Nirkias ; Sebuah Pengantar

Nirkias ; Sebuah Pengantar

 

Penulis Grace Samboh

Kebanyakan dari Anda mengenal M. Irfan sebagai pelukis dengan kecenderungan gaya (foto) realistik. Waktra[1] dalam kekaryaan Irfan mulai dari potret, alat-alat dan infrastruktur transportasi (rel kereta api, jalanan, jembatan, pesawat, mobil, dst), penggalan patung-patung dari era Renaissance, sampai dengan alat-alat bantu dalam kerja perbengkelan. Bagi Irfan sendiri, lukisan-lukisan ini justru muncul dari keinginannya untuk menggambar. Hari ini, kita bisa dengan yakin menganggap kecenderungan ini sebagai praktik artistik perupa generasi kelahiran 1970-an. Pada 2001, S. Teddy D. (1970-2016) pernah merumuskannya, “Lukisan adalah gambar yang disederhanakan atau dirumitkan.” Gambar memang mempunyai posisi yang menarik pada generasi perupa ini.

Gambar-gambar yang serupa dengan apa yang bisa kita lihat secara kasatmata ini, menurut Irfan, menuntun pelihatnya untuk menciptakan kiasannya sendiri. Kereta api, ya, kereta api. Jembatan, ya, jembatan. Namun, bagaimana gambar-gambar bisa bermakna tergantung pada bekal pengetahuan si pelihat untuk menciptakan kiasannya sendiri, entah itu pertimbangan, perbandingan, persamaan, perlambangan, ataupun sindiran sekalipun. Seorang insinyur, misalnya, akan bisa mengenali dari tahun berapa alat-alat dan infrastruktur yang digambarkan Irfan berasal. Ia kemudian —mungkin— bisa membangun ceritanya seputar ketersediaan bahan serta teknologi yang digunakan untuk membuatnya dalam konteks poleksosbud di era pembangunan infrastruktur tsb. Seorang sejarahwan dari PUSSIS Unimed, Sumatra Utara, Dr. Ichwan Azhari, misalnya, punya pembacaan lain atas seri karya Irfan tsb. Baginya, Irfan menelusuri penjuru Sumatra dari sudut pandang kolonial. Segala penggambaran temuan Irfan dari sepanjang pengembaraannya adalah hal-hal yang ada di seputar jalanan beraspal —yang dibuat para kaum penjajah untuk mempermudah perpindahan komoditas yang mereka butuhkan.

 

M. Irfan, Hidup segan mati tak mau, Jackfuit wood, iron, LED neon lights, wheel, Variable dimension, 2019

 

Dalam kata-kata Irfan, “Fase menggambar itu justru cenderung mendorong pelihat pada ketunggalan makna. Dia [objek yang digambar] adalah sebuah akhir. Karena objeknya hadir [dan bisa kita kenali], kita akan menggunakan bekal pengetahuan kita untuk melihat dan membicarakannya. Jadi, lukisanku jadi semacam pintu keluar, gitu.” Irfan kemudian membandingkannya dengan fase berkaryanya, pada paruh akhir 1990-an sampai tengah 2000-an, di mana ia cenderung melukiskan esensi. Ya, melukis, bukan menggambar. Pada fase ini, yang tampak dalam lukisan-lukisan Irfan kerap dianggap bergaya abstrak atau minimalis.

Walau hasilnya sama-sama lukisan, proses untuk fase kekaryaan yang ini ia kenali sebagai proses melukis, bukan menggambar seperti yang tadi saya jelaskan. Garis-garis, tekstur, dan komposisi yang hadir dalam kanvas-kanvas Irfan diniatkannya untuk memancing perasaan-perasaan atas kata-kata tertentu, misalnya pada kata benda (spt. celah) atau kata kerja (spt. tumpah). Apa yang tumpah? Cairkah? Kentalkah? Padatkah? Kemana tumpahnya? Kenapa dia tumpah? Menumpahi apa dia? Karena perasaan yang dipancing, tak akan sama khayalan dan pengalaman yang timbul dari lukisan-lukisan Irfan dalam periode ini. Melukiskan esensi, menurut Irfan, adalah menghadirkan semacam pintu masuk pada sebuah pengalaman estetik, bukan pada kemungkinan makna. Pada fase ini, lukisan Irfan menjadi kiasan itu sendiri. Ia tidak mengiaskan —apalagi menawarkan makna— apapun.

 

Kali ini, yang hadir di hadapan Anda adalah fase baru dalam praktik artistik Irfan. Tak ada gambar, tak ada lukisan. Tak ada hasrat untuk menggambar, tak ada keperluan untuk melukis. “Aku justru sedang mencari yang konkret,” kata Irfan. Apa itu yang konkret? Dalam rentang waktu praktik seni di Indonesia, konkretisme hanya sempat berkedip pada paruh akhir 1970-an. Itupun lebih sering bisa kita temukan dalam ranah sastra dan musik. Pada 1975, misalnya, Danarto pernah menolak bersuara di atas panggung di mana seharusnya ia membacakan puisinya. Pembacaan puisi ala Danarto adalah sebuah pertunjukan dalam diam yang menghadirkan beberapa lukisannya serta kotak yang mengeluarkan bergulung-gulung kertas tisu toilet bertuliskan “kata” yang dihambur-hamburkan oleh sejumlah penari. Pada saat itu, Danarto sedang tak percaya dengan kemampuan lafal bahasa (secara) konvensional.

Ia ingin menghadirkan kata-kata sebagai dirinya sendiri, sebagai teks. Apa-adanya. Pada 1979, Siti Adiyati menghadirkan sebuah kolam kecil yang penuh sesak dengan eceng gondok dan diselingi bunga-bunga emas. Pada masa itu, pemerintah DKI Jakarta memang sedang memerangi eceng gondok yang dianggap sebagai benalu di sungai-sungai Jakarta. Adiyati berpendapat sebaliknya. Menurutnya, eceng gondok bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai hal, setidaknya kerajinan, sehingga bisa jadi penghasilan tambahan bagi masyarakat bantaran sungai. Dalam pameran yang sama dengan Adiyati, Bonyong Munni Ardhi menghadirkan pintu studionya sendiri sebagai karyanya. Ia menolak menjadi seperti generasi pendahulunya, S. Sudjojono dkk yang —menurutnya— “sekadar menghadirkan representasi kemiskinan dan perjuangan” dalam kekaryaannya. Bagi Bonyong, kesenian tidak bisa mewakili apapun, sehingga, barang temuan digunakannya sebagai barang itu sendiri. Sengkonkret-konkretnya.

 

Dari senarai pendek barusan, bisa kita kenali bahwa istilah “konkret” digunakan tidak serta-merta sejalan, apalagi sepaham, dengan konkretisme yang lahir dalam konteks Futurisme (di Italia, 1912) atau Dadaisme (Swiss, Amerika Serikat, Paris, sekitar 1915-1922). Konkret dalam perbendaharaan seni rupa di sekitar kita berada pada posisi “yang lebih nyata dari realisme” ketimbang sikap membela material (seperti musik konkret ala Pierre Schaeffer) atau membela eksistensi dan estetika huruf serta lafal (seperti puisi-puisi Tristan Tzara). Sementara, “realisme” adalah sebuah ajaran, paham, sekaligus aliran yang 1) bertolak dari kenyataan; 2) berusaha menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya. Dengan kata lain, realisme meniru atau mewakili suatu kenyataan tertentu. Pernyataan Irfan —mencari sesuatu yang konkret— patut dibaca dalam temurun praktik rupa yang ada di sekitar kita berikut dengan perjalanan kekaryaan Irfan sendiri.

Ia mengawali praktiknya dengan melukis (dengan kecenderungan gaya abstrak atau, bisa juga, kita sebut minimalis), lalu menggambar (dengan gaya realistik). Dalam kedua fase ini, ia bergumul dengan kiasan dan menghadirkannya dalam wujud wimba[2]. Ada jarak yang tak terelakkan di antara kanvas-kanvas Irfan, Anda selaku pelihat, dan Irfan selaku senimannya. Pertama, jarak antara Anda selaku pelihat dengan karya. Kedua, antara apa yang dikhayalkan Irfan sebelum mencipta dan apa yang hadir dalam karyanya. Ketiga, bekal pengetahuan Anda selaku pelihat dan makna yang Anda ciptakan dari wimba-wimba Irfan yang biasanya hadir dalam ruang datar. Karya-karya pepasang[3] dalam pameran ini mengajak tubuh Anda untuk bergerak, setidaknya mengitari atau mengelilinginya. Lebih dari itu, menurut Irfan, karya-karya ini baru benar-benar selesai ketika Anda menjadi bagian darinya. Ketika Anda berada bersama dan di antara karya-karya ini, entah sekadar menolehkan kepala, mendangak, menunduk, termenung, berpatut, atau, sesederhana, berada bersamanya.

 

Ribuan kilometer ditempuh Irfan dalam penelusurannya di Sumatra. Melalui jalur barat, dua bulan lamanya ia mengembara dari Lampung menuju Sabang, sebuah pulau kecil di atas Aceh. Setelah rehat dua minggu, ia menempuh perjalanan kembali via Medan melalui jalur tengah. Pengembaraan menuju titik berangkat ini memakan waktu dua bulan lagi. Baginya, pengembaraan ini bukan heroik, tetapi sekadar perlu. Perlu karena ia merasa bahkan peribahasa macam ‘gemah ripah loh jinawi’ sudah menjadi asing di telinga apalagi matanya. Paling-paling hanya sekelibat tampak karena ia terpampang di logo taksi resmi Bandara Adisucipto. Tapi, bagaimana wujud alam yang konon ijo royo-royo itu? Bagaimana pengalaman hidup manusia yang masih mengalami kehebatan nusantara itu? Bukan hanya asing, tak jarang peribahasa yang memerikan kecakapan hidup manusia nusantara ini juga telah berubah artinya, entah karena kelenaan daya selidik kita atau karena kesibukan kehidupan perkotaan dan kosmopolitan yang melenakan.

Alah bisa karena biasa, misalnya. Umumnya, orang beranggapan bahwa artinya adalah: 1) Perbuatan yang sukar, kalau sudah biasa dikerjakan, tidak akan terasa sukar lagi; 2) kalah kepandaian oleh latihan. Padahal, menurut penelusuran ahli bahasa Jus Badudu, kata “bisa” dalam peribahasa ini berarti “racun dari ular”. Maka, ketimbang berkonotasi positif sebagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskannya sekarang, peribahasa ini muasalnya justru berkonotasi negatif: Perbuatan buruk itu ibarat racun, yang, apabila sedikit-sedikit dimakan, lama-lama akan menjadi kebas, dan pelakunya tak lagi merasa bersalah. Berbulan-bulan lamanya ia menempuh pengembaraan yang tujuannya sesederhana pengembaraan itu sendiri. Alam nusantara perlu dialami secara ketubuhan, secara keruangan, dan, bagi Irfan, perjalanan ini adalah salah satu cara konkretnya. Demikian juga senarai pepasang yang menjadi pilihan bentuk Irfan kali ini. Karya-karya ini menuntut kehadiran kita untuk menggenapi kekonkretannya.

 

Jatiwangi, 11 Juli 2019,