UNCH

“unch: The entire crotch area of a human being, with emphasis on the lower part of the genitalia. Meant to refer to the entire experience of the crotch and its contents”[1].

 

Coba saja ketik kata “unch” di mesin pencari seperti google maka yang ditemukan adalah tulisan dan berita yang membahas tentang kesadaran penggunaan kata ini dalam kaidah yang tidak tepat di Indonesia. Entah dari mana bahasa ini muncul, namun dalam urban dictionary kata ini adalah salah satu kata Slang (Bahasa Gaul) dalam bahasa inggris yang di adopsi dengan “lugu” di Indonesia.

Merujuk pada top definition dari urban dictionary di atas, unch adalah kata yang merujuk kepada bagian intim dari manusia, atau dalam lingkup yang lebih luas, unch adalah pengungkapan ekspresi jika bagian intim seseorang di sentuh. Namun di Indonesia, kata ini mengalami akulturasi makna yang cukup ekstrem, dimana “unch” di umbar dalam ranah publik seperti media sosial, aplikasi daring, dan bahkan dalam percakapan langsung sebagai kata yang menggambarkan sesuatu yang lucu, imut, menggemaskan, atau ungkapan kekaguman akan sesuatu. Amati kata “unch” dalam komunikasi di facebook , twitter dan Instagram maka kita akan menemukan penempatan kata ini dalam variasi yang janggal.

Perubahan janggal dalam akulturasi bahasa slang di Indonesia mungkin menganalogikan bagaimana pengaruh seni dari barat di bawa masuk ke Indonesia, yang dalam istilah barat saat sekarang disebut sebagai zaman kontemporer. Dalam dunia barat, sebuah paradigma menarik yang dijabarkan oleh sosiolog  Nathalie Heinich tentang seni modern dan seni kontemporer yang menurutnya saling tumpang tindih. Seni modern lebih mengarah ke konvensi dari representasi sedangkan seni kontemporer lebih ke arah gagasan tentang karya seni itu sendiri[2].  Pengamatan Nathalie ini secara terbuka mengarahkan seni kontemporer bukan tentang keindahan semata, melainkan seni sebagai cara berpikir dan upaya-upaya untuk mengungkapkan gagasan kepada apresian. Titik awal seni kontemporer di dunia dapat di tandai dengan karya Marcel Duchamp yang berjudul “Fountain” yang di buat pada tahun 1917[3].

Sementara di Indonesia, Generasi Seni Rupa Baru (GSRB) dianggap sebagai perintis seni rupa Kontemporer di Indonesia yang baru dimulai pada tahun 1975. Menurut FX Harsono , yang menunjukkan perbedaan GSRB dengan seni rupa sebelumnya adalah konsep kesenian dan cara berkarya yang berbeda dengan seni rupa sebelumnya. Cara berkarya yang bersifat multimedia, penolakan terhadap universalisme, dan berkeinginan untuk menentukan arah dan tata nilai perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia secara sendiri, tidak menjadi bagian dari seni rupa modern yang berkiblat pada Eropa dan Amerika, mengakibatkan perubahan nilai estetis[4].

Dalam konsep berkesenian yang diusung oleh GSRB ini, kita seolah dibawa kembali dalam semangat nasionalis PERSAGI dan SIM yang juga mengusung konsep kebaruan dalam kesenian serta pemisahan seni rupa Indonesia dan Barat. Secara dangkal, konsep yang ditawarkan seniman beda zaman ini tak lain adalah repetisi-repetisi pengaruh barat terhadap seni rupa Indonesia yang dipaksakan ke-orisinalitas-an nya. Aminudin TH Siregar bahkan mengatakan,  kebesaran kisah ini (GSRB) cenderung dikonstruksi oleh para pelakunya saja, alih-alih dihasilkan dari sebuah penelitian serius ataupun suatu analisis diskursif dari pihak lain. Belakangan, para eksponen GSRB bahkan cenderung menganalisis peristiwa 35 tahun yang lalu itu dengan “polesan” di sana-sini berupa analisis-analisis tambahan yang kesadarannya bertaut jauh dari peristiwanya[5].

Pengategorian zaman seperti modern dan kontemporer dalam seni rupa kita jelas disadur dari seni rupa barat yang lebih dulu menggunakan istilah ini dalam kesenian mereka. pemisahannya adalah hal yang aneh saat definisi zaman ini diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh kesenian “barat”. Lalu, kenapa seni rupa Indonesia tidak dikategorikan dalam zamannya sendiri secara khusus seperti ; seni rupa kolonial, post kolonial, reformasi dan post reformasi, misalnya. Rintisan wacana kontemporer semenjak tahun 1975 itu tetap saja dipengaruhi oleh seni rupa barat terhadap seni rupa di Indonesia, bahkan karya-karya yang dibuat oleh para “penggagas-nya” sekalipun; instalasi, performance art, happening art, seni lingkungan, benda temuan (found objects), dan sebagainya.

 

Gunhadi, Tone in live, 150X180 cm, Mixed media oncanvas, 2017

 

Marandai yang di pajang

 

Kata marandai berasal dari Minangkabau yang bermakna mempegilirkan, menukar. Dalam pameran ini sejenak kita menelaah bahwa mempegilirkan dan menukar tidak sebatas menganti sesuatu dengan sesuatu lainnya, lebih dari itu adalah sebuah upaya untuk meregenerasi, memperbaiki dan merubah sesuatu dari satu sisi ke sisi lainnya. Upaya seluruh seniman di Indonesia dalam marandai seni sampai se rumit ini tentu tidak hanya sekadar klaim dari sekelompok orang yang mengaku perintis itu, lebih-lebih pengaruh kolonial membuat masyarakat Indonesia menjadi java sentris sehingga apa yang terjadi di jawa, itu yang menjadi penanda.

Luput dari hal tersebut mungkin kita lupa terhadap gerakan seni di daerah lainnya yang juga membangun seni rupa Indonesia, salah satunya adalah SEMI (Seniman Muda Indonesia). SEMI adalah nama sebuah sanggar seni, khususnya seni rupa yang berdiri di Bukittinggi pada sekitar 1947 dan sempat diselingi kevakuman selama agresi Belanda pertama dan kedua, PDRI, dan PRRI, dan kemudian aktif kembali setelah kondisi aman. Komunitas ini didirikan bersamaan masanya dengan gerakan Seniman Muda Indonesia (SIM)[6]. Faktanya, pembacaan terhadap pergerakan seniman di daerah sulit muncul sebagai pembacaan seni secara nasional. Gerakan seni “perjuangan” pada waktu itu (mungkin) terjadi disetiap daerah, tapi tidak semua tercatat dalam sejarah seni rupa Indonesia.

Perkembangan seni rupa hari ini pelan-pelan tidak lagi didasari oleh perjuangan-perjuangan identitas seni yang diusung generasi sebelumnya. Hal ini tampak dari Komunitas Seni Sakato khusus nya para seniman muda yang sudah jarang melukis “rumah gadang” atau tanda kedaerahan lainnya. Seni rupa melebur menjadi sangat variatif, pembacaan terhadap seniman tidak bisa lagi dinilai sebatas kultur dan warisan alam tempat mereka lahir.

Hal ini mungkin tidak lepas dari penemuan teknologi informasi (internet) yang telah merubah bentuk masyarakat manusia, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global, sebuah dunia yang sangat transparan sehingga dunia juga dijuluki the big village. Masyarakat dunia global ini memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya bersama, produk industri bersama, pasar bersama, pertahanan militer bersama, mata uang bersama, dan peperangan global disemua lini[7], Namun Akulturasi yang terjadi dari dunia yang lebih transparan mungkin telah meruntuhkan cara pandang teritorial terhadap seni itu sendiri. Pengaruh seni tidak lagi datang dari dunia barat, melainkan dari dunia cyber.

Seperti kata “unch” yang dirangkai dalam kalimat berbahasa Indonesia, seni rupa hari ini pun sekiranya begitu, pun dengan pameran ini. saat seni rupa kontemporer disadur dari bahasa inggris, belum tentu penerapan dan penggunaannya sama dengan tempat asal kata itu diciptakan. Seperti seni kontemporer di barat yang dimaknai sebagai penyampai gagasan, di Indonesia seni kontemporer lebih condong ke arah tindakan dan pengaburan konvensi, jarang sekali seniman yang muncul berdasarkan gagasan pada karyanya, atau gagasan dari para seniman memang tidak didukung oleh struktur seni rupa yang (mungkin) kurang terbentuk. Keunikan seni rupa kita telah membawa arus kreatif tersendiri dari kekaryaan, pembacaan, hingga seniman.

Maka dari itu, memajang yang dirandai dalam pameran ini adalah pembacaan tentang bagaimana seni dibangun atas kesadaran global, bukan lagi nasionalis, teritori, ataupun identitas. Segelintir karya pada ruangan ini adalah bentuk evolusi seni rupa dari apa yang sekadar tampak kemudian menjadi apa yang dipikirkan, dari yang hadir melalui tindakan ataupun muncul sebagai gagasan.

 

***

 

 

Riski Januar

 

[1] https://www.urbandictionary.com/define.php?term=unch . di akses pada 27 April 2018 pukul 21.26 WIB

[2]  Heinich, Nathalie, Ed. Gallimard, Le paradigme de l’art contemporain : Structures d’une révolution artistique , 2014

[3]  Nathalie Heinich lecture “Contemporary art: an artistic revolution ? at ‘Agora des savoirs’ 21th edition, 6 May 2015.

[4] Fx Harsono, Catatan Seni Rupa Kontemporer 1992. Awal Kebangkitan Kembali Seni Rupa Kontemporer, Koran Kompas, 28 Desember 1992, p 12

[5] Aminudin TH Siregar, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia” Dirintis GSRB?, Arsip IVAA : archive.ivaa-online.org/khazanahs/detail/3879, 2010

[6] Sudarmoko, SEMI dan Gerakan Seni Rupa di Sumatera Barat, Hibah Penelitian Seni Rupa yang dilaksanakan oleh Indonesian Visual art Archive dengan nomor kontrak 04.07.010/IVAA/HIVOS-Hibah/VII/2015

[7] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Jakarta : Kencana, 2009, p. 163