Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan
Membedah “Koleksi” Hendra Gunawan
Oleh WAHYUDIN
“Kebenaran nomor satu, baru kebagusan.”
—S. Sudjojono (1946)
Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Jakarta: Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia, 2014) mencantumkan kata-kata “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru” itu (hlm. v) sebagai falsafah—kalau bukan sandaran moral—penerbitannya. Celakanya, sejumlah penghayat seni rupa di Tanah Air justru mencurigai kebenaran “Koleksi” di buku suntingan jurnalis-kritikus seni rupa berida Bambang Bujono ini.
“Koleksi” adalah 42 halaman yang memuat reproduksi 46 lukisan 5 pelukis besar Indonesia—yaitu Affandi (7 lukisan, hlm. 41-47), Hendra Gunawan (20 lukisan, hlm. 256-275), Lee Man Fong (1 lukisan, hlm. 40), S. Sudjojono (14 lukisan, hlm. 228-241), dan Soedibio (4 lukisan, hlm. 162-165).
Sepelacakan saya sekira satu tahun setelah Jejak Lukisan Palsu Indonesia terbit, ada dua orang yang sangat serius mencurigai “Koleksi” tersebut—yaitu Enin Supriyanto via “Membiarkan Lubang Menganga, Terperosok Sendiri: Pelajaran (Lagi) dari Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia” (Kalam 27/2015. Buka http://salihara.org/kalam/current-issue/) dan hendrotan lewat status-status di Facebook (baca, misalnya, https://www.facebook.com/hendrotanhendro?fref=nf, 21 Agustus 2015, pukul 6:48 dan 10:57 WIB, dan 28 Agustus 2015, pukul 9:22 WIB) dan komentar-komentar pendek di blog pribadinya (lihat, misalnya, http://hendrotan.blogspot.com/2015/08/bukunya-ppsi-jejak-lukisan-palsu.html).
Oleh karena itu, agar kecurigaan tersebut tak menjadi sekadar skeptisisme teka-teki yang mengharu-biru di media sosial dan “Koleksi” itu tak mengeras sebagai korpus tertutup dengan klaim kebenaran yang manasuka—berbekal “ilmu bedah” yang “diajarkan” para penulis buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia—saya akan membedah “Koleksi” Hendra Gunawan di sini.
Saya akan “membedah”-nya—menggunakan teknik “bedah ringan” dan “sayatan perbandingan”—dengan referensi pembanding buku Agus Dermawan T. dan Astri Wright Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter (selanjutnya ditulis Hendra Gunawan …) terbitan Ir Ciputra Foundation Jakarta, 2001.
***
Mengikuti pendapat Seno Joko Suyono (hlm. 88), tersebab “biografi pelukis kita dan karyanya belum lengkap didata,” maka terciptalah “ruang kosong dalam sejarah seni lukis kita” yang memungkinkan “jaringan perdagangan lukisan palsu” beroperasi dengan gampang dan leluasa. Kita garis bawahi istilah “ruang kosong” dari jurnalis Tempo itu.
Hendra Gunawan adalah salah seorang maestro kita yang memiliki “ruang kosong” itu. Sebagaimana catatan Seno (hlm. 91), “ruang kosong” pendiri Pelukis Rakjat (1947) itu berlangsung “sekitar 13 tahun (akhir 1965-15 Mei 1978) masa Hendra dipenjara di Kebon Waru, Bandung.” Dari “ruang kosong” itu, Seno mensinyalir, “banyak karya tidak autentik Hendra diperdagangkan.”
Dengan keterangan tersebut, kita bisa mengklasifikasikan era penciptaan 20 lukisan Hendra Gunawan dalam “Koleksi” sebagai berikut:
(1) Sebelum dipenjara: 4 lukisan (bertahun 1948, 1950an, 1958, dan 1960). (2) Dalam penjara: 13 lukisan (bertitimangsa 1970an, 1970 [dua lukisan], 1971, 1973 [dua lukisan], 1974 [tiga lukisan], 1975 [dua lukisan], dan 1976 [dua lukisan]). (3) Selepas penjara: 3 lukisan (bertarikh 1979 [dua lukisan] dan 1980).
Dengan begitu, penting untuk kita garis bawahi bahwa lukisan Hendra Gunawan yang paling banyak dimuat dalam “Koleksi” adalah lukisan “dalam penjara”—itu pun rata-rata berukuran besar. Tentang hal ini, mari kita sangsikan dengan mengingat pernyataan Agus Dermawan T. di buku ini (hlm. 67): “Setahu saya, sesuai penuturan Hendra dan keluarganya, tidak banyak lukisan berukuran besar yang lahir dari studionya.” Kalau demikian, dengan nalar skeptis kita bisa bertanya: Bagaimana mungkin Hendra melahirkan lukisan-lukisan berukuran besar di dalam penjara yang serba susah?
Dari sana, kita beranjak ke persoalan 2 lukisan Hendra yang tahun pembuatannya tak pasti dalam “Koleksi”. (1) Bandung Lautan Api, 1950an, cat minyak di kanvas, 227 x 297 cm (hlm. 257). (2) Mandi di Sungai, 1970an, cat minyak di kanvas, 140 x 70 cm (hlm. 260).
Ketidakpastian itu, sebagaimana ditengarai Seno di buku ini (hlm. 88), mencerminkan penyakit kronis dalam historiografi seni rupa Indonesia—penyakit sejarah dalam penulisan dan pendokumentasian karya seni rupa, utamanya karya seni lukis old-master, yang sering kali dimanfaatkan sebagai cela bisnis dalam perdagangan lukisan palsu di Indonesia.
Dengan adanya penyakit kronis itu dalam buku ini—tentu kita perlu menyangsikan provenance kedua lukisan tersebut. Sebab, implikasi logisnya bisa menjadi seperti ini: Lukisan Mandi di Sungai—sebagaimana klasifikasi di atas—termasuk dalam era penciptaan “dalam penjara”. Tapi ketidakpastian tahun pembuatannya sangat mungkin membuka penafsiran yang berbeda: 1970an itu tahun berapa? Masa “dalam penjara” atau “selepas penjara”?
Lebih penting dari itu, pertanyaannya adalah: Mengapa Hendra tak menggoreskan tahun pembuatan yang pasti di kanvas kedua lukisannya itu? Alih-alih, mengapa di kanvas kedua lukisan Hendra itu tak tersurat tahun penciptaan yang pasti? Lantas, siapakah yang menaksir—jika bukan memastikan—tahun penciptaan kedua lukisan itu sebagai tahun 1950an dan 1970an?
***
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu melemparkan saya ke dalam persoalan judul lukisan Hendra yang berbahasa Inggris dalam “Koleksi”—yaitu Snake Charmer (1974, cat minyak di kanvas, 196 x 87 cm [hlm. 267]), Landscape (1976, cat minyak di kanvas, 150 x 220 cm [hlm. 272]), dan Barong Dance (1979, cat minyak di kanvas, 145 x 93 cm [hlm. 273]).
Sepengetahuan saya, mencantumkan judul berbahasa Inggris adalah praktik estetik yang jarang dilakukan oleh maestro-maestro seni lukis kita, tak terkecuali Hendra—betapapun kita tahu mereka menguasai sejumlah bahasa asing dengan baik, antara lain, Belanda dan Inggris. Khusus Hendra, praktik itu sangat mungkin tak dilakukannya karena kebesarannya sebagai seorang pelukis yang nasionalis—yang tidak hanya piawai menciptakan lukisan-lukisan bersejarah, tapi juga menggubah puisi di kanvas-kanvas lukisannya. Dengan begitu, bisa dibayangkan, Hendra akan berkecenderungan kuat kepada bahasa Indonesia ketimbang bahasa Inggris dalam memberikan judul lukisan-lukisannya.
Argumen tersebut akan semakin meyakinkan kalau kita periksa buku Hendra Gunawan …—di mana kita akan terpahamkan bahwa bahasa Inggris dibubuhkan orang lain sebagai terjemahan judul-judul lukisan Hendra yang aslinya berbahasa Indonesia. Dalam buku Hendra Gunawan … ini (hlm. 109) kita bisa temukan lukisan Hendra berjudul Ngamen Ular—dibahasa Inggriskan menjadi Snake Performer — (1973, cat minyak di kanvas, 145 x 72 cm) yang pokok perupaan dan komposisi artistiknya terbilang mirip dengan lukisan Snake Charmer.
Diperhatikan dengan saksama, kedua lukisan tersebut dibuat Hendra pada era “dalam penjara”. Ini kalau kita percaya dengan keautentikan kedua lukisan tersebut sebagai buah karya asli Hendra—meskipun dari segi estetis terasa ada kejanggalan dalam lukisan Snake Charmer. Bukan hanya dari aspek judulnya saja, melainkan juga dari segi ekspresi dan gestur sosoknya yang terkesan merepetisi dari lukisan Ngamen Ular—padahal ada jarak satu tahun dalam masa penciptaan kedua lukisan tersebut.
Setali tiga uang dengan lukisan Mandi di Sungai dalam “Koleksi” (hlm. 260) yang ekspresi dan gestur sosoknya terkesan menyalin dari lukisan Keramas (1973, cat minyak di kanvas, 140 x 80 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm.131). Begitu pula yang bisa dikatakan tentang dua lukisan cat minyak di kanvas berjudul Pandawa Dadu dalam “Koleksi” (hlm. 264 dan 265). Yang pertama bertitimangsa 1971 dan berukuran 202 x 387 cm. Yang kedua bertarikh 1973 dan berukuran 146,5 x 294 cm; reproduksinya yang sama terdapat juga dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 114-115).
Kedua lukisan yang berasal dari masa Hendra “dalam penjara” itu tidak hanya mencengangkan dari segi ukurannya, melainkan juga dari aspek pengulangan pokok perupaannya yang kompleks tapi nyaris persis—untuk tidak mengatakan kembar—padahal keduanya terpisah jarak dua tahun dalam masa penciptaannya.
Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan lukisan Mandi di Pancuran (1979, cat minyak di kanvas, 248,5 x 140 cm) dalam “Koleksi” (hlm. 274). Lukisan ini dari segi pokok perupaannya persis betul dengan lukisan Antri Mandi (1970, cat minyak di kanvas, 247,5 x 139,5 cm) dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 101). Karena keduanya bak pinang dibelah dua—tapi berbeda tahun penciptaan dan ukurannya—maka kita tak bisa menyamakannya dengan kasus lukisan kembar S. Sudjojono yang berjudul Tempat Mandi di Pinggir Laut (1964) dan Dunia Tanpa Pria (1964), sebagaimana terjelaskan oleh Tim Penulis buku ini (hlm.226-227).
Kejanggalan itu bukan hanya mengesankan adanya masalah keautentikan lukisan kembar, melainkan juga memunculkan perkara kesahihan dalam pendataan riwayat lukisan di antara dua literarur yang berbeda. Oleh karena itu, kita pantas menyangsikan keabsahan intelektual kedua literatur itu dalam wacana publik dan historiografi seni rupa Indonesia saat ini.
Sehubungan dengan hal itu—membanding-bandingkan data dari kedua buku ini—kita akan berhadapan dengan masalah perbedaan ukuran dalam lukisan yang sama judul, media, pokok perupaan dan tahun penciptaannya—yakni lukisan Kuda Lumping (1973, cat minyak di kanvas). Dalam “Koleksi” (hlm. 263), Kuda Lumping ditulis berukuran 147 x 297 cm, sementara dalam Hendra Gunawan … (hlm. 117) ditulis berukuran 147 x 300 cm. Apa arti perbedaan itu? Revisi datakah? Atau kesalahan pencantuman data?
Sebaliknya dengan masalah lukisan Kuda Lumping itu adalah masalah lukisan sama dalam media, ukuran, pokok perupaan, dan tahun penciptaan, tapi berbeda judulnya. Dalam buku Hendra Gunawan … (hlm. 86) terdapat lukisan berjudul Gerilya (1960, cat minyak di kanvas, 145 x 158 cm). Dalam “Koleksi” (hlm. 259), judul lukisan itu bertambah panjang menjadi Gerilya Persiapan Penyerangan. Pertanyaan kita adalah: Yang manakah yang sahih?
Sampai di pertanyaan itu saya sudahi bedah “Koleksi” Hendra Gunawan ini dengan sepotong peribahasa yang barangkali bermanfaat untuk direnungkan bersama oleh penerbit, penyunting, dan pembaca buku ini: “Mengata dulang paku serpih, mengata orang awak yang lebih.”