NOISE

BAKABA #8

NOISE

Menandai Spirit Zaman Dalam Kebisingan Dunia Digital.

Dalam definisi umum, noise diartikan sebagai kebisingan. Definisi ini dapat diperluas menyangkut banyak hal seperti permasalahan politik, sosial masyarakat, religius, hingga kesenian.

Memaknai kebisingan (noise) dalam fenomena seni rupa kekinian, salah satunya dapat kita amati dari mudahnya akses dalam mengapresiasi karya seni dengan bantuan teknologi internet melalui media sosial dan fasilitas digital lainnya seperti katalog digital hingga pameran seni berbasis digital.

Dampak baiknya, seni rupa dapat diapresiasi oleh berbagai kalangan masyarakat. Dalam pameran seni rupa konvensional, sosial media dimanfaatkan untuk mempublikasikan pameran seni, hal ini efektif karena sifat sosial media yang mampu menjangkau banyak orang.

Kita dapat mengamati fenomena pertumbuhan apresian dari golongan pengguna sosial media, kebanyakan apresian golongan ini merupakan anak-anak muda pengguna aktif sosial media yang mengapresiasi karya seni dengan cara mereka sendiri seperti Selfi atau membuat video pendek yang pada akhirnya juga bermuara menjadi konten internet di laman sosial media masing-masing apresian. Dalam konteks ini, sosial media berhasil menciptakan basis apresian dan cara mengapresiasi karya seni yang khas. Fenomena ini juga banyak di apresiasi oleh seniman dengan membuat karya yang bisa mengakomodir cara mengapresiasi seperti ini.

Pada tahun 2015, detik.com memuat berita dengan judul “Jumlah Pengunjung Galeri Nasional Meningkat Karena Tren Selfie”. Pemberitaan ini memaparkan tentang meningkatnya jumlah pengunjung Galeri Nasional karena peran sosial media. Zambrud Setya Negara yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pameran dan Kemitraan Galeri Nasional telah meneliti fenomena ini sejak tahun 2013.

“Pada 2013 lalu jumlah pengunjung sekitar 65.844 pengunjung per-tahunnya. Namun, angkanya melonjak menjadi 109 ribu pengunjung di tahun 2014. Sepanjang 2015 pihak Galeri Nasional Indonesia fokus dan konsisten menyebarkan informasi pameran melalui media sosial. Nominalnya pun naik menjadi 115.863 pengunjung[1].

Statistik pengunjung Galeri Nasional pada tahun 2015 memperlihatkan peningkatan pengunjung pameran yang signifikan. Hal ini pun terjadi di galeri, museum dan bahkan ruang-ruang seni alternatif di Indonesia, bahkan fenomena peningkatan pengunjung pameran ini pun terus berlangsung hingga tahun ini yang didukung dengan berkurangnya kasus covid-19 dan pelonggaran peraturan pemerintah tentang pandemik.

Selain dalam wilayah apresiasi, dampak dari sosial media juga memunculkan fenomena seni rupa dalam wilayah kekaryaan dan kesenimanan. Sosial media menghamparkan ribuan karya seni, memunculkan ribuan seniman-seniman baru, mempublikasikan ribuan pameran seni, yang berlangsung setiap hari, bahkan dalam setiap jam.

Selain hal-hal baik tentang Kemudahan dan kecepatan dalam memamerkan, mengapresiasi dan memproduksi karya seni terdapat konsekuensi yang diterima oleh kesenian itu sendiri seperti plagiarisme, kaburnya klasifikasi seniman, dan minimnya pembacaan karya dalam hal wacana, konsep dan gagasan seniman.

Namun, jika seni berfungsi sebagai penanda zaman, maka konsekuensi ini merupakan konsekuensi atas zaman itu sendiri. Kemudahan teknis yang diberikan oleh teknologi digital memungkinkan setiap orang kini terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan kreatif. Terjadi ledakan kreativitas, dan kreativitas bukan lagi milik kaum genius eksklusif.[2]

Maka tidak heran jika ledakan kreativitas ini dapat kita lihat dari banyaknya karya yang diproduksi dan diunggah di sosial media setiap harinya. Ledakan kreativitas ini memberikan euforia yang secara tidak langsung menenggelamkan fungsi, nilai, dan makna dari karya seni itu sendiri. Selain itu, ledakan kreativitas juga turut memudarkan klasifikasi seniman karena siapa pun pada akhirnya dapat menjadikan dirinya seniman tanpa lagi melewati proses-proses berkesenian secara konvensional.

Hal ini mungkin saja transisi dari perubahan zaman yang begitu pesat semenjak mudah dan murahnya dalam mengakses teknologi internet. Kemungkinan dampak lanjut dan mendasar dari ledakan kreativitas adalah yang bersifat “dekonstruktif”, yakni yang betul-betul mengubah secara radikal pola perilaku konvensional, sambil melahirkan “disrupsi”, dalam arti: pola-pola lama tak lagi bisa digunakan.[3]

Perubahan pola ini merupakan tantangan bagi seniman untuk menyelesaikan persoalan zamannya melalui karya seni.

Fenomena ini pun memantik pembicaraan seni rupa dalam wilayah esensial tentang karya seni, kesenimanan, nilai, serta fungsi dari karya seni itu sendiri. Jika fenomena-fenomena ini dianggap sebagai bentuk kebisingan (noise) yang terjadi di seni rupa, kita tentu dapat melihatnya dalam dua sudut pandang, baik positif maupun negatif.

Salah satu fungsi dari seni adalah sebagai penanda zaman. Seniman seharusnya mampu menangkap spirit zaman yang berkorelasi dengan kekaryaan dan gagasannya. Melalui pameran BAKABA #8 ini, kita mungkin dapat mengamati hal-hal apa saja yang ditandai seniman melalui karya-karyanya.

 

Riski Januar

Bantul, 2 Agustus 2022

[1] https://hot.detik.com/art/d-3098045/jumlah-pengunjung-galeri-nasional-meningkat-karena-tren-selfie diakses pada 2 Agustus 2022, 1.49 WIB

[2] Sugiharto Bambang, Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi, Penerbit PT. Kanisius, Yogyakarta, 2019. Hal 111

[3] Ibid hal 113