengan semangat The Critique of Judgment Immanuel Kant yang berkehendak menggali konsep berpasangan, luar dan dalam, yang berkenaan dengan bingkai seni. Seraya menjotos pandangan naïf Heidegger dan pandangan romantik Shapiro—Derrida menawarkan “The Truth in Painting” sebagai ikhtiar filosofisnya memahami, misalnya, lukisan sepasang sepatu van Gogh dalam wacana tentang bingkai atau tafsir yang tak berawal dan yang tak berakhir. Alih-alih, sekadar upaya yang tak tepermanai untuk masuk-menemu makna yang menubuh pada lukisan van Gogh tersebut—pun lukisan-lukisan seniman lainnya.
Sampai pada titik itu, sekali lagi, saya harus mengatakan bahwa uraian di atas merupakan ikhtisar saya atas diskusi Heidegger, Shapiro, dan Derrida tentang lukisan alam-benda van Gogh berupa sepasang sepatu yang belum-sudah dipahami dan dihayati sampai kini. Itu sebabnya, setelah diskusi ketiga pemikir besar tersebut, membuka kembali penggalian makna atas lukisan sepasang sepatu van Gogh itu, pun lukisan alam-benda Warhol,Diamond Dust Shoes (1980), dalam tulisannya berjudul Postmodernism.
Kita bisa menyimaknya secara saksama bersama tulisan Heidegger, Shapiro, dan Derrida—sebagaimana tersurat di atas—dalam buku suntingan Gene H. Blocker dan Jennifer M. Jeffers, Contextualizing Aesthetics: From Plato to Lyotard, yang diterbitkan oleh Wadsworth Publishing Company pada 1999.
Sayangnya, diskusi dan kajian alam-benda semacam itu jarang kita temukan—kalau bukan tidak ada—di dunia seni rupa Indonesia. Namun demikian, kenyataan itu tidak lantas berarti penciptaan karya seni rupa berpokok perupaan alam-benda berhenti di dunia seni rupa tanah air. Alih-alih, kita menyaksikan perkembangan estetis karya seni rupa alam-benda melalui pencapaian artistik sejumlah perupa kontemporer di negeri ini. Sebagian di antara mereka ikutserta dalam pameran “Alam-Benda dan Gambar Lainnya” ini.
Sebagaimana sudah saya sebutkan sebelumnya, pameran ini bertolak dari kenyataan bahwa karya seni rupa alam-benda—terutama lukisan—merupakan bentuk seni yang paling inventif di dunia seni rupa kontemporer, tak terkecuali seni rupa kontemporer di Indonesia, sejak dekade pertama abad ke-20.
Contohnya yang sangat khas adalah karya sentoran pipis Marcel Duchamp berjudul Fountain (1917). Apa yang khas dari karya itu bukan hanya objek yang diusung, tapi pernyataan praksisnya tentang kekuatan tranformatif magis yang dimiliki senirupawan. Contoh yang lain adalah karya kotak sabun pembersih Andy Warhol, Brillo Box (1964), yang, seturut filsuf Arthur C. Danto (1984), menandai berakhirnya sejarah seni. Bahwa seni rupa kontemporer tidak hanya berurusan dengan keindahan—bahkan begitu banyak yang anti-keindahan—tetapi juga dengan makna.
Dengan makna, sebuah karya seni rupa menubuhkan keindahan—bahkan keburukrupaan—sebagai penggambaran sekaligus pernyataan senirupawan atas sesuatu yang tersia-sia atau yang dianggap sia-sia. Dengan begitu, karya seni rupa hadir bukan untuk perkara estetis, melainkan juga perkara etis.
Dalam pameran ini kita bisa menemukan ilustrasinya pada karya arang Abdi Setiawan yang mengingatkan kita akan makna kesia-siaan—yang bisa jadi tragis, bisa juga jadi melankolis. Arang pada karya Abdi adalah sebuah perlambang kehidupan yang lingsir oleh keadaan yang memaksa, tapi benderang oleh cahaya khayali yang tak terbilang.
Persoalannya adalah kesadaran eksistensial bahwa memahami dan menghayati kehidupan itu serupa tipuan mata. Erianto mengartikulasikan perihal tersebut dalam lukisan tiga dimensinya berupa kotak kemasan di mana impian, kenyataan, dan ilusi bertukar tangkap dengan lepas. Ada semangat Warholian yang kental di sana. Karena itu pengetahuan menjadi penting—kalau bukan genting.
Lukisan kembang Dadang Rukmana, misalnya, betapapun menubuhkan sensualitas yang sedap dipandang mata—ia merupakan pernyataan epistemologis sang pelukis atas khazanah seni lukis alam-benda yang menuntut tidak hanya kecakapan teknis, tapi juga kepekaan insani. Itulah soal penting yang tersirat dalam lukisan bunga matahari Mujiharjo.
Mengapropriasi lukisan bunga matahari van Gogh yang terkenal dengan teknik realis yang kental—Mujiharjo merekreasinya menjadi dua lukisan alam-benda sekaligus berupa bunga matahari dan batang korek api, alih-alih lukisan bunga matahari yang tercipta dari gambar berbatang-batang korek api. Jadilah ia sebuah lukisan impresionis berteknik realis.
Kalimat yang terakhir itu bisa diterapkan dengan sama baiknya untuk memahami lukisan Agus TBR berupa potret perempuan menunggang kuda di sepetak lanskap khayali penuh balon warna-warni. Lukisan itu impresif dengan memanfaatkan balon sebagai elemen alam-benda yang artistik.
Penjelasan serba singkat atas karya Abdi Setiawan, Erianto, Dadang Rukmana, Mujiharjo, dan Agus TBR di atas—sesungguhnya contoh belaka tentang pusparagam bentuk, teknik, dan ide karya seni rupa alam-benda yang independen, simbolis, dan alegoris—yang terhimpun dalam pameran ini.
Sejumlah yang lain membawa “gambar yang lain”—yaitu lukisan, patung, atau objek instalasi yang tak menggurat pokok perupaan alam-benda, seperti lukisan lanskap Riduan, patung perempuan Jhoni Waldi, dan lukisan abstrak Apriyanto Omplong.
Jadi, ada sebuah kemungkinan lain dalam kemungkinan yang ingin dihamparkan pameran berpeserta 32 senirupawan ini. Pameran ini merupakan sebuah pesta kecil untuk mata kekinian—baik yang awas dan yang terpelajar maupun yang awam dan yang awanama. Sebab, saya percaya, karya seni rupa terlalu penting untuk dipahami dan dihayati hanya oleh pencinta seni rupa yang sangat halus adab