DASAWARNA DRAMATURGI SEHARI-HARI

Pengantar Pameran Dasawarna Lukisan Cat air

DASAWARNA DRAMATURGI SEHARI-HARI

Oleh: Aa Nurjaman

 

100 lukisan cat air buah karya 10 seniman digelar dalam pameran “Dasa Warna Ekspresi Cat Air 2021” di Taman Budaya Yogyakarta, pada 4 – 8 Desember 2021. Kesepuluh seniman cat air antara lain: I Made Sutarjaya, Agus Budiyanto, Augustinus Madyana Putra, Gagoek Hardiman, I Gusti Ngurah Dharma Kusuma, Untoro Tanu Merto, Harry Suryo, Nanang Widjaya, S. Nym Kaler Sutama dan Leli Kamal. Mereka menampilkan beragam objek lukisan antara lain: prosesi spiritual di Pura Bali, sisi unik kehidupan penari Bali, kehidupan kota, gedung heritage, sampai pada karya-karya abstrak ekspresionis. Namun demikian, dari sebagian besar lukisan yang terpajang merupakan wujud dari proses melukis langsung di alam terbuka yang biasa disebut on the spot.

Sejak empat tahun lalu kegiatan melukis di alam dijalani lagi oleh para pelukis, terutama mereka yang bermedia cat air. Mereka seakan kembali menggali teknis melukis dalam menangkap objek secara akurat. Dari kegiatan melukis di alam yang kerap dipublikasikan, estetika lukisan cat air kerap dipertanyakan, apakah lukisan cat air yang kebanyakan mengejar kemiripan dengan objek-objek alam mampu menampilkan suatu filosofi estetik? Pertanyaan ini merupakan sebuah masalah krusial yang perlu diluruskan, karena kerap memposisikan lukisan cat air pada karya seni kelas dua, di mana lukisan cat air dianggap belum sampai pada tahap pencapaian filosofis seni. Dalam menjawab pertanyaan tersebut saya memerlukan suatu metode analisis yang mampu merogoh ungkapan rasa terdalam dari karya-karya lukisan cat air yang mengungkapkan estetik sehari-hari.

Kerangka Analisis

Pameran “Dasa Warna” yang menampilkan 100 lukisan cat air buah karya sepuluh seniman kiranya cukup untuk mewakili permasalahan pencapaian filosofi lukisan cat air yang selama ini dipertanyakan. Metode pendekatan analisis yang saya gunakan dalam menelaah karakter karya-karya lukisan cat air yang terpajang pada pameran ini adalah teori yang disusun oleh Katya Mandoki, Everyday Aesthetic. Menurut Mandoki, dalam kerangka ‘bio-estetik’ yang luas, estetik pada dasarnya adalah pencerapan sehari-hari yang mempertajam sensibilitas. Konteks ini secara spesifik disebut ‘the prosaic aesthetic’, yakni praktik sosio kultural sehari-hari, di mana retorika dramaturgi kehidupan digunakan untuk menangkap serta mengelola minat dan hasrat manusia (Mandoki, 2007). Mandoki membandingkan karya seni yang biasa disebut fine art sebagai wilayah estetik yang disebut poetic, yakni bermacam kegiatan olah rupa dan olah bentuk dalam rangka menangkap dan mempertajam efek dari aliran denyut realitas prosaic sehari-hari yang bergerak terus. Di sini, seni lukis cat air ibarat still foto yang hendak menangkap dan membekukan aneka peristiwa yang senantiasa berlari.

Konteks

Kita bisa menelaah karya-karya yang terpajang pada pameran ini yang sebagian besar dihasilkan dari proses melukis langsung (on the spot), antara lain ekspresi penari Bali seperti terlihat pada karya I Made Sutarjaya yang berjudul “Agem Tari Baris” (2021 dan “Barong Mesolah” (2021), atau sisi lain kehidupan penari seperti terungkap pada karya Kaler Sutama, “Sentuhan Terakhir”. Karya berikutnya menampilkan prosesi spiritual seperti terungkap dalam karya I Gusti Ngurah Dharma Kusuma “Balinese Temple”, karya kaler Sutama “Odalan di Pura”, juga karya Augustinus Madyana Putra “Banyak Dhalang-Sawunggaling”. Penggambaran heritage terdapat pada karya Nanang Widjaya “Klenteng” dan “Kota Lama Semarang”.  Prosesi budaya terlihat dalam karya Untoro Tanu Merto “Black Warior”. Ada pula yang menampilkan kehidupan keseharian masyarakat kota seperti terungkap dalam karya Gagoek Hardiman dan Augustinus Madyana Putra. Sementara lukisan abstrak ekspresionis terungkap pada karya Agus Budiyanto “Time Vortex”, karya Harry Suryo “Intimate” dan karya Leli Kamal “Floating”.

Karya-karya Nanang Widjaya, Gagoek Hardiman, I ngurah Darma kusuma, Kaler Sutama, Augus Madyana Putra I Made Sutarjaya dihasilkan dari kegiatan melukis di alam (on the spot), atau melukis model, yang kerap dianggap sebagai karya mimesis. Istilah mimesis sendiri di ranah akademik dimaknai secara dangkal sebagai pengganti istilah tiruan. Dalam arti karya-karya mimesis inilah yang sering ketiban anggapan sebagai karya fine art kelas dua. Dimulai dari istilah mimesis inilah kiranya kita bisa mengungkap makna estetik sehari-hari pada lukisan cat air sebagaimana diteorikan oleh Katya Mandoki.

Istilah mimesis asal katanya mimetic diungkapkan Plato sekitar 2500 tahun yang lalu, untuk menilai karya-karya seni representatif atau yang biasa disebut karya seni realistik/naturalistik. Plato, seperti termaktub dalam bukunya Republic, memandang bahwa seni haruslah mengandung nilai filosofis. Pemaparan Plato kemudian dikenal sebagai teori mimetic atau lebih populer dengan istilah mimesis. Terjemahan yang paling dekat dengan teori Plato adalah representasi. Dalam teori mimesis terdapat dua wilayah pencitaan seni, yaitu wilayah nyata yang berasal dari ide-ide sempurna dan wilayah ilusi yang merupakan salinan dari ide-ide sempurna (Plato, tanpa tahun: 321). Diringkaskan oleh Plato, bahwa dunia sempurna bersifat non spasial dan non temporal, sedangkan dunia ilusi bersifat spasial dan temporal (Bagus, Loren, 2005:851-852).

Teori mimesis dijelaskan Plato melalui pertanyaan, “apa bedanya tukang kayu yang membuat tempat tidur dan pelukis yang melukis tempat tidur?” Makna dari pertanyaan itu, keduanya menghasilkan tempat tidur, tapi siapakah yang menghasilkan esensi tempat tidur?

Pencipta tempat tidur yang sebenarnya menurut Plato adalah Dewa (maksudnya konsep-filosofi tempat tidur yang bersifat non spasial). Pembuat tempat tidur kedua adalah tukang kayu, dan pembuat tempat tidur ketiga adalah pelukis yang hanya merepresentasikan tempat tidur. Menurut Plato kedua seniman ini mewujudkan karya spasial atau temporal yang tidak menampilkan esensi apalagi kebenaran. Kesimpulan Plato, bahwa semua hasil kesenian pada dasarnya mimesis atau “representasi”. Dan representasi bagi Plato hanya sejenis pertunjukkan yang tidak perlu ditanggapi secara sungguh-sungguh. Seniman, menurut Plato, tidak memiliki pemahaman tentang subjek yang tampil dalam karya-karya mereka. Representasi subjek dalam karya seni, menurut Plato, tidak akan memberikan apa-apa untuk kehidupan manusia. Plato mengutarakan, bahwa dalam jiwa manusia terdapat tiga bagian harmoni, yaitu harmoni yang bersifat nikmat, arah dan rasional (Plato, tanpa tahun: 321-340).

Teori Plato mempengaruhi kehidupan seniman selama lebih kurang 1500 tahun. Karya para seniman yang terampil dianggap tidak memiliki nilai sama sekali, dan kedudukan mereka di masyarakat hanya sebagai tukang yang disebut artista, atau lebih populer dengan istilah artisan. Hingga di masa renaisan terjadi perombakan tata nilai seni. Para seniman masa itu mulai mengadakan penelitian hingga membuahkan ilmu pemahaman (kognisi). Ketika mereka akan melukis manusia, mereka mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia, dan ketika mereka akan merepresentasikan beragam objek, mereka harus mengetahui segalanya mengenai objek-objek yang menjadi sasarannya. Di masa itulah lahir suatu ilmu kognisi tentang alam dan perkotaan yang penggambarannya disebut perspektif. Dari masa renaisan ini juga kedudukan seniman mulai dihargai di lapisan masyarakat.

Namun demikian di masa berikutnya, para filsuf Barat mengklasifikasikan beragam karya seni berdasarkan makna filosofis kejiwaannya. Dari sana lahir istilah seni dan bukan seni dengan cara membuang karya apapun yang sifatnya tradisional.

Konteks Filosofis Lukisan Cat Air

Dalam alam modern, semua tatanan kehidupan mengalami perubahan, tidak terkecuali makna filosofis seni. Kehidupan modern bersandar pada pemilahan-pemilahan tegas antar segala. Seni menjadi kegiatan mandiri, terpisah dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Seni menjadi penggalian makna hidup yang sangat pribadi, cermin kebebasan individu, perpaduan antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, ketakterdugaan imajinasi dan kecerdasan intelegensi seseorang yang disebut ‘seniman’. Seni menjadi sesuatu profesi. Di sana seni adalah sesuatu yang eksklusif dan elitis: sosoknya bukan lagi sebuah ‘peristiwa’ melainkan sebuah ‘karya’, produk para jenius, dengan tanda tangan yang demikian prestisius, dan hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan khusus.

Kegiatan berkarya dengan melukis di alam dan kemudian berpameran seperti dilakukan oleh para pelukis cat air sebenarnya hanyalah mengembalikan konteks seni pada kenyataan realnya, setelah dipersempit oleh wacana seni Barat. Sejak perkembangan seni modern di Indonesia, apa yang disebut ‘seni’ dan ‘bukan seni’ sudah relatif terkait erat pada konstruksi budaya setempat. Sebuah keris, selembar kain batik yang menjadi sandangan keprajuritan seperti digambarkan oleh Untoro Tanu Merto. Demikian pula heritage dan prosesi spiritual seperti dilukiskan oleh Nanang widjaya, I Gusti Ngurah Dharma Kusuma, Kaler Sutama dan Augustinus Madyana Putra, bagi masyarakat Jawa dan Bali adalah ‘seni tinggi’, berbobot, filsafati, yang merupakan wujud kontemplasi. Tetapi dalam konsepsi – filosofis seni Barat, seni batik, keris atau heritage paling banter hanya dianggap sebagai artefak antropologi atau data penunjang etnografi.

Karya-karya cat air yang mengungkapkan kehidupan keseharian seperti terlihat dalam karya-karya Gagoek Hardiman dan beberapa seniman lainnya yang melukiskan kehidupan sehari-hari sebagai hasil melukis on the spot, bisa dianalisis bahwa yang menjadi fokus utama bukanlah pola-pola hukum umum yang objektif, tetapi sebaliknya adalah sisi-sisi unik, berbeda, tak terduga dan tak lazim tentang kenyataan. Dengan cara itu, menurut analisis Mandoki, seni penting untuk memperlihatkan kompleksitas dalam kehidupan keseharian. Kalaupun realitas dan masalah-masalah kehidupan dari zaman ke zaman pada dasarnya sama saja, namun seni setiap kali menemukan sudut pandang baru untuk melukiskan serta memahami kompleksitas dan kedalamannya (Scheling, 1989: 22).

Apa yang dilukiskan oleh Nanang Widjaya, Augustinus Madyana Putra, Kaler Sutama dan Untoro Tanu Merto melalui karya-karya lukisan heritage, sarana maupun prosesi peribadatan adalah mengembalikan gagasan mereka kepada alam religiometik-pramodern yaitu penyatuan seni dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari. Seni tampil dalam mengurusi pernak-pernik sesajen hingga misteri hidup dan mati. Dalam hal ini seni bukan pertama-tama menyangkut benda, melainkan menunjuk pada keseluruhan peristiwa, di mana kata, gerak, nada dan beragam benda saling berkomunikasi, saling merasuki menjadi mantra sehingga menimbulkan prosesi keajaiban upacara.

Karya-karya Agus Budiyanto, Lely Kamal dan Haryo Suryo, melalui lukisan abstraknya sepertinya merangkum semua kegiatan keseharian kita melalui simbol-simbol warna, sapuan kuas, goresan dan tekstur, sebab yang ditangkap bukanlah medan rupa seperti tampaknya, melainkan energi batin dibaliknya, misteri Ilahi yang memancar dari auranya (Bambamng Sugiharto. Ed. 2013:35).

Melalui karya-karyanya, mereka hendak memberi bentuk pada pengalaman masing-masing. Pengalaman selalu real, namun sekaligus kompleks, mengandung demikian banyak unsur tumpang tindih dan sulit dirumuskan secara memadai. Di sinilah barangkali bisa kita katakan bahwa karya-karya lukisan cat air bukan sekedar karya mimesis yang tidak mengandung makna filosofis, namun merupakan penciptaan ulang sebagai proses kreatif dan imajinatif terhadap kompleksitas kenyataan kehidupan kita.

Secara keseluruhan, karya lukisan yang terpajang pada pameran ini mengetengahkan situasi sosial yang dapat mewujudkan diri sebagai sebuah estetik ketika ada karakter-karakter estetik dominan yang muncul, yaitu adanya penerimaan dari orang lain, banyaknya persepsi, adanya kebaruan dan adanya upaya pelepasan diri dari kungkungan permasalahan yang dialami para seniman, juga masyarakat pada umumnya. Gagasan-gagasan mengenai estetik sehari-hari kemudian berkembang menjadi estetik sosial yang selalu menawarkan pendekatan yang khas, segar dan menerangi hubungan antar manusia, baik dalam bentuk persahabatan, kekeluargaan bahkan kenegaraan. Banyak masalah yang seringkali muncul silih berganti, maka estetik sosial hadir untuk menggantikannya dengan sesuatu yang menarik. Pada akhirnya, estetik sosial memberikan arti baru untuk toleransi, timbal balik dan kesetaraan yang membuat masyarakat menjadi manusiawi melalui penilaian dan persepsi terhadap karya seni, yang tentunya berbeda-beda.

 

Yogyakarta, 6 Juli 2021

 

Pustaka

 

Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Mandoki, Katya. 2007. Everyday Aesthetics: prosaics, the play of culture, and social identities. Aldershot: Ashgate.

Scheling. 1989. The Philosophy of Art. Trans: Douglas W. Stott. Minnesota: University of Minenesota Press.

Sugiharto, Bambamng. Ed. 2013. Untuk Apa Seni. Bandung: Matahari.