Antara Personal Effect dan Social Effect

Antara Personal Effect dan Social Effect

 

Oleh : AA Nurjaman

 

Makalah ini pada awalnya merupakan makalah diskusi pameran Personal Effect di galeri Tembi Rumah Budaya Yogyakarta. Berdasarkan pertimbangan atas perkembangan karya-karya seni rupa dan wacananya  yang semakin hari kian carut-marut, maka saya menerbitkan makalah ini yang bisa dibaca oleh siapa saja. Barangkali ada manfaatnya.

Menelaah karya-karya yang dipamerkan dalam pameran Seni Preeet II: Personal Effect pada 14 Maret-2 April 2018 di galeri Tembi Rumah Budaya, saya menangkap suatu kecenderungan yang terjadi dalam dunia estetika semenjak tahun 1970-an hingga dewasa ini. Sejumlah senimannya, Deden FG, Dadang Imawan, Mami Kato, Riki Antoni, Dadah Subagja, Sukri Budi Dharma, Ahmad Arif Affandi, Ratih Alsaira, Paul Agustian, Ramdani, Ambar Pranasmara yang dikuratori Jajang R Kawentar, sepertinya hendak melakukan perombakan terhadap perkembangan arus art now dewasa ini.

Pada mulanya karya seni dibagi dua, yakni seni rendah dan seni tinggi. Seni rendah tidak lain, apa yang disebut sebagai karya kerajinan tangan dengan penekanan kepada fungsi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai jenis barang berbahan dasar alami seperti anyaman bambu, mebel kayu, gerabah dan terakota yang berfungsi sebagai perabotan rumah tangga yang diberi sentuhan nilai-nilai keindahan dari segi bentuk maupun ornamen kedaerahan. Sedangkan seni tinggi adalah benda-benda fungsional di kalangan kaum bangsawan yang menekankan keindahan berupa nilai-nilai simbolisme spiritual seperti kain batik, kain tenun, keris, kereta kencana, mahkota dan perlengkapan upacara.

Pada perkembangan seni modern karya-karya seni kraton menjadi seni rendah karena dikembangkan oleh kasta terendah yaitu rakyat jelata, seni keraton menjadi seni tradisional.  Sementara seni tinggi berupa karya-karya yang dibawa kaum kolonial Eropa, seperti lukisan, patung, grafis, drawing, yang dipercaya mampu mewujudkan bahasa jiwa dari senimannya. Di sini terlihat bahwa visi-misi seni modern adalah menggerus kekuatan seni tradisi yang menekankan kosepsi simbolisme spiritual dan hendak menggantinya dengan konsepsi personal.

Kemudian pada awal tahun 1990an di Bandung, Jakarta, Jogjakarta dan Bali khususnya terjadi perubahan paradigma dari seni modern ke arah seni kontemporer sebagai akibat berkembangnya pop art. Seni kontemporer bercirikan menghilangnya batasan-batasan jenis karya seni, seperti lukisan, patung, grafis, kriya, desain produk dan lain sebagainya. Masa ini, karya seni adalah suatu karya apapun bentuknya, yang mampu dipajang di ruang pameran, apakah itu galeri, museum, atau ruang seni lainnya dengan mengandalkan kekuatan konseptual. Perkembangan seni kontemporer sebagai akibat mulai berperannya sistem kuratorial dalam berbagai pameran seni rupa yang menggeser paradigma pemahaman karya dari bahasa artistik ke bahasa konseptual. Lahirnya konseptual karya ini, telah menggeser kedudukan para kritikus dan penulis seni menjadi kurator yang bertugas untuk membangun berbagai projek kompromi dengan pedagang karya seni dalam mengembangkan pasar seni dengan dalih bisa menjadi komoditas penting dalam perekonomian negara. Maka bermunculanlah berbagai pameran seni rupa yang menawarkan wacana konseptual berbeda dengan wacana seni modern.

Pergeseran paradigma seni juga telah melahirkan perubahan yang signifkan terhadap sistem publikasi seni. Di era puncak seni modern sekitar tahun 1960-an hingga 1980-an, setiap penyelenggaraan pameran seni rupa, biasanya hanya memajang karya yang kemudian diapresiasi masyarakat, dicermati oleh para kritikus seni sehingga tersebar berita dan wacananya di beberapa media massa. Karya seni menjadi eksklusif dan agung.

Ketika kurator mulai berperan dalam membangun wacana seni rupa sekitar pertengahan tahun 1990-an hingga sekarang, pameran-pameran seni rupa menyertakan katalog dalam berbagai format yang memuat wacana kuratorial yang ditawarkan kepada pemirsa. Hal ini terjadi karena turut sertanya peran para pemodal yang tidak hanya bertindak sebagai sponsor tetapi berperan dalam membangun sistem manajemen seni guna mensukseskan acara berbagai pameran seni rupa.

Pada akhir tahun 1990-an, beberapa galeri mulai mengadakan kerja sama dengan pihak seniman dengan memenuhi segala keperluan pameran, termasuk undangan kepada para pembeli, dan hasilnya, luar biasa. Karya seni, terutama lukisan, pada akhirnya menjadi barang komoditas pasar seni yang membabad habis seni tradisi.

Di awal tahun 2000, segelintir orang kaya yang menamakan dirinya pecinta seni telah berhasil membangun bermacam ruang perhelatan seni rupa, seperti galeri, art space, art house, art fair dan balai lelang. Di antara mereka ada yang melakukan penggorengan karya seni, yaitu membeli sejumlah lukisan dari beberapa seniman yang bersedia bekerja sama, memajang karya-karya lukisan pada perhlatan art fair dan balai lelang. Karya-karya pelukis gorengan yang terpajang itu kemudian dibeli oleh rekan-rekan bisnisnya dengan harga yang fantastis, maka mulai bermunculanlah seniman-seniman papan atas baru. Para seniman papan atas baru ini bukan dibentuk oleh proses perjalanan mereka dalam berkesenian, tetapi dibangun oleh spekulasi pasar.

Pertengahan tahun 2000-an, muncul sistem kontrak kerja antara pedagang karya seni dengan seniman. Kontrak kerja itu ditandai oleh penghasilan seniman yang sepuluh kali lipat dengan penghasilan pegawai negri papan atas, maka merebaklah sistem artisan. Periode ini ditandai oleh para seniman yang memiliki kemampuan berbicara, pandai bergaul dan pandai menyusun konsepsi karya yang mampu mengelabui para pedagang lukisan. Merekalah yang berjaya menjadi seniman papan atas. Sementara seniman yang memiliki kemampuan berkarya, tetapi kurang mampu mengutarakan konsepsi pemikirannya harus puas dengan menjadi artisan, yang bayarannya tidak lebih dari harga tukang batu. Maka terjadilah boming lukisan. Berbagai perhelatan seni rupa diselenggarakan dengan kemewahan yang luar biasa. Berbagai tema wacana bermunculan, sementara karya-karya yang terpajang hanya yang begitu-begitu saja. Wacana seni yang melibatkan para pemikir seni, tak ubahnya dengan basa-basi. Dan ini dimaklumi semua pihak. Cilakanya, perkembangan wacana ini hingga kini bahkan menjadi titik awal perkembangan ilmu estetika baru. Estetika seni rupa gorengan kontemporer.

Personal Effect

Barangkali perubahan paradigma inilah yang dilihat oleh Jajang R Kawentar dan sejumlah perupa yang tergabung dalam projek Seni Preeet, mereka melakukan reaksi terhadap kesewenangan pasar seni. Untuk mengadakan perombakan dibidang seni rupa, mereka menyusun sejumlah pameran Seni Preeet. Pada pameran perdananya, Jajang bersama para perupanya mencoba menawarkan pengayaan gagasan gagasan yang tertuang dalam berbagai karya berupa lukisan, sketsa, drawing dan instalasi yang didisplay pada pameran So go on Person di galeri SMSR Jogjakarta. Sedangkan pada pameran keduanya di galeri Tembi Rumah Budaya, Jajang menawarkan gagasan yang berasal dari memoar sehari-hari para seniman. Karya yang dihasilkan berupa berbagai benda pakai dan benda mainan yang dimodifikasi oleh para senimannya kemudian didisplay menjadi sebuah pameran Seni Preeet dengan judul Personal Effect.

Pameran Personal Effect digagas Jajang R Kawentar untuk mengejawantahkan pengaruh pribadi seniman terhadap karyanya. Melalui modifikasi terhadap barang-barang milik seniman, hemat saya, pameran ini adalah sebuah penentangan terhadap arus pasar karya seni global yang memang sudah tak terkendali dalam menghalalkan segala cara. Penentangan ini bukanlah hal baru yang dilakukan banyak seniman Indonesia. GSRB dan Pasar Raya Dunia Fantasi telah melakukannya antara 40-30 tahun yang lalu, tetapi tidak mampu menggeser paradigma seni rupa yang telah menjadi arus pasar dunia.

Personal Effect atau Social Effect

Melihat karya-karya yang terpajang dalam pameran ini, terdapat hal yang perlu kita cermati karena terlepas dari pertimbangan Jajang R Kawentar sebagai kurator. Dalam ranah seni, istilah personal, hemat saya, suatu bahasa pribadi yang berpengaruh terhadap karya-karyanya. Karakter personal biasanya mengunakan material yang sangat pribadi, kayu, batu, tanah, kain, logam dan lain-lain, atau barang-barang tepat guna yang tergolong seni rendah yang juga sangat pribadi, seperti baju, celana, piring, gelas, sisir, dompet dan lain sebagainya. Menurut gagasan Jajang, barang-barang fungsional ini kemudian dimodifikasi sesuai dengan estetika senimannya sehingga terwujudlah karya seni tinggi yang sesuai dengan konsepsi gagasan personal effect.

Tetapi dalam pameran ini, saya melihat sebuah sepeda motor utuh yang dipamerkan, sejumlah kaset, sebuah handphone (HP) yang diaplikasikan dengan kayu yang dilukisi dan sebuah pintu penjara. Dalam estetika seni kontemporer barang-barang multi media seperti sepeda motor, mobil, televisi, komputer, HP dan sejenisnya adalah benda-benda yang biasa digunakan untuk mengumpamakan persoalan sosial. Maka di sini saya melihat campur aduk antara karakter personal effect dan social effect. Padahal secara judul dan konsepsi pameran, personal effect, yang berarti kondisi kejiwaan seniman yang berpenguruh terhadap karya-karyanya, hemat saya, sudah demikian ketat, tetapi kenapa ketika konsepsi ini  dijadikan frame kuratorial menjadi agak melar sehinggga dengan mudah menerima usulan dan karya dari pihak seniman yang kurang pas untuk didisplay dalam pameran.

Untuk menilik karya personal effect, hemat saya, kita bisa melihat karya seni instalasi jarum jahit karya Leny Ratnasari. Pada karya itu terlintas proses perjalanan jarum jahit yang diwujudkan dalam berbagai media: kayu, logam, polyester resin yang berhasil dipamerkan di sejumlah galeri di Jogjakarta, Jakarta, dan Singapura. Jarum jahit menurut Leny, cukup berperan dalam mewujudkan karya-karya boneka yang telah membawanya ke berbagai pameran besar di Berlin, London dan Amsterdam. Sedangkan untuk menilik karya-karya social effect kita bisa melihat karya-karya video art Krisna Murti dan instalasi low technology Heri Dono. Karya Krisna Murti menawarkan kompleksitas sosial urban, sementara karya Heri Dono menawarkan kompleksitas tradisi primitif kelokalan masyarakat Nusantara.

Memang beberapa perhelatan seni dunia, seperti Open Call di Citizen City Belgia, Art Bazel Switzerland, Beijing Bienalle dewasa ini mulai didominasi karya-karya multi dimensi yang disebut art now. Krisna Murti dan Heri Dono, di antara seniman Indonesia yang pernah terlibat dalam salah satu perhelatan seni terbesar dunia itu. Karya art now, tak lain adalah karya-karya yang menawarkan konsepsi sosial melalui metafor multi media dan new media. Di titik inilah, saya kira, sang kurator Jajang R Kawentar, mestinya menelaah secara seksama dalam menegaskan definisi istilah personal art dalam mengembangkannya menjadi Personal Effect, supaya karya-karya yang terlahir memiliki ciri khas yang jelas pijakannya. Karena jika tidak jelas pijakannya, karya-karya para seniman yang tergabung dalam Seni Preeet akan mudah tergerus oleh arus wacana seni global yang terbukti sudah mampu memporak-porandakan seni rupa kita.

 

Jogjakarta, 15 Maret 2018

 

 

AA Nurjaman  

Kurator seni rupa tinggal di Jogjakarta.