poster publikasi

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Pameran Virtual Peace in Chaos!

Oleh Jajang R Kawentar

Kreativitas itu tidak dapat dibendung dan harus menemukan jalan keluarnya; maka memamerkan karya seniman disabilitas (berkebutuhan khusus) pada pameran virtual Peace in Chaos. Ada sepuluh seniman, Agus Yusuf (Madiun; Daksa), Anfield Wibowo (Jakarta; Rungu Wicara, Sindrom Asperger), Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan (Yogyakarta; Rungu Wicara), Lala Nurlala (Bandung; Asperger), Laksmayshita Khanza Larasati Carita (Sleman; Rungu Wicara), Mochammad Yusuf Ahda Tisar (Lampung; Rungu Wicara), Rofita Rahayu (Gunung Kidul; Rungu Wicara), Wiji Astuti (Gunung Kidul; Amputi Tangan dan Kaki), Winda Karunadhita (Keramas Gianyar Bali; Muscular Distrophy), Yuni Darlena (Bengkulu; Daksa). Digagas oleh Budi Dharma (Butong) koordinator pameran.

Cara damai dalam situasi kacau ini, berbagai kreativitas harus difasilitasi sebagai produktifitas baru menghadapi situasi. Dalam rangka menghindari wabah Covid-19 menyiasati kegiatan kolektif, salah satu solusi adalah event virtual. Event ini melibatkan banyak seniman dan video maker  tanpa harus berhadapan langsung. Seniman tetap di rumah, tetap bisa menjaga jarak untuk menjaga kesehatannya. Tim event virtual exhibition berkerja di rumah mengolah data mempersiapkan penayangan secara online. Hanya mengandalkan media sosial dan handphone.

Seniman terus meningkatkan produktifitasnya sebagai upaya menghindari ketegangan berpikir yang diakibatkan dari kecurigaan karena setiap orang membawa bakal penularan virus. Situasi umum ini meneror terus menerus, sehingga keadaan pandemi terasa kian mencekam.

 

Ketika Melukis Menjadi Pilihan Hidup  

Seni tidak akan ada matinya. Kreatifitas seni terus memenuhi ruang dan waktu dalam kondisi dan situasi apapun. Ia hadir memberikan pencerahan, pandangan serta pemandangan segar, wawasan baru dan pengalaman baru bagi para pelaku dan penikmatnya. Berupa prosesnya atau karya yang dihasilkannya.

Ketika melukis menjadi pilihan hidup, dalam situasi dan kondisi apapun akan tetap melukis. Namun bagaimana ketika melukis itu menjadi pilihan hidup bagi para penyandang disabilitas? Kekuatan, kesungguhan dan keyakinan yang telah teruji terhadap pilihannya itu. Dengan berbagai kendala keterbatasannya adalah kelemahan yang justru menjadi kekuatan meyakinkan semua orang atas kemampuannya. Mereka mampu melewatinya dengan keseriusan menyuguhkan karyanya. Meskipun itu bukan jalan hidupnya, setidaknya melukis menjadi pilihan hidupnya yang bersahabat dan ramah padanya.

Dalam berkarya, mereka tidak memaksa orang lain mengerti disabilitas yang ditanggungnya. Mereka menyadari sungguh dirinya bukanlah objek, tapi subjek seperti juga warga masyarakat lainnya. Mereka tidak meminta dipahami, karena mereka tahu orang yang peduli tidak butuh penjelasan itu. Seperti halnya mereka turut mendonasikan sebagian dari penjualan karyanya disisihkan bagi saudara-saudaranya yang terdampak Covid-19. Semoga dari apa yang ia mampu beri menularkan virus kebaikan dan perdamaian. Menghadiahkan yang bermanfaat bagi semua orang.

 

Keindahan Menjemput Damai

Menikmati karya dari kepasrahan dan ketulusan penciptanya, ada rasa haru dan kagum tak terhingga. Meskipun melihat proses mereka berkarya melalui beberapa photo dan video yang mereka rekam, memahami keindahan maha pencipta dan apa yang diciptakannya. Baiklah kita mulai dengan Agus Yusuf, tanpa kedua tangannya melukis dengan mengunakan mulut untuk menggerakkan kuasnya. Berapa lama ia meyakinkan kalau dirinya mampu melukis dengan indah. Ia betul-betul mahir melukiskan bentuk benda atau objek. Kemauan dan kesabarannya seperti telah menghadirkan kedua tangannya yang tiada itu. Dia memamerkan dua karya lukisan yang mampu merangsang orang ingin memiliki atau ingin mencicipinya seperti lukisan buah apel yang mulai memerah di batangnya diberi judul ‘Menggugah’, dan lukisan Merpati merpati putih berpasangan bertengger di pohon sedang memadu kasih, damainya meraka itu terasa seperti judulnya ‘Damai’.

Anfield Wibowo, memiliki banyak gagasan yang mengalir yang mendorongnya mengungkapkan pada ruang kosong. Dia juga pencatat atau perekam yang baik setiap momentum keindahan yang sangat berarti baginya dan menyentuh hatinya. Sehingga ada beberapa variasi lukisan hasil eksplorasinya. Tiga karya ditampilkan pada pameran ini, ‘Menunggu Chinderella’ dilukiskan suasana malam yang bertabur bintang, di tengah malam itu Chinderella belum pulang usai pesta. ‘Musim Gugur’ dia merekam bagaimana moment ketika berkunjung ke luar negri ketika musim gugur. ‘Smiling Budha’ terkait keyakinan, spiritual dan religiusitas. Ia mengatakan pada kita tentang segala sesuatu yang telah dialami dan ditemuinyanya dengan segala apa yang ia rasakannya, atau itulah pendapatnya.

Bagaskara Maharastu Pradigdaya Irawan, tertata dengan teknik lukisnya yang mumpuni, bercerita sesuatu yang monumental, dan pesan moral terselip di dalamnya. Suasana yang dibangun adalah kegembiraan, kebahagiaan dan damai. Seperti ‘Bermain ke Negeri Dongeng’ bagaimana anak-anak bermain penuh suka cita dengan berbagai permainan, dan warna-warna cerah disaputkan pada objek-objeknya. ‘Malioboro’ menggambarkan Malioboro yang padat gedung pertokoaan seperti berlomba menembus langit. Serta ditandai pula oleh pesatnya pembanguan gedung baru. ‘Toleransi Antar Umat Beragama’, ia ingin menyampaikan keberagaman beragama dalam bermasyarakat. Pentingnya saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan agama, kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

karya pameran

akrilik di atas kanvas

Lala Nurlala, menampilkan figur imajinatif  yang ilustratif, dengan dipenuhi motif stilisasi tumbuhan. Dia lebih fokus pada garis dan karakter dari figurnya. Garis seperti sebuah strategi dalam membahasakan ketertarikannya pada sesuatu, meredam dan menyelesaikannya. Empat karya Seris Pandemic: Untitled #1-#4 diikutkan pada pameran kali ini. Figur tokoh pewayangan berkarakter pahlawan atau tokoh penyelamat yang diselimuti oleh motif berbentuk ukel membentuk asesoris, busana sampai pada backroundnya. Rumitnya motif yang mendominasi karya tersebut seperti rumitnya situasi Pandemi ini. Dalam satu tema itu ratusan karya bersamaan yang dia ciptakan.

Laksmayshita Khanza Larasati Carita, ketertarikannya pada sesuatu yang sering dilihatnya, dekat dan dipahaminya mengarahkannya pada sebuah konsep seperti halnya pada titik dan garis. Titik-titiknya membentuk sesuatu yang dia bayangkannya. Bisa dilihat pada karya ‘Titik Terang’ dimana dia membuat titik-titik warna terang dengan backround warna hitam. Titik-titik itu membentuk sebuah motif dan dipisahkan dengan garis menjadi beberapa ruang. Begitupun pada karya ‘Kaktus’, dia mengutamakan titik-titik dan sedikit garis besar membentuk objeknya. Kesederhanaan antara titik dan garis ini seperti sebuah kesimpulan dari konsepnya melukis.

Mochammad Yusuf Ahda Tisar, dalam melukis memiliki kecenderungan pada arsitektur dan sesuatu yang alami dari kearifan lokal. Dia berusaha menjelaskan dengan teliti pemahamannya dari apa yang dia lihat dan dipikirkannya. Pengalamannya telah mengajarkan bagaimana prespektif cara berpikir dan cara meyakinkan kemampuannya, meskipun menggunakan alat dan media sederhana yang dimilikinya. Tiga karyanya, ‘Perlahan Tapi Pasti’, menunjukkan pandangan terhadap sikap atau cara menghadapi sesuatu dengan tenang begitu juga bekicot sedang merayap. ‘Islamic Center dan Bubu Penangkap Ikan’ melukiskan Bubu yang berukuran lebih besar dari gedung, dia seperti sedang merancang bangunan dari Bubu penangkap ikan, inspirasi bagi kita. ‘Rumah Panggung Lampung’, memotret bentuk bangunan asli daerah Lampung, rumah panggung yang kini tidak lagi dibangun di kampungnya.

Rofita Rahayu, dari keterbatasan dirinya, semangat hidupnya untuk selalu mengolah rasa. Pertemuannya dengan media lukis menjadi sebuah perjuangan dalam mencitrakan dirinya, mewujudkan mimpi yang terus dia coba menggapainya. Dua karyanya ‘Tentang Harapan dan Kesunyian’, lukisan ini dibuat detail menggambarkan seorang putri bersayap sedang memeluk dirinya sendiri di angkasa. Satu lagi ‘Habibie’, potret teknokrat yang menjadi presiden Republik Indonesia ketiga, BJ. Habibie dan pesawat origami dengan backround merah putih. Pada visual karyanya itulah dia menaruh harapan dan menggapainya.

Wiji Astuti, perancang busana dari Gunung Kidul Yogyakarta berkarya batik kain yang bisa digunakan untuk menghiasi dinding ruangan rumah, kantor atau hotel dengan dibingkai. Motifnya mengambil stilisasi tumbuhan dan binatang yang kerap ia lihat disekitar kampungnya. Seperti pada karyanya ‘Kimpul Wungu’ yaitu stilisasi dari tumbuhan sejenis talas berwarna ungu, pada jaman revolusi umbinya itu menjadi makanan pengganti nasi dan sekarang sudah hampir punah. ‘Pupus Lumbu’ ini juga stilisasi motif sejenis talas berwarna hijau dan ‘Gareng Pung’ serangga sejenis Tonggeret yang biasanya di goreng menjadi lauk makan. Saking banyaknya serangga itu jadi wabah penyakit bagi pertanian penduduk. Motif Batik yang diciptakannya ini kemudian bisa jadi ciri dari batik daerah Gunung Kidul.

Winda Karunadhita, memamerkan tiga karyanya yang sangat romantis, warna yang membangkitkan kebahagiaan dan rasa damai. Penguasaan mengolah warnanya membuat karyanya menjadi hidup dan komunikatif. Dia bercerita tentang kegundahan hatinya, seperti pada ‘Tujuh Bidadari’. Tujuh bidadari itu sedang mandi di sungai diintip pemuda desa, sebuah suasana yang ceria namun dramatik. Begitupun dengan ‘Beauty in The Dark’ bercerita tiga burung menclok di pohon yang rimbun bunga, dua burung menclok berdampingan dan satunya menclok di dahan bawahnya seperti mengajak dialog. Disitulah cerita burung itu dimulai. Satu lagi ‘Forget Me Not Flower’, kisah dua kupu-kupu di taman bunga-bunga. Untuk menghasilkan karya yang indah itu, ia harus menopang tangan yang digunakannya melukis oleh tangan satunya selama menyelesaikan lukisannya. Tangannya tidak memiliki kekuatan, itulah keterbatasannya. Kekuatannya bertumpu pada semangatnya, keteguhan, kesabaran dan keyakinan hatinyalah, ia  kerahkan dalam berkarya. Lalu berapa lama dan bagaimana ia belajar melukis selama ini?

karya seniman perempuan

oil on canvas

Yuni Darlena, sangat terkesan dengan suasana alam yang indah dan budaya di daerahnya. Mengisyaratkan betapa ia ingin bertamasya ke lokasi-lokasi alam itu, keliling nusantara dan mengabadikannya pada setiap goresannya di kanvas. Suasana alam yang sejuk, aman dan nyaman dalam kesederhanaan realitas kesehariannya, terlukis kerinduan serta damainya alam itu. Selama ini dia hanya dapat membayangkan di atas kursi rodanya. Tiga karya yang dipamerkan, ‘Riak-riak di Kampung Nelayan’ menggambarkan suasana atau keadaan rumah nelayan di tepi laut. ‘Sawahku’ suasana petani pedesaan sedang memanen padinya dan ‘Lentera Bengkulu Tempo Dulu “Kala” Badai’, lukisan heroiknya lentera di mercusuar bertahan dari deburan ombak karena badai, menjadi tanda arah bagi para nelayan atau perahu yang berlayar.

Demikianlah sedikit pandangan mengenai sepuluh seniman berkebutuhan khusus yang tangguh menghadapi situasi pandemik dan bersaing dengan para pelukis umumnya. Kelemahan, kekurangan, kelebihan dan keunggulan itu kuasa Tuhan, sejauhmana kita bersyukur dan berusaha lebih baik. Para seniman ini telah menunjukkan kesungguhannya lebih-lebih, karena dia harus berdamai terlebih dahulu dengan kekuarangan fisiknya. Kita pun bisa berdalih dan katakan ‘Peace in Chaos!

Yogyakarta, 10 Juni 2020